Ramadhan, Puasa dan Nilai-Nilai Sosial.
By. Idrus Abidin.
Siklus
tahunan berupa ramadhan dan puasa sebentar lagi membersamai kita. Rindu
untuk mendapatkan peluang ampunan, kesempatan memperbanyak pundi-pundi
amal dan membebaskan diri dari ancaman neraka kian terbuka. Tak lupa
do'a dan harapan untuk bertemu kembali ramadhan sudah sejak lama
dilantunkan. "Berkahi kami ya Allah di bulan Rajab dan sya'ban dan
sampaikan kami ke bulan ramadhan." Itulah lafaz do'a yang banyak
dipanjatkan sebagai wujud dari kerinduan iman.
Momen Penguatan Hablun Minallah.
Ramadhan
adalah peluang emas untuk kokohnya ikatan cinta dengan sang maha
penguasa alam semesta. Semua hidayah berupa kitab suci; dari
lembaran-lembaran suhuf nabiyullah Ibrahim, Taurat nabiyullah Musa,
Zabur, Injil nabiyullah Isa dan Qur'annya nabiyullah Muhammad shalallahu
alaihi wasallam turun di bulan Ramadhan. Maka, surat cinta Allah ini
mengajak setiap hamba agar senantiasa terkoneksi secara langsung dengan
Allah Ta'ala. Pada bulan ini, Manusia diminta membangun keakraban dan
kedekatan khusus dengan Al-Qur'an. Sehingga bisa mengokohkan rasa cinta
dan ketaatan mereka pada sang ilahi. Rasa syukur atas karunia petunjuk
diwujudkan dengan ibadah total. Puasa di siang hari dan taraweh di malam
hari; termasuk qiyamullail beserta lantunan tilawah. Semua itu
bermuara; selain pada rasa syukur, juga pada takwa yang kian mekar.
Dengan
kedekatan kepada Allah, manusia diharapkan makin merasakan nilai
tanggung jawab. Bahwa sebagai hamba, ia harus berkontribusi besar
terhadap keislaman dan kemanusiaan. Berusaha untuk hidup mandiri penuh
tawakkal dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar tanpa kenal lelah;
selama itu memang murni lillah.
Kesempatan Besar Mewujudkan Hablun Minannas.
Dengan
modal semangat dan harapan akan keridhaan Allah, kedekatan dengan
sesama manusia kian diwujudkan. Tidak rela jika lingkungan keluarga
besar dan lingkungan sekitar terjauhkan dari ketaatan dan hidayah. Tidak
puas sebelum kaum lemah dan semua yang termarjinalkan mendapatkan
kepedulian. Walau tidak selamanya dalam bentuk materi dan keuangan. Tapi
cukup dengan distribusi zakat dari komunitas kompleks sendiri ditambah
infaq dari mereka yang memang serba berkecukupan.
Ukhuwah Kian Erat Ikatannya.
Di
ramadhan seperti ini, nuansa kebersamaan begitu nyata. Di masjid ketika
jama'ah dan tarawehan bersama. Juga ketika ngumpul di sore hari demi
untuk berbuka dengan sesama rekan kerja atau dengan keluarga di rumah
sendiri. Bahkan, di setiap masjid-masjid, tak jarang adanya memobilisasi
buka puasa rutin bersama dengan kolak, kurma dan penganan khas
Indonesia. Ketika musim i'tikaf datang, remaja dan kalangan dewasa
meramaikan masjid-masjid besar di ibukota dan kota-kota besar lainnya.
Beragam kegiatan bersama dilakukan. Ada pembentukan kelompok, tilawah
bersama, sip-sipan mengambil jatah makan sahur atau makan malam dan
bahkan tausiyah atau Taujih rutin setelah duhur dan Azhar selain taklim
dan kajian resmi mesjid pelaksana i'tikaf. Semua itu tentu menciptakan
jejaring ukhuwah dan siklus kerja sama demi masa depan diri dan jama'ah
yang diharapkan jauh lebih baik.
Empati Terhadap Kaum Marjinal Meninggi.
Puasa
adalah praktek secara langsung demi merasakan beratnya lapar dan haus,
selain bentuk ketaatan kepada aturan Allah Ta'ala. Dengan lapar dan
haus, setiap pribadi muslim merasakan betapa perlunya berempati kepada
mereka yang lapar dan hausnya tidak dibatasi oleh waktu subuh hingga
magrib, seperti layaknya muslim yang berkecukupan. Tapi rasa haus dan
lapar itu berlangsung sepanjang tidak adanya makan dan minum yang halal.
Seperti yang dialami oleh mereka yang hidup di gerobak-gerobak kardus
dengan istri serta anak-anaknya. Pemandangan yang tak pernah terlihat di
wilayah pedesaan terpencil sekalipun. Tapi di ibu kota seperti Jakarta
dan kota-kota besar lainnya, hal itu adalah pemandangan lazim harian.
Bahkan, deretan gerobak itu seolah serentak meramaikan trotoar di ibu
kota; terutama saat musim i'tikaf telah tiba. Mereka berderet di tengah
malam dengan penyinaran seadanya dari pendar lampu jalan. Sesekali
tampak adanya orang-orang yang mengulurkan bantuan; ada yang berupa
makanan siap saji, sejumlah uang hingga lembaran pakaian. Itulah yang
memancing mereka memenuhi jalan-jalan besar ibu kota; tingginya empati
muslim perkotaan di ramadhan, terutama musim i'tikaf.
Egaliter Makin Terasa.
Sikap
kebersamaan menjadi sesuatu yang tampak, khususnya saat distribusi
zakat fitrah kepada mereka yang memenuhi standar maksimal. Di pagi hari
ketika takbir iedul Fitri menggema, dipastikan tidak ada yang bersedih;
karena kebutuhan pokok berupa makan untuk beberapa hari dan pakaian baru
sudah terjamin. Anak yatim-piatu bahkan terkadang mendapatkan voucher
belanja yang disponsori oleh lembaga zakat dari para Muhsinin dan
donatur tetap masing-masing yayasan. Dengan itu semua, egoisme yang
biasanya menjangkiti kaum kaya seolah luntur oleh kepedulian dan empati.
Kesombongan menjadi masa lalu yang telah ditangisi karena taubat telah
dimengerti. Bahwa nilai kemuliaan tak selalu pada pangkat dan materi,
tapi utamanya pada takwa yang sudah mulai dipelajari.
Saat Kaum Papa Merasa Tak Sendiri Lagi.
Ramadhan
akhirnya betul-betul menghubungkan tali kasih dan kepedulian terhadap
sesama manusia atas nama Allah Ta'ala. Keadilan sosial dengan penuh
ketulusan diwujudkan melalui ibadah ritual bernama puasa dan zakat
fitrah disertai infaq dengan beragam bentuknya. Sehingga setiap hara
raya berarti hari bahagia untuk semua komponen ummat Islam. Semoga semua
itu merupakan perkembangan yang menggambarkan bahwa ramadhan tidak lagi
sekedar ritual tahunan; namun juga rasa syukur dan ketakwaan yang
dirasakan pula manfaatnya oleh mereka yang termarjinalkan. Aamiin.
Stasiun Manggarai, 30 April 2019.
Ikuti update status nasehat dari kami via :
1. FB : Idrus Abidin
2. Blog :http://idrusabidin.blogspot. com/?m=1
3. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
0 komentar:
إرسال تعليق