By. Idrus Abidin.
Puasa
adalah paket ibadah langit (samawi) yang telah ada sejak zaman dahulu.
Persis seperti shalat, zakat, qurban, haji dll. (QS al-Maidah : 48 dan
Al-Baqarah : 183). Fungsinya secara vertikal menguatkan sensitivitas
ketakwaan dan rasa syukur atas karunia dan nikmat ilahi. Secara sosial
kemasyarakatan, puasa berperan sebagai daya rekat yang menghubungkan
tali kekeluargaan antara muslim dengan keluarganya secara nasab dan
mengokohkan ikatan keislamannya dengan sesama muslim dalam ikatan
ukhuwah dan persaudaraan. Karena demikian adanya, puasa memiliki latar
belakang sejarah dalam lintas peradaban agama samawi. Yahudi dan Nasrani
adalah kalangan ahli kitab yang tentunya akrab dengan tradisi ini,
seandainya mereka tidak menyimpang dari jalur shiratal Mustaqim.
Berdasarkan sejarahnya, puasa melalui 4 tahapan sebelum kita mengenal
tradisi puasa sebagai mana yang kita praktekkan hari ini.
1. Puasa hari-hari putih (ayyamul bidh) dan 10 Muharram (Asyuraa').
Sejak
Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau beserta kalangan sahabat
membiasakan diri puasa 3 hari berturut-turut setiap bulan hijriah; hari
ke-13, 14 dan 15. Rutinitas ini diiringi dengan puasa Asyuraa' yang
telah menjadi budaya dalam internal kaum Yahudi di kota Madinah di
sekitar wilayah Khaibar. Puasa yang mereka lakukan sebagai wujud rasa
syukur terhadap bebasnya nabiyullah Musa beserta kaum muslimin di
zamannya dari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya. Puasa hari-hari putih
sendiri, berdasarkan informasi valid yang dituturkan Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, sudah ada sejak nabiyullah Nuh alaihissalam.
2. Puasa Secara Opsional.
Memasuki
tahun ke-2 hijriah di Madinah, beberapa bulan setelah pengalihan arah
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah di kota Makkah, perintah puasa;
tepatnya di bulan sya'ban turun agar kaum muslimin memulai tradisi baru
di bulan Ramadhan. Maka dengan suka rela mereka berpuasa pada tahun
tersebut sesuai puasa kalangan ahli kitab; jika magrib tiba, mereka
berbuka dengan riang gembira. Namun, jika mereka tidur atau ketiduran,
baik sebelum atau setelah waktu isya maka mereka terhitung mulai imsak
(puasa) hingga magrib berikutnya. Namun, model puasa seperti ini masih
bersifat opsional. Karena siapa pun yang merasa tidak sanggup, boleh
membatalkan puasanya dengan melakukan fidyah sebagai ganti puasa. Maka
tidak heran, ketika perang Badar terjadi; ketika itu bertepatan dengan
tahun ke-2 hijriah saat awal puasa ramadhan diperintahkan, ada sebagian
sahabat yang fidyah puasa dan ada juga tetap puasa. Sekalipun fidyah
dijadikan solusi opsional, tetap saja Allah mengutamakan puasa dibanding
fidyah ini (QS Al-Baqarah : 184). Terutama kalangan muda yang masih
segar dan jiwa masih kokoh. Tapi apa pun alasannya, tahapan ini
memberikan penegasan betapa Allah memberlakukan setiap aturan syariat
baru melalui serangkaian tahapan agar memudahkan hambaNya (at-tadarruj
fit tasyri').
3. Puasa Secara Mutlak Tanpa Sahur.
Setelah
jama'ah kaum muslimin baru tersebut melaksanakan tradisi puasa di bulan
mulia, sejumlah masalah terjadi. Ada yang kadang masih makan dan minum
padahal sudah tidur. Ada juga yang masih berhubungan intim dengan
pasangan sahnya setelah tidur di malam hari. Umar bin Khattab
radhiyallahu anhu termasuk yang melanggar larangan bermesraan dengan
pasangan di malam hari ramadhan setelah salah satu dari suami istri
tertidur. Maka, di pagi hari, Umar langsung menemui Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melaporkan kesalahannya dengan penuh
penyesalan sekaligus menanyakan solusinya. Namun, ketika itu langit
belum memberikan solusi dan jawaban tertentu.
Salah
seorang muslim bersuku Anshar bernama Shirmah al-Anshari pulang dari
kebunnya. Di rumah, ia menunggu waktu berbuka dan istrinya sedang
mencari makanan untuk berbuka. Ternyata, karena kecapekan sehari
bekerja, ia tertidur hingga lewat waktu Magrib. Saat istrinya datang,
makanan tidak bisa lagi dinikmati. Maka, ia melanjutkan puasa hingga
hari berikutnya. Tampak kepayahan menyeruak di wajahnya karena puasa 2
hari berturut-turut tanpa makan dan minum (seperti puasa wishal).
Dengan beragam kejadian ini, dengan Rahmat dan kasih sayangNya, Allah
memberikan keringanan (rukhsah). Kaum muslimin diizinkan makan minum dan
juga berhubungan suami istri di malam hari hingga waktu azan subuh
berkumandang. Bahkan, sahur pun dianjurkan dengan janji berkah bagi yang
melakukannya demi kemudahan puasa. Keringanan ini bisa dibaca di surat
Al-Baqarah ayat 187. Bahkan, Allah menyebutkan bahwa mereka yang
mengkhianati diri sendiri dengan makan dan minum serta berhubungan suami
istri padahal sudah tidur di malam hari ; diketahui oleh Allah. Namun,
Allah mengampuni (tawwab) mereka sekalipun hanya dengan penyesalan hati
dan mencari solusi seperti Umar. Juga Allah memaafkan mereka ('afaa
anhum) tanpa syarat, tapi murni karena kelembutan dan kebijakan Allah
Ta'ala.
4. Puasa Sesuai Yang Berlaku Sekarang.
Dengan
adanya keringanan ini, hanya kaum muslimin yang memiliki tradisi sahur
dan tidak berpuasa di malam hari. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani, tidak mendapatkan karunia dan keberkahan sahur sebagai mana
yang dinikmati kaum muslimin sejak era Rasulullah hingga akhir zaman.
Itulah salah satu makna dari kemudahan dan kekhususan ajaran Islam
dibanding agama serumpun ; Yahudi dan Nasrani. Selain kemudahan puasa,
muslim juga mendapatkan perlakuan khusus seperti dihalalkannya shalat di
seluruh penjuru bumi (bukan hanya di tempat ibadah saja seperti ahli
kitab), dibolehkannya tayammum sebagai pengganti wudhu dalam kondisi
tertentu, dihalalkannya harta rampasan perang (ganimah) dll. Semoga
kemudahan ini juga bagian dari kemudahan kita terhindar dari neraka dan
kemudahan masuk surgaNya. Aamiin.
Stasiun Citayam, 5 Mei 2019.
Ikuti update status nasehat dari kami via :
1. FB : Idrus Abidin
2. Blog :http://idrusabidin.blogspot. com/?m=1
3. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
0 komentar:
إرسال تعليق