By. Idrus Abidin.
Setiap
sift perjalanan umrah memiliki kesan berbeda dan keunikan tersendiri.
Umumnya mesjid menjadi tempat favorit. Didatangi sebelum azan
berkumandang dan diprioritaskan sebelum waktu shalat tiba. Tilawah
diseriusi sambil i'tikaf. Hati terkondisi untuk siap menerima indahnya
lantunan tilawah imam-imam pilihan dengan hentakan mereka yang tergolong
ber"suara emas". Terkadang hati mudah khusyuk dengan lelehan air mata.
Teringat kelemahan diri dengan keindahan surga yang ngangenin. Khawatir
sendiri jika diri ini belum standar untuk terdaftar sebagai calon
penghuninya. Sementara gambaran kengerian neraka membuat hati
"ngeri-ngeri tak sedap" (isyfaq).
Ketika
hati diserahkan ke pemiliknya, kerinduan pun menjadi realita. Khusyuk
pun dimengerti, walaupun bisa jadi, yang memahaminya adalah fitrah yang
sedang suci; bukan semata karena ngerti bahasa Al-Qur'an yang sedang
terlantun. Itulah bahasa universal iman; fitrah suci. Kenyataan yang
kadang kita saksikan sendiri, ketika anak-anak dari beragam negara dan
bangsa berkumpul dalam ceriahnya permainan. Perbedaan bahasa bukan lagi
kendala. Karena bagi anak-anak seumuran mereka, bermain adalah tuntutan
jiwa yang tak mengenal rintangan apa pun. Suatu saat, salah seorang
jamaah bertanya serius, "Kenapa sih Ust., di Haramain ini mudah banget
kita tersentuh khusyuk dan mengeluarkan air mata?," "Karena kita
menyiapkan dan menyerahkan hati kita kepada Allah secara total. Urusan
duniawi dan mal-mal serta pasar tidak kita nomorsatukan. Polusi dunialah
yang menghambat hati kita hingga jarang merasakan nikmatnya khusyuk
dalam shalat ketika kita di negeri sendiri. Masjid baru didatangi
setelah muazzin selesai dari kumandang azan," jawabku. "Padahal, sesuatu
itu menyerahkan diri secara utuh kepada kita, jika kita sendiri lebih
dulu menyerahkan jiwa kita kepadanya sepenuh hati," tambahku.
City Tour.
Setelah
fokus ibadah dan tilawah, sisi hiburan dan rehat sambil Napak tilas ke
beberapa situs bersejarah, tetap masuk list dan paket umrah. Kami awali
dengan museum dua kota suci (muthaf al-Haramain). Di sini, benda-benda
pusaka yang pernah terpasang di Makkah atau Madinah dipajang lintas
zaman. Dari sejak Rasul, khilafah Rasyidah, umawiyah hingga era terkini.
Status tentang beberapa benda-benda bersejarah di sini sdh saya rilis
akhir 2018 kemaren. Setelah itu, kami sambangi Hudaibiyah yang berjarak
sekitar 20 km dari Haram. Tempat di mana Rasulullah dan kalangan sahabat
dulu pernah dicegat ketika hendak masuk wilayah Makkah untuk haji
sambil mudik ke kampung halaman. Padahal, sudah berlalu kurang lebih 6
tahun beliau di Madinah, diserang kerinduan yang tak terkira. Mimpi
melihat diri dan sahabatnya memasuki kota Makkah dengan aman; menjadi
pencetus awal perjalanan haji Rasulullah ketika itu. Sekalipun, mudik
sekaligus haji tersebut berakhir dengan penandatanganan nota kesepahaman
yang dikenal dengan istilah Sulhul Hudaibiyah (Perjanjian Damai
Hudaibiyah). Bahwa tahun depan baru mereka diberi legalitas untuk
berhaji. Karena tahun 6 hijriah setelah perang khandaq itu, kaum
musyrikin Makkah belum siap menerima mereka dan masih merasa terhina
karena kecewa tidak mampu menerobos pertahanan parit selama perang
khandaq. Sekalipun kedatangan Rasulullah dan sahabat ketika itu, tanpa
senjata dan hanya disertai dengan hewan-hewan yang siap diqurbankan. Di
sini pula terjadi janji setia (Baiat Ridwan) dan pernyataan siap mati
membela Rasulullah untuk kedua kalinya. Karena mereka mendengar, Utsman
radhiyallahu anhu yang dikirim sebagai juru bicara, katanya teraniaya
oleh pihak sebelah. Itulah sejarahnya. Kami pun ambil miqat di sini
untuk umrah kedua.
Di
hari berikutnya, Jabal Tsur sebagai tempat transit dan persembunyian
Nabi dan Abu Bakar sebelum mengambil jalur pantai menuju ke kota impian
(Madinah) ; juga dikunjungi. Terasa betapa Rasulullah dan Abu Bakar
harus berjuang keras menapaki gunung terjal agar bisa mengecoh
konco-konco Iblis Makkah yang lagi haus darah itu. Terbayang pula peran
laba-laba yang menutupi akses ke gua dengan sarangnya. Seolah menutupi
ketidakmungkinan adanya manusia yang bersembunyi di balik gua tersebut.
Bahkan Asma', sang putri Abu Bakar yang bolak balik dari Makkah dan gua
itu agar suplai makanan tetap terjamin, terkenang perjuangan dan
kesabarannya. Ketika keluar tengah malam atau sebelum subuh,
domba-domba pun ikut diarahkan agar bekas kaki sang putri tidak
terdeteksi mengarah ke gua Tsur karena kabur oleh injakan kaki gembala.
Sebuah strategi sempurna dan perencanaan matang yang menunjukkan
kecerdasan dan tawakkal sang nabi.
Padang
Arafah pun tak luput dari kunjungan pada city tour kali ini. Es krimnya
cukup menggoda, apalagi terik matahari sangat berasa. Padahal, jam baru
menunjukkan 09.00 pagi. Peziarah begitu mengalir memutihkan jalur-jalur
dan akses menuju puncak bukit Arafah. Setelah itu, ngambil miqat di
Ji'ranah bagi jamaah yang mau umrah ketiga; baik sebagai badal atau pun
untuk sendiri, juga difasilitasi. Di sini, penjual kaki lima khas Saudi
berderet dengan dagangan masing-masing. Jalur haji di Muzdalifah dengan
deretan tenda-tenda putih yang tertata rapi juga ikut dilalui hingga
tampak kemegahan jamarat yang bertingkat itu berada di sisi kiri bus
kami. Di depan pun, terowongan sebagai akses kembali ke haram sudah
menunggu antrian bis yang kami tumpangi. Sebelum tiba di Haram, Jabal
Nur, tempat Rasulullah berkhalwat dan menyendiri sebelum turunya wahyu
pertama; juga sempat kami pandang jauh-jauh. Butuh 30 menit bagi umur
setengah baya seperti kami agar bisa tiba di pintu gua. Itu kata seorang
teman muthawwif yang mukim di Madinah sebagai mahasiswa tingkat akhir
di S1 UIM (Universitas Islam Madinah). Kata beliau, di atas itu kawanan
monyet sebesar anak 6 tahun menjemput kita; karena berharap dapat
lemparan makanan, tanpa rasa takut. Bahkan, ransum makanan bawaan bisa
mereka rampas, jika kita terlena. Inilah akhir dari city tour sekitar
Haram hari ini. Karena, jama'ah yang berumrah, harus menyelesaikan
proses thawaf dan sa'i mereka dengan tahallul.
Sudut-sudut Keindahan Tata Kota.
Haram
berada pada posisi dataran rendah. Di sekitarnya, terutama wilayah
jalan Ibrahim Khalil, terdapat kawasan disebut Misfalah (turunan atau
dataran rendah). Zam-zam tower dengan jam mewahnya terlihat hanya
setengah badan, jika kita baru meluncur dari luar kota. Jalan-jalan by
pas berseliweran dan terkoneksi langsung dengan sejumlah terowongan.
Bahkan nafaq dlm bahasa Arab dan tunnel dalam bahasa Inggris ini
termasuk ciri Haram yang unik. Tidak ada terowongan pendek seperti di
Jakarta. Umumnya berkisar 1 hingga 2 dan 3 km. Deretan hotel-hotel
berbintang mengelilingi dinding dan sekitaran Haram. Termasuk hotel Elaf
Mashair, tempat kami transit dan hotel Pullman di zam-zam tower, tempat
sebagian jamaah kami menginap. Sekitar 1-2 KM setelah kita meninggalkan
haram, bangunan-bangunan mewah bernuansa minimalis dengan ornamen khas
Arab tersebar begitu padat. Tertata begitu rapi walau tampak sepi dan
kering. Memang begitulah negeri ini. Mereka tidak senang banyak
berkeliaran. Karena prinsip keagamaan yang mereka anut menuntut
demikian. Terutama para kaum hawa yang umumnya bercadar dalam balutan
pakaian hitam. Selain itu, cuaca panas yang ekstrim memang seolah
memaksa mereka lebih banyak berada di dalam ruangan, ditemani AC khusus
khas Arab Saudi.
Hijau Mulai Merekah.
Dulu,
kawasan ini terkenal dengan hamparan Padang pasir di tengah kepungan
gunung cadas bebatuan. Itu sesuai pengakuan nabiyullah Ibrahim sendiri
saat pertama kali menitip Hajar dan Ismail kecil di tempat suci ini.
Namun, era kekuasaan keluarga Saud belakangn ini menghiasi sudut-sudut
kota dan pinggir-pinggir setiap jalan dengan pepohonan hijau. Tak jarang
taman-taman tampak indah dengan hijaunya rerumputan khas jepang. Belum
lagi, wilayah Arafah tampak mulai seperti calon hutan, dijejali dengan
pohon Sukarno di setiap ruas-ruasnya. Dari puncak bukit Arafah, hamparan
pepohonan hijau seolah menghapus citra Saudi sebagai padang sahara. Itu
sekarang. Akhir tahun kemaren, saat banjir dan hujan sempat mengguyur
kota ini. Sepanjang perjalanan Makkah Madinah dan akses ke Jedah
ditumbuhi rerumputan hijau menyegarkan pandangan mata. Sekalipun
kehijauan itu tetap menyisakan harap-harap cemas di kedalaman jiwa ini,
karena kiamat, kata Rasulullah tidak akan terjadi kecuali negeri ini
menghijau kembali. Baik karena rekayasa tekhnologi maupun perubahan
cuaca akibat rotasi matahari yang kian meyakinkan. Bahwa suatu hari
nanti, matahari benar-benar akan terbit dari ufuk barat. Juga di malam
hari sinar terang lampu-lampu jalan begitu dominan membuat kota ini
seolah sedang bersolek. Belum lagi miniatur bulan dan bintang disertai
goresan tulisan Arab mungil yang berbunyi Iedun said (hari raya
berlimpah bahagia) dengan gemerlap cahaya hijau putih; seolah ikut
melengkapi indahnya pesona kota Makkah. Karena memang, bulan ramadhan
baru saja berpisah dan berpamitan dari kota ini.
Kuliner Tak Kalah Beragamnya.
Semangat
hidup juga tak pernah lepas dari nikmatnya kuliner. Sepanjang pinggiran
kanan zam-zam tower, saat keluar dari Haram, berderet warung makan
dengan penganan khas timur tengah dan India. Demikian pula di setiap
jalan dan akses lain menuju masjid. Bahkan, menu Al Baik yang serupa
dengan ayam kentaky di Indonesia, iklannya terpampang di mana-mana. Awal
kami tiba, di bus-bus jama'ah kami, al-baik dibagikan sebagai menu
pembuka. Ayamnya yang besar tidak mungkin habis sekali makan, apalagi
jika kita hanya sendirian. Inilah makanan khas yang banyak dirindukan
para mantan jama'ah haji dan umrah. Ada pula Brost yang mirip dengan Al
baik. Nasi mandi dan briani begitu melimpah. Terkadang dinikmati sebagai
hadiah dari orang kaya dan pengusaha Arab Saudi, terutama ketika musim
haji. Juz-juz minuman juga beragam, termasuk roti-roti Arab yang disebut
Isy di Mesir. Buah-buahan apalagi. Jeruk sangkis dan apel, bahkan
pisang dan pir khas Arab; juga tersedia di mana-mana. Menu makanan
internasional, terutama di hotel bintang lima seperti Pullman disertai
makan pembuka yang beragam tertata rapi sedemikian rupa. Terkadang
seolah masih tampilan foto, padahal nyata adanya. Begitu rapinya deretan
kursi putih bersama sendok dan garpu serta serbek putih yang berjejer
itu. Sekalipun saya yang bercita rasa lokal ini terkadang sulit
merasakan nikmatnya makanan mewah demikian. Tidak seperti makanan yang
tersaji di hotel kami di Elaf Mashair, full Indonesian taste karena
diolah langsung oleh orang kita yang umumnya dari Madura. Bakso, kikil,
ayam opor, dendeng tipis yang serba kres dll termasuk menu favorit sayya
tak iye. Hehehe... Bahkan, agar sensasi briyani, mandi dan kebuli
terasa lebih nikmat, tak jauh dari wilayah Aziziyah, kami sempatkan
berkuliner ria bersama 4 tour leader dan muthawwif. Yaah....kali ini
jumlah jamaah mencapai 85 orang. Jadi kami harus kawal lebih ketat. Agar
kepuasan mereka tidak sekedar fatamorgana. Salah satunya dengan
menikmati menu Arab-India ini sesekali di sebuah resto bernama Raidan.
Betul, sedikit ada perbedaan tekstur dengan resto serupa di Jakarta
seperti Abu Nawas Dan al-Jazirah. Namun, semuanya tetap unik dengan ciri
khasnya masing-masing. Itu kesan dan sedikit pengalaman saya di negeri
para nabi ini. Bagaimana dengan anda?
Haram Makki, Rabu 13 Juni 2019.
0 komentar:
إرسال تعليق