By. Idrus Abidin.
Hidup
ini adalah episode ke-2 dalam perjalanan kita menuju keabadian
(Rihlatul Khulud). Fokus masa depan dengan penuh konsistensi adalah ciri
mukmin sejati. Masa lalu yang menyedihkan itu telah dibasuh dengan air
mata penyesalan. Karena dosa bukan lagi status terkini para pecinta
Allah. Taat adalah kendaraan resmi yang terus memuncak gasnya, seiring
ilmu dan keimanan yang terus menyala. Itulah bahan bakar dalam
perjalanan ini. Stagnan atau diam di tempat tanpa progres dunia dan
akhirat adalah kerugian terkini yang perlu disesali; dengan segera.
Karena itu berarti, indahnya masa depan akhirat mulai kabur oleh polusi
kelalaian. Hati merasa cukup dengan dunia, popularitas, materi dan kursi
empuk kuasa. Malas untuk ibadah tak lagi terhindarkan. Dunia kembali
berkilau di hati. Naudzubillah. Gaji di tempat kerja menjadi
satu-satunya kenikmatan. Sementara ibadah hanya beban yang menyesakkan
jiwa. Bagi mereka yang telah merasakan nikmatnya khusyuk dalam ibadah,
tilawah dan amal sosial serta pesona dakwah; kondisi ini layaknya musim
kering yang mengancam jiwa. Harapan akan datangnya musim semi dengan
rintik hujan keimanan dan guyuran semangat takwa; dinanti dan diusahakan
dengan langkah pasti. Tidak betah rasanya mereka berlama-lama dalam
ketidakpastian dan kekeringan fitrah suci. Walaupun, mereka mengerti
fluktuasi iman adalah tabiat kehidupan. Tak mungkin mereka
menghindarinya selama roda kehidupan masih terus berputar.
Optimisme, Mutlak dalam Kehidupan Dunia Akhirat (Harapan).
Optimisme
adalah tuas kehidupan yang tak boleh sepi dari bahan bakar motivasi.
Bisa jadi harapan duniawi, tapi seharusnya tak luput dari dominasi
nikmat masa depan ukhrawi. Mata boleh saja terkagum oleh indahnya pesona
dan godaan duniawi. Tapi hati tidak boleh rabun akhirat, sehingga jiwa
tak mengangkasa menuju Arasy Allah. Selama optimisme ini menyalakan
mesin kehidupan, sejauh itu pula iman tetap memandang indah senyuman
ghaib akhirat. Betapa indahnya pesan takwa. Bahwa jika engkau rindu
bersamaku menuju indahnya keabadian, jadikanlah Allah visi utamamu.
Ibadah akan terus menyertai hidupmu dengan asupan energi iman sehingga
sang takwa menjadi statusmu secara resmi. Di akhiratlah Allah memberikan
keadilanNya. Tak mungkin pelaku dosa disamakan dengan pecinta takwa. Di
sana, minimal 10x lipat emas sepenuh langit dan bumi menjadi hakmu.
Potensi nikmat itu hingga 700 x lipat emas sepenuh bumi dan langit.
Bahkan untuk para nabi, tak lagi terbatasi oleh kelipatan angka-angka
duniawi. Itulah nilai iman dan takwamu di masa depan. Dunia ini totalnya
hanya senilai air laut yang menempel pada benang yang kau rendam.
Sediiiiikit sekali; maka jangan pernah terperdaya oleh kinclongnya
pesona dunia. Cukuplah dunia ini sebagai tempat mewujudkan misi sebagai
ahli ibadah, misi sebagai penegak keadilan dan marketing Ihsan kepada
seluruh makhluk. Juga tak lupa mengeksplorasi alam ini dengan penelitian
dan penemuan, sehingga alam tunduk dan siap menjadi alat yang
memudahkan kita dalam mewujudkan visi dan misi ini.
Rasa Takut dan Khawatir, Penyeimbang dari Terperdaya (Gurur) dan Sikap Kepedean ('Ujub).
Sekalipun
umumnya iman, ibadah dan takwa telah terwujud lewat karunia hati,
baiknya tutur kata yang memuji dan memahasucikan Allah, serta fisik yang
tetap istiqamah di jalanNya. Namun jangan pernah terpedaya; merasa
seolah surga sudah pasti engkau huni. Kapling surga seolah telah kamu
ukur dengan ibadah dan takwamu. Kamu menjadi over Kepedean (ujub)
sehingga tidak terkendali; tampil sebagai perwakilan Allah untuk
manusia. Merasa seperti pendeta kaum Nasrani; berhak memberi stempel
surat taubat dan pengampunan Allah kepada manusia. Bahkan, mengklaim
nabi Isa alaihissalam meninggal sebagai tumbal dan tameng pengaman untuk
mereka semua dari amukan azab dunia, kobaran siksa kubur dan jilatan
api neraka. Mereka lalu tak pernah merasa takut akan dosa. Padahal
mereka diliputi oleh maksiat dan pelanggaran. Mereka merasa yakin dan
percaya dengan full optimisme bahwa surga tinggal menunggu waktu.
Bahkan, dalam doktrin Yahudi, jika pun mereka masuk neraka, paling 40
hari; sejumlah hari penyembahan nenek moyang mereka terhadap sapi
betina; saat nabi Musa menerima taurat di gunung Tursina, Mesir.
Padahal, keterpedayaan dan over kepedean itu tipuan Iblis yang
meninabobokan mereka dalam kelalaian, dosa dan maksiat. Mereka akhirnya
tidak kenal taubat, tidak mengerti kenapa harus minta ampunan dengan
lisan kepada Tuhan. Apalagi tersadar tentang makna berbenah diri terus
menerus agar taat dalam keseimbangan; antara rasa penuh harap dan
pentingnya rasa takut. Padahal, tidak ada yang merasa aman dari azab
Allah kecuali orang yang penuh kerugian. Sungguh tepat pengarahan Allah
dalam firmaNya,
أَفَأَمِنَ
أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ
(97) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ
يَلْعَبُونَ (98) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ
اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Apakah
penduduk kota dan semua warga bumi merasa aman dari serangan azabKu
saat tengah malam; ketika mereka terlelap dalam tidur nyenyak?! Ataukah
mereka merasa aman dari ancaman siksaanKu, ketika mereka sedang lalai
dalam hiburan di pagi hari?! Apakah mereka terus merasa aman dari
siksaan Allah?! Sungguh, tidak ada yang merasa aman dari azab Allah
kecuali orang-orang yang rugi (QS al-A'raf : 97-99)
Di
sinilah tersimpan sebuah rahasia, kenapa seorang muslim ketika takut
kepada Allah justru tidak menjauh dariNya. Tapi malah mendekat kepada
rahmatNya dengan taubat dan istighfar serta perbaikan diri terus
menerus. Makin tinggi takwa makin mawas diri manusia dari keterpedayaan
(gurur) dan kepercayaan diri berlebihan ('ujub). Belum lagi jika manusia
sadar bahwa tidak ada tempat dan zaman di mana manusia bisa bersembunyi
dan menjauh dari Allah. Semua kolong langit dan satuan waktu di bumi
ini, berada di bawah kendali Allah. Jika di sini kita tidak bertaubat,
di akhirat nanti pasti pengadilan dan keadilan Allah berlaku secara
mutlak. Itulah kenapa, dalam banyak ayat, Allah senantiasa mengingatkan,
"KepadaKulah kalian pasti kembali". "KepadaNyalah kalian akan
dikembalikan". Termasuk ancaman Allah akan adanya hari akhirat,
"Takutlah suatu hari ketika kalian dikembalikan kepada Allah. Lalu semua
perbuatan kalian dibalas seadil-adilnya dan kalian tak mungkin
terzhalimi sedikit pun."
Salah
satu sisi yang membuat khawatir seorang mukmin terus menerus adalah
iman dan amalnya yang belum tentu diterima baik oleh Allah. Demikian
pula dosa-dosanya, mereka belum mendapatkan kepastian, apa Allah telah
mengampuni atau belum. Semua itu dengan secercah hikmah, bahwa rasa
penuh harap akan terus memacu perjalanan muslim dengan gas iman, takwa
dan amal shaleh. Sementara, rasa takut menahan mereka dari ujub dan
gurur. Itulah perpaduan ragaban wa rahabaa. Atau khaufan wa thama'aa
dalam banyak ayat Al-Qur'an.
Semuanya Harus Karena Cinta PadaNya.
Baik
harapan maupun rasa takut harus didasari cinta kepada Allah. Jika
tidak, orang Munafik hanya menikmati rasa takut kepada orang muslim
saja. Takut pada Allah tidak mereka hiraukan. Yang ditakutkan pun hanya
sebatas terbongkarnya keaslian dan identitas kemunafikan mereka. Maka
tak heran, mereka sangat malas shalat. Tidak banyak menyebut nama Allah.
Padahal ciri pecinta sejati, yang dicintainya selalu menjadi buah
bibir. Kerjaan mereka hanya pencitraan (riya') agar kemunafikan itu
tertutup rapat. (QS an-Nisaa: 142). Tujuannya supaya mereka masih bisa
mendapatkan keuntungan duniawi di balik topeng dan citra dirinya sebagai
muslim. Akhirnya, shalat mereka di sisi Ka'bah dianggap oleh Allah
sebagai siulan dan tepuk tangan semata (QS al-Anfal : 35).
Sedang
harapan yang bukan karena Allah hanya bersifat materi dan duniawi
sekali. Sesuatu yang membuat manusia menjadi kafir dan tidak bisa
mengerti rahmat Allah. Ataupun dimengerti, namun manusia terlalu
mengharap rahmat dan ampunanNya tanpa mengikuti aturan dan syariat resmi
yang telah diatur sedemikian rupa oleh Allah sendiri. Di sinilah batas
kecerdasan dan kebodohan berlaku. Bagi yang cerdas, ia senantiasa
mengukur kesesuaian dirinya dengan Islam lalu bersungguh-sungguh
berkarya untuk kepentingan akhirat. Sementara orang bodoh, terbawa oleh
hawa nafsu (maksiat). Namun, berharap besar mendapatkan ampunan dan
kasih sayangNya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegaskan :
الكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ، وَالعَاجِزُ مَنْ
أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
”Orang
cerdas adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta
beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang lemah (bodoh)
adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi berharap ampunan Allah Ta’ala
(tanpa berusaha taat)“. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).
Semoga kita tetap terus mengejar Rahmat Allah, berlindung dari azabNya dengan cinta maksimal kepadaNya. Aamiin.
Bandara Jeddah, 14 Juni 2019.
0 komentar:
إرسال تعليق