Oleh : Dr. ‘Utsman ‘Ali Hasan MA.
Sumber : Manhaj al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad ‘inda Ahli Sunnah.
Alih Bahasa : Idrus Abidin, Lc., MA.
4 LATAR BELAKANG
PENOLAKAN KAUM MUSLIMIN TERHADAP LOGIKA ARISTOTELES.
Beberapa kalangan berasumsi bahwa kaum
muslimin menolak logika Aristoteles dengan pertimbangan bahwa kajian ini
merupakan hasil intelektual kalangan orang-orang kafir. Asumsi seperti ini
tentu bermasalah karena konsekwensinya adalah bahwa kaum muslimin dipastikan
akan menolak semua ilmu-ilmu yang berasal dari luar, seperti ilmu kedokteran,
matematika dan ilmu arsitektur, sekali pun ilmu tersebut benar dari sisi
kandungan dan sistematikanya. Kaum muslimin menolak filsafat dan logika
aristoteles murni karena pertimbangan keagamaan (teologis) dan pertimbangan
rasional. Beberapa sisi penolakan tersebut akan kami paparakan berikut :
Satu : Pertimbangan keagamaan
(teologis).
1. Bahwa kalangan kaum muslim pertama dari golongan sahabat,
tabi’in dan kalangan setelahnya tidak sama sekali terlibat dalam wacana ilmu
logika filsafat. Baik karena pertimbangan bahwa logika filsafat belumlah masuk
ke wilayah mereka pada zamannya atau pun ketika itu telah ada, tetapi mereka
enggan untuk melibatkan diri.[1]
Padahal secara prinsip, syari’ah Islam tidaklah terkait dan tidak pula
tergantung pada ilmu eksternal dalam rangka untuk memahami dan mengaksesnya.[2]
Hal demikian jika ilmu eksternal yang dimaksud tersebut benar. Lalu bagaimana
jika ilmu tersebut bermasalah ataupun mengandung hal-hal yang bermasalah,
apalagi jika kandungannya berupa kekufuran dan penyimpangan (ilhad) ?!.
2. Juga bahwa logika tumbuh berkembang dalam lingkup filosofis.
Yang mana, para penggiatnya adalah orang-orang musyrik dan orang yang
menyimpang. Bahkan kekafiran dan kesyirikan yang dimilik oleh kalangan kaum
pagan Arab masih lebih baik dibanding kekafiran dan kesyrikan para filosof.[3]
Ibnu Taimiyah mengatakan ketika mengomentari filosof, “Kesesatan mereka dalam
lingkup ketuhanan sangat nyata bagi banyak orang. Karenanya, seluruh
intelektual Muslim memandanganya kafir.[4]
Berdasarkan hal inilah, abu al-Qasim al-Suhaili dan lainnya mengatakan, “Kita
berlindung kepada Allah (Nudzubillah) dari analogi (qiyas) filsafat dan
khayalan kaum sufi”.[5]
Jadi, kaum Muslimin tidak memandang logika aristoteles karena ia terinfeksi
oleh ilmu-ilmu filsafat yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan yang
benar dalam Islam.[6]
3. Rasa khawatir jika saja beberapa kaum muslimin terpedaya
dengan logika. Karena beberapa wilayah kajiannya sangat tepat sehingga nantinya
mereka mengira bahwa semua pembahasannya berada pada level yang sama dari sisi
tingkat akurasi dan kebenarannya. Juga rasa khawatir jika mereka meyakini
bahwasanya kajian yang terkait dengan wilayah akidah pun bisa dibuktikan dengan
metode pembuktian ala filsafat dan logika. Ketika mengertisi ilmu logika pada
karya mutakhirnya,[7]
al-Gazali mengatakan, “Bisa jadi orang-orang yang berpandangan positif terhadap
logika mengkajinya dan memandangnya benar. Lalu mengira bahwa
pandangan-pandangan yang bernuansa kekafiran pun juga dapaat diperkuat dengan
cara-cara logika filsafat tersebut. Lalu dengan segera mereka berpihak kepada
nilai-nilai kufur sebelum ia sampai ke tarap pembahasan masalah ketuhanan
(ilahiyyat) yang nyata bermasalah dalam filsafat”. Ibnu Taimiyah telah
mengindikasikan bahaya ini pada awal karyanya “al-Radd ‘Ala al-Mathiqiyyin”[8]
dengan mengatakan, “Saya awalnya mengira bahwa kajiannya –yakni kajian logika
filsafat- benar. Karena saya melihat banyak kajiannya begitu tepat dan logis.
Lalu beberapa waktu kemudian, saya melihat dengan jelas beberapa wilayah
kajiannya begitu bermasalah…Juga tampak jelas bagi saya bahwa apa yang mereka
bahas seputar efistemologi ketuhanan dan seputar logika juga berasal dari
kesalahan pendapat dan pandangn mereka dalam ranah efistemologi ketuhanan”.
4. Ketidakmampuan metode demonstratif yang dimiliki ilmu
filsafat untuk mengantarkan manusia ke
tarap keyakinan yang mendalam. Terutama ketika diterapkan dalam lingkup kajian
ketuhanan. Al-Ghazali mengatakan, “Mereka tampaknya berlaku tidak jujur
(zhalim) dalam kajian ini. Yaitu bahwa mereka menetapkan syarat-syarat untuk
mencapai tarap demonstratif (burhan) yang dipandang dapat mengarahkan kepada
tingkat keyakinan yang utuh. Tetapi, manakala tiba pada wilayah inti keagamaan
(maqashid diniyah), mereka tidak mampu komitmen dengan syarat-syarat yang telah
mereka tetapkan. Bahkan mereka terkesan sangat longgar dan liberal”.[9]
5. Juga pertimbangan bahwa logika Aristoteles telah beperan
dalam terjadinya keretakan, pertentangan dan sikap saling menuduh antara satu
pihak dengan pihak lain sebagai salah dan sesat. Orang-orang yang mengkaji dan
sibuk menelaahnya juga masih dalam suasana demikian. Bahkan dua orang ahli
dalam sebuah masalah saja susah untuk bersepekat, bahkan pada hal-hal yang
mereka anggap sebagai pasti (yaqiniyyah) dan logis (badihiy).[10] Sebelumnya telah disampaikan ucapan orang
yang mengatakan bahwa, kajian ini tidaklah memasuki wilayah sebuah Negara agama
kecuali para intelektualnya akan kacau balau dan saling bertengkar dan berbeda.[11]
6. Juga pertimbangan bahwa ilmu logika meniscayakan
keonsekwensi yang tidak benar. Yang dapat merusak ilmu dan keimanan dan juga
mengantarkan kepada kebodohan dan kesesatan.[12]
Di sini, saya akan menyebutkan beberapa sisi kekurangan tersebut, di antaranya
:
A. Pendapat yang menyatakan bahwa alam ini qadim.
Pertimbangannya adalah bahwasanya tuhan tidak akan mendahului keberadaan alam
ini dari aspek zaman, sekalipun mendahuluinya dari aspek pemikiran, sebagaimana
halnya pengantar (muqaddimah) mendahului hasil putusan dalam aktifitas
berfikir.[13]
Ini adalah pernyataan filosof yang dikritisi oleh al-Gazali dan juga mengkafiran
mereka karenanya dalam kitab “Tahafut al-Falasifah”.[14]
Sisi
kerancuan pandangan ini antara lain adalah konsekwensi logis yang salah berupa
ketercakupan (kesatuan) mahluk dengan Tuhan sejak dari awal, sebagaimana
ketercakupan hasil putusan pada mukaddimah sejak dari awal (pembentukan analogi
dalam metode logika. Penterj.) Dengan demikian, Sang pencipta menjadi mahluk
dan sang mahluk menjadi pencipta, sang perancang menjadi rancangan dan
rancangan menjadi perancang, sebuah alasan (illah) menjadi kasus dan kasus
menjadi alasan…dan konsekwensi kontradiktif lainnya yang tidak terbatas.[15]
B. Penafian terhadap sifat-sifat positif (tsubutiyah) Allah
Swt. Bahkan filososof memberikan predikat (sifat) terhadap Allah dengan
predikat penafian (negatif) atau pun sifat yang berindikasi penafian. Karena
itulah, mereka berpendapat : Suatu hal
tidak akan tercipta darinya kecuali dengan satu hal pula. Karena jika satu
melahirkan dua maka itu akan bertentangan dengan kesatuan. Dengan argumen ini,
filosof menafikan sifat Allah sebagai pelaku yang memiliki kebebasan berbuat.
Mereka menafikan semua sifat dari Allah Swt. demi menghindarkan-Nya dari bentuk
penyerupaan dengan jiwa manusia. Lalu mereka tanpa sadar menyerupakannya dengan
benda mati.[16]
C. Pengingkaran mereka terhadap pengetahuan Allah Swt yang
mencakup segala lingkup kehidupan ini. Inilah pendapat mereka yang paling
terkenal dan juga ditentang oleh al-Gazali dalam tahafut-nya dan pada karya
lainnya.[17]
Allah Swt menurut mereka mengetahui masalah umum tanpa mengetahui bagian-bagian
kecilnya dengan alasan bahwa bagian tersebut senantiasa berubah dan berganti.
Jika saja ilmu Allah terkait dengannya maka Allah juga senantiasa akan berubah
dan senantiasa baharu sesuai dengan perubahan dan pembaharuan hal-hal yang
diketahuinya. Semua itu menegaskan bahwa Dzat Allah akan senantiasa berubah,
pada hal Dia-lah Yang Maha Esa. Pendapat ini merupakan pendapat yang sangat
jelas mendustakan al-Qur’an dan fakta-fakta rasional. Juga pendapat ini membuka
peluang keburukan untuk kehidupan ini, yang mengantarkan seseorang keluar dari
rel syari’at secara global maupun secara penuh. Yang lebih buruk dari sekedar
konsekwensi di atas adalah persangkaan jelek terhadap Tuhan Semesata Alam ini.
5. UPAYA SARJANA
MUSLIM DALAM MENGERITISI LOGIKA (FILSAFAT) ARISTOTELES.
Terdapat
dua kecenderungan untuk mengeritisi logika dan filsafat Aristoteles :
A. Fakta yang dilaporkan dari mayoritas sarjana Muslim dan dari
banyak kelompok tentang penolakan mereka terhadap logika Aristoteles. Dan bahwa
mereka juga mengharamkan upaya untuk menelaah dan mendalaminya. Dalam kelompok
ini, tidak ditemukan seorang pun yang memberikan koreksi menyeluruh terhadap
logika Aristoteles –atau pun bisa jadi ada, namun literatur yang mereka tulis
belum sampai pada jangkauan para peneliti. Kecenderungan seperti ini biasanya
memerankan upaya untuk memperjelas tentang kontradiksi antara logika
Aristoteles dengan riwayat-riwayat yang valid dan shahih dalam Islam.
B. Kecenderungan yang
berupaya memberikan kritikan secara menyeluruh dan komprehensif terhadap alur
logika Aristoteles, juga seputar pembahasan utama dalam lingkup logika ini.
Langkah inilah yang ditempuh oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
pada karyanya, “Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin” dan pada karyanya yang lain “Naqd
al-Manthiq”. Kecenderungan seperti ini biasanya berperan dalam menjeleskan
tentang pertentangan antara logika Aristoteles dengan fakta-fakta rasonalitas
wahyu. Ini adalah kecenderungan umum kelompok ini. Sekalipun juga dalam
argumentasinya, ditemukan pembahasan seputar penjelasan tentang
kesalahan-kesalahan pendapat Aristoteles dan para pendukungnya jika ditinjau
dari sudut pandang keagamaan dan dari aspek rasio.
Untuk
kategori pertama, alasan yang mereka ajukan seputar penolakan mereka terhadap
logika Aristoteles berdasarkan pada beberapa sudut pandang berikut :
1. Bahwasanya, sahabat dan para kalangan tabi’in tidak ada satu
pun yang mewacanakan tentang logika demikian. Al-Suyuthi berusaha memberikan
alasan kenapa hal itu terjadi dengan mengemukakan bahwa mereka pada zamannya
belumlah berhadapan dengan logika Aristoteles. Karena logika Aristoteles dan
semisalanya nanti menyebar pada akhir abad ke-2 hijriah.[18]
Hanya saja, para sahabat dan kalangan tabi’in tidak senang dengan sikap
memaksakan diri (takalluf) dalam masalah agama dan sikap yang tampakanya
berusaha keluar dari jalur al-Qur’an dan Sunnah dalam rangka menjaring hidayah.
Jika saja mereka menelaah logika maka status hukum yang mereka tetapkan sama
dengan status hukum sikap memaksakan diri dalam beragama (takalluf) dan keluar
dari frame al-Qur’an dan Sunnah.
Berdasarkan asumsi ini, al-Suyuthi mengharamakan upaya mempelajari ilmu
filsafat dan logika dengan menganalogikannya dengan keharaman mengikuti metode
kalam dalam masalah teologis dengan mengatakan, “Yang bisa dirilis dan difahami
dari kalangan kelompok yang secara prinsipil (efistemologis) mengharamkan
logika dan filsafat adalah bahwa mereka juga mengharamkan metode ahli kalam
dalam lingkup teologis. Alasan yang dikemukakan dalam hal ini persis dengan
alasan mereka ketika mengharamkan ilmu filsafat dan logika. Karena itulah,
kalangan generasi belakangan dari kelompok ini makin mengaskan sikapnya dalam
mengharamkan filsafat berdasarkan pada efistemologi para pendahulunya”.
2. Riwayat yang begitu banyak beredar dari kalangan para
sarjana besar ahli fiqih yang melarang mengkaji ilmu filsafat dan logika. Juga
sikap mereka yang menganggapnya sebagai bid’ah dan faktor yang melatari
terjadinya perpecahan dan perdebatan. Di antara pendapat yang berkembang secara
luas adalah pernyataan Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya seputar upaya
baru dari kalangan intelektual yang memasukkan pembahasan masalah sifat
(a’radh) dan fisik (ajsam) dalam ilmu kalam. Beliau mengatakan, “Itu adalah
pendapat para filosof. Kalian hendaknya mengikuti sunnah dan metode salaf.
Hindarilah kalian setiap metode baru, karena ia pasti berkategori bid’ah”.[19]
Di antara pendapat sarjana besar kalangan fuqaha adalah apa yang disampaikan
oleh al-Syafi’I rahimahullah, “Kaum muslimin tidaklah bodoh dan tidaklah
berselisih kecuali karena mereka meninggalkan metode bahasa Arab (logika Islam)
dengan condong mengikuti bahasa (logika) Aristoteles”.[20]
3. Laporan yang diterima tentang penolakan
beberapa sarjana linguistik Arab terhadap filsafat dan logika Aristoteles. Di ataranya
adalah Ibnu Qutaibah pada pendahuluan kitabnya “Adab al-Katib”[21]
dan Ibnu al-Atsir dalam kitab “al-Matsal al-Sa’ir”.[22] Juga
disebutkan bahwa Ibnu Sina dan kalangan
intelektual Yunani, seandainya mereka koimten dengan ketentuan-ketentuan ilmu
logika (filsafat) maka mereka tidak akan pernah menghasilakan karya syair dan
karya yang bersajak. Bahkan mereka diangap tidak menghasilkan karya yang
dianggap bermanfaat. Al-Buhturi pernah bersenandung dengan nada ejekan terhadap
ilmu logika dan para penggiatnya :
Kalian
memaksakan ketentuan-ketentuan ilmu logika kepada kami
Padahal
syair, karena benarnya metodenya, kesalahannya dibiarkan begitu saja.
Dan
tidaklah Imru’ul Qais menggunakan metode logika, baik jenis maupun
sebab-sebabnya.
Padahal
syair cukup mudah dipahami dengan isyarat-isyaratnya.
Syair bukanlah
omong kosong yang bertele-tela ungkapannya (layaknya metode logika kalian)
Termasuk linguis Arab yang dikenal kritis terhadap
logika adalah Abu Said al-Sairofi al-Nahwi. Sikap demikian diketahui melalui
perdebatannya dengan Abu Bisyr Matta bin Yunus, sang filosof yang beragama
Kristen. Ia termasuk salah seorang pensyarah karya-karya Aristoteles.
Perdebatan dilaksanakan di Majelis seorang menteri yang bernama Abu al-Fath
al-Fadhl bin Ja’far bin al-Furat. Perdebatan tersebut dihadiri pula oleh
sejumlah ahli, baik dari cendikiawan muslim maupun tokoh intelektual dari
kalangan filosof. Pada perdebatan tersebut Abu Bisyr Matta bin Yunus menolak
penetapan ilmu logika sebagai standar baku
dunia intelektual dan sebagai penentu kebenaran ilmiah. Pengingkaran tersebut
didasari pada argumentasi yang sangat jelas dan bukti-bukti yang sangat nyata.
Sehingga majelis debat tersebut seolah berguncang dan para hadirin terpesona
dengan kepiawaian Abu Said dengan lisannya yang mempesona, mimikya yang santai,
dan uargumen yang begitu tertata rapi dengan kebesaran jiwa dalam berdebat.
Sehingga banyak hati yang mengelu-elukannya dengan sanjungan yang senantiasa
mengalir dari banyak lisan para masyarakat.[23]
Sang menteri, Ibnu al-Furat mengatakan kepadanya, “Sungguh Allah telah
menegaskan hatimu wahai Syekh. Engkau telah mencerahkan hati, membuat mata kami
cerah, wajah kami dihiasi dengan senyuman. Sungguh engkau telah melukis sejarah
baru yag tidak akan lekang oleh zaman dan tidak akan tergusur oleh laju modernitas”.[24]
4.
Hal yang sangat masyhur di kalangan intelektual adalah sikap
penolakan Ahlu Sunnah dan kalangan ahli hadits terhadap bid’ah yang
dikembangkan oleh ahli logika. Bahkan banyak karya ilmiah yang ditulis untuk
hal tersebut. Sekali pun demikian, sejarah juga meng-infut kepada kita beberapa penolakan ahli teologi, terutama ahli
senior, terhadap ilmu logika dan celaan mereka terhadap ilmu dan para
penggemarnya. Mereka juga banyak menulis buku tentang sikap dan ejekan
tersebut, seperti kitab al-Daqa’iq
karya Abu Bakar bin Thayyib al-Baqillani, al-A’raa
wa al-Diyanaat karya Ibnu al-Naubakhti (syi’ah). Bahkan banyak informasi
yang menyebutkan bahwa Abu Ali al-Jubba’I, Abu Hasyim dan Qadhi Abd al-Jabbar
telah menelorkan karya yang mengkritisi logika Aristoteles.[25]
Juga informasi yang meneyebutkan tentang kritik Abu al-Abbas al-Nasyi’
al-Mu’tazili terhadap logika sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Said
al-Sairopi dalam perdebatannya dengan Matta bin Yunus.[26]
Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Para pendahulu dari kalangan
ahli teologi tidaklah rela menceburkan diri ke dalam pembahasan mengenai
pengertian berdasarkan pada metode ahli filsafat, seperti sikap para pelanjut
mereka belakangan yang meyakini metode tersebut sebagai bagian dari metode tahqiq.
Pada hal itu tidak lebih dari penyimpangan dari jalur yang benar”.[27]
Sikap ini
pula yang ditegaskan oleh Dr. ‘Ali Sami al-Nasyyar dengan mengatakan, “Kritik
mendalam banyak ditujukkan oleh teks yang berasal dari kalangan teolog yang
mengungkapkan bahwa al-Baqillani dan imam al-Haraimain serta kebanyakan
kalangan muktazilah yang keluar dari metode logika Aristoteles dalam pembahasan
yang mereka kembangkan”.[28]
Motede logika masuk dalam ranah pembahasan teologi melalui tangan ahli teologi
belakangan seperti Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Gazali, Fakhruddin
al-Razi dll.[29]
Sedang
kategori ke-2, yaitu kritik mendalam terhadap logika Aristoteles, baik dari
aspek dasar-dasarnya maupun kaeda-kaedah utamanya, serta sistematika dan
permasalahannya, dengan metode ilmiah yang sangat teliti. Metode ini dikembangkan
melalui karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dr Abdullatif Muhammad al-‘Abd mengatakan, “Kritik Ibnu Taimiyah ini merupakan
kritikan yang pertama dikenal dalam kehidupan rasional manusia dalam rangka
mengkritis logika Arstoteles. Sebuah kritikan yang hanya berpijak pada logika
murni…..”[30]
Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa kritkan Ibnu Taimiyah bukanlah kritikan semata. Teapi
juga mengandung sejumlah penegasan tentang logika islami sebagai pengganti dari
logika Aristoteles. Sisi inilah yang nantinya dimanfaatkan oleh kalangan ahli
dari Eropa dari metode Islam dalam masalah lingkup ilmu pengetahuan
(efsitemologi ilmu). Lalu mereka sepakat mengistilahkannya dengan metode
tajribi (metode observasi dan analisis lapangan).
Metode
Ibnu Taimiyah dalam Mengeritisi Logika Filsafat :
Ketika logika
dalam filsafat dibangun berdasarkan pada abstraksi dan putusan. Juga bahwa jalur ilmu melalui jalur abstraksi
adalah dengan pengertian, sedang jalur ilmu dengan putusan adalah analogi, maka
Ibnu Taimiyah membangun kritiknnya berdasasarkan pada 4 kategori. 2 kategori
negatif (penafian) dan 2 kategori positif (penegasan).
Untuk
kategori pertama (negatif) :
1.
bahwa abstraksi tidak bisa
dicapai kecuali melalui pengertian.
2.
bahwa putusan tidak bisa
dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
Sedang
kategori ke-2 (positif) adalah :
1. bahwa
pengertian meniscayakan pengetahuan abstraktif
2. bahwa analogi
meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Dua kategori
pertama (negatif) menafikan semua metode ilmu yang dikembangkan oleh selain
ahli logika dan filsafat dalam rangka mencapai pengetahuan abstraktif dan
putusan. Sedang dua kategori lanjutannya (positif) membatasi cara memperoleh pengetahuan
melalui jalur abstraksi dan putusan hanya dengan dua metode ahli logika dan
filsafat, yaitu : pengertian dan analogi (qiyas).
Tetapi Ibnu
Taimiyah mengembangkan kritikannya dalam kitabnya dengan sistematika berikut :
1. kategori
negatif pada sisi pengertian : abstraksi tidak bisa dicapai kecuaali
melalui pengertian.
2. kategori
positif pada sisi pengertian : pengertian meniscayakan pengetahuan
abstraktif.
3. kategori
negatif pada sisi analogi : putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui
analogi (qiyas).
4. kategori
positif pada sisi analogi : analogi meniscayakan pengetahuan berupa
putusan.
Di sini, saya
akan menyebutkan contoh kritikan Ibnu Taimiyah berdasarkan kategori di atas,
dengan berusaha menjelaskan sisi solutif yang merupakan solusi islami yang
sedang dikembangkan Ibnu Taimiyah.
Contoh Kritikan Ibnu Taimiyah Terhadap Logika Aristoteles :
Pertama : Kritikan
terhadap kategori pertama. Yaitu sisi penafian (negatif) pengertian dalam ilmu
logika.
Abstraksi
tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.
Pada kategori ini, Ibnu Taimiyah mengembangkan krtitikannya
dalam 11 poin utama. Di sini, saya akan menyebutkan beberapa poin diantaranya :
1. Tidak bisa diragukan bahwa siapa
pun menafikan sesuatu, maka ia harus mendatangkan bukti, terutama seandainya
penafiannya tersebut bukanlah pada masalah yang nyata. Sama halnya dengan orang
yang menegaskan sesuatu juga harus menunjukkan bukti. Pernyataan yang berbunyi Abstraksi
tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian merupakan penafian yang tidak
nyata. Lalu mana bukti yang mereka tunjukkan ?! Itu merupakan pernyataan tanpa
disertai ilmu yang mendalam. Pernyataan inilah yang mengawali logika ilmiyah
yang mereka bangun. Sedang anggapan mereka bahwa ia merupakan standar ilmu juga
merupakan pernyataan tanpa ilmu.[31]
2. Bahwa semua masyarakat dari
kalangan intelektual dan para penulis, serta para pekerja dan pengusaha
memiliki abstraksi dan persefsi terhadap ilmu dan pekerjaan yang mereka butuhkan tanpa tergantung kepada
pengertian yang dikembangkan oleh para filosof tersebut. Dengan demikian,
diketahuilah bahwa persfektif dan abstraksi tidaklah tergantung terhadap
pengertian yang dimaksud oleh filosof.[32]
3. bahwa pengertian – menurut mereka
adalah pernyataan yang menunjukkan makna benda yang dijelaskan- baik orang yang
memberikan pengertian tersebut telah memiliki persfektif dan abstraksi terhadap
benda yang dijelasksan maupun ia mengetahuinya tanpa melalui mekanisme
pengertian. Jika yang dimaksud adalah orang yang memberikan pengertian dan
telah memiliki persfektif dan abstraksi terhadap benda yang dijelaskannya maka
itu mengandung pengulangan atau terjadi rentetan dalam masalah sebab, pada hal
itu tidak bisa diterima oleh orang-orang
rasional. (Maksudnya, ilmu yang hendak diketahui melalui pengertian malahan
telah diketahui tanpa pengertian. Karena sebelum membentuk pengertian seseorang
harus memiliki persfektif dan abstraksi tentang benda yang akan dijelaskan
lewat pengertian tersebut. Pen). Manakala seseorang telah mengetahui sesuatu
tanpa mekanisme pengertian maka batallah pernyataan dan penegasan mereka yang
berbunyi : Abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.[33]
Kedua : Kritikan
terhadap kategori kedua. Yaitu sisi positif (penegasan) pengertian dalam ilmu
logika.
Pengertian
Meniscayakan Pengetahuan Abstraktif.
Pada kateori ini, Ibu Tamiyah mengajukan 9 point untuk
mengeritisi pernyataan ini. Di sini, sebagian kritikan tersebut akan saya
tampilkan :
1. Bahwa pengertian adalah murni
perkataan orang-orang yang memberikan pengertian dan hanya merupakan pernyataan
pribadi. Manakala ia mengatakan, pengertian manusia adalah hewan yang berpikir,
maka ini adalah informasi dan merupakan pernyataan yang tanpa disertai dengan
bukti. Orang yang mendengarkan, bisa jadi megetahui kebenaran makna pernyataan
tersebut tanpa melalui penertian tersebut dan bisa jadi tidak. Jika ia mengetahuinya
maka berarti ia tidak memanfaatkan pengertian tersebut untuk mengetahuinya.
Jika ia tidak tahu, dengan hanya mendengarkan informasi tanpa adanya bukti maka
itu tidak memberinya pengetahuan yang meyakinkan. Bagaimana ia tahu, padahal ia
sadar bahwa orang tersebut tidak terbebas dari kesalahan dalam pernyataannya.
Karena dengan hanya pernyataan murni tanpa disertai bukti merupakan informasi
yang mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sedang kita sadar
bahwa memilih salah satunya harus dengan bukti, sementara di sini tidak ada
bukti apapun.[34]
2. Jika memang pengertian bermanfaat
dalam mempersefsikan suatu benda, maka hal itu tidak bisa terjadi kecuali
setelah mengetahui dengan pasti kebenaran pengertian. Karena uji kebenaran
pengertian tersebut merupakan bukti dan jalur perifikasinya. Merupakan hal
mustahil mengetahui benda yang dijelaskan sebelum mengetahui kebenaran
pengertian yang diajukan. Mengetahui kebenaran pengertian yang diajukan tidak
bisa terjadi kecuali setelah mengetahui benda yang dimaksud. Atau dengan kata
lain mengabstraksikannya dalam pikiran. Sedang mengetahui benda yang dimaksud
tidak bisa kecuali mengetahi pengertiannya. Sehingga kita tidak bisa mengetahui
sebuah benda (abstraksi) dengan hanya mengandalkan pengertian semata.[35]
Solusi Islami Terkait dengan Pengertian Menurut Ibnu Taimiyah :
Setelah Ibnu Taimiyah mengajukan kritiknya dalam
meruntuhkan pemahaman pengertian yang dipersefsikan oleh ahli filsafat, maka ia
menjelaskan pengertian yang benar sesuai dengan logika orang-orang Islam dari
kalangan teolog mapun dari kalangan ahli ushul maupun dari kalangan ahli-ahli
yang lain. Secara ringkas, solusi tersebut dirumuskan pada beberapa poin
berikut :
1. bahwa pengertian seperti
benda-benda, maksud utamanya hanyalah sekedar untuk membedakan sesuatu dari
semisalnya dan tidak sama sekali dimaksudkan untuk mengetahui hakikat
benda-benda tersebut.[36]
2. bahwa membedakan benda dari
semisalnya terjadi melalui penyebutan sifat-sifatnya yang khusus baginya.[37]
3.
bahwa untuk mengetahui sifat benda
yang membedakannya dari yang lain cukup dengan
melalui metode thard dan ‘aks. Sebuah benda ditegaskan dengan penegasannya
dan dinafikan dengan penafiannya.[38]
Metode thard seperti pernyataan :
setiap ilmu adalah pengetahuan sedang setiap pengetahuan adalah ilmu. Sedang
metode ‘aks sperti pernyataan : semua yang bukan ilmu juga bukan pengetahuan
dan setiap yang bukan pengetahuan juga bukan merupakan ilmu.
4. pengertian bukanlah masalah pasti
dan statis yang tidak bisa berubah. Tetapi terkadang terjadi perubahan sifat
pada pengertian berdasarkan pada perkembangan zaman sehingga ia berubah
berdasarkan pada perubahan yang terjadi. Satu hal yang telah diterima secara umum
oleh kalangan filosof dan para teolog bahwa sifat (‘ardh) tidak bisa kekal dalam dua waktu. Lalu di belakang hari
pernyataan ini terbukti salah. Suara misalnya bisa ada pada dua waktu yang
berbeda dengan merekamnya pada pita rekaman.
5. bahwa untuk menegaskan sebuah pengertian
dibutuhkan bukti, terutama jika masalahnya tidak nyata. Terkadang sebuah bukti
(dalil) berasal dari firman Tuhan
yang terbebas dari kesalahan (ma’sum).[39]
6. fungsi pengertian hanya sekedar
mengingatkan orang-orang yang sedang lupa agar bisa mepersefsikan kembali
sesuatu dalam benaknya. Pengertian tidak berfungsi untuk membentuk persfektif
yang sama sekali baru dalam benak seseorang.[40]
Ketiga : Kritikan
terhadap kategori ke-3. Yaitu, sisi penafian (negatif) pada analogi logika
filsafat.
Putusan
tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
Dalam kategori ini, Ibnu Taimiyah berusaha
mengajukan kritikannya berdasarkan pada beberapa prolog dan 6 sisi.[41]
Beberapa diantaranya akan saya sebutkan di sini :
1. Pernyataan mereka bahwa bahwa
putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas) merupakan
pernyataan penafian-negatif dan bukan merupakan hal yang nyata. Karenanya, ia
membutuhkan bukti logis; pada hal mereka tidak memiliki argument kecuali
sekedar pengakuan murni. Sehingga ini merupakan pernyataan tanpa didukung
keilmuan yang mapan. Sedang penafian dalam prinsif mereka tidaklah bisa mengantarkan
kepada tarap keyakinan. Bahkan menurut mereka, hal itu mustahil terjadi. Dari
mana mereka berpijak sehingga menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang dari
kalangan bani Adam dapat mengetahui sesuatu yang berkategori putusan, yang
menurut mereka bukan merupakan hal yang nyata, kecuali melalui perantaraan
analogi (qiyas) dalam logika filsafat ?!.[42]
2. Ahli logika megakui bahwa putusan
terbagi menjadi dua, yaitu logis dan teoritis. Dan tidak mengkin semua putusan
berbentuk teori karena pengetahuan teoritis membutuhkan pengetahuan mendasar
(logis). Jika demikian halnya, sangat diketahui bahwa perbedaan antara logis
dan teoritis hanyalah masalah nisbi dan berdasarkan pada kategori tertentu.
Dengan demikian ia termasuk masalah nisbi-idhafi. Maka terkadang sebuah
pengetahuan bersifat logis-mendasar bagi seseorang dan bagi orang lain bisa
jadi bersifat teoritis. Sehingga baginya, ilmu tersebut tidak bisa dicapai
kecuali melalui teori, baik teori itu rigkas ataupun panjang dan bertele-tele.
Bahkan, bisa jadi ilmu tersebut tidak bisa ia ketahui melalui seperangkat teori
yang ada.[43]
3. Bukti demonstratif
(burhan/analogi) menurut ahli logika tidaklah memberikan pengetahuan kecuali
pada hal-hal yang bersifat umum. Sangat dimaklumi bahwa hal-hal umum tidaklah
memiliki realitas kecuali dalam pikiran. Relaitasnya di dunia nyata tidaklah
ada. Realitasnya di dunia nyata (di luar) tidak lain kecuali berwujud khusus.
Di luar sana
tidak ada wujud manusia atau pun kemanusiaan, juga hewan dan kehewanan. Yang
ada adalah salah satu anggota dari istilah umum
tersebut di atas, seperti : Muhammad, Thariq, dan Fatimah. Juga seperti
: kuda, keledai atau pun harimau dll.
Dengan demikian, bukti demonstrarif (burhan/analogi)
mereka tidak memberikan pengetahuan tentang wujud yang nyata. kita tidak bisa
mengetahui wujud sesuatu yang nyata dengan perantaraan analogi. Yang dapat
diketahui denga mekanisme analogi ini hanyalah sesuatu yang dianggap ada dalam
benak pikiran semata.[44]
Keempat : Kritikan
terhadap kategori ke-4. Yaitu sisi penegasan (positif) pada analogi logika filsafat.
Analogi
meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Dalam kategori ini, Ibnu Taimiyah maju untuk
mengeritisinya dengan beberapa prolog dan 14 segi, yang akan saya sebutkan
beberapa segi di sini :
1. Ibnu Taimiyah senantiasa
menegaskan bahwa analogi yang terdiri dari dua pernyataan –yaitu analogi
filsafat- dapat menghasilkan pengetahuan. Ini adalah pernyataan yang benar
dengan sendirinya. Hanya saja manfaat analogi demikian –setelah mengeluarkan
banyak upaya dan jalur yang panjang, tidaklah banyak. Itu untuk tidak
mengatakan bahwa tidak memberi manfaat sedikit pun sama sekali. Bahkan semua
yang bisa diketahui melalui analogi filsafat sangat bisa diketahui tanpa
melalui mekanisme analogi filsafat tersebut. Semua yang tidak mungkin diketahui
melalui mekanisme analogi filsafat sanga tidak bisa diketahui melalui mekanisme
analogi filsafat tersebut, sehingga ia tidak masuk dalam lingkup analogi mereka
: tidak dalam rangka memperoleh pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya,
yang tidak diketahui kecuali melalui mekanisme
analogi filsafat, dan tidak ada kebutuhan padanya untuk mengetahui
hal-hal yang masih majhul. Sehingga a menajdi tidak berpengaruh dalam menjaring
pengetahuan, baik dalam mewujudkan ilmu maupun untuk menafikannya. Belum lagi
jika ditambah dengan beban berat yang dialami oleh pikiran selama mengikuti
alurnya dan waktu yang terbuang percuma serta banyaknya pernyataan ngawur di
dalamnya.[45]
Inilah makna pernyataan Ibu Taimiyah dalam masalahlogika filsafat dalam pengantar
bukunya, “Saya senantiasa menyadari bahwa logika Yunani tidaklah dibutuhkan
oleh orang-orang cerdas dan tidak bisa memberikan pengetahuan apa pun kepada
orang-orang bodoh.[46]
2.
Yang diharapkan dari berbagai
dalil dan demonstratif (burhan) adalah penjelasan tentang ilmu dan jalur untuk
mendapatkannyanya. Padahal diketahui dengan baik bahwa analogi filsafat ini
tidaklah membantu dalam menggapai harapan tersebut. Bahkan sangat mungkin ia
menjadi faktor penghalang karena banyaknya jalur yang harus ditempuh dan sangat
membebani pikiran. Seperti halnya orang yang hendak bepergian ke Mekah, jika ia
melwati jalur yang seharusnya, maka ia akan sampai ke tujuan pada waktu yang
sangat singkat dan dengan langkah yang normal. Jika ia ditemani oleh orang yang
mengarahkannya ke jalur yang menyimpang dan jalan yang berputar maka ia akan
merasakan keletihan yang luar biasa setelah ia sampai tujuan, itu kalau
benar-benar ia bisa sampai. Kalau tidak, bisa jadi ia sampai ke jalur yang
tidak diinginkan. Sehingga ia meyakini akidah
yang tidak benar hingga ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dan tidak pula
istirahat dari kelelahan. Karena itulah, dikisahkan dari al-Khunji[47]
bahwa ia mengatakan ketika akhir hidupnya, “Saya hampir meninggal, sedang tidak
ada yang saya ketahui kecuali bahwa semua yang mungkin tergantung kepada yang
wajib”. Lalu ia mengatakan, “Ketergantungan merupakan bentuk penafian
(negatif), sehingga saya meniggal dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa”.[48]
3.
Analogi dalam logika filsafat
tidaklah menunjukkan sesuatu kecuali yang sifatnya umum (kulli) yang diasosiasikan
dalam benak –hal ini sesuai dengan pengakuan ahli logika-. Padahal sangat
dimaklumi bahwa setiap wujud memiliki bentuk yang spesifik, yang membedakannya
dari wujud lain dan tidak ada yang bisa meyamainya persis. Sedang analogi dalam
logika filsafat tidak bisa dijadikan landasan argumen terhadap wujud spesifik.
Sehingga kita menyadari bahwa analogi mereka tidak dapat menunjukkan wujud
terbesar sekali pun, sekali pun Dia-lah sesungguhnya Sang Pemberi wujud kepada
yang lain, Dia-lah Allah Swt. Analogi mereka hanya menunjukkan adanya wujud
yang bersifat umum dan mutlak yang tidak bisa sama sekali menolak wujud lain
yang menyerupai-Nya. Lalu apa manfaat sebuah analogi yang tidak dapat digunakan
untuk menunjukkan wujud Yang Maha kuasa ?![49]
Solusi Islami Terkait dengan Analogi Menurut Ibnu Taimiyah :
Setalah Ibnu Taimiyah meruntuhkan otoritas analogi
logika filsafat dan menjelaskan manfaatnya yang tidak jelas, ia menegaskan
jalur ilmu yang benar dan sangat efektif. Hal tersebut bisa dirangkum pada
beberapa poin berikut :
1. Bahwasanya Allah Swt telah menurunkan
al-Kitab dan timbangan (standar/mizan). Al-Kitab yang dimaksud adalah
al-Qur’an, sedang timbangan yang dimaksud adalah analogi logis dan perumpamaan yang
dipaparkan (al-Amtsal al-Madhrubah).
2. Analogi logis digunakan untuk
mengenal persamaan hal-hal yang serupa dan perbedaan hal-hal yang memang
berbeda. Diantara ciri utama rasio adalah mengenal keserupaan dan perbedaan.
Manakala ia melihat dua hal yang serupa maka ia mengetahui bahwa yang satu sama
dengan yang lainnya. Lalu kemudian ia menetapkan satu status hukum untuk
keduanya. Inilah yang disebut sebagai analogi keserupaan (qiyas al-Thard). Jika ia melihat dua hal yang berbeda dengan
secepatnya ia mengeidentifikasi bahwa keduanya berbeda, lalu mebedakan status
hukum untuk keduanya. Inilah yang dikenal dengan istilah analogi perbedaan (qiyas al-‘Aks).[50]
3. Jalur untuk mengetahui masalah
yang bersifat umum (kulli) adalah pngetahuan terhadap berbagai wujud (partikular)
spesifik. Sehingga pengetahuan yang efektif adalah peralihan dengan mengguakan rasio
dari pengetahuan terhadap berbagai wujud spesifik menuju ke pengetahuan yang
bersifat umum dan mutlak. Bukan sebaliknya (sebagaimana dalam logika Yunani,
Pent.)[51]
inilah yang membuat filsafat Aristoteles menjadi mandul, dan tidak bisa
menghasilkan pengetahuan baru. Bahkan semua yang diyakini sebagai hasil akhir,
setelah letih dan menempuh jalan berkelok, Anda akan menemukan hasil yang
diperoleh telah ada pada salah satu pernyataan (mukaddimah) dalam analogi
logika filsafat.[52]
4. Argumentasi al-Qur’an merupakan
bentuk argumentasi yang spesifik ke bentuk spesifik yang menjadi konsekwensinya
atau argumentasi umum ke bentuk argumentasi umum yang menjadi konsekwensinya.
Yang pertama contohnya seperti terbitnya matahari merupakan pertanda awalnya
siang. Sedang yang kedua seperti berargumen bahwa setiap kali ada siang maka setiap kali itu
pula ada matahari terbit.[53]
5.
Berargumen tentang masalah-masalah
ketuhanan harus melalui perantaraan ayat dan analogi keutamaan (qiyas al-‘Aula) :
Yang dimaksud ayat adalah tanda dan petunjuk.
Sedangkan petunjuk senantiasa menunjuk wujud yang spesifik. Tidaklah mungkin
petunjuknya berupa masalah umum yang menyeluruh yang merangkum hal-hal yang
dikehendaki maupun yang tidak. Tetapi pengetahuan itu sendiri yang menuntut
wujud nyata dari wujud yang ditunjukkannya. Seperti pengetahuan tentang
mukjizat tertentu, menuntut pengetahuan tentang kenabian Rasulullah Saw. Sama sekali tidak mengharuskan adanya wujud
umum yang membuatnya sama-sama masuk dalam kategori yang sama. Pernyataan
seperti ini pula dikatakan pada ayat-ayat Allah Swt. Bahwa pengetahuan tentang
tanda-tanda Allah Swt tersebut menuntut pengetahuan tentang Dzat-nya yang
begitu mulia. Sama sekali tidak mengharuskan adanya hal yang bersifat umum yang
menghendakinya harus sama-sama masuk dalam kategori yang sama.
Adapun analogi keutamaan, maka ia digunakan pada
masalah sifat-sifat Allah Swt. Karena Allah Swt. tidak mungkin masuk dalam
kaegori umum yang mengindikasikan kesamaan antara semua bagian-bagiannya
sebagaimana yang berlaku pada analogi menyeluruh (qiyas al-Syumul/analogi
filsafat). Juga tidak diserupakan dengan selain-Nya pada suatu kategori yang
menyamakan antara yang asli dengan cabangnya, sebagaimana pada analogi
permisalan (qiyas al-Tamtsil/qiyas Ushuli). Allah Swt tidak ada yang
meyerupai-Nya sama sekali. Yang digunakan untuk membahasnya adalah hanya dengan
analogi keutamaan. Yaitu dengan mengatakan, semua kesempurnaan yang pantas dilekatkan
kepada mahluk, yang tidak mengandung kekurangan sama sekali jika dilihat dari
berbagai sisi, maka Allah Swt pasti yang paling berhak untuk menyandangnya. Dan
semua karakter buruk yang dihindari oleh mahluk maka Allah Swt lebih pantas
untuk dihindarkan darinya.[54]
6. Status Hukum
Mempelajari Filsafat Aristoteles.
Dalam masalah ini, biasanya seorang penulis membahas
tema ini pada awal pembahasan tentang ilmu logika filsafat. Saya memandang
perlunya ditunda hingga posisi ini sehingga status hukum tentang mempelajari logika
filsafat lahir dari persfektif yang utuh tentang masalah ini. Karena pada
prinsipnya, memberikan status hukum terhadap sebuah masalah merupakan bentuk
lain dari pemahaman dan persfektif yang mendasarinya.
Masalah yang
tidak murni benar dan tidak murni salah, tetapi bercampur aduk antara
yang benar dengan yang salah, status hukumnya ; baik dari segi benar salahnya,
diterima tidaknya, boleh tidaknya, wajib atau tidaknya, pada prinsipnya
hanyalah tergantung pada sejauh mana konten yang baik dan yang buruk, serta
yang benar maupun yang salah yang menghiasi semua sendi-sendi pembahasannya.
Konten yang mana saja yang mendominasi maka status hukumnya bisa saja benar
atau salah sesuai dengan tuntunan konten yang ada.
Ilmu logika filsafat, sekali pun mengandung beberapa
kebenaran, terutama yang terkait dengan bentuk-bentuk formalnya
(sistematikanya), tidaklah bisa menjadi alasan untuk mempelajarinya. Tetapi
kebatilan yang dimilikinya berlipat ganda dibanding kebenaran yang ada. Suatu hal yang tidak bisa dipuji karenanya,
sebagaimana pernyataan Ibnu Qutaibah rahimahullah, “Sekalipun di dalamnya
terdapat beberapa nilai kebenaran -maka tentu setiap penulis memiliki sisi
kebenaran. Hanya saja di dalamnya terdapat hal-hal yang salah, sehingga mana
kala ia dijadikan standar dalam menilai kebenaran ilmu agama maka pasti akan
merusak stadarisasi kebenarannya.[55]
Jika hal ini telah dipahami, maka para ahli
memandang status hukum untuk mempelajari ilmu logika filsafat terbagi ke dalam
tiga kecenderungan (mazhab), yang telah dideskripsikan oleh penulis kitab
al-Sullam, seperti berikut :
Generasi belakangan terbagi dalam tiga mazhab dalam
memandang perlunya mempelajari filsafat. Ibnu Shalah dan al-Nawawi, keduanya
mengharamkan. Sedang kelompok lain memandang perlu untuk mempelajarinya.
Pendapat yang benar dan populer yaitu bolehnya mempelajari filsafat bagi yang
telah kokoh dasar keilmuannya. Komitmen dengan Sunnah dan al-Qur’an, sehingga
ia bisa menemukan kebenaran”.
Ketiga kecenderungan tersebut akan saya paparakan
sebagaimana berikut :
A.
Pendapat yang memandang bahwa
wajib mempelajari logika filsafat.
Pendapat ini didukung oleh mereka-mereka yang
disebut sebagai filosof Muslim, seperti : al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dll.
Karena, bagi mereka tidak ada perbedaan antara ilmu logika filsafat dan Islam.
Diantara mereka ada yang berpendapat, “Dalam rangka membela akidah Islam, tidak
ada jalan lain kecuali mempelajari filsafat. Tentunya setelah mensterilkannya
dari nuansa filsafat murni yang menginfeksi beberapa isu-isu yang ada di
dalamnya”.[56]
Mereka ini tidaklah memiliki pengaruh yang
signifikan dalam perkembangan ummat. Bahkan mereka tekenal di kalangan
mayoritas ummat sebagai orang zindik dan menyimpang. Hingga datanglah
al-Ghazali pada abad ke-6, lalu menulis karya tentang filsafat yang ia
campuradukkan dengan ilmu-ilmu syari’ah[57]
lalu menjadikannya sebagai syarat bagi
dunia intelektual dan menyebutkan pada pengantar kitab al-Musthasfa bahwa
mereka-mereka yang tidak memiliki intelejensia dalam ilmu filsafat maka kepakarannya
tidak bisa dianggap.[58]
Lalu kemudian al-Gazali rujuk dari pendapatnya
tersebut, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Lalu ia menjelaskan kelemahan ilmu
logika dan menerangkan konsekwensi logis yang bermasalah di dalamnya sekaligus
mencegah orang-orang untuk mempelajari dan menelaahnya. Sehingga dengan
demikian, tidak ada lagi argumentasi kuat yang bisa dijadikan landasan pada
pendapat awalnya. Hanya saja, fitnah keilmuan yang dialami al-Gazali persis
seperti yang terjadi pada kalangan pengikut Asy’ariyah. Abu Hasan al-Asy’ari
sendiri telah kembali kepada pendapat kaum salaf. sementara para pengikutnya
masih tetap berpegang teguh pada pandangan-pandangan awalnya. Mereka akhirnya
tidak mengikuti syekhnya dan tidak pula mengikuti dalil-dalil yang benar dan telah
nyata adanya.
B. Pendapat yang memandang bolehnya
mempelajari logika filsafat bagi yang telah memiliki dasar pengetahuan
keagamaan yang kokoh.
Sebagai referentasi pandangan ini adalah Abdul
Wahhab al-Subki. Beliau membolehkan bagi siapa saja yang memiliki penguasaan
yang baik terhadap al-Qur’an dan Sunnah, serta kokoh adalah masalah
cabang-cabang fikih yang bisa diangap sebagai pakar di bidangnya. Jika
seseorang telah merasa sampai ke level ilmiah seperti ini, yang kira-kira ia
tidak lagi akan terombang-ambing oleh tiupan kebatilan dan syubhat yang bisa
menjebak serta tidak lagi ikut pada hawa nafsu kalangan menyimpang maka ia
berhak untuk menelaahnya secara mendalam dan memanfaatkannya dalam batas-batas
yang tidak mencampuradukkan dengan ilmu-ilmu keislaman. Karena upaya demikian
telah menyebabkan terjadinya masalah seperti yang telah terjadi sebelumnya.[59]
Lalu apa manfaat mempelajarinya ? lalu kenapa harus
melakukan petualangan ilmiah demikian ?
padahal kita sudah mengerti bahwa manfaat yang dimilikinya kecil untuk tidak
mengatakan tidak ada sama sekali. Belum lagi resikonya yang begitu
mengkhawatirkan.
C.
Pendapat yang mengharamkan.
Pendapat inilah yang benar. Inlah pendapat mayoritas
intelektual salaf dan kalangan ahli hadits dan juga intelektual terkemuka dari
kalangan cedekiawan Muslim dari seluruh kalangan. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Kalangan ulama masih tetap konsisten mencela ilmu logika para
penggemarnya. Mereka melarang peserta
didik untuk menalaahnya dan dekat dengan
para ahlinya. Hingga saya menemukan kalangan ahli belakangan
mengeluarkan fatwa yang mengkompilasi tulisan kalangan intelektual zamannya dari
kalangan cendekiawan kelompok syafi’iyah, kelompok hanafiyah dll, yang
mengandung pendapat yang luar biasa mengharamkannya dan menyiapkan sanksi bagi
para pemerhatinya”.[60]
Ibnu Shalah mengatakan, “Saya mendengar Syekh Ibnu
Imad bin Yunus menceritakan dari Yusuf al-Dimasyqi, seorang dosen universitas
Nizhamiyah di Bagdad dan beliau termasuk
cendekiawan terkenal, bahwasanya beliau mengingakari pendapat yang menyatakan
tentang wajibnya mempelajari filsafat dan mengatakan, “Abu Bakar dan Umar dan
lain-lain. Mereka semua adalah orang-orang yang besar sekali tingkat keimanan
mereka, tetapi mereka sama sekali tidak pernah mengkaji perangkat-perangkat ilmu
logika dan sistematika kajiannya”[61]
Fatwa Ibnu Shalah yang mengharamkan ilmu logika
filsafat sangatlah terkenal. Beliau pernah ditanya tentang ilmu logika filsafat
dan orang-orang yang mempelajarinya dan apakah filsafat termasuk ilmu yang
dibolehkan untuk dipelejari dalam ilmu syari’ah ? apakah ada fakta dari
kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam yang telah mencapai derajat mujtahid
yang menjelaskan kebolehannya dan bahwa mereka terlibat dalam hal ini ? Apa
boleh menggunakan istilah-istilah filsafat dalam rangka menegaskan hukum-hukum syari’ah
atau tidak ?... hingga bagian akhir
fatwa tersebut.[62] Lalu
beliau menjawab, yang versi ringkasnya, “Filsafat adalah dasar bagi semua
kebodohan dan penyimpangan, merupakan kesesatan dan bentuk kebingungan….lalu
beliau mencelanya habis-habisan….lalu mengatakan, “Ilmu logika adalah pengantar
ilmu filsafat. Pengantar bahaya adalah bahaya. Terlibat dalam mempelajari dan
mengajarkannya tidak termasuk kategori ilmu yang dibolehkan oleh syari’ah. Juga
tidak dibenarkan oleh seorang pun dari kalangan sahabat, tabi’in, imam
mujtahid, salafusshaleh dan semua panutan yang dikuti oleh mayoritas ummat”.
Lalu beliau menjelaskan bahwa menggunakan istilah-istilah filsafat pada
pembahasan ilmu-ilmu syari’ah termasuk hal-hal baru dan bentuk kemungkaran yang
menjijikkan. Hukum-hukum syari’ah, al-Hamdulillah, sama sekali tidak membutuhkan filsafat.
….hingga titik akhir jawaban beliau.[63]
Lalu apakah kita akan mengatakan boleh bagi orang-orang yang telah mapan
dalam ilmu keagamaan, setelah penejelasan di atas. Apalagi membolehkannya
secara mutlak tentu tidak bisa. apalagi mewajibkannya bagi setiap orang (fardhu
ain) atau bagi seseorang dari masing-masing komunitas (fard kifayah)..
Subhanallah. Itu merupakan bentuk kebohongan yang sangat nyata !
Hanya saja, bisa kita berpendapat bahwa boleh saja
menginformasikan untuk sekedar menjelaskan kelemahan-kelemahannya, menegaskan
kesalahannya dan manfaatnya yang tidak signifikan. Dalam hal ini, sama halnya
seperti hadis-hadis palsu yang disebutkan keberadannya untuk menegaskan
kepalsuan dan kesalahannya.SIKAP AHLU SUNNAH TERHADAP LOGIKA (FILSAFAT) ARISTOTELES (BAG.1) bisa diakses pada link berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2011/12/sikap-ahlu-sunnah-terhadap-logika.html
[1] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.14 dan
kitab Fatawa Ibnu Shalah, hal.35
[2] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.258.
[3] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.535 dan
hal.101dst.
[4] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.200.
[5] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.482.
[6] Lihat :
Muqaddimah Ibn Khaldun, hal.483, dan kitab Manahij al-Bahs karya al-Nasysyar,
hal.87
[7]
Al-Munqiz min al-Dhalal, hal.93
[8] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.3-4.
[9]
Al-Munqiz min al-Dhalal, hal.93
[10] Lihat :
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.334
dan setelahnya. Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Naqd al-Manthiq, hal.169,
“Para penggemar logika filsafat adalah
orang-orang yang paling banyak memiliki pertentangan, keraguan dan kebingungan.
Merekalah yang sedikit memiliki tingkat intelektualitas dan kejernihan dalam
wilayah ilmiyah. Jika benar bahwa logika merupaka sarana yang tepat untuk
membuka tabir kebenaran dan mampu membentengi pilkiran dari kesalahan, tentunya
hal demikian tidak perlu terjadi.
[11] Shaun
al-Manthiq, hal.9
[12] Lihat :
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198
[13] Lihat :
al-Gazwu al-Fikri fi al-Manahij al-Dirasiyah, Ust ‘Ali Laban, hal.32, ( Mesir :
Dar al-Wafa’), vet.1, th.1987 M – 1407 H.
[14] Lihat
hal.88 dan setelahnya. Ditahqiq oleh : Dr Sulaiman Dunya, (Mesir : Dar
al-Ma’arif), cet.4, th.1966 M – 1385 H.
[15] Lihat :
al-Gazwu al-Fikri fi al-Manahij al-Dirasiyah, Ust ‘Ali Laban, hal.32
[16] Lihat :
Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.214
dan setelahnya
[17] Hal.5-6, lihat kitab : Fishal al-Tafriqah
karya al-Gazali hal.192.
[18] Lihat :
Shaun al-Manthiq, hal.14
[19] Shaun
al-Manthiq, hal.32.
[20] Shaun
al-Manthiq, hal.15
[21]
Hal.3-5, tahqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, ( Mesir : Matba’ah al-Sa’adah
), cet.4, th.1382 H - 1963 M.
[22]
Al-Matsal al-Sa’ir fii Adab al-Katib wa al-Sya’ir, Diyauddin ibn al-Atsir,
vol.2, hal.7-10, tahqiq : Dr Ahmad al-Hufi dan Dr Badawi Tabanah, ( Riyadh : Dar Thabanah ),
cet.2, th.1403 H – 1983 M.
[23]
Perdebatan tersebut disebutkan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, Shaun
al-Manthiq, hal.190-199.
[24] Shaun
al-Manthiq, hal.199.
[25] Lihat :
Manahij al-Bahs karya Ali al-Nasysyar, hal.80-81 dan kitab al-Radd ‘Ala al-Mathiqiyyin,
hal.337.
[26] Lihat :
Shaun al-Manthiq, hal.198
[27] Al-Radd
‘Ala
al-mathiqiyyin, hal.31.
[28] Manahij
al-Bahs, hal. 81
[29] Lihat :
Mui al-Ni’am wamubid al-Niqam Kaya Tajuddin Abdul Wahhab al-Sabki, hal.78,
Tahqiq : Muhammad Ali al-Najjar dll, Maktabah al-Khanji, (Kairo : Dar al-Kutub
al-‘Arabi), cet.1, th.1948 M – 1367 H. dan Muqaddimah Ibnu Khaldun,
hal.463-464, Manahij al-Bahs, Ali al-Nasyyar, hal.76
[30]
Al-Tafkir al-Manthiqi, hal.43
[31] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.7
[32] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.7 dan kitab : al-Manthiq al-Hadis, karya Mahmud Qasaim,
hal.5-6.
[33] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.8
[34] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.32
[35] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.38-39
[36] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal. 15 dan 79 serta kitab manahi al-Bahs, al-Nasyyar, hal.90.
[37] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.309
[38] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.17
[39] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.358-359
[40] al-Radd
‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.79
[41] al-Radd
‘Ala
al-Manthiqiyyin, catatan kaki no.3, hal.88
[42] al-Radd
‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.88
[43] al-Radd
‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.88-89.
[44] al-Radd
‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.124-125.
[45] Lihat :
al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.247-248. Dr. Mahmud Qasim memberikan indikasi bahwa
analogi Aristoteles hanya cocok untuk digunakan dalam rangka untuk memaparkan
hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Tidak ditemukan pengetahuan baru dari
analogi filsafat. Bahkan semua yang dianggap sebagai hasilnya telah terdapat
pada salah satu pernyataan yang ada dalam analogi tersebut. Lihat kitab :
al-Manthiq al-Hadis, karya Mahmud Qasim, hal.9 dan 20.
[46] al-Radd
‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.3.
[47]
Dia adalah Afdhaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Namur bin Abdul malik al-Khunji al-Syafi’i.
seorang yang dianggap tamu dan menetap di kota
Mesir. Ia menduduki jabatan kehaiman di kota
Mesir setelah Izzuddin bin Abdussalam dicopot dari jabatannya. Al-Khunji adalah
seoarang filosof yan bijaksana. Ia memiliki karya tuylisa dalam bidang
kedokteran dan logika filsafat.ia dilahirkan pada tahun 590 H dan meninggal
pada tahun 646 H. Lihat : Husnul Muhadarah fii Tarikh Misr wa al-Qahirah, karya
Jalaluddin al-Suyuthi, 541/1, biografi no.15. tahqiq : Muhammad Abu al-Fadhl
Ibraim, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, Isa al-baby al-Halabi, cet.1, th.1967
Masehi 1387 H di Mesir.
[48]
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.248-249.
[49]
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.344, 125, 138, dan 150.
[50]
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.371.
[51]
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.113-114.
[52]
Lihat : al-Manthiq al-Hadis, Karya : Mahmud Qasim, hal.9 dan 20.
[53]
Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.163-164.
[54]
Lihat : Syarah al-Thahawiyah, hal.85-86
[55]
Al-Radd ‘Ala
al-Manthiqiyyin, hal.180.
[56]
Lihat : tajdid al-Manthiq, karya al-Shuaidi, hal. 5 dan 6.
[57]
Lihat bagian awal tulisan makalah ini.
[58]
Lihat : Muqaddimah kitab al-Musthasfa, vol.1, hal.10. al-Gazali telah diserang
oleh sekelompok ulama, seperti koleganya, Abu Ishak al-Marginani, Abul Wafaa
bin Uqail, al-Qusyairi, al-Thurthusi, Ibnu Rusyd, al-Mazri dan sekelompok ulama
terkemuka. Lihat : syarh al-Aqidah al-Isfahaniyah, hal.132.
[59]
Lihat : Muid al-Ni’am, karya Abdul Wahhab al-Subki, hal. 78.
[60]
Naqd al-Manthiq, hal. 156.
[61]
Lihat : Fatawa Ibnu Shalah, hal. 34.
[62]
Ibid.
[63]
Lihat : Fatawa Ibnu Shalah, hal. 35.
0 komentar:
إرسال تعليق