RESUME TESIS
Oleh : Idrus Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran
politik Islam sesungguhnya merupakan suatu usaha (ijtihad) ulama yang
merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka
mencari landsan intelektual bagi fungsi dan peranan Negara serta pemerintahan
sebagai sebuah faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesajahteraan
rakyat, baik yang lahir maupun batin. Disamping itu, barangkali bisa ditambahkan
pula bahwa lahirnya ijtihad politik yang spekulatif itu juga didorong
oleh suatu keinginan untuk mendapatkan legitimasi dalam rangka mempertahankan
sebuah tatanan politik yang ada.
Sebagai
konsekwesi dari adanya persoalan tersebut, maka setiap konsepsi politik Islam
yang lahir, tokoh pencetusnya berusaha untuk menyandarkan ajaran yang dibawanya
kepada kedua sumber asasi dalam Islam itu, disamping juga berusaha untuk
mengaitkannya dengan pelaksanaan yang bersifat praktis pada masa Khulafa
Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib) yang empat. Akibatnya, setiap konsepsi politik yang didasarkan pada
hal-hal itu dengan sendirinya dianggap sebagai konsepsi politik Islam, dimana
dalam perjalanan lebih lanjut, umat Islam dituntut untuk mengakui dan
menjalankan ajaran itu sebagai sebuah bagian yang sangat integral dari sistem keyakinan dan
hukum yang ada di dalamnya. Hal ini terlihat dari hasil-hasil ijtihad
politik yag lahir pada masa pertengahan
atau pada masa kejatuhan Bani Abbas oleh serbuah Mongol Tartar yang direpresentasi –paling tidak-
oleh al-Baqillani dan al-Mawardi, di mana mereka berdua menekankan bahwa tatanan
politik yang sedang berlangsung pada masa itu dianggap sebagai bentuk yang diinginkan
syari'ah Islam.
Ketika
konstalasi politik sudah mengalami perubahan seiring dengan hancurnya sistem khilafah
di Bagdad oleh serangan Mongol Tartar (1258 M), konsepsi kenegaraan, sebagaimana
dicetuskan oleh kedua tokoh itu tidak lagi
mendominasi pemikiran politik Islam. Karena sebagaian ulama dihadapkan pada
realitas politik di mana umat Islam telah terpecah ke dalam negara-negara Islam
yang relatif kecil. Didasari oleh kenyataan ini, sebagian ulama dalam pemikiran
politiknya bersifat realistis, dalam arti tidak lagi berusaha mempertahankan
konsepsi khilafah yang eksistensinya telah berlalu dari kehidupan umat
Islam. Di antara tokoh tersebut adalah Ibn Taimiyah yang dalam doktrinnya lebih
mengedepankan aspek amanah dalam sebuah pemerintahan Islam.
Ibn
Taimiyah dikenal sebagai ulama cerdas dan berpengetahuan luas. Dilatarbelakangi
oleh sikap untuk selalu berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur'an, Sunnah dan al-Salaf
al-Shaleh serta sikap anti taklid-nya maka tidak heran jika dalam ijtihad
politiknya ia jauh dari kesan ikut-ikutan, seperti mempertahankan bentuk khilafah
dan imamah serta lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd-nya. Sebagai
konsekwensi dari sikapnya itu ia memunculkan gagasan original, yaitu
pemerintahan amanah dan Ahl al-Syaukah, di mana hal itu merupakan
respon terhadap doktrin kenegaraan dan realitas politik umat Islam ketika itu.
Dalam ijtihad
politiknya, Ibn Taimiyah menolak bentuk system khilafah dalam sunni dan imamah
dalam syi'ah sebagai satu-satunya bentuk kenegaraan. Bahkan ia mengkritik pemikiran khilafah
dan imamah yang selama ini berkembang
sebagai sebuah pemikiran yang mengada-ada. Karena baik khilafah
maupun imamah merupakan institusi yang pembentukannya tidak didasarkan
pada nash al-Qur'an maupun Sunnah, melainkan hanya semata-mata
berdasarkan ijtihad sahabat dan ulama.
Sehubungan dengan itu, ia menolak berbagai
argumentasi yang dimajukan pendukug
konsep khilafah dan imamah. Karena menurutnya dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah, beliau tidak pernah bertindak sebagai kepala
Negara maupun kepala pemerintahan. Asumsi Ibn Taimiyah tersebut didasarkan pada
sebuah kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw yang nota benenya seorang Rasul
Allah dengan sendirinya harus menjalankan kewajiban menjalankan syari'ah yang
diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada umatnya. Tugas
tersebut akan ia laksanakan dengan atau tanpa predikat sebagai kepala Negara
atau kepala pemerintahan. Dengan kata lain, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa
segala tindakan Nabi dalam segala aspeknya, termasuk berperang dengan musuh, merupakan
kewajiban yang menyatu dengan kerasulannya itu sendiri, bukan aspek lain yang
diberikan manusia kepadanya.
Untuk
itu, pendapat ulama yang mengatakan bahwa khilafah merupakan kelanjutan
pemerintahan Nabi Muhammad saw yang harus tetap dipertahankan, karena adanya perintah nash, tidaklah
tepat. Mengingat tidak satu nash pun, baik dari ayat al-Qur'an maupun
Sunnah Nabi, yang menjelaskan hal tersebut. Sehubungan dengan hal itu, ia
mengatakan bahwa bentuk Negara bisa apa saja selama ia menjalankan syari'ah.
Penolakan
Ibn Taimiyah tersebut, menurut penulis, merupakan sikap yang realistis. Karena
disamping ia tidak sempat mengalami hidup di bawah pemerintahan khilafah, juga
karena penyatuan umat Islam dalam sebuah wadah yang besar seperti pada
masa-masa sebelumnya sangat sukar untuk diwujudkan. Sebagai ganti dari
pemikiran khilafah dalam pemerintahan Islam sunni dan imamah
dalam pemerintahan Islam syi'ah, ia mengemukakan pendapat yang simpel mengenai
pemerintahan Islam., yaitu bahwa Negara bisa berbentuk apa saja. Yang penting,
menurutnya, harus disarkan pada ajaran syari'ah Islam dengan amanah sebagai
landasan utama dalam menjalankan pemerintahan Islam.
Pendirian
Ibn Taimiyah tersebut paling tidak telah mendorong reorientasi ulama yang
datang belakangan unutk memikirkan kembali bentuk Negara dan pemerintahan dalam
Islam, meskipun diakui oleh Nurcholish Madjid bahwa perubahan yang
dipeloporinya tidak menciptakan gerakan besar. Akan tetapi, menurutnya, dinamaika ide-ide justru berlanjut terus
mempengaruhi sejarah intelektual Islam. Pengaruh yang berkesinambungan tersebut
terlihat dari banyaknya kajian intelektual muslim dalam rangka memahami lebih
jauh pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, baik dalam bidang fikih, akidah, politik
dan masalah-masalah lainnya.
Permasalahan inti dalam tesis ini adalah
sejauh mana urgensitas konsep amanah tersebut dalam pemikiran
pemerintahan Ibn Taimiyah. Dengan demikian, kajian dalam tesis ini bertitik
tolak dari konsep amanah dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah yang
bertujuan untuk mendalami permasalahan tersebut lebih lanjut.
Untuk selengkapnya, penulis rumuskan
kajian dalam tersis ini melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanah kiprah Ibn
Taimiyah dalam pemikiran Islam ?
2. Bagaimana pemikiran
kenegaraan dalam pemikiran Ibn Taimiyah ?
3. Faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi pemikiran Ibn Taimiyah dalam politik ?
4. Bagaiamana bentuk
pemerintahan yang amanah dalam Islam menurut Ibn Taimiyah ?
Bentuk
penelitian dalam tesis ini adalah kepustakaan (library) murni. Dalam artian,
penulis dalam mengkaji persoalan-persoalan yang berhubungan dengan permasalahan
dalam tesis ini merujuk kepada literatur-literatur yang relevan dengan
persoalan dalam tesis ini.
Adapun
sistematika pembahasan dalam rangka mepermudah penulisan tesisi ini adalah sebagai
berikut :
Bab I
merupakan bab pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
Bab II
Riwayat Hidup Ibn Taimiyah yang meliputi, Pendidikan dan Perjuanganya, Pemahaman
Dasar-Dasar keagamaannya, Karya-Karya Ilmiahnya, dan Pengaruhnya di Dunia
Islam.
Bab
III Ibn Taimiyah dan Pemikiran Kenegaraan, Pemikiran Kenegaraan Prakejatuhan
Bani Abbas, Pemikiran Kenenegaraan Pascakejatuhan Bani Abbas, Pemikiran Khilafah
dan Imamah dalam Islam.
Bab IV
Amanah menurut Ibn Taimiyah yang meliputi, Penguasa dan Sumber Kekuasaan,
Pemilihan dan Penentuan Pejabat, dan Harta (al-Maal) dan
Pendistribusiannya.
Bab V merupakan bab penutup yang meliputi,
Kesimpulan dan Saran-Saran.
BAB II
RIWAYAT HIDUP IBN TAIMIYAH
Nama
lengkap Ibn Taimiyah adalah Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn
Taimiyah. Ia dilahirkan di kota
Harran Siria pada hari senin, 10 Rabi al-Awwal 661 H (22 Januari 1263 M) dan
wafat di Damaskus pada malam senin 29 Zul Qa'dah 728 H (26 Sepetember 1328 M).
Menurut
beberapa sumber, Ibn Taimiyah berasal dari keluarga besar Taimiyah yang sangat
terpelajar dan terdidik serta sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat
luas pada zamannya. Hal ini terjadi karena selain ditunjang oleh sifat kelimuan
yang ada pada keluarga itu, juga karena kehidupan islami yang mereka jalankan
dalam kehidupan mereka. Ayahnya bernama Syihab al-Din Abd al-Halim ibn Abd
al-Salam (627-682 H) merupakan seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi
di Mesjid Agung Damaskus. Di sana,
selain bertindak sebagai khatib dan imam besar, juga ia bertindak sebagai guru
(muallim) dalam mara pelajaran tafsir dan hadits. Di samping menjabat
hal-hal tersebut, ia juga bertindak sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadits
al-Sukkariyah, yaitu sebuah lembaga pendidikan bermazhab Hambali yang sangat
maju pada waktu itu. Di lembaga inilah ia mendidik putra kesayangannya, Ibn
Taimiyah.
Ibn
Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang memiliki
kecerdasan luar biasa. Karena ketekunan dan kesungguhannya dalam menunutu ilmu,
kemampuan intelektual dan keperibadian baik, ternyata mampu mengantarkan
dirinya menjadi manusia besar. Bukan saja ia dikenal dengan penguasaan ilmunya
yang matang tetapi juga dikenal sangat berpengalaman dan penulis produktif. Di
usia yang masih relative muda, yaitu pada sekitar tujuah tahun, Ibn Taimiyah
telah berhasil menghafal al-Qur'an dengan lancer.
Di
samping dikenal sebagai ahli tafsir dan ahli hadis, ia juga dikenal sebagai ahli
fiqih dan pengetahuannya terhadap ilmu ini dianggap lebih mendalam dibandingkan
ulama lainnya, karena ia juga menguasai secara detail berbagai bentuk perbedaan
pendapat ulama di berbagai mazhab berikut argumentasi (baik naqli Maupun
aqli) yang dimajukan oleh tiap-tiap aliran fiqih itu.
BAB III
IBN TAIMIYAH DAN PEMIKIRAN
KENEGARAAN
Pemikiran kenegaraan prakejatuhan Bani
Abbas didominasi oleh ulama-ulama seperti Ibn Abi Rabi, al-Mawardi, al-Gazali,
ibn Taimiyah dan Ibn khaldun. Pemikiran politik yang mereka hasilkan pada
prinsipnya didasarkan pada empat hal, yaitu; pertama, berdasarkan
keutamaan keturunan. Di mana pemimpin atau kepala negara haruslah berasal dari
keturunan quraisy. Kedua, adanya bai'at. Di mana dengan bai'at
itu terjadi kontrak sosial antara kepala negara terpilih dengan rakyatnya. Ketiga,
prinsip syura (musyawarah). Keempat, prinsip keadilan. Secara umum
mereka menerima rinsip-prinsip tersebut. Meskipun demikian, dalam banyak detail
pemikiran yang berkaitan dengan empat prinsip itu terjadi perbedaan pendapat di
antara mereka.
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa mereka tidak mencapai kata sepakat dalam
beberapa hal kecuali dalam hal keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan.
Kesamaan pendapat dalam keharusan adanya pemerintahan dan kepala Negara ini
dikarenakan mereka mempunyai keyakinan yang sama bahwa tanpa adanya dua hal itu
perinsip-prinsip syari'ah Islam tidak bisa dilaksanakan.
Ketidaksepakatan
dalam hal detail persolan tampaknya terjadi akibat kondisi soial politik umat
Islam yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Guna memudahkan dalam
melihat persolan tersebeut, penulis mempresentasikan pemikiran beberapa tokoh
pemikiran kenegaraan Islam yang sangat terkenal, seperti al-Baqillani,
al-Mawardi dan Ibn Taimiyah sendiri.
Al-Baqillani
misalnya adalah orang pertama yang dianggap menyusun tentang teori khilafah dan
imamah dengan sistematis. Ajaran politiknya itu ia tuangkan dalam
karyanya yang berjudul التمهيد في الرد على الملحدة و
الرافضة والخوارج والمعتزلة Dilihat dari judulnya, karya itu ia tulis
dalam rangka menolak teori-teori kenegaraan yang dihasilkan oleh golongan
Syi'ah, Khawarij dan Mu'tazilah.
Setelah
al-Baqillani, terdapat Abu al-Hasan al-Mawardi. Pemikiran politiknya ia
tuangkan dalam kitabnya الأحكام
السلطانية Buku
ini ia tulis dalam rangka mempertahankan otoritas khilafah Bani Abbas dari
rongrongan para penguasa Bani Buwaih yang secara efektif mengontrol pemeintahan
Bani Abbas.
Kemudian
pada pasca kejatuhan Bani Abbas, Ibn Taimiyah tampil dengan konsep kenegaraannya.
Pada periode pasca-Mongol ini, nilai-nilai agama dan cita-cita syari'ah tidak
saja dalam keadaan bahaya, tetapi juga telah jauh keluar dari rel yang benar
sebagaimana difahami genaerasi awal umat Islam dahulu. Dalam permaslahan yang
berkaitan dengan persoalan politik-kenegaraan, ia menulis buku yang sangat
monumental sebagai respon terhadap siutasi politik dan diktrin politik
sebelumnya. Buku tersebut berjudul السياسة الشرعية ف
إصلاح الراعي والرعية dan kitab
منهاج السنة النبوية في نقد كلام الشيعة والقدرية
Pada kedua kitab inilah beliau menekankan secara gamblang mengenai
proses politik dalam rangka pembentukan sebuah Negara. Dalam pembicaraan, ia
selalu menekankan bahwa hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam
setiap proses tersebut adalah eksistensi syari'ah.
Meskipun
Ibn Taimiyah berbicara panjang lebar tentang urgensi sebuah Negara bagi umat, namun
ia tidak menyinggung sama sekali perihal khilafah, bentuk Negara, dan
prosedur pemilihan atau pengangkatan imam. Yang dilakukan terkait dengan khilafah
adalah penolakannya atas asumsi yang berkembang bahwa ia terkait dengan nash. Atau dengan kata lain bahwa khilafah
merupakan amanah al-Qur'an dan Sunnah. Keyakina ini,menurut beliau, tidaklah
berdasar mengingat ungkapan khilafah yang terdapat dalam dua sember hukum Islam
itu tidak mengindikasikan adanya maksud politik dalam arti pengganti Nabi
sebagai kepala negara. Melainkan unutk menunjukkan segolongan orang yang
konsisten selalu menghidupkan dan menyiarkan Sunnahnya serta mengajarkannya
kepada sekalian manusia.
Terkait dengan imamah yang menjadi tema
kenegaraan syi'ah dan dianggap mutlak oleh mereka, bahkan dianggap terkait
secara diametral dengan keimanan, Ibn Taimiyah mengajukan kritikan dan
penolakan. Penolakannya terhadap imamah didasarkan pada keyakinannya bahwa
Allah swt tidak pernah mengaitkan keimanan seseorang dengan imamah. Beberapa
hadits diangkat oleh Ibn Taimyah terkait dengan sikapnya ini.
Adapun konsep ismah al-imam dalam
doktrin syi'ah yang merupakan konsekwensi dari keyakinan mereka bahwa imam
tidak didasarkan oleh pemilihan melainkan atas petunjuk Allah. Oleh sebab itu, imam
dalam doktrin syi'ah merupakan seseorang yang maksum. Pendapat ini menurut Ibn
Taimiyah tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya mengingat Nabi pernah bersabda
bahwa umat hanya boleh mentaati pemimpin yang tidak mengajak berbuat maksiat
kepada Allah.
BAB IV
AMANAH MENURUT IBN TAIMIYAH
1. Penguasa dan
Sumber Kekuasaan.
Dalam banyak kesempatan, Ibn Taimiyah
menekankan adanya kekuasaan yang efektif dalam rangka menjalankan pemerintahan
negara di mana dengan itu penyampaian amanah kepada yang berhak bisa berjalan
dengan baik. Terkait dengan ini, Ibn Taimiyah pernah menggambarkan wilayah
(negara) sebagai sebuah pedang yang sangup menolong agama. Pendapatnya itu terinspirasi
oleh ayat al-Qur'an yang berbunyi:
Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS.Al-Hadid : 25).
Berdasarkan ayat tersebut, Ibn Taimiyah menarik kesimpulan bahwa negarayang
menurutnya merupakan sebuah instrumen pendukung bagi tegaknya agama merupakan
aspek penting bagi penegakan ajaran-ajaran yang tersapat dalam kitab Allah.
Menurutnya, kitab menjelaskan apa yang diperintahkan Allah dan mencegah yang
dilarang-Nya dan pedang berfungsi sebagai faktor penolong bagi
pengimplementasiaan ajaran-ajaran tersebut. Mengingatnya funginya sebagai
faktor penentu bagi tegaknya ajaran-ajaran Allah itulah, Ibn Taimiyah menamakan
negara dengan pedang (al-Saif), karena hanya dnegan negara agama bisa diamalkan
dengan efektif.
Berkaitan dengan urgensitas kekuasaan itu, terdapat aspek lain yang tidak
kalah pentingnya dibandingkan dengan kekuasaaan itu sendiri, yaitu penguasa.
Jika kekuasaan itu merupakan implementasi dari jama'ah yang berada di suatu
tempat dan mempunyai niat untuk menegakkan ajaran agama, penguasa merupakan
aspek pelaku kekuasaan itu yang di tangannya terdapat tanggung jawab untuk
melaksankan tanggung jawab tersebut. Dalam kaitan ini, Ibn Taimiyah melontarkan
gagasan Ahl al-Syaukah, yaitu gagasan yang dianggap original dan segar
dalam rangka menjawab permasalahan tersebut.
Berdasarkan berbagai alasan yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah terkait
dengan Ahl al-Syaukah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
adalah individu-individu yang mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat
di mana pembaitannya terhadap seorang imam merupakan represantasi dari kekuatan
masyarakat yang ada di bawah pengaruhnya.
Sesungguhnya gagasan Ahl al-Syaukah Ibn Taimiyah tersebut, di
samping karena di dasarkan pada realitas politik pada waktu itu, juga merupakan
refleksi ketidakpuasannya terhadap konsep Ahl a-Hall wa al-Aqd dalam
teori khilafah klasik. Karena dalam kenyataanya, lembaga itu tidak pernah
membuktikan hasil kerjanya sebagaimana laayknya sebuah institusi yang mempunyai
otoritas untukitu.
Menurut Ibn Taimiyah, imamah bisa tegak, sah dan legitimated apabila
dilakukan oleh Ahl al-Syaukah dan tidak seoramg pun akan menjadi imam
kecuali mendapat legalisasi dari Ahl al-Syaukah , yaitu sekelompok orang
berpengaruh yang menyatakan ketaatan kepada imam tersebut. Hal ini penting
karena tujuan imamah yang sesungghunya adalah kapabilitas dan dominasi. Dengan
demikian, apa bila seseorang telah dibai'at menjadi imam oleh Ahl al-Syaukah
maka dengan sendirinya sah menjadi pemimpin atau penguasa.
2. Pemilihan dan
Penentuan Pejabat.
Dalam rangka menjalankan pemerintahan yang amanah tersebut, seorang penguasa (sultan) haruslah
memilih dan menentukan orang-orang atau pejabat yang membantunya dalam
melaksanakan tugas. Masalah penentuan tugas ini dimasukkan oleh Ibn Taimiyah ke
dalam aspek amanah yang mesti juga ia jalankan dengan semestinya. Amanah
yang dimaksud di sini adalah bahwa seorang imam yang telah menerima amanah
dari rakyat melalui bai'at yang dipresentasikan oleh Ahl al-Syaukah.
Oleh sebab itu, ia harus menjalankan amanah tersebut sebaik-baiknya. Di
antara bukti bahwa seorang penerima amanah menjalankan apa yang
dikehendaki pemberi amanah dapat dilihat dari cara penguasa tersebut
memilih para pembantunya atau para pejabat yang menjadi bawahannya. Jika
penguasa menunjuk orang-orang yang sesuai denga kualifikasi yang dimilikinya
untuk jabatan yang tersedia serta ia
(penguasa) bebas dari berbagai pengaruh dan intervensi orang lain, maka ia
layak dikatakan orang yang menjalankan amanah dalam pemerintahannya.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa aspek keahlian dan profesinalisme bagi
seorang pejabat negara, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah,
harus menjadi aspek penilian yang menentukan. Dengan demikian ia menentang
praktek kolusi, nepotisme, dan korupsi, karena praktek itu bertentangan dengan
perintah Allah yang juga bertentangan dengan amanah yang mesti ia
jalankan.
3. Penempatan
Pejabat.
Menurut Ibn Taimiyah, untuk mendapatkan orang yang memenuhi persyaratan
ideal sebagaimana ia inginkan sangatlah rumit dan boleh dikatakan sangat jarang
didapat. Meski pun demikian, bukan berarti seorang penguasa harus berheti
begitu saja tanpa melakukan tindakan alternatif dalam rangka mengisi
kekosongan. Maka dari itu,,seorang sultan harus menetukan fungsi dan tujuan
dari jabatan yang harus diisi tersebut. Jika permasalah itu telah dipecahkan
oleh sultan maka tindakan selanjutnya adalah menetukan kriteria-kriteria yang
semestinya dpenuhi oleh calon pejabat. Apabila ini telah dilakukan maka seorang
sultan memperhitungkan dampak negatif
dan posiritf yang diakibatkan oleh penempatan pejabat di manasecara
kategori tidak memenuhi syarat seratus persen.
Berkaitan dengan hal ini, sultan harus memperhatikan aspek dominan dari
seorang calon itu dikaitkan dengan posisi yang akan didudukinya. Mana yang dari
sifat dominan itu yang paling relevan dengan jabatan yang tersedia, sehingga
pada akhirnya sultan dapat memilih orang yang lebih banyak mendatangkan manfaat
bagi jabatan itu ketimbang mudharat yang mungkin ditimbulkannya.
Selanjutnya Ibn taimiyah mengatakan jika dalam suatu posisi keperluan terhadap
orang yang bersifat amanah lebih mendesak dibanding oarang yang memiliki sifat al-Quwwah
maka asfek amanah harus didahulukan, seperti untuk mengisi jabatan
bendahara dan yang sejenisnya, di mana faktor amanah lebih diutamakan.
Begitu juga jika dalam suatu jabatan, seperti jabatan hakim, faktor wara'
lebih diutamakan dibanding faktor kepintaran, maka orang yang mempunyai ke-wara'-an
lebih baik diutamakan dibanding dengan orang yang hanya sekedar pintar tapi
tidak wara'.
Selain itu, dalam rangka menutupi aspek-aspek yang kurang dalam diri
penguasa maupun pejabat, maka harus ditumbuhkembangkan tradisi musyawarah
dengan para cendekiawan. Tradisi ini harus dijalankan guna menutupi kesenjangan
yang besar yang besar antara kelebihan dan kekurangan seseorang.
4. Harta dan
Pendistribusiannya.
a. Masalah-masalah
yang berhubungan dengan harta.
Ibn Taimiyah mengatakan, hal-hal yang berkaitan dengan harta benda ini
adalah masalah pertambangan (al-A'yan), utang-piutang baik yang bersifak khusus
maupun umum seperti penyerahanbarang titipan, harta teman seperkongsian, harta
orang yang diwakilinya, harta orang yang besekutu dengannya dalam suatu mudharabah
(bagi hasil), dan pembayaran (penyerahan) harta anak yatim. Hal lain
yang terkait dengan masalah harta adalah pembayaran utang dan lain sebagainya.
Jenis-jenis masalah yang berkaitan
dengan harta tersebut sangat erat kaitannya dengan masalah amanah, yaitu
memberikan hak-hak yang semestinya menjadi milik orang bersangkutan. Karenanya,
baik pejabat maupun rakyat harus bersama-sama melaksanakan amanah sebagaimana
mestinya. Amanah yang harus ditegakkan oleh penguasa dalam hal ini adalah menjamin terlaksananya penyampaian
hak tersebut kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan bagi rakyat, khususnya
yang mempunyai kelebihan harta, hendaknya memberikan sesuatu yang semestinya
kepada penguasa.
Jika harta yang diambil pemerintah
dengan cara yang sah dari rakyatnya seperti pajak, zakat dan lain sebagainya
harus dijamin pembagiannya kepada yagn berhak unuk itu, apalagi pengembalian
harta orang lain yang belum sempat ia nikmati karena sebelumnya berada di bwah
penguasaan orang lain.
b)
Masalah kezaliman pejabat dan rakyat dalam masalah
harta.
Kezaliman penguasa pada umumnya adalah mengambil harata dengan cara yagn
tidak semesstinya dari rakyat. Dan kezaliman rakyat biasanya adalah tidak
membayar apa yang semestinya ia berikan kepada pemerintah. Berkaitan denga
kezaliman rakyat terhadap pemerintah dan rakyat dengan rakyar, pemerintah harus
menetukan hukuman (ta'zir) yang layk bagi mereka, seperti memenjarakan dan
bahkan kalau perlu memukul mereka sampai yang bersangkutan memenuhi kewajiban
semestinya. Jika mereka mau menunjukkan harta mereka dan mau memnuhi kewajiban
tersebut mak amereka harus dibebaskan dari hukuman.
Adapun yang berkaitan dengan kezaliman penguasa kepada rakyat dalam masalah
ini, pemerintah yang adil haruslah mengembalikan harta tersebut kepada yang
berhak menerimanya. Termasuk dalam hal ini adalah hadiah dan sogokan seseorang
kepada pejabat pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar nertralitas dan kinerja
pemerintah tidak terganggu. Namun jika ada harta benda yang terlanjur diambil secara zalim dari rakyat,
tetapi tidak bisa dikembalikan lagi karena orang yang berhak atasnya sukar
ditemukan maka hendaklah harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat
Islam.
c)
Pendistribusian harta.
Berkaitan dengan hal ini, Ibn Taimiyah menekankan agar dalam pelaksanaannya memperhatikan skala
prioritas. Artinya, pendistribusian kekayaan negara selain berhubungan dengan al-fa'i,
al-ghanimah, dan al-shadaqah haruslah mengedapankan kemaslahatan
yang berhubungan dengan kepentingan umat yang lebih besar. Adapun yang
berkaitan dengan al-ganimah dan al-shadaqah secara khusus telah
dijelaskan oleh Allah dan rasul-Nya. Sedangkan pendistribusian al-fai',
Ibn Taimiyah menekankan bahwa yang harus diperiorotaskan adalah para pejuang di
jalan Allah.
Berkaitan dengan orang-orang yang berhak mendapatkan pemabagian yang
bearasal dari harta non al-ghanimah dan al-shadaqah tersebut meliputi, orang
yang mempunyai otoriras dalam pemerintahan, hakim, ulama, imam shalat, muazzin
dan orang-rang yang sangat membutuhkan bantuan tersebut.
BAB V
PENUTUP
Beberapa kesimpulan yang dipaparkan oleh
peniliti tesis ini adalah :
1. Ibn Taimiyah
merupakan ulama besar, cendekiwan muslim dengan wawasan lintas dispilin,
mujtahid mutlak, dan pejuang Islam. Dalam hal pemberantasan bid'ah, khurafat,
dan tkhayul, Ibn Taimiyah bisa dikatakan sebagai pelopor, karena dari usahanya
ini ia mencapai puncak ketenarannya yang akhirnya membuatnya disegani oleh
lawan maupun oleh kawan. Berkat usahanya dalam memberantas tiga hal tersebut
yang dianggap menyimpang itu, pemurnian Islam dalam arti kembali kepada
al-Qur'an dan Sunnah banyak diikuti oleh para pengagumnya. Disamping itu, ia
sangat gigih meperjuangkan bahwa pintu ijtihad tidaklah tertutup. Hal ini ia lakukan
guna menghindari keterbelakangan umat sebagaimana yang terjadi ketika itu.
2. Pemikiran politik Ibn
Taimiayah sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang berjalan pada
waktu itu, di mana pemerintahan Islam dalam keadaan tidak solid. Ketidaksolidan
itu, menurut Ibn Taimiyah, disebabkan karena umat Islam terkotak-kotak ke dalam
berbagai aliran, di mana hal itu menjadi penghambat kekuatan Islam. Oleh sebab
itu, lahirlah pemikiran Ibn Taimiyah yang bersifat realistis dan dianggap efektif
untuk mengatasi permaslahn kenegaraan pada waktu itu. Sikap realistisnya
terlihat dari pengakuannya terhadap dukungan riil kepada seorang penguasa,
ketimbang mempersoalkan masalah normatif seperti Ahl al-Hall wa al-qd
dalam konsepsi khilafah, karena secara fakta historis tidak pernah
terbukti efektifitasnya.
3. Amanah yang dimaksud Ibn Taimiyah dalam doktrin
pemerintahannya adalah pertama, keterkaitan antara penguasa sebagai
orang yang menerima kepercayaan melalui bai'ah yang dilakukan oleh Ahl
al-Syaukah sebagai kekuatan yang mempresentasikan umat dalam suatu
komunitas. Amanah dalam konteks ini adalah terjalinnya suatu kontrak
sosial, di mana penguasa berkewajiban menjalankan dan melindungi ajran-ajaran
agama. Di samping itu, ia juga wajib memberikan perlindungan dan rasa tentram
bagi masyarakat. Oleh sebab itu, dalam rangka menyampaikan dan menjalankan
amanah ini, penguasa harus membentuk tim pemerintahan negara dengan sangat hati-hati
dan terlepas dari unsur-unsur kolusi, nepotisme, dan korupsi. Masih dalam
konteks amanah, pemerintah harus mepertimbangkan aspek kepribadian orang
yang akan ditunjuk. Sementara di sisi lain, umat yang telah ber-bai'at
harus melakukan kewajibannya sebagaimana layaknya warga negara. Amanah
yang kedua adalah yang terkait dengan masalah pengelolaan harta negara.
Dalam hal ini, pemerintah wajib memberikan kepastian terhadap hak-hak dan
kewajiban rakyat agar apa yang semestinya menjadi milik mereka dapat diraih. Olehnya
itu, pemerintah dibolehkan melakukan penegakan hukum meskipun dengan hukuman
fisik.
0 komentar:
إرسال تعليق