الجمعة، 23 ديسمبر 2011

SIKAP AHLU SUNNAH TERHADAP LOGIKA (FILSAFAT) ARISTOTELES (BAG.1)



Oleh : Dr. ‘Utsman ‘Ali Hasan MA. 
Sumber : Manhaj al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad ‘inda Ahli Sunnah.
Alih Bahasa : Idrus Abidin

1.            PENGERTIAN LOGIKA ARISTOTELES.
Ahli filsafat memandang bahwa logika itu terbagi dua kategori, yaitu: logika eksternal (lahirian) dan logika internal (bathiniah). Yang masuk kategori eksternal adalah lafazh dan penuturan. Tata-cara untuk meluruskannya adalah dengan gramatika (nahwu) pada prosa dan ilmu ‘arudh (aturan nada sya’ir) pada syair-syair. Adapun pembicaraan internal maka ia termasuk kerja-kerja rasio dan pemikiran. Tata-cara meluruskannya dengan metode logika yang telah dikenal secara terminologis.[1]
Pengertian yang sangat dikenal di kalangan ahli filsafat adalah bahwa logika (manthiq) merupakan sarana metodologis yang dapat menjaga rasio dari kesalahan dalam aktifitas berfikir atau mencegahnya dari ketergelinciran dalam ranah pemikiran.[2]
Dengan makna yang sangat mirip dengan pengertian di atas, Ibnu Sina memberikan batasan terhadap logika dalam kitabnya, an-Najah, bahwasanya logika adalah merupakan sarana yang akan menjaga rasio dari kesalahan terhadap apa-apa yang kita asumsikan (tashawwur) dan kita putuskan (tashdiq), yang akan mengantarkan kepada keyakinan yang  benar, dengan memberikan pencetusnya dan mengikuti langkah-langkahnya.[3] Pengertian ini lahir berdasarkan manfaat dan signifikansi ilmu logika itu sendiri. Adapun pengertian ilmu logika dari sisi terminologisnya, dijelaskan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa, “Logika adalah merupakan upaya teoritis yang berusaha mengetahui bentuk dan materi apa yang membentuk sebuah pengertian yang benar. Hal ini sering disebut dengan kebenaran terminologis, dan juga mengetahui analogi (qiyas) yang benar, yang dikenal dengan istilah kebenaran demonstratif (burhan).[4]
Ahli filsafat memandang bahwa sarana tersebut telah ada dalam rasio manusia secara garizah. Karenannya, penggunaan metode ini mendahului masa penulisannya.[5] Aristoteles hanya berperan sebagai penyusun saja dan berjasa dalam menyusun sistematika pembahasannya. Atas dasar asumsi ini mereka mengatakan,[6] “Penisbatan ilmu logika tehadap filsafat seperti penisabatan ilmu gramatika Arab (nahwu) terhadap bahasa, juga penisbatan ilmu ‘arudh dalam lingkup syair. Posisi Aristoteles, dalam hal ini persis seperti posisi Sibawaih dan Khalil bin Ahmad. Penulis kitab al-Sullam mengatakan :
  (  وبعد ، فالمنطق للجنان                  نسبته كالنحو للسان )
“Setelahnya, (posisi) logika terhadap pisik penisbatannya seperti ilmu gramatika Arab (nahwu) terhadap bahasa”

2.         SISTEMATIKA ILMU LOGIKA.
Ilmu logika membahas seputar dua masalah utama :
A.      Masalah asumsi dan abstraksi (tashawwur). Yaitu mengenal sebuah subyek tanpa memberikan predikat sama sekali, baik dengan meniadakan (negatif) maupun menetapkannya (positif).[7] Cara untuk mengetahui bidang ini dengan melalui pengertian, yaitu perkataan yang menujukkan hakikat (subjek) sesuatu.[8] Pembahasan yang termasuk dalam kategori ini adalah masalah kata (lafazh) dan kandungan maknanya (dilalah) dan kajian yang terkait dengannya.
B.      Masalah putusan (tashdiq). Yaitu penisbatan putusan kepada subyek yang telah diasumsikan dan diabstraksikan.[9] Jalur yang ditempuh untuk mengetahuinya adalah dengan metode analogis (qiyas). Yaitu ungkapan yang terdiri dari beberapa pernyataan yang apabila diterima, maka konsekwensi logisnya adalah kita harus menerima pernyataan lain yang merupakan tuntunan pernyataan tersebut.[10]
Pembahasan yang masuk dalam kategori ini adalah seperti permasalah (qadhaya) dan jenis-jenisnya, analogi (qiyas) : bentuk, ragam, hukum dan permasalahan yang terkait dengannya.
Logika Aristoteles hanya membahas bentuk berpikir (logika formal) tanpa membahas isi pemikiran tersebut (logika material). Targetnya adalah mengetahui sebuah pemikiran (kebenaran) dengan cara berpikir yang benar dan menegaskan bahwa aktifitas berpikir tersebut jauh dari kontradiksi. Tujuan ini persis seperti dialektika Yunani, terutama yang dikembangkan oleh Sokrates dan Plato. Berdasarkan asumsi inilah logika Aristoteles sering dikenal dengan logika formal. Maksudnya, bahwa logika Aristoteles hanya fokus pada bentuk berpikir tanpa peduli dengan materi (konten) berpikir tersebut.[11]

3.      SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA ARISTOTELES.
A.    Sejarah Pertumbuhan Logika Aristoteles.
Pemikiran Yunani telah melewati  masa krisis yang sangat parah pada zaman berkembangnya dialektika kaum sofis. Yaitu metode debat yang menghalalkan segala cara demi untuk memenangkan perdebatan. Mereka mengingkari semua prinsip-prinsip yang sudah baku dan mendebat semua yang sifatnya aksiomatik. Kaum sofis mengklaim diri mengetahui segala sesuatu. Kebenaran dalam persfektif kaum sofis ini hanyalah masalah nisbi (relatip). Yaitu kebenaran berdasarkan pada persfektif masing-masing orang. Kesalahan adalah merupakan kemustahilan karena  standar kebenaran ada pada masing-masing orang. Semua yang dipandang benar maka itulah kebenaran sesungguhnya, sekali pun semua orang memandangnya sebagai kesalahan. Dua orang yang memperdebatkan suatu permasalahan masing-masing dipandang benar. Karenanya, kaum sofis seringkali memperkuat argumentasinya dengan beragam fakta sehingga tampak seperti kebenaran mutlak. Lalu kemudian ia sendiri yang mengkritisinya dengan pandangan berbeda dengan mengajukan bukti-bukti yang menegaskan bahwa yang benar adalah sebaliknya.[12]
Lalu Sokrates datang dan mengkritis semua metode dialektika kaum sofis dengan merumuskan standar baru dalam seni berdebat dan berdialektika. Ia mengembangkan metodologinya dengan mengkritisi semua mukaddimah pemikiran dan pandangan yang sedang berkembang, yang merupakan teori standar dalam penarikan kesimpulan. Ia senantiasa mendiskusikan tentang pengertian sesuatu yang sebenarnya bersama para teman diskusinya.[13] Yaitu pengertian yang menjelaskan tentang hakikat sesuatu yang sedang diperjelas. Karena itulah, Aristoteles mengakui bahwa Sokrateslah yang membahas hakikat sesuatu secara utuh karena ia telah menggunakan metodologi analogis (qiyas)[14] Ia juga membantu lawan debatnya untuk bisa sampai kepada hakikat sesuatu melalu metode yang disebut metode al-Taulid.[15]
Lalu datnglah Plato, murid Sokrates sendiri, untuk melanjutkan metode gurunya. Bahkan ia lebih mempertegas lagi tentang makna lafazh dan pengertian, hingga tidak ada peluang lagi adanya kesalahan. Ia bahkan menemukan metode yang disebut metode induksi. Yaitu perpindahan dari alam nyata kepada citra pikiran holistik yang ia sebut sebagai dunia ideal.
Citra rasio yang sempurna menurutnya hanyalah diperoleh dari dunia ideal yang merupakan wilayah pasti dan tidak stagnan serta merupakan wilayah kebenaran secara mutlak. Adapun wilayah nyata, ia hanyalah wilayah yang senantiasa berubah dan akan sirna. Ia hanyalah dunia kemiripan dan bukan dunia hakikat. Bahkan, pada perinsipnya, ia hanyalah bentuk tiruan dari dunia yang sebanarnya, yaitu dunia ideal. Koneksi antara ke dua wilayah ini merupakan efistemologi ilmu menurut Plato. Ilmu menurutnya adalah mengingat sedang kebodohan adalah melupakan sesuatu.[16] Fenomena ini, menurutnya adalah faktor yang paling potensial meruntuhkan klaim kaum sofis yang menganggap segala sesuatu senantiasa berubah dan menganggap relatifnya kebenaran.
Lalu datanglah Aristoteles[17], murid Plato, untuk mengambangkan hasil pikiran tersebut dengan metode yang ia sebut dengan metode analisis logika[18]. Ia fokus dengannya, menetapkan batasan-batasan terminologisnya dan mengatur sistematika pembahasannya. Karenanya, ilmu logika seringkali dinisbatkan kepadanya. Penisbatan ini hanyalah penisbatan sebagai perumus dan promotor dan bukan sebagai penemu dan pionir.[19]  Ibnu Khaldun mengatakan, “Para pendahulu membahas logika pada awal pembahasannya dengan kalimat per kalimat dan parsial serta metodenya juga belum diringkas. Sitematika pembahasannya juga belum ditata rapi. Lalu tampillah Aristoteles di Yunani yang meringkas sistematikan pembahasannya dan menyusun permalahan yang dikaji serta mengatur ulang bab dan pasal-pasalnya dan memproklamirkannya sebagai ilmu hikmah pertama dan sebagai kunci utamanya. Karena itulah, ia disebut sebagai muallim pertama.[20]

B.     Fase Awal Masuknya Ilmu Logika ke dalam Negeri Muslim.
Pendapat yang paling masyhur tentang awal mula masuknya logika Aristoteles ke dalam wilayah kaum muslimin dan kesibukan beberapa sarjana untuk menelaahnya adalah pada fase kekuasaan Bani Abbasiah. Yang mana, zaman tersebut banyak terinfeksi oleh ilmu filsafat dan terpengaruh signipikan oleh metode bahasa Yunani.[21]
Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid Al-Qayrawani mengatakan, “Semoga bani Ummayah dirahmati oleh Allah swt. Tidak ada seorang khalifah pun di kalangan mereka yang mempelopori lahirnya bid’ah dalam lingkup keislaman. Kekuasaan dan para pegawai mereka banyak dikuasai oleh orang-orang Arab. Tatkala kekhilafaan pindah dari kekuasaan mereka lalu beralih kepada bani Abbasiah, Negara mereka pun berdiri di walayah Parsi, sehingga kekuasaan tertinggi berada dalam kendali mereka. Sementara penguasanya banyak mengidap pemikiran yang cenderung kepada kekafiran dan memendam kebencian terhadap Islam dan orang-orang Arab. Lalu mereka memunculkan banyak kejadian-kejadian memilukan dalam Islam yang potensial menghancurkan Islam sendiri. Seandainya saja Allah swt tidak meberikan janji pada Nabi-Nya bahwa agama ini dan pemeluknya akan senatiasa mendapatkan kemenangan hingga datangnya hari kiamat kelak maka mereka akan menghancurkan Islam. Tetapi mereka mengelabui agama ini dan menggebosi pilar-pilarnya. Sedang Allah swt akan senatiasa memenuhi janji-janji-Nya insya Allah….” Beliau lalau menyebutkan bahwa kejadian memilukan pertama adalah transfer buku buku Yunani ke dalam dunia Islam melalui jalur Yahya bin Khalid bin Barmak (al-Barmaki), seorang menteri pada zaman pemerintahan Harun al-Rasyid. Yahya ini kemudian mencari buku-buku Yunani ke raja Roma. Ketika itu, buku buku tersebut sengaja dijauhkan dari padangan kaum Nasrani agar mereka tidak tertarik padanya. Lalu mereka kemudian mengirimkannya ke menteri yang berbangsa Arab, demi untuk menghindari bahayanya dan dengan harapan dapat merusak kondisi kaum muslimin. Sehingga seorang pentolan Roma mengatakan, “Tidaklah ilmu ini (Filsafat) memasuki sebuah Negara agama kecuali merusaknya dan membuat kalangan intelektualnya kacau-balau”.[22] Lalu al-Barmaki mendatangkan banyak kalangan zindik dan banyak filosof untuk mengkajinya secara mendalam.
Beberapa ahli mengindikasikan bahwa pengalihan ini terjadi sebelum masa bani Abbasiah, yaitu pada pase bani umayyah melalu jalur Khalid bin Yazid bin Muawiyah, ketika ia meminta beberapa intelektual Yunani untuk menerjemahkan beberapa literatur Yunani[23]
Argumen yang menguatkan kecenderungan ini adalah fakta yang disebutkan oleh al-Syahrastani bahwa rekan Wasil bin ‘Atha telah menelaah beberapa literature filosof.[24]
Untuk memadukan ke dua pendapat ini, sebaiknya kita mengatakan bahwa literatur tersebut awalnya masuk ke dunia muslim dan diarabkan pada masa bani umayyah, tetapi kala itu belumlah banyak beredar dan belumlah dikenal luas oleh banyak sarjana, karena kaum salaf masih banyak yang melarang untuk menelaahnya. Lalu meluaslah pada zaman al-Barmaki dan mendapatkan dukungan pada era al-Makmun karena ia banyak mendukung praktek-praktek bid’ah. Bahkan ia mendorong sarjana untuk menelaah lieteratur tersebut dibanding sekedar sibuk dengan ilmu-ilmu sarjana muslim masa awal dan mulai mengerdilkan ilmu-ilmu Sunnah (hadits).[25]
Sekali pun demikian, literatur filsafat tidak banyak mengundang perhatian dan penghargaan dari kalangan intelektual dari seluruh kalangan, baik Ahlu Sunnah, Muktazilah, Asya’irah, Karamiah[26], dan kalangan Syi’ah. Bahkan orang-orang yang menelaahnya dikenal luas oleh kalangan kaum muslimin sebagai orang menyimpang dan zindik. Seperti al-Farabi,[27] Ibnu Sina[28], al-Kindi[29] dll.

C.      Internalisasi Ilmu Logika ke Dalam Ilmu-Ilmu Agama (Syari’ah).
Asumsi yang banyak berkembang dalam benak banyak sarjana adalah bahwasanya kaum muslim telah terpengaruh secara mendalam dalam aktifitas intelektual mereka dengan logika Aristoteles. Terutama dalam lingkup ilmu Ushul Fiqh. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada adanya kemiripan antara ilmu ushul dengan ilmu logika dalam hal tujuan. Yaitu bahwa keduanya memiliki target untuk mengenal jalan yang dapat mengantarkan kepada kebenaran.[30] 
Pada hal, sebenarnya, pembahasan seputar uhsul fiqh telah diawali sejak zaman sahabat radiyallahu anhum. Kita mendapati pandangan mereka dalam masalah analogi (qiyas), illah, ‘am, khas dll. Hanya saja pembahasan tersebut masih terbatas karena kedekatan mereka dari zaman kenabian, juga karena ketersediaan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah serta sedikitnya tantangan perubahan yang ada ketika itu.[31]
Zaman sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya berlalu, namun kita tidak menemukan penadapat dari mereka seputar logika atau upaya asimilasi (pencampuradukan) antara logika dan ilmu-ilmu agama. Sekali pun tidak bisa dipungkiri keberadaan beberapa literatur Yunani pada beberapa kalangan kaum muslimin. Hal yang kita tolak adalah keberadaan logika yang telah terinternalisasikan ke dalam ilmu-ilmu agama pada zaman itu.[32]
Demikianlah kenyataannya hingga giliran imam al-Syafi’i rahimahullah hadir dalam rangka menuliskan dan menyusun sistematika serta menambah pembahasan seputar ilmu ushul ini dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam kitabnya yang bernama al-Risalah. Fakhruddin al-Razi mengatakan, “Sebelum Imam Syafi’I, para sarjana membahas isu-isu seputar ushul fiqih dengan argumentasi dan diskusi, tetapi mereka ketika itu belum memiliki landasan umum yang pantas dijadikan acuan dalam rangka mengenal petunjuk-petunjuk syari’at dan dalam rangka menolak dan menegaskannya (tarjih). Lalu kemudian Imam Syafi’I merumuskan ilmu ushul fiqih dan menjadikannya sebagai prinsip umum yang dijadikan landasan dalam rangka mengenal hirarki dalil-dalil syari’at.[33]
Al-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-Risalah sama sekali tidak terpengaruh dengan logika Yunani. Bahkan beliau sangat mencelanya dan mencela bahasanya (bahasa Yunani) dengan mengatakan, “Masyarakat muslim tidaklah menjadi bodoh dan tidak berbeda pendapat antar sesama kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab lalu beralih ke bahasa Aristoteles”[34] al-Suyuthi mengomantari pendapat ini dengan mengatakan, “……al-Qur’an dan Sunnah tidaklah terbentuk kecuali dengan formulasi dan terminologi orang-orang Arab dan sesuai gaya mereka dalam berdiskusi, berbicara, berargumen dan berlogika. Al-Qur’an dan Sunnah sama sekali tidak teformulasikan dengan terminologi Yunani. Tetapi setiap kelompok memiliki bahasa dan istilah-istilah terminologis masing-masing….”[35]
Bahkan al-Syafi’i mengingkari sikap sarjana ahli kalam, pada hal mereka umumnya tidak seperti para ahli logika dan filsafat, dan memandang perlunya membatasi dan memberikan sanksi ta’zir karena pendapat-pendapat ganjil yang mereka kembangkan. Pedapat beliau dalam hal ini sangatlah masyhur.[36] Lalu bagaimana mungkin beliau terpengaruh dengan sarjana logika. Padahal beliau telah mengenal dengan baik kerancuan akidah, logika rasio dan bahasa mereka.
Ada pun pendapat yang beredar bahwa al-Syafi’i mengatakan, “Saya mengenal apa yang dibahas oleh sarjana Romawi seperti Aristoteles, Mohraris, Forforius, Galonius, Bocrat dan Usud Fles dengan bahasa asli mereka”[37] maka fakta ini hanyalah kebohongan yang mengada-ada. Pada jalur transmisinya (isnad) terdapat seorang pemalsu dan pembohong yang bernama Muhammad bin Abdullah al-Balawi.[38] Sekali pun fakta ini kita anggap benar, maka tidak ditemukan indikasi yang membuktikan bahwa al-Syafi’i terpengaruh dengan ilmu logika dan pemikiran Yunani dalam penulisan karya-karyanya.
Kemudian metodologi penulisan ushul fiqih mulai berubah manakala beberapa sarjana teologi mulai terlibat, baik dari kalangan pengikut Asy’ari maupaun kalangan Muktizilah. Mereka lalu menggunakan metode kalam dan memasukan banyak isu-isu kalam ke dalamnya. Namun pun demikian, ushul fiqih tetaplah tidak tersandera oleh logika Aristoteles.[39]
Adapun upaya internalisasi (pencampuradukan) antara logika dengan ilmu-ilmu kaum muslimin, terutama sekali ushul fiqih, terjadi melalui tangan Abu Hamid al-Gazali mana kala ia melihat pentingnya mempelajari logika. Bahkan ia menjadikan logika sebagai syarat dalam rangka mecari ilmu dan menegaskan bahwa logika merupakan timbangan dan standar keilmuan. Bahkan ia menulis sebuah buku tentang hal ini dengan judul “Mi’yar al-‘Ilm, Mahk al-Nazhr, al-Qisthas al-Mustaqim dan kitab Maqashid al-Falasifah” Ia menyebutkan pada awal kitabnya yang berjudul al-Musthasfa[40] bahwa barang siapa yang tidak menguasai logika maka kepakarannya dalam ranah keilmuan tidak pantas diakui.
Kata-kata terakhir ini begitu banyak menginspirasi generasi ilmuan belakangan, baik para penulis dalam ranah ushul fiqih maupun pada bidang lainnya. Sehingga mereka berlomba-lomba mempelajari ilmu logika sehingga dapat meneyempurnakan syarat-syarat sebagai pemikir dan ahli ijtihad, serta pantas untuk menulis karya ilmiah dan menjadi ahli fatwa.[41] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Karena beberapa faktor yang mempengaruhi hidupnya, maka banyak sarjana ahli yang memasukkan logika dalam daftar keahlian mereka. Bahkan generasi sarjana belakangan yang menempuh jalur tersebut mengira bahwa tidak ada lagi jalan lain dalam menguasai intelektual keislaman kecuali dengan logika Yunani. Pada hal mereka luput mengamati bahwa masih banyak sarjana ahli lain dan kaum terpelajar dari kalangan muslim lainnya yang senantiasa mengingkari dan bahkan mencela metode tersebut. Bahkan kalangan sarjana ahli muslim telah menulis banyak karya-karya brilian dalam masalah ini”[42].
Sekalipun demikian, di akhir hidupnya, al-Gazali banyak mencela ilmu logika dan para ahli logika. Bahkan ia mengatakan bahwa metode mereka itu tidaklah bisa menyampaikan kepada tarap keyakinan yang mendalam, terutama dalam lingkup ilahiyyat (ketuhanan). Bahkan ia mencelanya dengan celaan yang melebihi sikapnya dalam mencela metodologi teolog dengan menjelaskan bahwa metodologi mereka mengandung kebodohan dan condong kepada nilai-nilai kufur yang menyebabkannya pantas untuk dicela. Beliau meninggal dalam keadaan sibuk mengkaji kitab hadits Bukhari dan Muslim.[43]
Di antara faktor penting yang menambah laju perkembangan ilmu logika dan filsafat pada generasi belakangan adalah bahwa Nashiruddin al-Thusi[44] mendirikan lembaga bernama Dar al-Hikmah pada zaman kaum Tatar. Ia menyiapkan uang sebanyak tiga dirham setiap hari bagi orang-orang yang mengkaji filsafat di sana. Ia juga mendirikan lembaga kedokteran bernama Dar Thibb dan menyiapkan dua dirham bagi mereka yang mengkaji ilmu kedokteran di sana setiap hari. Selain itu, ia mendirikan lembaga hadis yang ia namai Dar Hadis denan menyiapkan setengah dirham bagi mereka yang mengkaji ilmu-ilmu hadits dalam sehari. Sehingga berkembanglah filsafat dan ilmu logika serta Ilmu-Ilmu Yunani, setelah pada era sebelumnya, para pengkaji yang terlibat di bidang ini hanya bisa dihitung dengan jari dan dalam kondisi penuh kekhawatiran jika diketahui oleh sarjana ahli.[45]
Bersambung Ke Bag.2 pada Link Berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/02/sikap-ahlu-sunnah-terhadap-logika.html

NB : Harap Do'a Antum untuk penulis dan penerjemah dari balik tirai kegaiban. 
[1] Lihat : Hasyiah al-Jurjani ‘ala Tahrir al-Qawa’id al-Manthiqiyah, karya : Mahmud bin Muhammad al-Razi, hal.18 (Kairo : Maktabah Musthofa al-Babay al-Halabi), cet.2, th.1948
[2] Tahrir Qawa’id al-Manthiqiyah, Mahmud Muhammad al-Razi
[3] Hal.3, pengantar, Muhyiddin Sobri al-Kurdi, ( Mesir : Mathba’ah al-Saadah), cet.2, th.1938.
[4] An-Najah, hal.4
[5] Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq pada anotasi al-Khubaisi terhadap kitab al-Tahzib, karya : Abdul Muta’al  al-Shaidi, hal.3 (Mesir : Mathba’ah al-Namuzajiyyah), cet. ke-5, tth.
[6] Lihat : Kitan al-Najah karya Ibnu Sina, hal.5
[7] Lihat :al-Ta’rifat, karya al-Jurjani, hal.22
[8] Ibid, hal.45.
[9] Ibid, hal.32.
[10] Ibid, hal.96
[11] Lihat : al-Tafikir al-Manthiqi baina al-Manhaj al-Qadim wa al-Manhaj al-Jadid, ‘Abd, hal.19. lihat pula : al-Manthi wa Asykaluh, Muhammad Azizi Nazmi Salim, hal.11, (Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jami’ah), tth. Dan juga Kitab Tarikh a-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hal.52.
[12] Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.12-13, ( Mesir : Maktabah Anglo al-Misriyah ), cet.4, th.1966. Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim,hal.53 dan setelahnya. ( Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jamiah ) tth. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniayah, Yusuf Karam, hl.45-46. Al-Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.8-9
[13] Al-Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.10-11        
[14] Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.13-14, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hl.52-53
[15] Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim, hal.62-63. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hal.52-53
[16] Tarikh al-Falsafah, Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim, hal.71-75 dan 76-78.
[17] Ia disebut Aristateles dan Aristoteles. Istilah yang terakhir inilah yang paling dekat kepada istilah Yunani. Dia adalah anak Nekomakhes, sang dokter terkenal. Aristoteles adalah pentolah filosof musysyaiin. Ia dikenal pula dengan istilah muallim pertama karena dialah yang pertama merumuskan ilmu logika. Ia dilahirkan di mecodonia th.384 S.M. Setelah berumur 17 tahun ia kemudia pindah ke Atena lalu belajar ilmu filsafat dari Plato. Ia meninggal pada tahun 322 S.M. lihat : kitab , Dar al-Maarif, Petrus Bustani, vol.3, hal.75. ( Teheran : Muassasah Mathbuaatay Ismailiyani 1878 M – 1295 H, tth.
[18] Yang pertama menamai ilmu ini dengan ilmu logika (mantiq) adalah para komentator Aristoteles dan bukan timbul dari Aristoteles sendiri (Lihat : al-Mukjam al-Falsfi, Jamil Saliba, vol.2, hal.428, Madkhal Ila Ilm al-Mantiq, Dr Mahdi Fadhlullah, hal.18
[19] Lihat : al-Milal, Al-syahrastani, vol.2, hal.119-120
[20] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.462
[21] Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq karya : Abdul Muta’al  al-Shaidi, hal.5, Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.30 (Bairut : al-Maktab al-Islami), cet.1, th.1979.
[22] Shaun al-Manthik, hal.9
[23] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 2-3 ( Mesir : Dar al-Ma’arif), cet.2, th.1965. lihat pula : Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.31-32.
[24] Lihat : al-Milal wa an-Nihal, vol.1, hal.46
[25] Lihat : Shaun al-Mantik, hal.12
[26] Mereka adalah pengikut Abu Abdullah Muhammad bin Karam
[27] Nama lengkapnya adalah : Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan bin Auzlag. Asalnya dari Turki. Ia menguasai bahasa Yunani dan beberapa bahasa timur pada zamannya. Ia dikebal sebagai guru ke-2 karena telah mengomentari tulisan-tulisan Plato sebagai Sang Guru Pertama. Ia memiliki beberapa karya tulis, di antaranya : Ihsa al-Ulum, Ara’ al-Madinah al-Fhadilah dll. Ia berpandangan bahwa kelak diakhirat, kebangkitan hanya rohani saja tanpa fisik. Ia memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini yang menyelisihi mazhab  kaum muslimin dan filosof para pendahulunya. Ibnu Katsir mengatakan, “Karena pendapatnya itulah, jika ia meninggal dalam keyakinan demikian, maka ia potensial mendapatkan laknat dari Allah Swt.” Beliau juga berkomentar, “Al-Hafiz Ibnu Asakir tidaklah menyebutkan entri tentang al-Farabi karena kejelekan dan keburukannya”. Ia dilahirkan pada tahun 260 H dan meninggal pada tahun 339 H. Lihat : al-‘A’lam, karya al-Zerekli, vol.7, hal.242-243, juga kitab al-Bidayah wa an-nihayah, vol.11, hal.224, peristiwa tahun 339 H.
[28] Nama lengkapnya adalah : Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina yang dijuluki sebagai syekh al-Rais (professor). Ia memiliki karya tulis  pada bidang kedokteran, logika, ilmu alam dan ilmu teologi. Karyanya yang paling terenal adalah kitab al-Qanun. Ibnu Taimiyah mengomentari, “…..ia rajin mengambil pendapat orang-orang yang menyimpang dari kalangan orang-orang yang berafiliasi kepada Islam seperti dari kelompok Isma’Iliyah. Keluarga dan para pengikutnya terkenal sebagai orang-orang menyimpang di kalangan kaum muslimin zamannya.
[29] Nama lengkapnya adalah : Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak al-Shabah, seorang filosof dan salah seorang anak raja Kindah. Ia terkenal sebagai ahli kedokteran, filsafat, music dan sebagai seorang insinyur. Ia pernah disiksa pada zaman pemerintahan al-Mutawakkil dan buku-bukunya disita karena tuduhan sebagai orang sesat dalam beragama. Lalu kemudian buku-buku tersebut dikembalikan kepadanya. Ia memiliki kedudukan spesial pada pemerintahan al-Makmun. Di antara karya-karyanya : Risalah al-Tanjim dan Ilahiyaat Arsto. Ia meninggal pada tahun 260 H. Lihat : al-‘A’lam, karya al-Zerekli, vol.9, hal.255-256. Lisan al-Mizan, vol.6, hal.305. biografi no.1091.
[30] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 64-80. Dan kitab : Tajdid Ushul al-Fiqh al-Islami, karya : Dr. Hasan bin Abdullah al-Turabi, hal.12-22. (Bairut : Dar al-Jil), cet.1, th.1980 M.
[31] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 66. Dan kitab ‘Alam al-Muwaqqi’in, vol.1, hal.217.
[32] Lihat : Fatwa Ibnu Shalah dalam mengharamkan ilmu logika (manthiq) pada : Fatawa Ibn Shalah, hal.35, ( Turki :al-Maktabah al-Islamiyah ), tth.
[33] Manaqib al-Imam al-Syafi’i oleh al-Razi.
[34] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.15.
[35] Shaun al-Manthiq, hal.15.
[36] Lihat : Syarah al-Thahawiyah, hal.11, dan kitab Shaun al-Manthiq, hal.18-19.
[37] Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal.219-220
[38] Lihat : Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal. 220
[39] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 73-75.
[40] Vol.1, Lihat pula : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.14-15.
[41] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.1
[42] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198.
[43] Lihat : al-Munqiz min al-Dhalal, karya al-Gazali, hal.63-64 dan 88-93, (Damaskus : Maktabah Ibn Zaidun),  cet.2, th.1934. dan kitab Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.195-198.
[44] Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan, yang dikenal dengan Nashiruddin al-Thusi. Ia seorang filosof, juga merupakan ahli dalam ilmu-ilmu logika serta menguasai ilmu hitung dan sains. Posisinya makin tinggi pada zaman Holako Khan. Di antara karya tulisnya : Tahrir ushul Iqleydes dan Talkhis al-Muhassal karya al-Razi. Ia meniggal di Bagdad pada tahun 672 H.
[45] Lihat : al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, vol.13, hal.268 dan lihat pula : Kitab Shaun al-Manthiq, hal.13.




0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال