Oleh : Dr. ‘Utsman ‘Ali Hasan MA.
Sumber : Manhaj al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad ‘inda Ahli Sunnah.
Alih Bahasa : Idrus Abidin
1.
PENGERTIAN
LOGIKA ARISTOTELES.
Ahli filsafat memandang bahwa logika
itu terbagi dua kategori, yaitu: logika eksternal (lahirian) dan logika internal
(bathiniah). Yang masuk kategori eksternal adalah lafazh dan penuturan. Tata-cara
untuk meluruskannya adalah dengan gramatika (nahwu) pada prosa dan ilmu ‘arudh
(aturan nada sya’ir) pada syair-syair. Adapun pembicaraan internal maka ia
termasuk kerja-kerja rasio dan pemikiran. Tata-cara meluruskannya dengan metode
logika yang telah dikenal secara terminologis.[1]
Pengertian yang sangat dikenal di
kalangan ahli filsafat adalah bahwa logika (manthiq) merupakan sarana
metodologis yang dapat menjaga rasio dari kesalahan dalam aktifitas berfikir
atau mencegahnya dari ketergelinciran dalam ranah pemikiran.[2]
Dengan makna yang sangat mirip dengan
pengertian di atas, Ibnu Sina memberikan batasan terhadap logika dalam
kitabnya, an-Najah, bahwasanya logika adalah merupakan sarana yang akan menjaga
rasio dari kesalahan terhadap apa-apa yang kita asumsikan (tashawwur) dan kita putuskan
(tashdiq), yang akan mengantarkan kepada keyakinan yang benar, dengan memberikan pencetusnya dan
mengikuti langkah-langkahnya.[3]
Pengertian ini lahir berdasarkan manfaat dan signifikansi ilmu logika itu
sendiri. Adapun pengertian ilmu logika dari sisi terminologisnya, dijelaskan
oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa, “Logika adalah merupakan upaya teoritis
yang berusaha mengetahui bentuk dan materi apa yang membentuk sebuah pengertian
yang benar. Hal ini sering disebut dengan kebenaran terminologis, dan juga
mengetahui analogi (qiyas) yang benar, yang dikenal dengan istilah kebenaran
demonstratif (burhan).[4]
Ahli filsafat memandang bahwa sarana
tersebut telah ada dalam rasio manusia secara garizah. Karenannya, penggunaan metode
ini mendahului masa penulisannya.[5]
Aristoteles hanya berperan sebagai penyusun saja dan berjasa dalam menyusun
sistematika pembahasannya. Atas dasar asumsi ini mereka mengatakan,[6]
“Penisbatan ilmu logika tehadap filsafat seperti penisabatan ilmu gramatika
Arab (nahwu) terhadap bahasa, juga penisbatan ilmu ‘arudh dalam lingkup
syair. Posisi Aristoteles, dalam hal ini persis seperti posisi Sibawaih dan
Khalil bin Ahmad. Penulis kitab al-Sullam mengatakan :
(
وبعد ، فالمنطق للجنان
نسبته كالنحو للسان )
“Setelahnya,
(posisi) logika terhadap pisik penisbatannya seperti ilmu gramatika Arab
(nahwu) terhadap bahasa”
2.
SISTEMATIKA ILMU
LOGIKA.
Ilmu
logika membahas seputar dua masalah utama :
A.
Masalah asumsi dan abstraksi (tashawwur). Yaitu mengenal
sebuah subyek tanpa memberikan predikat sama sekali, baik dengan meniadakan (negatif)
maupun menetapkannya (positif).[7] Cara
untuk mengetahui bidang ini dengan melalui pengertian, yaitu perkataan yang
menujukkan hakikat (subjek) sesuatu.[8] Pembahasan
yang termasuk dalam kategori ini adalah masalah kata (lafazh) dan kandungan
maknanya (dilalah) dan kajian yang terkait dengannya.
B.
Masalah putusan (tashdiq). Yaitu penisbatan putusan kepada
subyek yang telah diasumsikan dan diabstraksikan.[9]
Jalur yang ditempuh untuk mengetahuinya adalah dengan metode analogis (qiyas).
Yaitu ungkapan yang terdiri dari beberapa pernyataan yang apabila diterima,
maka konsekwensi logisnya adalah kita harus menerima pernyataan lain yang merupakan
tuntunan pernyataan tersebut.[10]
Pembahasan yang masuk dalam kategori ini adalah seperti permasalah
(qadhaya) dan jenis-jenisnya, analogi (qiyas) : bentuk, ragam, hukum dan
permasalahan yang terkait dengannya.
Logika Aristoteles hanya membahas bentuk berpikir (logika
formal) tanpa membahas isi pemikiran tersebut (logika material). Targetnya
adalah mengetahui sebuah pemikiran (kebenaran) dengan cara berpikir yang benar
dan menegaskan bahwa aktifitas berpikir tersebut jauh dari kontradiksi. Tujuan
ini persis seperti dialektika Yunani, terutama yang dikembangkan oleh Sokrates
dan Plato. Berdasarkan asumsi inilah logika Aristoteles sering dikenal dengan
logika formal. Maksudnya, bahwa logika Aristoteles hanya fokus pada bentuk berpikir
tanpa peduli dengan materi (konten) berpikir tersebut.[11]
3.
SEJARAH
PERKEMBANGAN LOGIKA ARISTOTELES.
A.
Sejarah
Pertumbuhan Logika Aristoteles.
Pemikiran
Yunani telah melewati masa krisis yang
sangat parah pada zaman berkembangnya dialektika kaum sofis. Yaitu metode debat
yang menghalalkan segala cara demi untuk memenangkan perdebatan. Mereka
mengingkari semua prinsip-prinsip yang sudah baku dan mendebat semua yang sifatnya
aksiomatik. Kaum sofis mengklaim diri mengetahui segala sesuatu. Kebenaran
dalam persfektif kaum sofis ini hanyalah masalah nisbi (relatip). Yaitu
kebenaran berdasarkan pada persfektif masing-masing orang. Kesalahan adalah
merupakan kemustahilan karena standar
kebenaran ada pada masing-masing orang. Semua yang dipandang benar maka itulah
kebenaran sesungguhnya, sekali pun semua orang memandangnya sebagai kesalahan.
Dua orang yang memperdebatkan suatu permasalahan masing-masing dipandang benar.
Karenanya, kaum sofis seringkali memperkuat argumentasinya dengan beragam fakta
sehingga tampak seperti kebenaran mutlak. Lalu kemudian ia sendiri yang
mengkritisinya dengan pandangan berbeda dengan mengajukan bukti-bukti yang
menegaskan bahwa yang benar adalah sebaliknya.[12]
Lalu
Sokrates datang dan mengkritis semua metode dialektika kaum sofis dengan
merumuskan standar baru dalam seni berdebat dan berdialektika. Ia mengembangkan
metodologinya dengan mengkritisi semua mukaddimah pemikiran dan pandangan yang
sedang berkembang, yang merupakan teori standar dalam penarikan kesimpulan. Ia
senantiasa mendiskusikan tentang pengertian sesuatu yang sebenarnya bersama
para teman diskusinya.[13]
Yaitu pengertian yang menjelaskan tentang hakikat sesuatu yang sedang
diperjelas. Karena itulah, Aristoteles mengakui bahwa Sokrateslah yang membahas
hakikat sesuatu secara utuh karena ia telah menggunakan metodologi analogis
(qiyas)[14]
Ia juga membantu lawan debatnya untuk bisa sampai kepada hakikat sesuatu melalu
metode yang disebut metode al-Taulid.[15]
Lalu
datnglah Plato, murid Sokrates sendiri, untuk melanjutkan metode gurunya.
Bahkan ia lebih mempertegas lagi tentang makna lafazh dan pengertian, hingga
tidak ada peluang lagi adanya kesalahan. Ia bahkan menemukan metode yang
disebut metode induksi. Yaitu perpindahan dari alam nyata kepada citra pikiran
holistik yang ia sebut sebagai dunia ideal.
Citra
rasio yang sempurna menurutnya hanyalah diperoleh dari dunia ideal yang
merupakan wilayah pasti dan tidak stagnan serta merupakan wilayah kebenaran
secara mutlak. Adapun wilayah nyata, ia hanyalah wilayah yang senantiasa
berubah dan akan sirna. Ia hanyalah dunia kemiripan dan bukan dunia hakikat.
Bahkan, pada perinsipnya, ia hanyalah bentuk tiruan dari dunia yang sebanarnya,
yaitu dunia ideal. Koneksi antara ke dua wilayah ini merupakan efistemologi
ilmu menurut Plato. Ilmu menurutnya adalah mengingat sedang kebodohan adalah
melupakan sesuatu.[16]
Fenomena ini, menurutnya adalah faktor yang paling potensial meruntuhkan klaim
kaum sofis yang menganggap segala sesuatu senantiasa berubah dan menganggap relatifnya
kebenaran.
Lalu
datanglah Aristoteles[17],
murid Plato, untuk mengambangkan hasil pikiran tersebut dengan metode yang ia
sebut dengan metode analisis logika[18].
Ia fokus dengannya, menetapkan batasan-batasan terminologisnya dan mengatur
sistematika pembahasannya. Karenanya, ilmu logika seringkali dinisbatkan
kepadanya. Penisbatan ini hanyalah penisbatan sebagai perumus dan promotor dan
bukan sebagai penemu dan pionir.[19] Ibnu Khaldun mengatakan, “Para
pendahulu membahas logika pada awal pembahasannya dengan kalimat per kalimat
dan parsial serta metodenya juga belum diringkas. Sitematika pembahasannya juga
belum ditata rapi. Lalu tampillah Aristoteles di Yunani yang meringkas
sistematikan pembahasannya dan menyusun permalahan yang dikaji serta mengatur
ulang bab dan pasal-pasalnya dan memproklamirkannya sebagai ilmu hikmah pertama
dan sebagai kunci utamanya. Karena itulah, ia disebut sebagai muallim pertama.[20]
B.
Fase
Awal Masuknya Ilmu Logika ke dalam Negeri Muslim.
Pendapat yang paling masyhur tentang
awal mula masuknya logika Aristoteles ke dalam wilayah kaum muslimin dan
kesibukan beberapa sarjana untuk menelaahnya adalah pada fase kekuasaan Bani
Abbasiah. Yang mana, zaman tersebut banyak terinfeksi oleh ilmu filsafat dan
terpengaruh signipikan oleh metode bahasa Yunani.[21]
Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid Al-Qayrawani
mengatakan, “Semoga bani Ummayah dirahmati oleh Allah swt. Tidak ada seorang
khalifah pun di kalangan mereka yang mempelopori lahirnya bid’ah dalam lingkup
keislaman. Kekuasaan dan para pegawai mereka banyak dikuasai oleh orang-orang
Arab. Tatkala kekhilafaan pindah dari kekuasaan mereka lalu beralih kepada bani
Abbasiah, Negara mereka pun berdiri di walayah Parsi, sehingga kekuasaan
tertinggi berada dalam kendali mereka. Sementara penguasanya banyak mengidap
pemikiran yang cenderung kepada kekafiran dan memendam kebencian terhadap Islam
dan orang-orang Arab. Lalu mereka memunculkan banyak kejadian-kejadian memilukan
dalam Islam yang potensial menghancurkan Islam sendiri. Seandainya saja Allah
swt tidak meberikan janji pada Nabi-Nya bahwa agama ini dan pemeluknya akan
senatiasa mendapatkan kemenangan hingga datangnya hari kiamat kelak maka mereka
akan menghancurkan Islam. Tetapi mereka mengelabui agama ini dan menggebosi
pilar-pilarnya. Sedang Allah swt akan senatiasa memenuhi janji-janji-Nya insya Allah….”
Beliau lalau menyebutkan bahwa kejadian memilukan pertama adalah transfer buku
buku Yunani ke dalam dunia Islam melalui jalur Yahya bin Khalid bin Barmak
(al-Barmaki), seorang menteri pada zaman pemerintahan Harun al-Rasyid. Yahya
ini kemudian mencari buku-buku Yunani ke raja Roma. Ketika itu, buku buku
tersebut sengaja dijauhkan dari padangan kaum Nasrani agar mereka tidak
tertarik padanya. Lalu mereka kemudian mengirimkannya ke menteri yang berbangsa
Arab, demi untuk menghindari bahayanya dan dengan harapan dapat merusak kondisi
kaum muslimin. Sehingga seorang pentolan Roma mengatakan, “Tidaklah ilmu ini
(Filsafat) memasuki sebuah Negara agama kecuali merusaknya dan membuat kalangan
intelektualnya kacau-balau”.[22]
Lalu al-Barmaki mendatangkan banyak kalangan zindik dan banyak filosof untuk
mengkajinya secara mendalam.
Beberapa ahli mengindikasikan bahwa
pengalihan ini terjadi sebelum masa bani Abbasiah, yaitu pada pase bani umayyah
melalu jalur Khalid bin Yazid bin Muawiyah, ketika ia meminta beberapa
intelektual Yunani untuk menerjemahkan beberapa literatur Yunani[23]
Argumen yang menguatkan kecenderungan
ini adalah fakta yang disebutkan oleh al-Syahrastani bahwa rekan Wasil bin ‘Atha
telah menelaah beberapa literature filosof.[24]
Untuk memadukan ke dua pendapat ini,
sebaiknya kita mengatakan bahwa literatur tersebut awalnya masuk ke dunia
muslim dan diarabkan pada masa bani umayyah, tetapi kala itu belumlah banyak
beredar dan belumlah dikenal luas oleh banyak sarjana, karena kaum salaf masih banyak
yang melarang untuk menelaahnya. Lalu meluaslah pada zaman al-Barmaki dan
mendapatkan dukungan pada era al-Makmun karena ia banyak mendukung
praktek-praktek bid’ah. Bahkan ia mendorong sarjana untuk menelaah lieteratur
tersebut dibanding sekedar sibuk dengan ilmu-ilmu sarjana muslim masa awal dan
mulai mengerdilkan ilmu-ilmu Sunnah (hadits).[25]
Sekali pun demikian, literatur filsafat
tidak banyak mengundang perhatian dan penghargaan dari kalangan intelektual
dari seluruh kalangan, baik Ahlu Sunnah, Muktazilah, Asya’irah, Karamiah[26],
dan kalangan Syi’ah. Bahkan orang-orang yang menelaahnya dikenal luas oleh kalangan
kaum muslimin sebagai orang menyimpang dan zindik. Seperti al-Farabi,[27]
Ibnu Sina[28],
al-Kindi[29]
dll.
C.
Internalisasi Ilmu Logika ke Dalam
Ilmu-Ilmu Agama (Syari’ah).
Asumsi yang banyak berkembang dalam
benak banyak sarjana adalah bahwasanya kaum muslim telah terpengaruh secara
mendalam dalam aktifitas intelektual mereka dengan logika Aristoteles. Terutama
dalam lingkup ilmu Ushul Fiqh. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada adanya
kemiripan antara ilmu ushul dengan ilmu logika dalam hal tujuan. Yaitu bahwa
keduanya memiliki target untuk mengenal jalan yang dapat mengantarkan kepada
kebenaran.[30]
Pada hal, sebenarnya, pembahasan
seputar uhsul fiqh telah diawali sejak zaman sahabat radiyallahu anhum.
Kita mendapati pandangan mereka dalam masalah analogi (qiyas), illah, ‘am, khas
dll. Hanya saja pembahasan tersebut masih terbatas karena kedekatan mereka dari
zaman kenabian, juga karena ketersediaan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah serta
sedikitnya tantangan perubahan yang ada ketika itu.[31]
Zaman sahabat, tabi’in dan generasi
setelahnya berlalu, namun kita tidak menemukan penadapat dari mereka seputar
logika atau upaya asimilasi (pencampuradukan) antara logika dan ilmu-ilmu
agama. Sekali pun tidak bisa dipungkiri keberadaan beberapa literatur Yunani
pada beberapa kalangan kaum muslimin. Hal yang kita tolak adalah keberadaan
logika yang telah terinternalisasikan ke dalam ilmu-ilmu agama pada zaman itu.[32]
Demikianlah kenyataannya hingga giliran
imam al-Syafi’i rahimahullah hadir dalam rangka menuliskan dan menyusun
sistematika serta menambah pembahasan seputar ilmu ushul ini dengan menyebutkan
dalil-dalilnya yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam kitabnya
yang bernama al-Risalah. Fakhruddin al-Razi mengatakan, “Sebelum Imam
Syafi’I, para sarjana membahas isu-isu seputar ushul fiqih dengan argumentasi
dan diskusi, tetapi mereka ketika itu belum memiliki landasan umum yang pantas
dijadikan acuan dalam rangka mengenal petunjuk-petunjuk syari’at dan dalam
rangka menolak dan menegaskannya (tarjih). Lalu kemudian Imam Syafi’I
merumuskan ilmu ushul fiqih dan menjadikannya sebagai prinsip umum yang
dijadikan landasan dalam rangka mengenal hirarki dalil-dalil syari’at.[33]
Al-Syafi’i rahimahullah dalam
kitabnya al-Risalah sama sekali tidak terpengaruh dengan logika Yunani.
Bahkan beliau sangat mencelanya dan mencela bahasanya (bahasa Yunani) dengan
mengatakan, “Masyarakat muslim tidaklah menjadi bodoh dan tidak berbeda
pendapat antar sesama kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab lalu
beralih ke bahasa Aristoteles”[34]
al-Suyuthi mengomantari pendapat ini dengan mengatakan, “……al-Qur’an dan Sunnah
tidaklah terbentuk kecuali dengan formulasi dan terminologi orang-orang Arab
dan sesuai gaya mereka dalam berdiskusi, berbicara, berargumen dan berlogika.
Al-Qur’an dan Sunnah sama sekali tidak teformulasikan dengan terminologi
Yunani. Tetapi setiap kelompok memiliki bahasa dan istilah-istilah terminologis
masing-masing….”[35]
Bahkan al-Syafi’i mengingkari sikap sarjana
ahli kalam, pada hal mereka umumnya tidak seperti para ahli logika dan
filsafat, dan memandang perlunya membatasi dan memberikan sanksi ta’zir karena
pendapat-pendapat ganjil yang mereka kembangkan. Pedapat beliau dalam hal ini
sangatlah masyhur.[36]
Lalu bagaimana mungkin beliau terpengaruh dengan sarjana logika. Padahal beliau
telah mengenal dengan baik kerancuan akidah, logika rasio dan bahasa mereka.
Ada pun pendapat yang beredar bahwa al-Syafi’i
mengatakan, “Saya mengenal apa yang dibahas oleh sarjana Romawi seperti Aristoteles,
Mohraris, Forforius, Galonius, Bocrat dan Usud Fles dengan bahasa asli mereka”[37]
maka fakta ini hanyalah kebohongan yang mengada-ada. Pada jalur transmisinya
(isnad) terdapat seorang pemalsu dan pembohong yang bernama Muhammad bin
Abdullah al-Balawi.[38]
Sekali pun fakta ini kita anggap benar, maka tidak ditemukan indikasi yang
membuktikan bahwa al-Syafi’i terpengaruh dengan ilmu logika dan pemikiran
Yunani dalam penulisan karya-karyanya.
Kemudian metodologi penulisan ushul fiqih
mulai berubah manakala beberapa sarjana teologi mulai terlibat, baik dari
kalangan pengikut Asy’ari maupaun kalangan Muktizilah. Mereka lalu menggunakan
metode kalam dan memasukan banyak isu-isu kalam ke dalamnya. Namun pun demikian,
ushul fiqih tetaplah tidak tersandera oleh logika Aristoteles.[39]
Adapun upaya internalisasi
(pencampuradukan) antara logika dengan ilmu-ilmu kaum muslimin, terutama sekali
ushul fiqih, terjadi melalui tangan Abu Hamid al-Gazali mana kala ia melihat pentingnya
mempelajari logika. Bahkan ia menjadikan logika sebagai syarat dalam rangka
mecari ilmu dan menegaskan bahwa logika merupakan timbangan dan standar
keilmuan. Bahkan ia menulis sebuah buku tentang hal ini dengan judul “Mi’yar
al-‘Ilm, Mahk al-Nazhr, al-Qisthas al-Mustaqim dan kitab Maqashid al-Falasifah”
Ia menyebutkan pada awal kitabnya yang berjudul al-Musthasfa[40]
bahwa barang siapa yang tidak menguasai logika maka kepakarannya dalam ranah
keilmuan tidak pantas diakui.
Kata-kata terakhir
ini begitu banyak menginspirasi generasi ilmuan belakangan, baik para penulis
dalam ranah ushul fiqih maupun pada bidang lainnya. Sehingga mereka
berlomba-lomba mempelajari ilmu logika sehingga dapat meneyempurnakan
syarat-syarat sebagai pemikir dan ahli ijtihad, serta pantas untuk menulis
karya ilmiah dan menjadi ahli fatwa.[41]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Karena beberapa faktor yang
mempengaruhi hidupnya, maka banyak sarjana ahli yang memasukkan logika dalam
daftar keahlian mereka. Bahkan generasi sarjana belakangan yang menempuh jalur
tersebut mengira bahwa tidak ada lagi jalan lain dalam menguasai intelektual
keislaman kecuali dengan logika Yunani. Pada hal mereka luput mengamati bahwa
masih banyak sarjana ahli lain dan kaum terpelajar dari kalangan muslim lainnya
yang senantiasa mengingkari dan bahkan mencela metode tersebut. Bahkan kalangan
sarjana ahli muslim telah menulis banyak karya-karya brilian dalam masalah ini”[42].
Sekalipun demikian,
di akhir hidupnya, al-Gazali banyak mencela ilmu logika dan para ahli logika.
Bahkan ia mengatakan bahwa metode mereka itu tidaklah bisa menyampaikan kepada
tarap keyakinan yang mendalam, terutama dalam lingkup ilahiyyat
(ketuhanan). Bahkan ia mencelanya dengan celaan yang melebihi sikapnya dalam
mencela metodologi teolog dengan menjelaskan bahwa metodologi mereka mengandung
kebodohan dan condong kepada nilai-nilai kufur yang menyebabkannya pantas untuk
dicela. Beliau meninggal dalam keadaan sibuk mengkaji kitab hadits Bukhari dan
Muslim.[43]
Di antara faktor penting yang menambah
laju perkembangan ilmu logika dan filsafat pada generasi belakangan adalah
bahwa Nashiruddin al-Thusi[44]
mendirikan lembaga bernama Dar al-Hikmah pada zaman kaum Tatar. Ia menyiapkan
uang sebanyak tiga dirham setiap hari bagi orang-orang yang mengkaji filsafat
di sana. Ia
juga mendirikan lembaga kedokteran bernama Dar Thibb dan menyiapkan dua dirham
bagi mereka yang mengkaji ilmu kedokteran di sana setiap hari. Selain itu, ia mendirikan
lembaga hadis yang ia namai Dar Hadis denan menyiapkan setengah dirham bagi
mereka yang mengkaji ilmu-ilmu hadits dalam sehari. Sehingga berkembanglah
filsafat dan ilmu logika serta Ilmu-Ilmu Yunani, setelah pada era sebelumnya,
para pengkaji yang terlibat di bidang ini hanya bisa dihitung dengan jari dan
dalam kondisi penuh kekhawatiran jika diketahui oleh sarjana ahli.[45]
Bersambung Ke Bag.2 pada Link Berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/02/sikap-ahlu-sunnah-terhadap-logika.html
NB : Harap Do'a Antum untuk penulis dan penerjemah dari balik tirai kegaiban.
[1] Lihat : Hasyiah al-Jurjani ‘ala Tahrir
al-Qawa’id al-Manthiqiyah, karya : Mahmud bin Muhammad al-Razi, hal.18 (Kairo :
Maktabah Musthofa al-Babay al-Halabi), cet.2, th.1948
[2] Tahrir Qawa’id al-Manthiqiyah, Mahmud
Muhammad al-Razi
[3] Hal.3, pengantar, Muhyiddin Sobri
al-Kurdi, ( Mesir : Mathba’ah al-Saadah), cet.2, th.1938.
[4] An-Najah, hal.4
[5] Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq pada
anotasi al-Khubaisi terhadap kitab al-Tahzib, karya : Abdul Muta’al al-Shaidi, hal.3 (Mesir : Mathba’ah al-Namuzajiyyah),
cet. ke-5, tth.
[6] Lihat : Kitan al-Najah karya Ibnu Sina,
hal.5
[7] Lihat :al-Ta’rifat, karya al-Jurjani,
hal.22
[8] Ibid, hal.45.
[9] Ibid, hal.32.
[10] Ibid, hal.96
[11] Lihat : al-Tafikir al-Manthiqi baina
al-Manhaj al-Qadim wa al-Manhaj al-Jadid, ‘Abd, hal.19. lihat pula : al-Manthi
wa Asykaluh, Muhammad Azizi Nazmi Salim, hal.11, (Iskandariah : Muassasah
Syabab al-Jami’ah), tth. Dan juga Kitab Tarikh a-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf
Karam, hal.52.
[12] Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij
al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.12-13, ( Mesir : Maktabah Anglo al-Misriyah ),
cet.4, th.1966. Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim,hal.53 dan
setelahnya. ( Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jamiah ) tth. Tarikh
al-Falsafah al-Yunaniayah, Yusuf Karam, hl.45-46. Al-Manthiq wal Fikr
al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.8-9
[13] Al-Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr
Abdussalam Muhammad Abduh, hal.10-11
[14] Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij
al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.13-14, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf
Karam, hl.52-53
[15] Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz
Nazmi Salim, hal.62-63. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hal.52-53
[16] Tarikh al-Falsafah, Dr Muhammad Aziz
Nazmi Salim, hal.71-75 dan 76-78.
[17] Ia disebut Aristateles dan Aristoteles.
Istilah yang terakhir inilah yang paling dekat kepada istilah Yunani. Dia
adalah anak Nekomakhes, sang dokter terkenal. Aristoteles adalah pentolah
filosof musysyaiin. Ia dikenal pula dengan istilah muallim pertama karena
dialah yang pertama merumuskan ilmu logika. Ia dilahirkan di mecodonia th.384
S.M. Setelah berumur 17 tahun ia kemudia pindah ke Atena lalu belajar ilmu
filsafat dari Plato. Ia meninggal pada tahun 322 S.M. lihat : kitab , Dar
al-Maarif, Petrus Bustani, vol.3, hal.75. ( Teheran : Muassasah Mathbuaatay
Ismailiyani 1878 M – 1295 H, tth.
[18] Yang pertama menamai ilmu ini dengan
ilmu logika (mantiq) adalah para komentator Aristoteles dan bukan timbul dari
Aristoteles sendiri (Lihat : al-Mukjam al-Falsfi, Jamil Saliba, vol.2, hal.428,
Madkhal Ila Ilm al-Mantiq, Dr Mahdi Fadhlullah, hal.18
[19] Lihat : al-Milal, Al-syahrastani, vol.2,
hal.119-120
[20] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.462
[21] Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq karya :
Abdul Muta’al al-Shaidi, hal.5, Mathiq
Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.30 (Bairut :
al-Maktab al-Islami), cet.1, th.1979.
[22] Shaun al-Manthik, hal.9
[23] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril
Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 2-3 ( Mesir : Dar al-Ma’arif), cet.2,
th.1965. lihat pula : Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni
al-Zayn, hal.31-32.
[24] Lihat : al-Milal wa an-Nihal, vol.1,
hal.46
[25] Lihat : Shaun al-Mantik, hal.12
[26] Mereka adalah pengikut Abu Abdullah
Muhammad bin Karam
[27] Nama lengkapnya adalah : Abu Nashr
Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan bin Auzlag. Asalnya dari Turki. Ia menguasai
bahasa Yunani dan beberapa bahasa timur pada zamannya. Ia dikebal sebagai guru
ke-2 karena telah mengomentari tulisan-tulisan Plato sebagai Sang Guru Pertama.
Ia memiliki beberapa karya tulis, di antaranya : Ihsa al-Ulum, Ara’ al-Madinah
al-Fhadilah dll. Ia berpandangan bahwa kelak diakhirat, kebangkitan hanya
rohani saja tanpa fisik. Ia memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini yang
menyelisihi mazhab kaum muslimin dan
filosof para pendahulunya. Ibnu Katsir mengatakan, “Karena pendapatnya itulah,
jika ia meninggal dalam keyakinan demikian, maka ia potensial mendapatkan
laknat dari Allah Swt.” Beliau juga berkomentar, “Al-Hafiz Ibnu Asakir tidaklah
menyebutkan entri tentang al-Farabi karena kejelekan dan keburukannya”. Ia
dilahirkan pada tahun 260 H dan meninggal pada tahun 339 H. Lihat : al-‘A’lam,
karya al-Zerekli, vol.7, hal.242-243, juga kitab al-Bidayah wa an-nihayah,
vol.11, hal.224, peristiwa tahun 339 H.
[28] Nama lengkapnya adalah : Abu Ali
al-Husain bin Abdullah bin Sina yang dijuluki sebagai syekh al-Rais
(professor). Ia memiliki karya tulis
pada bidang kedokteran, logika, ilmu alam dan ilmu teologi. Karyanya
yang paling terenal adalah kitab al-Qanun. Ibnu Taimiyah mengomentari, “…..ia rajin
mengambil pendapat orang-orang yang menyimpang dari kalangan orang-orang yang
berafiliasi kepada Islam seperti dari kelompok Isma’Iliyah. Keluarga dan para
pengikutnya terkenal sebagai orang-orang menyimpang di kalangan kaum muslimin
zamannya.
[29] Nama lengkapnya adalah : Abu Yusuf
Ya’kub bin Ishak al-Shabah, seorang filosof dan salah seorang anak raja Kindah.
Ia terkenal sebagai ahli kedokteran, filsafat, music dan sebagai seorang
insinyur. Ia pernah disiksa pada zaman pemerintahan al-Mutawakkil dan buku-bukunya
disita karena tuduhan sebagai orang sesat dalam beragama. Lalu kemudian
buku-buku tersebut dikembalikan kepadanya. Ia memiliki kedudukan spesial pada
pemerintahan al-Makmun. Di antara karya-karyanya : Risalah al-Tanjim dan
Ilahiyaat Arsto. Ia meninggal pada tahun 260 H. Lihat : al-‘A’lam, karya
al-Zerekli, vol.9, hal.255-256. Lisan al-Mizan, vol.6, hal.305. biografi
no.1091.
[30] Lihat :
Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril
Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 64-80. Dan kitab : Tajdid Ushul al-Fiqh
al-Islami, karya : Dr. Hasan bin Abdullah al-Turabi, hal.12-22. (Bairut : Dar
al-Jil), cet.1, th.1980 M.
[31] Lihat :
Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril
Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 66. Dan kitab ‘Alam al-Muwaqqi’in, vol.1,
hal.217.
[32] Lihat : Fatwa Ibnu Shalah dalam
mengharamkan ilmu logika (manthiq) pada : Fatawa Ibn Shalah, hal.35, ( Turki
:al-Maktabah al-Islamiyah ), tth.
[33] Manaqib
al-Imam al-Syafi’i oleh al-Razi.
[34] Lihat :
Shaun al-Manthiq, hal.15.
[35] Shaun
al-Manthiq, hal.15.
[36] Lihat :
Syarah al-Thahawiyah, hal.11, dan kitab Shaun al-Manthiq, hal.18-19.
[37] Miftah
Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal.219-220
[38] Lihat :
Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal. 220
[39] Lihat :
Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril
Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 73-75.
[40] Vol.1, Lihat pula : al-Radd ala
al-Manthiqiyyin, hal.14-15.
[41] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.1
[42] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198.
[43] Lihat : al-Munqiz min al-Dhalal, karya
al-Gazali, hal.63-64 dan 88-93, (Damaskus : Maktabah Ibn Zaidun), cet.2, th.1934. dan kitab Al-Radd ala
al-Manthiqiyyin, hal.195-198.
[44] Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhammad
bin Muhammad bin al-Hasan, yang dikenal dengan Nashiruddin al-Thusi. Ia seorang
filosof, juga merupakan ahli dalam ilmu-ilmu logika serta menguasai ilmu hitung
dan sains. Posisinya makin tinggi pada zaman Holako Khan. Di antara karya
tulisnya : Tahrir ushul Iqleydes dan Talkhis al-Muhassal karya al-Razi. Ia
meniggal di Bagdad pada tahun 672 H.
[45] Lihat : al-Bidayah wa an-Nihayah karya
Ibnu Katsir, vol.13, hal.268 dan lihat pula : Kitab Shaun al-Manthiq, hal.13.
0 komentar:
إرسال تعليق