Oleh : Idrus Abidin
A.
إن الحمد لله, نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلامضل له, ومن يضلله فلا هادي له, وأشهد أن لآ إله إلا الله وحده لاشريك له, وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله, وبعد :
Bahasa Al-Qur’an sering diklaim sebagai bahasa yang lahir ketika bangsa Arab mencapai puncak keemasan dari segi kompetensi bersastra (Bayan- Balagah). Hal ini ditandai oleh seringnya ajang musabaqah dalam menggubah syair, khutbah, petuah dan nasehat digelar. Syair-syair yang dinilai indah digantung di Ka'bah sebagai bentuk penghargaan terhadap sang penyair[1]. Di samping itu, penyair menempati posisi yang sangat terhormat di tengah masyarakat karena keahliannya yang dipandang tidak lazim itu. Dengan kemampuan bersyair yang dimiliki seseorang maka kabilah yang diwakilinya akan memiliki reputasi baik dan dengan demikian bisa menjadi duta bahasa antar kabilah-kabilah Arab lainnya.
Pada kondisi demikian, tantangan demi tantangan lahir dari al-Qur’an demi menunujukkan eksistensinya dari segi daya ungkap dan kandungannya yang mengungguli para ahli penggubah syair yang ada ketika itu. Tantangan ini ditujukan kepada mereka yang tidak mau mengakui kebenaran al-Qur’an sebagai produk Allah swt. (wahyu) dan menganggapnya sebagai hasil kreasi Nabi Muhammad saw. Dengan adanya tantangan ini, para penolak ajaran Nabi Muhammad saw. berusaha keras untuk menjawabnya. Tetapi tetap saja mereka tidak menunujukkan perlawanan yang berarti di hadapan hidangan ilahi ini (al-Qur’an).
Makalah sederhana ini bermaksud mengkaji aspek ketelitian pemilihan bahasa dalam Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan kata kerja (fi'il) yang tentunya memiliki makna tersendiri yang tidak bisa diwakili oleh kata benda dan kata sifat (isim). Demikian pula sebaliknya.
B.
B PENGERTIAN FI'IL.
Menurut Abdul Aziz An-Najjar, fi'il (kata kerja) adalah kata yang menunjukkan peristiwa dan waktu tertentu dari proses terjadinya peristiwa tersebut.[2] Sedang menurut Abbas Hasan, fi'il adalah kata yang menunjukkan dua hal secara bersamaan, yaitu peristiwa dan waktu yang menyertainya.[3]
Berdasarkan terminology di atas maka fi'il terbagi menjadi tiga kategori :
1) Fi'il Madhi : Yaitu kata yang menunjukkan peristiwa dan waktu yang telah berlalu sebelum terjadinya pembicaraan.
2) Fi'il Mudhari' : Yaitu kata yang menunjukkan peristiwa dan waktu, baik sekarang maupun yang akan datang.
3) Fi'il Amr : Yaitu kata yang menunjukkan peristiwa yang dikehendaki keberadaannya pada masa yang akan datang.[4]
C. FI'IL SEBAGAI MUFRADAT AL-QUR’AN.
Sebagai bagian dari kosa kata (mufradat) al-Qur’an, fi'il juga memiliki keistimewaan sebagaimana mufradat al-Qur’an lainnya. Keistimewaan itu setidaknya bisa dilihat dari tiga segi :
· Indahnya kesan yang ditimbulkan pada pendengaran.
· Kesesuaian mufradat dengan maknanya secara sempurna.
· Luasnya cakupan sebuah mufradat, yang mana kandungan (dilalah) mufradat selain al-Qur’an biasanya tidak seluas dengan cakupan tersebut.[5]
Ketiga keistimewaan mufradat al-Qur’an di atas adalah hasil formulasi ulama-ulama yang menggeluti kajian kemukjizatan al-Qur’an (i'jazul Qur'an), khususnya dari segi linguistik. Bahkan mereka tidak berhenti sampai di situ saja, linguis al-Qur’an pun telah mengarahkan penelitian mereka terhadap struktur kebahasaan yang digunakan al-Qur’an dalam meerangkai komponen-komponen kalimatnya. Struktur bahasa ini dikenal dengan sebutan uslub.
Dalam pandangan Syekh Abdul ‘Azhim al-Zarqani, uslub adalah metode ungkap yang digunakan oleh pembicara dalam merangkai ucapan-ucapannya dan memilih lafazh-lafazhnya. Atau sebuah sistem ungkap yang menjadi ciri pribadi sang pembicara dalam menyampaikan makna dan maksud yang dikehendakinya.[6]
Sedang uslub al-Qur’an dijelaskan oleh al-Zarqani sebagai sistem yang menjadi ciri al-Qur’an dalam merangkai ungkapan-ungkapannya dan memilih kata-kata yang digunakan. Kemudian beliau menjelaskan alasan keistimewaan uslub al-Qur’an dibandingkan dengan uslub lainnya dengan menulis, "Bukanlah hal yang asing jika al-Qur’an memiliki uslub tersendiri, karena setiap ungkapan ilahi atau ungkapan manusia pasti memiliki uslub masing-masing.[7]
Setelah itu, beliau menegaskan bahwa uslub berbeda dengan mufradat dan tarkib, yang mana beliu menjelaskan bahwa uslub adalah cara yang digunakan seseorang dalam memilih kata-kata yang kemudian dirangkai (tarakib) menjadi sebuah kalimat. Sedang mufradat adalah kata-kata yang menjadi objek pilihan dalam mentarkib sebuah kalimat. Adapun tarkib sendiri, maka ia adalah hasil dari rangkaian sejumlah kata yang membentuk kalimat.[8]
Berdasarkan paparan di atas, maka diketahui bahwa jika pemilihan kata sangat sempurna, kemudian rangkaiannya dalam tarkib nampak bagus berdasarkan metode (uslub) pemilihan yang valid dan rangkaian yang baik maka terpenuhilah salah satu unsur balagah yang nantinya menjadi instrumen dalam mengukur keistimewaan uslub-uslub al-Qur’an.
Secara umum, uslub al-Qur’an memiliki keistimewaan seperti :
Singkat dan padat makna.
Memuaskan para pemikir dan orang awam.
Memuaskan akal dan jiwa.
Keindahan dan ketetapan maknanya.[9]
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat melihat latar belakang pemilihan mufradat al-Qur’an, di antaranya dalam memilih bentuk fi'il dan isim dalam struktur bahasanya.
D. MAKNA, FUNGSI, DAN ASPEK PEMILIHAN FI'IL DALAM AL-QUR’AN.
Penggunaan kata kerja (fi'il) dalam al-Qur’an memiliki pesan khusus yang tidak bisa diwakili oleh isim. Demikian pula sebaliknya. Hal ini terjadi akibat dari fungsi fi'il yang menunjukkan makna yang selalu terjadi terus menerus (huduts) sehingga makna yang diwakilinya selalu baru dan segar (tajaddud). Atau dengan kata lain, fi'il mewakili suatu peristiwa yang senantiasa bergerak dan berkelanjutan.
Demikianlah makna fi'il dalam al-Qur’an. Kenyataan ini dipertegas oleh Imam Badruddin as-Syarkazi dengan menjelaskan bahwa, "Fi'il menunjukkan makna yang senantiasa baru (tajaddud) dan senantiasa terjadi terus menerus (huduts)".[10] Beliau mencontohkan firman Allah swt yang berbunyi : هل من خالق غير الله يرزقكم[11]., yang mana Allah swt. menggunakan fiil pada lafazh di atas dan tidak menggunakan isim, yaitu رازقكم. Hal ini, menurut beliau, karena jika dikatakan رازقكم maka maksud fi'il berupa terjadinya pemberian reqi dari Allah swt secara terus menerus akan hilang.[12]
Sementara itu, isim diinterperetasikan oleh ulama, diantaranya Imam Abdul Qahir al-Jurjani, sebagaimana dinukil oleh al-Hindawi, sebagai hal yang menegaskan makna sesuatu tanpa adanya unsur tajaddud secara simultan.[13] Pengertian ini seolah menunjukkan bahwa isim adalah kebalikan dari fi'il.
Bagi Manna al-Qatthan, isim adalah hal yang menunjukkan sesuatu yang pasti (tsubut) dan tidak berobah (istiqrar).[14] Makna ini, menurut beliau, menjadi latar belakang pemilihan isim pada firman Allah swt : إنما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله[15].. Beliau beralasan bahwa keimanan memiliki hakikat yang menjadikannya eksis selama komponennya tersedia.[16] Artinya bahwa keimanan memiliki wujud yang pasti dan kokoh dalam diri manusi. Di sini kami mengangkat pegertian isim sekedar membandingkannya dengan makna yang dikandung oleh fi'il.
Kemudian maksud tajaddud pada kata kerja lampau (fi'il madhi) adalah terjadinya suatu peristiwa pada waktu sebelumnya, sedang pada fi'il mudhari, tajaddud menunjukkan suatu peristiwa yang berulang kali dan terus menerus.[17]
Untuk memperjelas perbedaan peran fi'il dan isim, al-Hindawi mengutip penjelasan Abdul Qahir al-Jurjani dalam kitabnya yang masyhur, Dalail al-I'jaz. Di sana dikatakan :
"Jika Anda mengatakan : زيد منطلق maka Anda menegaskan terjadinya gerak pada Zaid tanpa membuatnya selalu baru dan terus menerus terjadi secara berkelanjutan. Bahkan makna demikian sama saja dengan makna ucapan Anda : زيد طويل dan عمرو قصير. Di sini, Anda tidak bermaksud menjadikan الطول dan القصر selalu terjadi dan beperoses, tetapi Anda hanya mengharuskan dan mengindikasikan keberadaan keduanya secara mutlak. Demikian pula pada perkataan Anda : زيد منطلق. Maksud Anda sama sekali tidak lebih dari sekedar menegaskan terjadinya gerak (انطلاق ) pada Zaid, sedang fi'il, tentu bermaksud menunujukkan hal tersebut. Jika anda mengatakan : زيد ها هو ينطلق maka Anda akan mengira bahwa gerak tersebut terjadi sedikit demi sedikit dan membuatnya selalu terjadi dan terus berlanjut.[18]
Contoh di atas disimpulkan oleh al-Hindawi dengan mengatakan, "Jadi isim dan fi'il di sini sepakat dalam menunjukkan makna gerak, tetapi orang yang ahli dan cermat dalam memahami makna lafazh-lafazh yang dikehendaki oleh sistem kebahasaan maka dialah yang memilih shigat yang tepat bagi makna yang sangat cermat dan teliti ( (دقيق yang dinginkannya. Makna yang halus ini tidak bisa diucapkan selain dengan satu shigat (bentuk). Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada sinonimitas dari segi shigat.[19]
Sebenarnya pesan fi'il berupa tajaddud dan huduts serta pesan isim berupa tsubut dan istiqrar tidaklah terakomadasi secara implisit dalam bentuk kata, tetapi hanya muncul dari shigat yang digunakan. Hal ini menyebabkan kehadiran keduanya dipastikan tidak terbaca oleh orang yang tidak memiliki rasa bahasa yang tinggi.
Fenomena ini disinggung oleh al-Hindawi ketika menjelaskan tentang kemungkinan adanya sinonimitas pada saat kata masih berupa bongkahan lafazh dan belum tersusun rapi dalam rangkaian kalimat. Beliau mengatakan, "Secara umum, orang yang berbicara, selain ahlul bayan, sama sekali tidak mampu membedakan makna isim dan makna fi'il dalam aktifitas berbahasa mereka."[20]
Sebenarnya, ketelitian al-Qur’an dalam membedakan penggunaan fi'il dan isim telah menjadi objek kajian para ulama-ulama terdahulu, khususnya ahli balagah al-Qur’an. Tapi hal yang lebih khusus lagi menunjukkan ketelitian pemilihan itu adalah penggunaan fi'il dengan beragam shigat-nya, seperti : Shigat al-madhi, shigat al-mudhare, shigat al-mabni lil-majhul, shigat af'al, shigat faa'ala, shigat fa'al, shigat infa'al, shigat ifta'al, shigat tafa'al dan shigat istaf'al. Yang terakhir inilah yang masih berserakan dalam berbagai karya ulama seperti kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab balagah dan sharaf. Sehingga Al-Hindawi berinisiatif mengumpulkannya dalam bentuk kajian akademis berupa tesis tentang I'jaz al-Sharfi Fii al-Qur’an Al-Karim.
E. CONTOH AFLIKASI PENGGUNAAN FI'IL.
Sebagaimana telah disingung sebelumnya bahwa fiil mengandung makna tajaddud dan istimrar. Di sini kami mengangkat beberapa ayat-ayat al-Qur’an sebagai contoh penerapan konsep tersebut, diantaranya :
1) Surah Al-Baqarah : 14-15.
وإذا لقوا الذين آمنوا قالوا آمنا وإذا خلوا إلي شياطينهم قالوا إنا معكم إنما نحن مستهزءون. الله يستهزئ بهم ويمدهم في طغيامهم يعمهون.
"Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami Telah beriman". dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka], mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka."
Pada ayat ke-14 di atas, Allah swt menerangkan sikap orang munafik ketika bertemu dengan orang muslim dan orang kafir. Yang mana mereka menyimpulkan bahwa kompromi mereka dengan orang-orang muslim secara lahiriah hanyalah merupakan bentuk ejekan terhadap mereka. Ejekan orang munafik itu diterangkan oleh Allah swt dengan isim (مستهزءون), lalu Allah swt menjawab ejekan itu dengan menggunkan fi'il (يستهزئ).
Rahasia peralihan dari isim (مستهزءون) menjadi fiil (يستهزئ) dijelaskan oleh Az-Zamahsyari dengan mengatakan, "Karena kata يستهزئ menunjukkan terjadinya ejekan dari Allah swt yang berulang dari waktu ke waktu. Demikianlah siksaan dan makar Allah terhadap mereka.
أولم يرون أنهم يفتنون في كل عام مرة أو مرتين (التوبة : 165)
Mereka tidak pernah lepas sepanjang waktu dari upaya Allah swt. untuk menyingkap tabiat busuk dan rencana picik mereka, dengan menurunkan berbagai ayat ayat al-Qur’an"[21].
Apa yang disimpulkan oleh Az-Zamahsyari di atas sangat dipuji oleh al-Hindawi. Hanya saja beliau menyayangkan sikap Az-Zamahsyari yang tidak melanjutkan analisanya terhadap lanjutan ayat yang juga menggunakan lafazh fi'il, yaitu (ويمدهم في طغيانهم يعمهون). Padahal menurut beliau, itu menunjukkan siksaan Allah swt terhadap orang-orang munafik yang terus menerus berupaya menolak kebenaran. Allah swt lalu menyiksa mereka dengan menutup hati mereka dari kebenaran dan menguncinya rapat-rapat, serta membiarkan mereka bergelimang dengan kezhaliman secara membabi buta. Menurut beliau, ayat yang menegaskan tentang hal ini banyak sekali, diantaranya, من كان في الضلالة فليمددله الرحمن مدا (مريم : 75) . Juga firman Allah swt yang berbunyi, ونقلب أفؤدتهم وأبصارهم كما لم يؤمنوا به أول مرة ونذرهم في طغيانهم يعمهون (الأنعام : 115). ….[22]
2) Surah Al-Baqarah : 87
أفكلما جاءكم رسول بما لا تهوى أنفسكم استكبرتم فريقا كذبتم و فريقا تقتلون
"Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?"
Sebelumnya telah disingung bahwa yang dimaksud tajaddud pada fi'il madhi adalah telah terjadinya suatu peristiwa, sedang pada fi'il mudhari, tajaddud berarti perbuatan yang selalu terjadi berulang kali[23]
Pada ayat ini terdapat dua bentuk fi'il yang digunkan oleh Allah swt, yaitu : Fi'il madhi (كذبتم) dan (تقتلون). Rahasia penggunaan fi'il madhi yang kemudian dialihkan kepada fi'il mudhari disinggung oleh Al-Hindawi dengan menulis, "Rahasia yang terdapat pada penggunaan fi'il madhi (كذبتم), sejauh yang saya ketahui-wallahu a'lam-adalah bahwa fase kenabian telah ditutup dengan kenabian Rasulullah saw, sedang upaya pengingkaran mereka terhadap beliau terjadi saat beliau telah diutus. Jadi pengingkara itu terjadi sebelum turunnya ayat. Dari sini maka lafazh madhi yang digunakan untuk menjelaskan pengingkaran itu sesuai dengan realita yang sebenarnya dan tidak ada lagi nabi diutus setelah Rasulullah saw yang dapat mereka ingkari. Kalau demikian adanya maka fi'il mudhari tidak bermakna apa-apa lagi di sini."[24]
Adapun peralihannya kepada fi'il mudhari dalam masalah pembunuhan dijelaskan oleh beliau dengan menulis, "Adapun upaya pembunuhan maka itu belumlah lepas dari kebiasaan mereka. Hal itu terbukti dengan adanya upaya mereka untuk membunuh Muhammad saw-dengan anggapan bahwa ayat tersebut turun sebelum perbuatan keji (pembunhan) mereka itu- Adapun jika turunnya dianggap berlangsung setelah terjadinya perbuatan tersebut maka itu merupakan penegasan terhadap kondisi sekarang, dan hal yang paling baik untuk menunujukkan hakikat itu adalah fi'il mudhari".[25]
F. KESIMPULAN.
Berdasarkan paparan di atas maka kesimpulan yang bisa ditarik adalah :
- Fi'il menunjukkan makna yang senantiasa baru (Tajaddud) dan senantiasa terjadi terus menerus (Al-Huduts).
- Isim adalah hal yang menegaskan makna sesuatu tanpa adanya unsur tajaddud secara simultan.
- Tajaddud pada fi'il madhi menunjukkan telah terjadinya suatu peristiwa, sedang pada fi'il mudhari, tajaddud berarti perbuatan yang selalu terjadi berulang kali.
DAFTAR BACAAN
- M Quraish Syihab, Mukjizat al-Qur’an : Ditinjau dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaib, (Jakarta : Mizan), Cet. 4, Th.1998.
- Abdul Aziz An-Najjar, Dhiya'us Saliki Ila Alfiyati Ibnu Malik, Vol.1, (Mesir : Maktabah As-Sa'adah) Cet.3, Th.1973,
- Abbas Hasan, An-Nahwu al-Wafi', Vol.2, (Mesir : Darul Ma'arif), Cet.5, Tth.
- Dr.Bakri Syekh Amin, At-Tabiir Al-Fanni Fiil Qur'an al-Karim, (Darul Ilmi Lilmalayiin), cet.5,th.1994
- Abdul Azhim Al-Zaqani, Manahilul Irfan, (Bairut : Darul Ma'rifah), Vol.2, cet.1, th.1999
- Abdullah Dirras, an-Naba' al-Azhim, (Kuwait : Darul Qalam), th.1984
- Badruddin al-Syarkazi, al-Burhan Fii Ulum al-Qur’an, Tahqiq : Dr .Yusuf Abdul Rahman dkk, (Bairut : Darul Ma'rifah) Vol.4, Cet.2, Th.1994
- Manna al-Qatthan, Mabahits Fii Ulum al-Qur’an, (Mansyuratul Ashri Al-Hadits), Cet.3, Th.1983,
- Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqaan Fii Ulumil Qur'an, (Baerut : Daru Ihya Al-Ulum), Vol.1, cet.1, th.1978
[1] Lihat : M Quraish Syihab, Mukjizat Al-Qur’an : Ditinjau dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaib, (Jakarta : Mizan), Cet. 4, Th.1998. Hal.111-112.
[2] Abdul Aziz An-Najjar, Dhiya'us Salik Ila Alfiyati Ibnu Malik, Vol.1, (Mesir : Maktabah As-Sa'adah),
Cet.3, Th.1973, Hal. 43.
th.1994, hal.185.
[6] Abdul Azhim Al-Zaqani, Manahilul Irfan, (Bairut : Darul Ma'rifah), Vol.2, cet.1, th.1999, hal.185.
(Bairut : Darul Ma'rifah) Vol.4, Cet.2, Th.1994, Hal.59.
[14] Manna al-Qatthan, Mabahits Fii Ulum al-Qur’an, Mansyuratul Ashri al-Hadits, Cet.3, th.1983, hal.206.
[20]Abdul Hamid Ahmad Yusuf Al-Hindawi, ibid, hal.80.
[23] Lihat : Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqaan Fii Ulumil Qur'an, (Baerut : Daru Ihya Al-Ulum), Vol.1,
cet.1, th.1978, hal.537.
Sangat bermanfaat tulisannya, terimakasih, .
ردحذف