Penulis : Syekh Shaleh al-‘Utsaimin Rahimahullah.
Sumber : Syarah Riyadhusshalihin
Alih Bahasa : Idrus Abidin
1626- وَعَنِ ابْنِِ عُمَرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا قََالَ لَهُ : إِِنَّا دَخَلنَا عَلَى سَلاَطِيْنِنَا فَنَقُولُ لَهُم بِخِلاَفِ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ ؟ قَالَ ابْنُ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كُنَّا نَعُدُّ هَذَا نِفَاقًا عَلَي عَهدِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رواه البخاري.
1626 – Dari Ibnu Umar radiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang mengatakan kepadanya : Kami terkadang masuk untuk menemui para pemimpin kami, lalu kami mengatakan sesuatu yang berbeda denga apa yang kami ucapkan ketika kami keluar dari sisi mereka ? Ibnu Umar radiyallahu anhu mengatakan : Kami dulu, pada zaman Rasulullah shallahu alaihi wasallam, menganggap hal demikian sebagai kemunafikan. [1] (HR.Bukhari).
PENJELASAN.
Penulis –rahimahullah- menukil dalam kitab Riyadhu Ash-Shalihin sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radiyallahu anhu, bahwasanya ada seseorang mengatakan kepadanya : Kami terkadang masuk menemui para pemimpin kami, lalu kami mengatakan sesuatu yang berbeda denga apa yang kami ucapkan ketika kami keluar dari sisi mereka ? Ibnu Umar radiyallahu anhu mengatakan : Kami dulu, pada zaman Rasulullah shallahu alaihi wasallam, menganggap hal demikian sebagai kemunafikan.
Hal ini terjadi karena mereka mengucapkan sesuatu yang merupakan kebohongan dan menyalahi nasehat yang mereka sampaikan. Seharusnya orang yang menemui para pemimpin ; Pemerintah, menteri dan raja, membahas permasahan dengan sebenarnya. Ia seharusnya menjelaskan apa yang terjadi dengan sebenarnya, baik masyarakat dalam keadaan baik, bermasalah atau dalam keadaan benar atau dalam kebathilan. Tidak boleh bagi seseorang, siapa pun orangnya, masuk menemui pejabat atau raja atau yang selevel dengan mereka, lalu mengatakan : Masyarakat baik-baik saja. Masyarakat dalam keadaan istiqamah. Masyarakat meramaikan seluruh masjid. Masyrakat secara keseluruhan menyembah Allah subhana wata'ala kondisi ekonomi mereka stabil. Mereka dalam kaeadaan aman dan ungkapan serupa, padahal sebenarnya ia berbohong.
Ini adalah perbuatan haram. Ini merupakan bentuk penipuan terhadap pejabat pemerintahan dan penipuan terhadap seluruh ummat. Karena pejabat pemerintahan (waliyul umur) tidaklah seperti matahari yang mampu menjangkau seluruh tempat. Bahkan matahari sendiri tidak mampu menjangkau seluruh tempat. Batu yang tertutup rapat tidaklah bisa ditembus oleh sinar matahari. Pengetahuan pejabat pemerintahan sangatlah terbatas. Pendengaran mereka terbatas, ilmu mereka terbatas dan akal mereka juga terbatas, seperti layaknya manusia lainnya. Mereka tidak mungkin mengetahu kondisi masyarakat secara keseluruhan. Jika pejabat didatangi orang seperti penipu, penghianat dan pemalsu ini dan mengatakan kepada mereka : Semua baik-baik saja, baik keamanan, ketenangan, peribadatan dan hal-hal yang terkait dengan itu. Ia menipu mereka sehingga mereka mengira bahwa masalah memang demikian adanya, sehingga pejabat terkait tidak bergerak untuk melakukan perbaikan pada hal-hal yang bermasalah, kerena seblumnya telah disampaikan kepada mereka bahwa : Segala sesuatu berjalan sesui dengan seharusnya.
Seharusnya yang dilakukan adalah berterus terang. Tidak mungkin mengobati luka kecuali dengan membedahnya sehinnga darah keluar. Ketik itu anda mengobatinya sehingga kotorannya keluar. Adapun jika anda membiarkannya kusut tentu tidak boleh karena itu adalah penipuan, padahal Ibnu Umar radiyallahu anhuma mengatakan : Ini termasuk bentuk nifak. Beliau benar, itu adalah wujud kemunafikan. Mereka berbicara, berbohong, berkhianat dan tidak amanah. Seharusnya mereka memberikan penjelasan. Jika berbuat nifak dan cari muka tentu keduanya tidak dibenarkan. Dengan demikian, kewajiban orang-orang yang mendatangi seseorang yang menjadi penanggung jawab, walaupun terhadap sepuluh mahasiswa, apalagi jika bertanggung jawab terhadap seluruh ummat, hendaknya ia mengimformasikan fakta yang terjadi di lapangan. Ia tidak boleh mengatakan : Demi Allah ! Semua mahasiswa baik-baik saja. Mereka semua semangat. Mereka semua kompak dalam satu kata. Mereka semua memiliki sopan santun yang baik. Tidak. Seharusnya mereka menyampaikan keadaan sebenarnya dan menjelaskan permasalahan satu persatu, jika kondisi menghendaki demikian. Menyebutkan kelemahan untuk menghilangkan kelemahan yang lain adalah keselamatan dan nasehat yang baik. Itu sama sekali tidak termasuk ghibah.
Lihatlah Rasulullah shallahu alaihi wasallam ketika didatangi oleh salah seorang perempuan, Fatimah binti Qais, ia mengatakan : Wahai Rasulullah ! Saya dilamar oleh 3 orang ; Usamah bin Zaid, Muawiah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Rasulullah shallahu alaihi wasalam mengatakan kepadanya, "Muawiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta". Yakni, dari mana ia bisa menafkahimu. Ia tidak memiliki kekayaan. "Sedang Abu Jahm adalah orang yang suka memukul wanita". –Ini sanjungan atau penghinaan ?- Itu adalah penghinaan. "Menikahlah dengan Usamah bin Zaid".[2] Tetapi kok bisa, Rasulullah shallahu alaihi wasallam menggibah mereka, untuk tujuan beliau menggibah mereka apa ? Sebagai nasehat dan petunjuk. Jika anda misalnya mendatangi seseorang yang bertanggung jawab terhadap beberapa orang, dan dia adalah penaggung jawab mereka, anda mengatakan : Si fulan sikapnya begini dan anda jujur serta selalu berhubungan baik dengan yang bersangkutan dan tidak ada permusuhan dan kebencian dengannya, maka anda tetaplah baik-baik saja (maksudnya, tidak berdosa dan tidak menggibah-pent.), berpahala sekaligus sebagai penasehat.
Permasalahan tidak mungkin baik kecuali jika manusia memberikan gambaran yang utuh terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun jika disembunyikan maka tentu itu tidak boleh. Demikian pula di sekolah, kepala sekolah atau dekan, jika melihat ada mahasiswa yang bermasalah dari sisi akhlak atau menggibah pejabat pemerintahan maka pertama-tama anda wajib menasehatinya. Jika tidak, anda harus mengangkat kasusnya hingga keadaannya kembali normal. Karena mahasiswa seperti ini adalah kuman yang akan merusak mahasiswa lainnya secara umum atau mahasiswa yang bisa ia gait. Ia tidak bisa dibiarkan begitu saja, tidak memiliki pekerjaan yang jelas kecuali merusak ; baik kerusakan keagamaan, sikap maupun manhaj. Karena inilah hakikat nasehat.
Demikian pula jika kita mendatangi pemimpin sebuh Negara. Kita menyaksikan banyak kemungkaran pada pelosok negeri, kita mendapati di sana penipuan yang meraja lela, kita menemukan kelemahan para pmangku jabatan. Kita tidak boleh memberikan sang pemimpin gambaran bahwa segala sesuatu telah selesai. Kita harus menjelaskan dan menerangkan dengan baik. Benar bahwa jika anda mampu menyelesaikan masalah sebelum anda mengangkatnya kepada fihak berwenang adalah sesuatu yang baik dan benar. Tetapi jika kita tahu bahwa permasalahan tidaklah beres dan jika kita pergi menghadap kepada pejabat yang berwenang di bawah kendali penguasa, ia akan mengatakan : Insya Allah. Tenanglah. Segala permasalaham mudah untuk diselesaikan dan ia terkesan lamban, maka kita harus menyampaikan kepada atasannya hinnga ia melakukan hal-hal yang semestinya. Jadi, sebagai kesimpulan pembahasan ini adalah bahwa kita harus selalu memberikan nasehat dan menjelaskan permasalahan sesuai dengan kondisi rilnya. Adapun jika anda menghadap kepada seseorang dengan tampilan tertentu dan jika anda pergi, anda pun membelakangi maka tentu itu adalah perbuatan haram dan termasuk kemunafikan.
Diantara permasalahn yang ada adalah permasalahan yang lebih spesifik dibanding sebelumnya. Seseorang mendatangi orang tertentu dan mengatakan kepadanya : Masya Allah. Anda adalah orang yang baik, disukai orang dan penuh kemulian. Ia memuji anda habis-habisan, padahal hatinya dipenuhi kedengkian. Ia ingin mencela kebaikan yang anda miliki. Maksudnya, sebagian orang ada yang bersikap jelek Ia berusaha mengeritik seseorang padahal orang tersebut baik hati. Bisa saja ia mendengar orang teersebut jika ia melihat bahwa ia adalah orang yang senang memberikan nasehat. Kemudian jika ia menjauh, maka ia akan memutar balikkan permasalahan. Ia akan membicarakan kelemahannya dan menghinanya. Ia mengatakan : Dia adalah orang yang banyak kekurangan. Dia orang yang tidak beragama. Hendaknya seorang muslim merasa takut kepada Rabnya. Berusaha menjauhi sikap mencari muka, berbohong dan menipu. Hendaknya ia berusaha terus terang hingga Allah ta'ala bisa memperbaiki keadaan melalui kerja kerasnya. Wallahu Al-muwaffiq.
1627- وَعَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدُ اللهِ بْنِ سُفْيَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قََالَ : قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ". متفق عليه، ورواه مسلم أيضا منن رواية ابن عباس رضي الله عنه.
1627 – Daru Jundub bin Abdullah bin Sufyan radiyallahu anhu, bahwasanya Ia berkata : Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang berbuat sum'ah maka Allah swt akan menyingkap hakikat dirinya, dan barang siapa yang berbuat riya' maka Allah swt akan membuka tabir kejelekannya".[3] (HR.Bukhari dan Muslim). Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu anhu.
1628- وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : "مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ لَايَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عُرْفَ الجَنَّةِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ".
1628 – Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata : Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya digunakan untuk mencari keridhaan Allah subhana wata'ala, lalu ia pelajari dengan maksud agar mendapatkan kenikmatan dunia maka ia tidak mencium wangi surga pada hari kiamat".[4] (HR.Abu Daud dengan sanad yang shahih).
Hadits-hadits tentang pembahasan ini sangat banyak dan masyhur.
PENJELASAN.
Penulis –rahimahullah- menukil sisa hadits-hadits tentang riya' yang telah dibahas sebelumnya. Dari Jundub bin Abdullah radiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa yang berbuat sum'ah maka Allah subhana wata'ala akan menyingkap hakikat dirinya, dan barang siapa yang berbuat riya' maka Allah subhana wata'ala akan membuka tabir kejelekannya". Yakni, barang siapa yang mengucapkan perkataan yang seharusnya untuk beribadah kepada Allah subhana wata'ala, lalu ia mengeraskan suaranya ketika mengucapkannya agar didengarkan oleh orang lain dan dianggap sebaga ahli dzikir, kutu buku dll, maka orang seperti ini telah berbuat sum'ah terhadap masyarakat dan berlaku riya' dengan perbuatan tersebut –kita memohon perlindungan dari sikap demikian- maka Allah subhana wata'ala akan memperdengarkan hakikat dirinya. Maksudnya, menyingkap keburukannya, mempermalukannya dan menyebarkan aibnya kepada orang banyak sehingga mereka mengetahui bahwa orang tersebut adalah tukang riya'. Hadits ini tidaklah dibatasi kejadiannya. Apakah di dunia atau di akhirat?. Maka biasa saja Allah subhana wata'ala akan menyingkap hakikat dirinya di dunia sehingga aib-aibnya diketahui oleh masyarakat banyak, dan mungkin juga itu terjadi di akhirat kelak. Bahkan itu adalah peristiwa yang lebih dahsyat dan lebih mengerikan lagi –wal-iyazu billah-, sebagaimana firman Allah subhana wata'ala (QS. Fusshilat : 16).
Demikian pula orang yang berbuat riya', Allah subhana wata'ala akan membuka aib-aibnya. Yakni bahwa orang-oang yang melakukan suatu perbuatan dengan harapan agar masyarakat melihat dan memujinya maka Allah subhana wata'ala akan memperlihatkan kelemahan-kelemahannya kepada masyarakat dan mempermalukannya –wal-iyazu billah- sehingga jelaslah bahwa ia berbuat riya'.
Pada hadits ini terdapat peringatakan keras dari perbuatan riya', juga peringatan bahwa orang yang berbuat riya', bagaimana pun cerdik dan hebatnya menyembunyikan sikap riya'nya, pasti akan terbongkar kedoknya. Wal-iyadzu billah ; karena Alah subhana wata'ala telah menyatakan demikian. "Barang siapa yang berbuat sum'ah maka Allah subhana wata'ala akan menyingkap hakikat dirinya, dan barang siapa yang berbuat riya' maka Allah subhana wata'ala akan membuka tabir kejelekannya".
Adapun hadits Abu Hurairah, maka ia terkait dengan orang yang menuntut ilmu yang seharasunya dimanfaatkan untuk mencari keridhaan Allah subhana wata'ala, yaitu ilmu-ilmu syar'I, ilmu tentang al-Qur'an dan Sunnah. Jika seseorang mempelajari ilmu yang merupakan bagian dari ilmu tentang Al-Qur'an dan Sunnah, sedang tujuannya tiada lain kecuali untuk mendapatkan kemegahan dunia maka ia tidak akan mendapatkan wangi surga, padahal wangi surga itu bisa tercium dari jarak tertentu. Misalnya, jika ada seseorang yang mempelajari ilmu tentang dasar-dasar aqidah (keyakinan) agar dikatakan bahwa si fulan hebat dalam ilmu aqidah atau dengan maksud untuk menjad pegawai serta alasan serupa, atau ilmu fiqhi atau ilmu tafsir atau hadits demi untuk berbuat riya', maka ia tidak akan menciuum wewangian surga-wal-iyadzu billah-yakni, tidak bisa memasukinya.
Adapun ilmu yang dipelajari tetapi tidak semata-mata untuk mencari ridha Allah ta'ala, seperti ilmu-ilmu dunia ; ilmu matematika, dan ilmu rancang bangunan, jika seseorang mempelajarinya dengan maksud mencari kemegahan dunia maka tidak ada dosa apa-apa baginya. karena ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu dunia yang juga bertujuan untuk mencari kehidupan dunia, sedang hadits yang mengandung ancaman hanyalah terbatas pada ilmu-ilmu yang bertujuan untuk mencari keridhaan Allah subhana wata'ala Jika ada seseorang yang mengatakan, "Banyak mahasiswa sekarang yang belajar di berbagai fakultas, hanya menginginkan ijazah, berupa ijazah sekolah tinggi", maka jawabnnya adalah bahwa, "Semua amalan itu tergantung pada niatnya. Jika dengan ijazah sekolah tinggimya itu ia mengharapkan pekerjaan atau posisi, maka orang tersebut menghendaki keuntungan duniawi. Jika dengan ijazahnya itu ia berharap dapat memperoleh posisi yang membuatnya bermanfaat terhadap masyarakat dengan menjadi guru, dengan menjadi menejer atau menjadi pengarah maka itu tentu baikdan tidak ada masalah. Karena masyarakat saat ini tidak menghargai seseorang berdasarkan ilmunya, mereka menghargai orang lain berdasarkan ijazahnya.
Jika ada seseorang mengatakan : Jika saya membiarkan diri saya sendiri tanpa memperoleh ijazah, betapapun banyaknya ilmu yang saya peroleh, maka tetap saja mereka tidak mengangkatku sebagai guru. Karenanya saya belajar sekaligus mencari ijazah, agar aku bisa menjadi guru yang nantinya dapa bermanfaat bagi orang banyak", maka ini merupakan niat yang baik dan tidak ada masalah padanya. Wallahu Al-Muwwaffaq.
[1] Shahih Al-Bukhari (7178). Sebelumnya telah ditakhrij pada no. (1549).
[2] Shahih Muslim (1480). Hadits Fatimah binti Qais radiyallahu anha.
[3] Shahih Al-Bukhari, hadits no, 6499. Shahih Muslim, hadits no.2978 dan 2987.
[4] Shahih Al-Jami', hadits no.6159. Al-Albani rahimahullah menshahihkannya dalam kitab Misykat Al-Mashabiih, hadits no.227. sebelumnya telah ada pada no.1399.
0 komentar:
إرسال تعليق