Keluarga muslim berawal dari seorang suami dan istri yang didasari pada ketentraman dan senantiasa dibingkai oleh ketenangan dan kasih sayang berdasarkan pada apa yang telah digambarkan oleh al-Qur'an tentang karakteristik hubungan antar suami istri serta hal-hal yang seharusnya terjadi padanya. Firman Allah swt, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."[1]
Allah swt telah mengokohkan landasan hubungan ini dengan penuh hikmat dan penuh dengan keteraturan dalam bingkai manhaj al-Qur'an yang bersifat rabbani serta jalur yang begitu jelas dengan firman-Nya, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada."[2]
Landasan rabbaniyah ini merupakan dasar interaksi dalam rangkaian hubungan suami istri. Kewajiban suami adalah mengetahui bahwa wanita diciptakan dari salah satu tulang rusuk Nabi Adam agar menjadi bagian hidupnya. Ia akan menyempurnakan hidupnya sebagaimana ia menyepurnakan hidupnya pula. Tulang ini begitu dekat posisinya dari hati.
Hendaknya suami berhubungan dengan istrinya dengan hatinya dan bukan denga akalnya. Karena jika ia berhubungan dengan istrinya dengan akalnya maka ia akan menyusahkannya dan menyusahkan dirinya sendiri. Hati merupakan sumber rasa kasih sayang. Dialah ikatan yang paling kokoh antara suami dengan istrinya. Cinta kasih, kelembutan dan ketenangan semuanya bersumber pada hati. Wanita hendaknya mengetahui posisnya terhadap suami sehingga ia mendekatinya melalui pintu hatinya yang begitu peka. Rasulullah saw telah berwasiat tentang wanita dengan sabdanya, "Nasehatilah wanita dengan baik karena mereka adalah amanah di pundak kalian. Kalian menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah swt dan sunnah Rasul-Nya. Janganlah kalian menampar muka da jangan menghinanya."
Atau seperti apa yang dikatakan sesepuh dalam nasehat mereka, "Bangunlah rumahmu di atas batu yang kokoh." Maksudnya, bangunan rumah tangga hendaknya berpijak pada landasan yang kokoh berupa prilaku yang baik, nilai-nilai, norma dan keutamaan yang melimpah ruah.
Yang aneh adalah bahwa kita sering mempertimbangkan perasaan orang lain demi untuk mendapatkan kepercayaan serta penghormatannya, padahal kita tidak ambil pusing dan tidak memperhatikan cara berhubungan yang baik dengan orang yang begitu berharga dalam hidup kita. Ia hidup ditengah-tengah kita sebagai partner hidup. Kita malah terkadang menyakiti perasaannya tanpa sengaja atau dengan sengaja. Hal ini terjadi karena kita meyakini bahwa landasan rasa dan etika hanya diberlakukan ketika berintereaksi dengan orang lain. Adapun terhadap kerabat, sikap keras, kasar dan tanpa perasaan terkadang kita berlakukan terhadap mereka.
Dari sini wajib bagi kedua pengantin baru untuk bermusyawarah bersama dalam rangka membicarakan tentang aturan yang dapat ditulis dalam bentuk perjanjian atau kesepakatan yang mencakup semua yang terjadi dalam kehidupan ini dan dapat menjamin adanya kesenangan, berupa kegiatan, hobi yang beragam, buku bacaan, kunjungan, kesempatan untuk berpikir dan tamasya, agar masing-masing pasangan dapat saling menghargai, dapat menghormati keberadaannya, mengurangi ketikdaksepakatan dan muamalah yang kurang baik.
Hendaknya pula ada semacam sanksi atau hukuman yang tepat bagi yang melanggar serta peluang meminta maaf bagi yang telah melanggar hak-hak pihak lain. Diantara dasar-dasar akhlak yang diserukan Islam dan orang-orang yang berakal cemerlang adalah :
1. Sebelum kita masuk ke kamar seseorang hendaknya kita minta izin dan mengetuk pintunya.
2. Ketika masuk ke dalam rumah, kamar, atau mobil kita mengucapkan salam.
3. Ketika henda keluar dari kamar, kita bertanya kepada penghuninya, apakah ia inging sesuatu sebelum kita pergi.
4. Kita tidak membaca undangan atau cek atau kertas yang tidak ada hubungannya dengan kita.
5. Ketika anda meminjam pulpen atau buku atau mistar, kita harus mengembalikannya ke tempat semula.
6. Jika kita memecahkan sesuatu atau merusaknya kita hendaknya menggantinya.
7. Ketika kita membalik sesuatu yang menjadi milik pribadi pasangan kita atau merobah posisinya maka kita harus mengembalikannya ke posisi semula.
8. Jika seseorang melanggar hak pihak lain maka ia harus minta maaf kepadanya.
9. Jika seseorang meminta maaf karena ia bersalah maka pihak kedua hendaknya menerima permintaan maafnya dan jangan sering menghinanya.
10. Percakapan diantara kita harus berlangsung dalam keadaan santai dan saling menunjukkan sikap saling menghormati serta tidak boleh ada penghinaan.
11. Kita harus mengatakan kebenaran walaupun pahit, tetapi dengan cara yang lembut dan tidak melukai perasaan.
12. Siapapun yang membutuhkan nasehat maka kita harus menasehatinya dengan penuh kasih dengan tanpa rasa kesombongan.
13. Jika seseorang sedang merasa bahagia maka yang lain harus ikut merasa bahagia. Demikian pula sebaliknya.
14. Jika seseorang diantara kita sedang mendapatkan momen yang menyenangkan maka kita harus ikut bersama tanpa adanya alasan lain.
15. Kita harus saling menghormati hobi masing-masing dan menghargainya, bahkan kalau perlu kita menyanjungnya dan menganggapnya sebagai hobi kita sendiri.
16. Kita tidak boleh membenturkan sikap egoisme dan kesukuan kita dengan sikap serupa.
17. Jika seseorang diantara kita tidak dapat melakukan tugasnya dan ia membutuhkan bantuan maka kita harus membantunya tanpa mengenal kata terlambat.
18. Tidak ada untungnya kita menciptakan masalah dan mengungkit masa lalu yang suram agar rasa sakit dan kecewa tidak teulang kembali.
19. Toleransi dan sikap suka memaafkan ketika sanggup merupakan karakter orang-orang mulia.
20. Saling membagi tugas dan semuanya berusaha melaksanakan tugasnya masing-masing sebelum menuntut haknya.
21. Kita tidak boleh berbohong bagaimana pun kondisinya karena kebohongan merupakan kakek moyangnya dosa dan orang-orang yang suka berbohong tidak akan masuk sorga.
22. Tidak boleh ada diantara kita yang mengingkari pihak lain jika sedang berbicara di hadapan umum.
23. Kita tidak boleh mencuri bagaimana pun kebutuhan kita terhadap harta.
24. Setiap kita harus mencintai apa pun yang dicintai pasangan kita sebagaimana kita mencintai hal tersebut bagi diri kita sendiri dan berusaha melakukan hal-hal yang dapat menyenangkan perasaan pasangan kita.
25. Bersabar terhadap berbagai musibah merupakan ibadah dan selalu menysukuri nikmat-nikmat Allah swt merupakan sebuah keharusan.
26. Shalat merupakan tiang agama dan yakin dengan pertolongan Allah swt merupaka pilar kesuksesan.
27. Setiap kita hendaknya memanggil pasangannya dengan panggilan yang disenanginya dan tidak mengungkit masalah yang sedang dihadapi ketika berbicara dan bercanda, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.
Rumah tangga muslim yang dihiasi dengan kebahagiaan adalah merupakan jaminan mendasar bagi tegaknya masyarakat muslim yang layak. Keluarga muslim yang diliputi oleh ketenangan dan ketentraman merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi demi terwujudnya kemaslahatan masyarakat. Keajegannya merupakan prasayarat yang tak dapat ditawar lagi demi kemuliaan dan kejayaan ummat. Oleh karenanya, perhatian Islam terhadap keluarga sangat besar sehingga bangunannya ditegakkan di atas kebenaran dan prinsip keadilan. Pilarnya dikokohkan dengan rasa tentram. Sedang ruas-ruasnya dikokohkan dengan rasa takut kepada Allah swt.
Karena itulah, musuh-musuh Islam mengorbankan begitu banyak hal demi untuk menghancurkan kelurga muslim dan mengacaukan ikatan-ikatannya. Mereka menempuh jalur yang beragam demi tujuan itu. Mendorong suami agar membangkan terhadap istri mereka, menghiasi wanita dengan upaya-upaya terselubung agar mereka meninggalkan rumah dan bergerak menuju jalan-jalan demi mempertahankan dan menjaga gengsi-gengi palsu. Lalu timbul banyak masalah di balik itu semua, yang mana, sebelumnya hal itu tidaklah ada, seandainya aturan berjalan sesuai dengan aturan Allah swt.
Musuh-musuh Islam melakukan banyak hal dengan dukungan teknologi penyiaran dan telekomunikasi yang mereka miliki demi menghancurkan hubungan kasih sayang dan rasa saling menghargai antara ayah dan anak, antara ibu dengan anak gadisnya dan antara sesepuh dengan para pemuda, dengan berlindung di bawah naungan prinsip-prinsip yang mereka ciptakan sendiri, seperti tentang pentingnya perbedaan antara berbagai tingkatan generasi dan berbagai istilah yang hanya mengandung unsur keburukan.
Rumah tangga muslim terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang disatukan oleh pernikahan yang legal dan diumumkan akadnya dihadapan halayak bahwa mereka telah berpasangan. Setiap orang diantara mereka memiliki kecakapan masing-masing. Setiap pasangan dapat memperoleh keberuntungan dan kerugian. Ia mendapatkan keberuntungan jika mengaturnya dengan cara yang baik dan memenejnya dengan tepat. Setiap orang melakukan kewajibannya dengan sempurna. Mereka melakukan semua itu dengan semangat saling memahami dan penuh kasih sayang. Di sana , sikap amanah dan penuh ikhlas terjalin antara kedua belah fihak.
Benarlah firman Allah swt dalam sebuah hadits qudsi, "Saya adalah pihak ketiga bagi dua orang yang berserikat selama tidak ada seorang pun yang menghianati pihak lainnya. Jika ada yang berkhianat maka Saya keluar dari perserikatan itu," (HR.Abu Daud).
Tujuan Islam dalam menyatukan antara laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman adalah agar dapat mencapai kesuksesan, memetik buah terindah, memperoleh keberuntungan, mendapatkan keturunan yang baik yang nantinya akan berjihad di jalan Allah swt, mengangkat bendera kebenaran dan menyebarkan keadilan dan kedamaian di bumi.
Untuk tujuan tersebut, Islam meretas jalan yang sangat jelas rambu-rambunya, mengamankan langkah yang akan ditempuhnya dalam rangka menuju rumah tangga yang berbahagia, berupa :
SATU : MEMILIH PASANGAN HIDUP.
Agar kita tidak terpesona oleh tampilan luar atau terpengaruh oleh hawa nafsu sehingga kita jatuh dalam kesalahan maka Islam menggariskan jalur yang tepat dalam rangka memilih pasangan.
Rasulullah saw bersabda, "Wanita dinikahi karena empat hal : karena hartanya, kecantikannya, keturunannya dan karena agamanya. Utamakanlah yang beragama agar kalian mendapatkan keberuntungan," (Muttafaq Alaihi).
Siapapun yang bisa mendapatkan wanita yang berperilkau baik dan beragama yang akan mendapinginya dalam hidup ini dalam rumah tangganya sebagai istri shalehah maka ia telah mendapatkan keberuntungan. Ini tidaklah beararti bahwa kecantikan tidak menjadi pertimbangan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaannya merupakan salah satu faktor terwujudnya kebahagiaan, demikian pula sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya dalam hadits. Hanya saja, hendaknya ia tidak nmenjadi tujuan utama. Karenanya, selain agama, hendaknya wanita memiliki sifat-sifat seperti :
A. Kecantikan : Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, "Lihatlah, karena dengan melihatnya akan dapat menimbulkan rasa syang antara kalian berdua," (HR.Tirmidzi, An-Nasa'I dan Ibnu Majah).
B. Hendaknya ia penuh kasih sayang dan dapat melahirkan banyak generasi. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah saw, "Nikahilah wanita yang subur dan penuh kasih sayang," (HR.Abu Daud dan An-Nasa'i).
C. Hendaknya maharnya tidak terlalu mahal : Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah saw, "Wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang sedikit maharnya," (HR.Ahmad dan Al-Baihaqi).
D. Hendaknya ia seorang yang masih gadis. Hal ini berdasarkan pada hadits Jabir bin Abdullah radiyallahu anhu –ketika itu, ia menikahi seorang janda- lalu Rasulullah saw mengatakn kepadanya, "Kenapa bukan seorang gadis yang bisa engkau ajak bercumbu dan mengajakmu bercumbu," (Muttafaq alaihi).
Adapun sifat-sifat penting yang seharusnya dimiliki laki-laki adalah agama dan prilaku yang baik. Rasulullah saw besabda, "Jika kalia didatangi oleh pemuda yang kalian ridhai agama dan prilakunya maka nikahkanlah mereka. Jika kalian tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang nyata di bumi," (HR.Ahmad dan Tirmdzi).
Seseorang pernah mengatakan kepada Hasan, "Saya memiliki anak perempuan. Dengan siapa, menurut anda, seharusnya saya nikahkan ? Beliau menjawab, "Nikahkanlah dengan orang yang bertakwa kepada Allah swt. Jika ia mencintainya maka ia akan memuliakannya. Jika ia marah kepadanya maka ia tidak akan menzhaliminya."
DUA : MEMENEJ PERUSAHAAN (RUMAH TANGGA).
Perusahaan manapun yang hendak sukses maka harus memiliki menejemen yang mengatur urusannya dan menjamin keberlangsungannya. Hendaknya menejemen ini memiliki kompetensi dalam menghadapai setiap masalah yang timbul atau problem baru yang ada. Bukanlah termasuk sikap bijaksana jika membiarkan masalah berlarut-larut sehingga kedua belah pihak berlomba untuk saling mengungguli dan kedua pucuk piminan rumah tangga saling berebut pengaruh sehingga lahirlah pertentangan, muncullah kesemerawutan dan tampillah kemalangan.
Demi kebahagiaan perusahaan (rumah tangga) dan orang-orang yang tergabung di dalamnya maka seharusnya kepimipinan dan menejemen rumah tangga diserahkan kepada suami sebagai pendidik, tulang pungung dan sebagai contoh teladan keluarga, sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."[3] Ini tidaklah berarti bahwa wanita kurang mendalam pandangan dan analisanya, tetapi karena perasaannya yang mendominasi dan sikapnya yang begitu lembut yang menyebabkan laki-laki memiliki keunggulan darinya dari segi kecermatan berpikir dan melihat akibat dari sebuah tindakan, tanpa disertai sikap tergesa-gesa atau keterbawaan perasaan. Inilah rumussan yang sebenarnya. Hanya saja, setiap rmusan pasti memiliki pengecualian yang menjadikan wanita unggul dibanding laki-laki dalam berfikir dan mengambil keputusan.
KETIGA : MUSYAWARAH.
Selama kepemipinan berdasarkan pada sikap bijaksana dan sikap kepeloporan maka setiap hakim dalam Islam bukanlah merupakan kemaslahatan secara mutlak. Ia hanyalah mengatur berdasarkan aturan Allah swt. Dan kelak ia akan ditanya di hadapan-Nya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Apa ia betul-betul mengaturnya dengan baik atau menyia-nyiakan mereka. Atau apakah ia berlaku adil berdasarkan petunjuk Allah swt atau malah menzhalimi mereka ?
Musyawarah adalah merupakan aturan yang ditetapkan oleh Allah swt dalam agama-Nya agar menjadi landasan antara hakim dengan orang-orang yang diaturnya. Jangan ada yang mengira bahwa itu hanyalah diperuntukkan bagi pemimpin ummat dan para pemerintahannya saja, tetapi ia bersifat umum dan mencakup setiap level kepemimpinan dan setiap jabatan. Bahkan lebih baik lagi bagi suami istri jika mereka saling bermusyawarah dan saling memahami pada setiap masalah yang berkaitan dengan rumah tangganya tanpa adanya rasa berkuasa atau rasa mendominasi dan rasa dendam. Tidaklah penting mengambil pendapat darinya, tetapi yang terpenting adalah bagaiaman melaksanakan pendapat yang benar yang nantinya dapat menghasilkan manfaat dan kebahagiaan bagi semua anggota keluarga.
KEEMPAT : PEMBAGIAN TUGAS.
Pada setiap perusahaan pasti semua serikat memiliki hak dan kewajiban agar perusahaan berjalan sebagaimana mestinya. Demikian pula yang dilakukan oleh Islam terhadap rumah tangga. Islam telah menjadikan bagi kedua pasangan suami istri hak-hak dan kewajiban masing-masing. Kebahagiaan tidak akan terwujud jika salah satu pihak mengabaikan tugasnya lalu berusaha menuntut haknya kepada pihak lain. Seharusnya keduanya berusaha saling berlomba dalam melaksanakan kewajiban masing-masing sebagai usaha untuk membahagiakan pasangannya. Dan sebagai usaha untuk mewujudkan ketenangan batin bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Allah swt sebagai hakim sebenar-benarnya telah menetapkan hak dan kewajiban tersebut agar kedua pasangan tidak saling menzhalimi dan agar kebahagiaan dapat terwujud sesuai dengan rumusan yang adil dan penuh ketelitian yang berasal dari produk Yang Maha Mengetahui yang menetapkan urusan di atas landasan keadilan.
Betapa benar Dzat Yang Maha Mengetahui ketika berfirman, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[4]
KELIMA : HAK-HAK ISTRI.
Islam telah menetapkan hak bagi istri dan menutut suami untuk memenuhinya serta mengarahkannya untuk melaksanakannya berdasarkan pada kepemimpinannya dalam rumah tangga dan sebagai wujud tanggung jawabnya, diantaranya :
A. Hendaknya suami berprilaku baik ketika berinteraksi dengan istrimya. Ini tidak berarti bahwa ia hanya nmenjauhkan bahaya darinya saja, tetapi artinya bahwa ia menaggung beban yang menjadi tugasnya. Ia hendaknya tetap bijaksana walaupun ia sedang marah sebagai wujud upayanya dalam mencontoh prilaku Rasulullah saw.
B. Bercumbu, bermesraan dan mencandainya. Dengan sikap demikian, hati wanita bisa terhibur dan perasaannya dapat diliputi oleh kebahagiaan. Ia makin akrab dengan suaminya dan betah bersamanya.
C. Hendaknya ia cemburu degan porsi yang secukupnya.
KEENAM : HAK-HAK SUAMI.
A. KETAATAN.
Wanita tidak boleh membangkan terhadap suaminya dan menyalahi perintahnya. Kecuali dalam hal yang diharamkan oleh Allah swt. Tentang hal ini, Rasulullah saw bersabda, "Jika saja menyuruh seseorang untuk bersujud maka saya pasti menyuruh wanita bersujud kepada suaminya karena begitu besarnya haknya atasnya," (HR.Tirmidz dan Ibnu Majah).
B. TAMPIL CANTIK DIHADAPAN SUAMINYA.
Wanita hendaknya bersolekdan tampil menarik di hadapan suaminya. Yang mana, pandangan suaminya tidak tertuua kepadanya kecuali ia dalam keadaan menarik
C. BERBUAT BAIK TERHADAP SUAMINYA.
Diantara wujud berbuat baik itu adalah hendaknya ia tidak membuatnya marah dan terjatuh dalam kubangan dosa karena sikap pembangkangannya dan sikapnya yang terus menerus menyalahi perintahnya serta melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Khususnya jika ia bersumpah (menegaskan) kepadanya agar melakukan sebuah pekerjaan atau bersumpah (menegaskan) agar tidak melakukan sebuah pekerjaan tertentu. Istri yang baik tentunya mentaati suaminya ketika ia bersumpah (menegaskan) sesuatu kepadanya. Ia tidak memaksanya untuk menebus sumpahnya setelah ia melanggarnya karena ia adalah orang orang yang takut kepada Allah swt dan memperhatikan perintah-perintah-Nya serta memperhatikan hak-hak suaminya. Ia tidak membebaninya dengan berbagai masalah, apalagi membebaninya dengan sikap demikian.
D. PERHATIAN PENUH.
Maksudnya, wanita memperhatikan hak-hak suaminya, baik ketika ia ada di rumah atau sedang berada di luar rumah. Ia tidak boleh menciderai kehormatannya dan tidak menghambur-hamburkan hartanya. Ia juga harus menjauhi semua perbuatan buruk atau menjauhi perbuatan yang menyebabkan menyebabkan harga dirinya hancur. Ia harus menyayangi anak-anaknya, baik mereka adalah anak-anak dari hasil perkawinannya maupun anak tirinya.
Rasulullah saw bersabda, "Seorang mukmin tidak mendapatkan manfaat setelah takwa kepada Allah swt kecuali seorang istri shalehah. Jika ia memmerintahnya maka ia mentaatinya. Jika ia memandangnya maka ia membuatnya senang. Jika ia bersumpah atasnya maka ia berbuat baik kepadanya. Jika ia jauh darinya maka ia menjaga dirinya dan hartaanya," (HR.Imam Ahmad).
E. SIKAP QANA'AH.
Istri yang berakal seharusnya tidak membebani suaminya dengan berbagai tuntunan. Hendaknya ia merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah swt kepadanya. Banyaknya tuntunan wanita terhadap suaminya bisa saja membuat suami melakukan usaha yang haram, hal yang menyebabkan terjadinya kemalangan bagi keluarga di dunia maupun di akhirat kelak. Juga degan banyaknya tuntutan istri menyebabkan hidup suami penuh dengan kegelisahan dan kebingungan ketika merasa tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Kebingungan dan kegelisahannya pasti akan berefek kepadanya dan kepada urusan rumah tangga secara keseluruhan, sebagai wujud kebenaran firman Allah swt yang berbunyi, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."[5]
Juga firman-Nya, "Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya."[6]
0 komentar:
إرسال تعليق