Perkara iman merupakan kunci kehidupan. Tanpa iman, manusia hanyalah mayat hidup tak tentu arah, tanpa tujuan. Kalau bukan karena iman, hidup ini gelap gulita, tak bercahaya. Kalau tidak karena iman, hidup ini dipenuhi dengan kebodohan. Sekali pun manusia sudah tiba di bulan.
Iman, Hasil Pengetahuan.
Iman itu bertumbuh dan berkembang dengan siraman pengetahuan. Pertumbuhan dan perkembangan iman inilah yang disebut barakah. Dia pula yang disebut tazkiyah. Allahlah objek utama pengetahuan. Sehingga ketika keagungan Allah tersingkap dalam segala bentuk IhsanNya (Rububiyah) maka terwujudlah kebesaranNya. Di sinilah manusia tiba2 merasa kerdil dan merasa bersalah penuh penyesalan. Itulah taubat. Makanya, Allah berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah dan memintalah ampun atas dosamu.”(QS. Muhammad : 19)
Artinya, penyesalan atas dosa terkait dengan pengetahuan akan keagungan dan kebesaran Allah. Ini juga menunjukkan, ilmu itu wajib sebelum berucap dan beramal. Karena ilmu itu adalah iman (kepercayaan/keyakinan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan seluruh anggota badan). Hal ini juga menegaskan, ilmu tak berguna tanpa iman.
Iman Dan Sikap Konsisten (Istiqomah)
Ilmu terus mengasup jiwa dengan iman. Sehingga manusia terus melakukan penyesuaian diri dengan Islam. Bahkan, terus meningkat secara signifikan ke tangga iman hingga menjadi orang-orang bertakwa. Orang-orang bertakwa adalah orang-orang Istiqomah dalam berislam. Mereka adalah hasil cetakan, ukiran dan celupan Allah di bumi (sibgatullah). Setiap orang bertakwa pasti beriman. Namun, tidak semua orang beriman itu bertakwa.
Tingkat ketakwaan bermula dari sikap konsisten melaksanakan semua kewajiban Islam ditambah dg beberapa amalan Sunnah; sekali pun belum dilakukan secara rutin. Inilah kelasnya orang mukmin. Mereka dikenal dengan istilah Abrar, ashabul Yamin, muqtashid dalam Al-Qur'an.
Ada lagi kelas ketakwaan tertinggi, Ihsan namanya. Yaitu kelas ketakwaan orang-orang yang menyembah Allah penuh kerinduan, cinta dan harapan akan posisi tertinggi di akhirat kelak. Atau kelasnya orang-orang yang merasa diawasi sepenuhnya oleh Allah (muraqabatullah) sehingga takut berdosa (khauf) dan terpicu untuk beramal dengan tingkat profesional yang tinggi. Mereka dalam istilah Al Qur'an disebut sabiqun, Muhsinin dan shadiqun.
Ketika Akhirat Jauh Lebih Menarik di Banding Dunia.
Bagi mereka yang sampai ke kelas takwa demikian, akhirat menjadi standar segala hal yang ada di bumi ini. Hitungan-hitungannya menjadi sangat ukhrawi. Orientasinya makin ke depan dan fokus mencari apa yang ada dalam genggaman Allah. Mereka lebih meyakini apa yang ada di sisiNya dibanding apa yang di ATMnya sendiri. Mereka lebih memilih yang lebih kekal dibanding hal-hal duniawi yang bersifat sementara.
Taat Lebih Mudah, Khusyu' Lebih Terasa.
Mudahsusahnya sesuatu tergantung iman. Makkah Madinah terhitung jauh secara jarak, tapi dekat di hati orang-orang beriman. Setiap shalat Ka'bah selalu menjadi fokus utama, tempat yang menjadi kiblat kebenaran di dunia ini. Di atasnya ada kiblat langit, Baitul makmur namanya. Segala upaya dan usaha dilakukan muslim demi bertatap muka dengan Ka'bah, Mekah dan Madinah. Karena semua itu menyimpan jejak rekam spiritual sepanjang sejarah kebenaran.
Dimudahkannya ibadah (sanuyassiruhu Lil yusraa) berawal dari sikap dan kesiapan berkontribusi terhadap Islam dengan hati, lidah dan fisik; dengan harta, tahta dan jiwa (a'thaa) dengan penuh ketulusan dan keikhlasan (wattaqaa) karena meyakini adanya surga (shaddaqa BI al-Husnaaa).
Sedang Khusyu' adalah gambaran jiwa orang-orang beriman dan bertakwa yang merindukan Allah dengan penuh harap kepada rahmat-rahmatNya, dg dilapisi rasa takut padaNya; dalam setiap gerak gerik kehidupan.
Saat Kematian Tak Lagi Menakutkan.
Ketika Khusyu' makin terasa, kematian terasa semakin dekat. Anehnya mereka tidak merasa takut dengan kematian itu. Bahkan, terkadang mereka merindukannya sepenuh hati. Karena sadar bahwa segalanya berawal dan akan berakhir di situ. Terkubur dalam nikmatnya nuansa barzakh, yang menghilangkan penat selama berjuang penuh tanggung jawab di dunia. Yaah.... kuburan memang tempat peristirahatan bagi mereka yang telah beribadah dengan penuh amanah.
Kewajiban Terasa Lebih Banyak Dibanding Umur yang Tersedia.
Jadinya, mereka menjadi manusia sadar akan tanggung jawab dan merasa betapa kewajiban sebagai orang bertakwa jauh lebih besar dibanding jatah hidup yang tersedia. Inilah orang-orang yang tau diri dan mengerti akan tugas, sehingga mendahulukan tugas dan kewajiban dibanding menuntut hak2 yang tidak terkait dg akhiratnya. Inilah alasan kenapa nabi Ibrahim memohon agar dikirim Rasul kepada setiap generasi setelah beliau wafat. Inilah bentuk visioner seorang nabi unggulan. Ini pula yang dilakukan oleh Rasulullah sebelum meninggalnya. Yakni, sebelum dicabut roh yang mulia itu, dia menanyakan dan meminta jaminan keamanan untuk ummatnya kepada Allah melalui Jibril. Maka, saat Jibril mengangkat sayapnya sebagai jaminan, Rasulullah pun ikhlas kembali ke haribaan kekasihnya; Allah SWT.
Dengan sejumlah karakter di atas, pantaslah ummat Islam di masa Rasulullah menggetarkan jiwa-jiwa Persia dan Romawi; super power di zamannya. Mereka adalah orang-orang merdeka; jiwa dan raga. Mereka adalah artis-artis kebenaran yang jauh lebih terkenal di langit dibanding di bumi. Nama-nama mereka dihapal mati oleh malaikat karena jiwanya terus menggema di Arasy Allah.
Kegagalan Iman; Cinta Dunia dan Takut Kematian.
Saat ini, Islam masih trauma dengan penjajahan masa lalu. Penjajahan yang telah melucuti iman dari jiwa, raga dan tahta. Bahkan, dihapus dari pengelolaan negara dan sumber daya. Walaupun kini secara umum, banyak perbaikan-perbaikan yang patut diacungi jempol kesyukuran. Terutama prestasi 212 dalam menggalang semangat ukhuwah lintas organisasi keislaman. Berhasil rekonsiliasi ekonomi keummatan dg 212 mart dan sejenisnya. Berjaya dengan kesadaran diri akan pentingnya kebersamaan dalam menolak beragam tuduhan dan cibiran dari Jiwa-jiwa yang sakit, entah kapan sembuhnya.
Yang jelas, selama cinta dunia masih menggoda insan-insan Indonesia. Selama kematian masih sangat menakutkan dibanding hilangnya iman dan takwa, maka selama itu pula penyakit wahn akan bercokol; merintangi jiwa dari kemuliaan dunia akhirat. Sehingga penjajah berwajah manis dan bertutur lembut tetap digdaya mengangkangi kedaulatan Islam Indonesia. Kenapa kata Rasulullah?! Cinta dunia dan takut mati. Itulah penyakit wahn. Semoga kita selamat darinya. Amiiiin.
(Sinopsis Buku Jalan Takwa, Terbitan Amzah Jakarta)
Penulis : H. Idrus Abidin, Lc, M.A
0 komentar:
إرسال تعليق