Hidup ini sebenarnya hanyalah ruang perwujudan keyakinan dan penegasan keberpihakan. Jika berdasarkan pada nilai-nilai langit termutakhir maka disebutlah agama Wahyu. Namun bila lahir dari pikiran bijak seseorang dianggap sebagai agama bumi (rekayasa). Agama selama ini selalu dianggap sebagai biang pertengkaran. Karena hal2 yang bersifat ideologis seringkali diyakini sebagai sumber kebahagiaan tertinggi manusia. Maka tidak heran, manusia siap mempertahankan semua yang dianggapnya prinsip dan sarana menggapai bahagia.
Memang, ketika dunia sementara ini dikuasai oleh hegemoni sekularisme yang lahir dari rahim liberalisme, banyak pihak menihilkan agama dan mempertuhankan akal, materi dan hawa nafsu. Maka tidak heran jika rasionalisme, materialisme dan hawanafsuisme (Idealisme dan realisme dll) menjadi mazhab filsafat pendidikan di Barat. Mereka akhirnya menjadikan tekhnologi dan sains sebagai Tuhan yang diharapkan memproduksi Kebahagiaan. Terutama kaum pemuja empirisme. Agama dijadikan momok, semacam opium yang membius, cerita masa lalu yang tak lagi bernilai; penuh rekayasa dan imajinasi, bahkan dianggap mitos yang tidak perlu lagi dipercaya; apalagi dijadikan sumber referensi keilmuan. Apa yg diinginkan dan dicari manusia sudah ada semuanya di bumi ini. Akhirat tak lagi penting dan sudah hilang wujud dan maknanya. Maka, etika tak lagi bernuansa agama. Humanisme bukan lagi produk agama. Semuanya hasil pabrik pemikiran bernama sekularisme.
Filsafat ; Wujud Pencarian Manusia Tanpa Batas.
Perang pemikiran antara filsafat dan agama terjadi sepanjang sejarah kehidupan. Jika terkait Keyakinan (teologi), umumnya filsafat dijadikan sarana oleh iblis untuk menjerumuskan manusia. Karena status keiblisan didapat olehnya melalui serangkaian argumentasi rasional ketika dia menolak perintah Allah untuk bersujud sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada kualitas ilmiah dan otoritas iman nabi Adam. Walaupun filsafat ketuhanan terus berkembang di masa lalu dalam lingkup cendekiawan beriman, tapi hasilnya hanyalah Tuhan yang maha lemah, seperti halnya berhala pada umumnya. Karena Tuhan hasil imajinasi rasional tidak bisa menalar Tuhan yang sebenarnya (spesifik), tanpa pengarahan Wahyu. Wahyu merupakan medium Tuhan untuk menjelaskan diriNya secara spesifik melalui penjelasan detail nama-nama, sifat, perbuatan, bahkan keunikan zatNya yang agung; sebatas kemampuan nalar dan rasio mereka.
Dalam bidang empiris seperti sains dan teknologi, memang jelas dan nyata pencapain filsafat. Walaupun, ketika ranahnya sudah indrawi (empiris) seperti ini, biasanya filsafat tidak lagi dianggap sebagai pabrik sains dan teknologi. Karena wilayah ini sudah masuk dalam peta dan dominasi murni sains itu sendiri. Di sini manusia dianggap makhuk biologis semata tanpa jiwa yang butuh asupan spiritual agama. Akal hanya dipandang sisi otaknya tanpa terkait dengan hati; tempat di mana fitrah manusia berada. Langit hanya dilihat sebagai tempat gugusan bintang dan planet yang menyatu dalam rangkaian Bima sakti yang luas, namun tanpa nuansa spiritual dan sepi dari keagungan maha penciptanya. Akhirnya, filsafat murni sebagai olah pikiran murni yang bertanya terus menerus tentang semua apa-apa dan mempertanyakan segala hal; dari bakteri di bumi hingga galaksi di langit. Dari soal gajah hingga keberadaan Tuhan dst. Bahkan, terkadang mempertanyakan Allah sendiri, siapa yang menciptakanNya?! Naudzubillah.
Demikianlah akhir dari manusia yang tak memberi ruang pada Wahyu untuk membatasi petualangan ilmiahnya; tersesat tanpa beroleh ujung yang membahagiakan. Padahal, akal dg segala potensi ilmiahnya tetaplah seperti mata yang butuh cahaya untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Itulah peran Wahyu dalam kehidupan.
Bahasa ; Medium Agama dan Teknologi.
Agama berisi ajaran dan doktrin yang benar tanpa melalui tahapan layaknya filsafat, sains & Tekhnologi. Allah-lah Sebagai jaminan kebenarannya. Malaikat dan alim ulama dijadikan saksi paling jujur setelah Allah sebagai saksi kebenaran di bumi dan langit ini. Karena membawa pesan-pesan kebenaran, maka bahasanya pun dijaga; tak mengikuti perkembangan sejarah dan istilah tutur manusia. Maka, tak heran jika Al-Qur'an dijaga sepenuhnya oleh Allah. Rasulullah menjelaskan kandungan Al-Qur'an secara lisan dan praktek secara langsung, tanpa melalaikan catatan. Sahabat belajar secara penuh kepada beliau dengan prinsip ikut, patuh dan taat 100 %. Semboyan mereka, "kami dengar kami laksanakan (Sami'na wa Atha'na)." Bukan, "kami dengar dan kami pertimbangkan ( sami'na wa nazharna)." Bukan pula, "kami dengar tapi kami tidak siap melaksanakan (sami'na wa ashaina). Sehingga digaransi bahwa pemahaman agama, terutama sisi teologis/teoritis dan praktisnya di zaman beliau dan sahabatnya adalah gambaran ideal yang menjadikan bahasa dan makna tekstual (lahiriah) teks-teks Wahyu sebagai yang utama. Makna kiasan dan alegoris hanyalah sekedar pelengkap, tapi umumnya pada ranah praktis, bukan pada sisi teologisnya.
Untuk menjaga keutuhan makna dasar kebenaran ini, terjadilah islamisasi istilah Arab jahiliah menjadi murni milik peradaban Islam. Disinilah distingsi persfektif Al-Qur'an, Sunnah, Pemahaman sahabat, ijma', Praktik kalangan tabi'in dan sastra Arab jahiliah perlu dipertahankan.
Bahasa merupakan ungkapan keyakinan, tradisi dan budaya setiap bangsa. Ketika filsafat tumbuh di Yunani, maka akidah dan budaya Yunani; termasuk bahasanya, akan membawa bias-bias tersebut. Ketika diimpor ke negeri-negeri Islam via penguasa melalui kemenangan dakwah di setiap penjuru dunia, maka standar berfikir/berefistemologi mulai berubah. Tadinya, murni dikuasai Persfektif Islam. Kini akal dan rasionalitas peradaban lain mulai mengintervensi. Walau atas nama melumpuhkan lawan debat dan musuh pemikiran dengan senjata mereka sendiri demi membela keyakinan Islam. Namun, disadari atau tidak, senjata yang sama digunakan untuk menganalisa teks2 Wahyu. Sehingga pola rasionalitas Islam tereduksi oleh rasionalitas peradaban material rasional lain. Terbentuklah Mazhab teologis yang beragam; sehingga takfir antara kelompok terjadi secara besar-besaran. Bahkan, sekali pun dalam internal mazhab teologi yang sama. Seperti yang terjadi dalam lingkup madrasah Muktazilah masa lalu. Reduksi itu terus berlanjut di dunia Islam hingga kini melalui peran tokoh-tokoh liberal dengan bersenjatakan filsafat hermeneutika dengan Mazhab materialisme atau Idealisme atau realisme atau rasionalitas.
Agama dibangun berdasarkan persfekif ilmu-ilmu sosial Barat; terutama sekali ilmu sejarah dan filologi. Prinsipnya adalah evolusi dan perubahan terus menerus ; dari fase mitos, fase agama hingga fase ilmu pengetahuan. Padahal, kebenaran agama tidak tunduk pada perkembangan dan perubahan sekitar. Kecuali pada hal-hal yang memang bukan masuk dalam kategori prinsip. Katanya, agar senantiasa sesuai dengan tuntutan zaman. Katanya, yang mengajari kita sekarang bukan lagi kitab suci, tapi realitas alam ini; baik sejarahnya maupun materinya. Tapi, pada kenyataannya, bukannya sesuai tuntunan zaman, tapi mengikuti tuntunan hawa nafsu yang terjajah dan inferior di hadapan peradaban lain, walaupun mengatasnamakan pembaharuan Islam. Demikianlah realitas pemikiran yang terjadi selama ini di dunia Islam secara umum.
Untuk mengembalikan orisinilitas teologi yang merupakan simbol persatuan dunia Islam, perlu dilakukan pembaharuan pemahaman sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah di awal debut ilmiah da'awiahnya. Karena Al-Qur'an dan Sunnah di masa itu, terbukti menyatukan dan mengakurkan; dg hasil dakwah yang maksimal dan diakui oleh Allah secara penuh (Radhiyallahu Anhum wa radhu 'anhu). Secara real dan praktis, berhasil membawa kemakmuran dan kerukunan. Bukan sekedar teori namun gagal dari dunia praktis. Hasilnya, selain mendapatkan keridhaan Allah, juga diakui sebagai negeri yang baik penuh berkah (baldatun thoyyibah) sekaligus bermandikan ampunan dari Allah (rabbun gafur).
Sains & Tekhnologi Memberi Kemudahan; Bukan Kebahagiaan.
Tak bisa dipungkiri, kemudahan yang diinginkan manusia tercapai melalui peran sains dan teknologi. Namun, kemudahan itu tidak berarti Kebahagiaan. Tanpa rasa syukur kepada Allah, walau ada kesabaran, dan tidak memiliki rasa takut kepada sang pencipta ; manusia tak akan beroleh kebahagiaan. Memang alat dan Sarana transportasi modern sudah canggih. Manusia mudah melakukan pelesiran ke sana kemari; tanpa dibatasi sekat2 perairan, pegunungan, perbatasan, dll. Bahkan bulan dan planet mars pun sudah disambangi.
Betul bahwa Tekhnologi informasi berkembang pesat tanpa henti. Koneksi sosial sangat mudah terjalin. Banyak pekerjaan yang cukup diselesaikan lewat media online. Kirim uang tak perlu lagi ke ATM. Walaupun pun setor dana masih terikat dengan mesin ajaib itu. Akhirnya, kemudahan tiap hari diperoleh dari hasil perkembangan sains dan teknologi. Namun, cinta Allah yang menjadi pemicu segala jenis kebaikan; Harapan besar terhadap rahmat Allah yang diharapkan membina optimisme manusia dalam ketatnya persaingan hidup; Rasa takut kepada azab Allah jika terlibat dalam perangkap larangan dan malas melaksanakan kewajiban sebagai muslim, tidak banyak berkembang sesuai derasnya arus kecanggihan sains & teknologi itu. Akhirnya, kemajuan tidak mengurangi jumlah penduduk dunia yang stres, tidak membatasi angka bunuh diri, dan tidak pula berefek pada kurangnya angka kenakalan remaja.
Unsur Kebahagiaan.
Bahagia adalah akumulasi dan perpaduan antara ibadah sebagai sebab dan bahagia sebagai akibat. Sengsara adalah hasil atau sebab dari penyimpangan. Tempat dibinanya ibadah itu adalah pada fitrah manusia. Mencintai Allah dan berterima kasih padaNya adalah Fitrah manusia. Mengharap segala bentuk karunia dan rahmat Allah merupakan fitrah jiwa kaum beriman. Takut azabNya adalah konsekwensi keimanan seorang muslim. Hanya dengan itu manusia termanusiakan. Dan dengan itu pula manusia memanusiakan manusia atas nama Allah. Jika itu terwujud, sangat pantas manusia berbahagia lahir batin; dunia akhirat. Karena tanggung jawab sebagai manusia terlaksana dan masa depannya di akhirat terjamin pula adanya. Itu semua hanya bisa dipersembahkan oleh Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Kemudahan untuk mencintai Allah, kemudahan untuk mengharap rahmatNya dan kemudahan untuk terwujudnya rasa takut dari ancaman siksa Allah. Selain itu, kemudahan akibat perkembangan sains dan teknologi ikut memberi ruang kemudahan bagi penyebaran nilai-nilai kebahagiaan yang lahir dari ajaran dan peradaban Islam.
Islam; Bahasa Langit yang terjaga, Sumber Pemikiran Filosofis, Pemicu Sains dan Tekhnologi serta Industri Kebahagiaan.
Islam adalah agama yang menghubungkan manusia dengan Allah. Menyatukan langit dan bumi. Mengharmoniskan manusia dengan alam. Mensinkronkan semua manusia beriman dalam payung ukhuwah dan bingkai keummatan. Mengakurkan semua referensi pengetahuan. Dari otoritas informasi yang mutlak benarnya (Wahyu) dengan diri manusia yang berakal, bermata, bertelinga, berperasa (lidah), berperaba (kulit), berpenciuman (hidung) dan berhati (fitrah). Fitrah inilah yang menjadi dasar dan pijakan agama untuk memasukkan unsur-unsur nasehat dan pengarahan ilmiahnya. Berkolaborasilah akal, indera (mata, telinga, peraba, perasa, penciuman) dan hati sebagai referensi pengetahuan efistemologis.
Akal mengelola informasi yang diinput melalui mata dan telinga. Begitu pun rasa, raba dan penciuman. Semuanya punya peran membentuk keutuhan informasi yang dirangkum oleh akal agar bisa memberi pilihan dan pertimbangan pada hati. Tidak lupa juga peran Indra batin yang merekam, mempersepsi dan mengingat sebuah kejadian dan peristiwa untuk dijadikan memori bagi semua kegiatan dan tingkah laku manusia. Selain itu, ada referensi utama berupa Qur'an dan Sunnah yang membatasi kerja akal pada bidang teologis dan ibadah murni sebatas alat memahami, bukan sebagai referensi yang ikut menyaingi dan menyeleksi apalagi mengatur sirkulasi pengetahuan yang dihasilkan Wahyu. Tidak seperti pada bidang muamalah, di mana akal selain sebagai alat pengetahuan juga sekaligus referensinya. Berhak memberi pertimbangan, pertanyaan dan kesimpulan. Terutama pada bidang-bidang ijtihidiyah akibat adanya beragam peristiwa dan perkembangan terbaru dalam hidup manusia modern.
Bahasa Islam pun baku bukan karena Arabnya, tapi karena fungsinya sebagai media komunikasi terakhir Allah kepada hambaNya. Patokan dan standar utama kebenaran sepanjang keberadaan manusia di dunia. Padahal, usianya sudah lebih 14 abad yang lalu. Maka tak heran jika bahasa komunikasi Penduduk Surga pun nantinya secara resmi adalah bahasa Arab. Bahasa yang menjadi wadah peradaban Islam masa lalu. Memberikan prinsip-prinsip teologis baku yang tidak memberi ruang pertentangan antara Wahyu yang shahih dengan akal murni yang fitrawi, seperti yang dilakukan banyak kalangan teolog muslim.
Bahasa yang menjadi pilihan Tuhan untuk memotivasi manusia mencari tanda-tanda dan bukti kekuasaanNya di segala penjuru bumi; dengan sejumlah keteraturan yang menjadi dasar pembentukan Sains; dulu dan sekarang hingga zaman mendatang. Sehingga tersingkap wujud kekuasaan dan kebesaran serta keagungan Allah sekaligus tercipta formulasi Sains dan tekhnologi yang memudahkan manusia. Demikianlah masa lalu mengajari kita. Bahwa jangankan agama, bahkan tekhnologi pun diajarkan Allah kepada para nabi. Nabi Idris disebut sebagai orang pertama menggunakan tekhnologi jahit. Nabi Nuh diajari tata cara pembuatan kapal laut. Nabi Daud dan Sulaiman dituntun untuk membuat baju perang dari besi. Bahkan yang terakhir mengerti bahasa hewan dan bintang. Hingga diajari kunci mengendalikan angin dan semua kalangan jin. Termasuk tekhnologi pengobatan yang menjadi mukjizat nabi Isa alaihissalam. Semua itu bukti karunia Allah yang tiada batas, yang sangat ingin agar hambaNya bahagia lahir batin; dunia akhirat. Dalam naungan peradaban langit yang membumi. Semoga menjadi kenyataan di zaman modern ini. Melalui kita sebagai hamba dengan modal ilmu, amal dan dakwah yang masih sangat terbatas. Amiiiin.
Jakarta, 28 Januari 2019.
0 komentar:
إرسال تعليق