Oleh : Idrus Abidin.
HADITS KE-4
TAKDIR TELAH DITETAPKAN
عن أبي عبدالرحمن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو الصادق المصدوق " إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة
TERJEMAHAN.
Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.
[Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643]
PENGANTAR.
Sebagai agama wahyu, Islam memiliki karakteristik sendiri dalam memaknai setiap fenomena. Pada masalah kelahiran misalnya, Islam menetapkan fase-fase yang jelas. Fase ini terus dipantau oleh malaikat Allah swt yang khusus ditugaskan untuk urusan tersebut. Fase-fase itu berupa :
1. Fase air mani selama 40 hari.
2. Fase tetesan darah selama 40 hari.
3. Fase gumpalan daging selama 40 hari.
4. Fase akhir sebelum lahir selama 40 hari pula.
Keempat fase ini memiliki proses tersendiri dan juga menjadi penegasan ilmu pengetahuan moderen yang menunjukkkan bahwa ajaran Islam sangat akrab dengan dunia ilmiah.
PENJELASAN.
"Sungguh setiap kalian berperoses dalam perut ibunya berupa setetes air mani selama 40 hari" ini merupakan fase awal terbentuknya manusia dalam rahim ibu. Proses ini ditandai dengan bertemunya air mani laki-laki dengan air mani perempuan. Proses ini berlangsung selama 40 hari.
"Kemudian berubah menjadi setetes darah selama 40 hari" proses ini merupakan lanjutan dari proses sebelmnya. Fase ini dalam bahasa arab dikenal sebagai fase 'Alaqah, yaitu sebuah fase yang menggambarkan kondisi darah yang cendrung mengeras itu, menempel pada jalur yang dilewatinya. Fase ini pun disinggung oleh Allah pada firman-Nya dalam surah Al-'Alaq yang berbunyi "yang menciptakan manusia dari segumpal darah ('alaqah)"
"Kemudian berubah menjadi segumpal daging selama 40 hari" ini merupakan fase ketiga, dimana darah yang mengeras tadi berubah menjadi segumpal daging. Pada fase selanjutnya, yaitu masa 120 hari, Allah mengirim malaikat untuk meniupkan ruh sekaligus menetapkan rezqi, ajal, amal dan susah senangnya dalam kehidupan ini. Hal ini berdasarkan pada hadis nabi "Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya, dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara; menetapkan rezkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya".
Penggalan hadist ini pula yang menjadi landasan ulama dalam berpendapat bahwa sebelum janin berumur empat bulan Ia tidaklah dianggap manusia hidup. Olehnya itu, jika janin lahir sebelum melewati umur empat bulan maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalati. Ia dikuburkan apa adanya saja.
Selain itu, penggalan hadits tadi juga mengisyaratkan adanya malaikat yang ditugaskan oleh Allah swt untuk mengurus seluk beluk alam rahim. Menjaga janin dari serangan jin jahat yang hendak menyerangnya juga menjadi tugas sang malaikat. Serangan ini merupakan wujud sumpah iblis di hadapan Allah yang akan menyesatkan manusia beserta keturunannya. Mungkin karena inilah Rasulullah saw mewanti-wanti ummatnya agar ketika hendak campur supaya berdo'a sebelumnya. Setelah tanda-tanda kehamilan mulai nampak, diharapkan sekali bagi wanita hamil untuk banyak taqarrub kepada Allah swt. Mengingat kondisinya yang begitu lemah dan merupakan peluang utama bagi jin setan untuk menyerangnya.
Dengan pertimbangan bahwa pada fase 120 hari, janin ditentukan rezki, ajal, dan senang tidaknya di dunia ini, maka seorang Muslim hendaknya tenang dalam masalah rezki, dengan merasa cukup dengan apa yang telah ada dan tetap berusaha mencari rezki yang halal. Panik dalam hal ini merupakan wujud kelemahan iman. Apalagi bila rela mengganti keyakinan hanya demi sesuap nasi atau kenikmatan dunia lainnya. Naudzubillah.
"Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Nya, sungguh dIantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli sorga hingga jarak antara dia dengan sorga hanyalah sehasta, akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dIa melakukan perbuatan ahli neraka sehingga Ia pun tercebur kedalamnya. Sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dengan neraka tinggal sehasta, tetapi telah ditentukan baginya sebuah ketentuan sehingga Ia melakukan perbuatan ahli sorga lalu Ia pun masuk kedalamnya."
Potongan hadits ini mengisyaratkan bahwa kondisi terakhir manusia di dunia ini menetukan kondisinya di akhirat. Karena itulah, seseorang hendaknya tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini yang nampak komitmen dengan nilai-nilai Islami. Ketaatan lahiriah tidaklah selamanya lahir dari rahim keikhlasan, tapi kadang karena faktor lingkungan atau pun kebiasaan.
Disinilah nampak bagi orang–orang yang secara lahir taat dalam ibadah ritual tidak dibenarkan memandang enteng ataupun memandang hina orang-orang yang bergelimang dosa. Tetapi berusaha meminta perlindungan kepada Allah swt agar dijauhkan dari sikap demikian, sembari berusaha menda'wahi orang-orang yang bertipe demikian dengan menunjukkan kasih sayang dan empati.
Bisa jadi lautan dosa yang sedang melingkupi seseorang mengatarkannya ke lembah taubat yang penuh dimensi kesadaran. Sebuah kondisi yang dapat merubah seseorang menjadi lebih baik dibanding orang-orang yang secara lahiriah garis hidupnya datar dengan ketaatanya. Khalid Bin Walid merupakan tipe yang mewakili kondisi ini.
Di samping itu, bagi mereka yang sedang berlumur dosa, hendaknya menyadari bahwa pintu kematian tiap saat mengintai. Sangat disayangkan jika kondisinya belum berubah sedang ajal datang menjemput. Dosa yang telah menggunung tinggi tidaklah seharusnya membuat seseorang lepas harapan terhadap kemungkinan terbukanya pintu taubat. Selama ajal belum berakhir, nafas masih turun naik dan belum sampai sekarat, maka selama itu pula Ia ditunggu oleh Allah swt dilorang taubat-Nya.
Manusia, baik yang ahli taat maupun ahli maksiat, hendaknya tetap menyadari bahwa Allah swt menghendakinya berjalan menuju orbit kehidupan, berupa akhirat dengan tetap berpegang teguh pada prinsip Khauf ( khawatir) dan Raja' (penuh harap).
Di sini perlu ditegaskan pula bahwa amalan, baik ataupun buruk, tidaklah serta merta membuat pelakunya masuk sorga atau pun neraka. Amalan hanyalah timbangan lahirIah. Karenanya, akidah Ahlussunnah Wal Jamaah menetapkan bahwa sorga dan neraka mutlak di bawah kekuasaan Allah swt. Ia memasukkan ke dalam sorga-Nya orang-orang yang dikehendaki dan memasukkan ke dalam neraka-Nya orang-orang yang dikehendaki-Nya pula.
Nampaknya permasalahan di atas sangat terkait erat dengan masalah Qadha dan Qadar (takdir), sehingga penting untuk menjelaskan permasalahan ini secara singkat.
Qadha adalah ketetapan Allah swt pada zaman azali tentang ada tidaknya sesuatu. Sedangkan kadar adalah penciptaan Allah swt terhadap sesuatu berdasarkan wujudnya pada waktu tertentu. Takdir terkait erat dengan kesempurnaan ilmu Allah swt, keilmuan yang mencakup apa yang telah, sedang dan akan terjadi, serta proses kejadiannya.
Atas kesempurnaan ilmu inilah Allah swt menetapkan rezki, amalan, bahagia atau celakanya seseorang. Tetapi ilmu ini tidaklah menghilangkan hak ihtiar dan kehendak hamba, karena ilmu tidaklah berpengaruh. Teks-teks keagamaan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah menunjukkan dan menetapkan kehendak dan kebebasan berihtiar bagi manusia.
Aktifitas manusia di dunia ini pastilah seseuai dengan skenario Allah swt di lauhin mahfuz. Siapapun yang ditentukan sebagai penduduk sorga maka pasti dimudahkan dalam menjalankan amalan penduduk Sorga, khususnya di akhir hidupnya. Sebaliknya pun demikian. Walau hari-harinya diramaikan dengan ketaatan, tetapi di akhir hentakan nafasnya Ia menjauh dari jalur kebenaran, maka neraka pun menjadi ujung perjalanannya. Wallahu a'lam. Semoga kita dijauhkan oleh Allah swt dari su'ul khotimah. Amin.
HADITS KE-5.
TERTOLAKNYA PAHALA AMALAN BID’AH
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد " رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم " من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
TERJEMAHAN
Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak".
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
[Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]
PENGANTAR.
Pada hadits pertama dijelaskan bahwa timbangan bathiniah berupa ikhlas merupakan syarat mutlak diterimanya sebuah amalan. Di sini, timbangan lahiriah juga mendapatkan porsi penjelasan, agar kita makin meyakini pentingnya ilmu yang dapat mengenalkan kita sunnah-sunnah nabi. Terutama sekali pada lapangan ibadah ritual, supaya bisa membedakan amalan yang disyarIatkan dan dapat menghindari amalan yang merupakan lahan bid'ah.
Timbangan lahiriah dalam Islam dikenal dengan istilah Ittiba', yaitu sebuah usaha untuk mengikuti cara Nabi dalam memperaktekkan nilai-nilai Islam. Lawan ittiba' adalah ibtida', yaitu sikap beragama yang biasanya mereka-reka bentuk ibadah untuk dijadikan metode taqarrub yang tidak disyariatkan oleh Allah swt.
Islam adalah agama yang telah sempurna ajarannya. Menambah atau menguranginya merupakan tindakan subversip, dan seolah menuduh Rasullah Shallallahu alaihi wasallam tidak amanah dalam menjalankan risalah Allah swt.
Tapi permasalahan ini sebenarnya merupakan garapan Ulama, karena merekalah yang mengetahui karakteristik Islam dan mengenal hal-hal yang bisa menjadi lahan ijtihad. Karenanya, sebelum mapan dari sisi keilmuan, hendaknya penuntut ilmu menahan diri dari sikap suka mencap amalan-amalan tertentu sebagai bid'ah, terutama yang masih berkategori ikhtilaful ulama.
PENJELASAN.
"Barang siapa yang mengada-adakan amalan yang bukan berasal dari (ajaran) kami, maka amalannya tertolak" Hukum asal ibadah adalah At-Tahrim. Artinya bahwa dalam lapangan ibadah ritual, mengikuti cara Rasulullah saw merupakan keharusan. Dan tidak diperkenankan (haram) memodifikasi ibadah tertentu itu dijadikan sarana taqarrub kepada Allah swt.
Di sini perlu ditegaskan bahwa Islam terbagi menjadi beberapa bagian, seperti Akidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak. Dalam lapangan praktis, kita hanya menyoroti lahan ibadah dan muamalah. Agar lebih rinci, kita analisa lebih jauh kaitannya dengan hadits di atas.
Ibadah.
Hukum asal ibadah adalah At-Tahrim. Artinya bahwa dalam lapangan ibadah ritual, mengikuti cara Rasulullah saw merupakan keharusan. Tidak ada seorang pun yang dibolehkan merancang sebuah bentuk ibadah lalu menjadikannya model taqarrub kepada Allah swt. Kalau demikIan adanya maka Ia berkategori bid'ah. Bid'ah dalam lapangan ibadah berarti mengadakan ibadah yang tidak memiliki contoh aplikasi dari Rasulullah saw. Nah, hadits di atas merupakan kaedah umum tentang masalah bid'ah yang merupakan lawan dari Sunnah.
Tetapi dalam rangka menerima dan menolak suatu bentuk ibadah perlu dijelaskan hal-hal berikut :
- Suatu bentuk taqarrub dalam ibadah tertentu tidak selamanya bernilai ibadah pada kondisi lain. Sebagai contoh, berdiri merupakan bentuk taqarrub ketika shalat maupun ketika azan. Tetapi jika ada yang bernazar untuk berdiri pada waktu-wakti tertentu, maka itu berarti bid'ah yang tertolak di sisi Allah swt. Kareana itulah, ketika ada seseorang berdiri di tengah terik matahari sebagai wujud pemenuhan nazarnya, Ia dilarang oleh Rasulullah saw.
- Amalan yang berada di luar aturan syara'. Perbuatan yang tidak berlandaskan syari'at, seperti seseorang bertaqarrub dengan nyayian atau dansa, maka perbuatan ini jelas tertolak. Bahkan inilah bentuk bid'ah yang sebenarnya. Semua perbuatan yang dilarang Islam masuk dalam kategori ini.
- Menambah-nambah ibadah yang disyariatkan. Bid'ah dalam bentuk seperti ini perlu diperjelas dan diteliti. Karena tambahan bisa jadi membatalkan ibadah dan membuatnya tertolak. Contohnya adalah menambah shalat subuh menjadi tiga rakaat atau lebih. Tapi jika tambahan itu tidaklah membatalkan, tetapi hanya keluar dari kebiasaan dan tidak ada larangan menambahinya, maka sebenarnya tidaklah tertolak. Hanya mungkin berada pada level makruh, seperti ketika berwudhu lebih dari 3 kali. Itu pun kemakruhannya dilihat dari sisi berlebihan dalam menggunakan air. Sedang sikap berlebih-lebihan merupakan sesuatu yang dibenci oleh Islam.
- Meninggalkan bagian tertentu dari ibadah yang disayariatkan. Orang yang beribadah kepada Allah swt tapi meninggalkan bagian tertentu dari ibadah tersebut, maka dari segi diterima atau ditolaknya ibadah itu perlu diteliti dan diperjelas bagian yang ditinggalkan. Jika yang ditinggalkan adalah syarat-syaratnya, seperti orang yang meninggalkan wudhu ketika hendak shalat maka tentu ibadahnya tertolak. Begitupun orang yang meninggalkan rukun-rukun ibadah tertentu. Adapun jika yang tertinggal hanyalah sunnah-sunnahnya saja, seperti orang yang shalat di rumah dan tidak ikut berjamaah, tentu pahalanya tidak sama dengan orang yang berjamaah. Itu jika shalat jamaah dianggap sunnah muakkadah.
Muamalah.
Hukum asal muamalah adalah "boleh". Artinya dalam bermuamalah dengan sesama manusIa tidaklah harus mendasarinya dengan cara-cara Rasulullah saw layaknya bidang ibadah. Tetapi bentuk-bentuk transaksi bisa saja dikembangkan sebatas tidak melanggar kaedah umum yang ditetapkan agama. Seperti tidak merugikan salah satu pihak, tidak mengadakan transaksi yang melanggar syari'at seperti riba dll dan dilaksanakan atas dasar keridhaan pihak-pihak terkait.
Namun demikian, dari sisi tertolaknya sebuah tansaksi dalam muamalah biasanya terjadi pada bentuk-bentuk berikut :
v Tindakan yang merupakan usaha untuk menebus hukum syari'at. Semua jenis tindakan yang merupakan manifestasi dari penebusan atau pengganti hukum syari'at tertolak secara langsung. Seperti hukum rajam terhadap wanita yang berzina setelah menikah, lalu ditebus dengan uang atau bentuk lainnya.
v Akad (transaksi) yang terlarang oleh syari'at :
1. Transaksi yang bukan pada tempatnya. Seperti menikahi mahram, baik dari kerabat, keturunan, ataupun menyatukan wanita dengan tantenya. Transaksi seperti ini tertolak karena melanggar aturan (baca:haram).
2. Tidak terpenuhinya sebuah syarat tidaklah bisa dianggap sah sekedar keridhaan kedua belah pihak. Seperti menikahi wanita yang sedang beriddah. Walaupun keduanya sama-sama ridha, tetapi syarat berupa selesainya iddah telah dilanggar, jadi hukumnya tertolak. Demikian juga menikah tanpa wali.
3. Transaksi dengan benda-benda yang di haramkan oleh Allah swt. Seperti menjual minuman keras, bangkai ataupun riba dll.
v Transaksi yang menyebakan terjadinya kezaliman terhadap satu pihak. Seperti seorang wali menikahkan seorang janda tanpa seizinnya. Maka diterima tidaknya akad tergantung dari keridhaan sang janda, karena itu adalah haknya.
CATATAN
Hendaknya penuntut ilmu tidak tergesa-gesa menghukumi sesuatu sebagai bid'ah dengan hanya bermodalkan hadits di atas. Tetapi sebelumnya, sebaiknya meniliti pendapat ulama tentang hal tersebut dengan memperhatikan kaedah umum yang bisa dijadikan titik tolak untuk menerima atau menolak sesuatu. Wallahu a'lam.
Kita berharap kepada Allah swt agar menganugrahkan kita ilmu yang menjauhkan kita dari prilaku bid'ah. Dan memohon kepadan-Nya agar senantiasa dimudahkan dalam berkomitmen dengan sunnah-sunnah Nabi-Nya. Amin.
HADITS KE-6
HALAL DAN HARAM
عن أبي عبدالله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات قد لا يعلمهن كثير من الناس , فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه , ومن وقع في الشبهات فقد وقع في الحرام , كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه , ألا وأن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , وإذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهي القلب
TERJEMAHAN.
Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]
PENGANTAR.
Hadits ini merupakan rumus penting dalam Islam. Sebagian ulama berkomentar, "Landasan agama menurut kami terangkum pada beberapa kalimat yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw ; tinggalkan syubhat, zuhudlah, tinggalkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan dirimu dan bekerjalah dengan ikhlas".
Ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan halal dan haram sangatlah jelas. Tapi antara keduanya terdapat hal-hal yang meragukan hukumnya bagi masyarakat. Namun bagi ulama, hal itu tidaklah bermasalah. Karena dengan ketaqwaan dan keilmuan yang meraka miliki, mereka mampu menempatkan hal-hal demikian pada salah satu dari kedua kategori di atas. Hal-hal seperti itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw sebagai Syubhat.
PENJELASAN.
Syubhat, menurut Imam Nawawi, adalah sesuatu yang tidak jelas status halal atau haramnya. Karena itulah, banyak orang yang tidak mengetahui hukumnya. Tetapi ulama bisa mengetahui status hukumya melalui teks-teks Al-Qur'an/hadits atau pun dengan sistem analogi (qiyas). Jika status hukum sesuatu tidak jelas halal haramnya, sementara tidak ada nash (teks) ataupun konsensus ulama (ijma'), maka mujtahid memberlakukan ijtihad agar bisa menetapkan statusnya dengan jelas dengan tetap berlandaskan pada dalil-dalil syari'at.
Dalam menyikapi masalah syubhat ini, manusia terbagi dua :
- Sebagian meninggalkan syubhat sebagai upaya mencari keridhaan Allah swt dan merupakan bentuk lain dari usaha menghindari dosa. Disamping itu mereka berusaha menyelamatkan agamanya dan menjaga kehormatannya. Inilah makna hadits Rasulullah saw yang berbunyi "Barang siapa yang menghindari syubhat berarti telah menyelamatkan agama dan kehormatannya" keselamatan agama berkaitan dengan Allah swt, sedang kehormatan berkaitan dengan hubungan sesama manusia.
- Sebagian lagi terlibat dalam perkara syubhat. Tetapi syubhat di sini menurut masyarakat, bukan menurut dia secara pribadi. Karena hukumnya jelas "boleh" baginya. Contohnya seperti ciuman dengan istri di tempat umum. Tentu dari sisi syari'at hal ini dibolehkan karena statusnya halal. Hanya saja berpotensi menimbulkan fitnah dan merusak kehormatan (citra diri). Hal seperti ini tidaklah masalah, tetapi jika ditinggalkan sangatlah tepat agar tidak menimbulkan fitnah dan demi menjaga kehormatan. Syubhat seperti ini pernah menimpa Rasulullah saw. Ketika itu, beliau bersama seorang perempuan di tengah malam. Tiba-tiba ada dua orang sahabat yang lewat. Kerena khawatir mereka curiga, beliau memanggil mereka dan menjelaskan bahwa wanita yang sedang bersamanya adalah Shofiyyah, istri beliau sendiri.
Ada pula yang bergelut dengan dunia syubhat karena mengikuti hawa nafsu. Kondisi seperti inilah yang dianggap terjatuh dalam kubangan haram. Tentang hal ini, Rasulullah saw menegaskan "Barang siapa yang terlibat dengan perkara syubhat berarti Ia tenggalam dalam perkara haram". Artinya bahwa seorang yang terlibat dalam perkara syubhat berpeluang besar untuk melakukan sesuatu yang haram.
Pembagian halal, haram dan syubhat ini dipertegas oleh Rasulullah saw dengan gambaran bahwa "Seperti pengembala yang mengembalakan hewan piaraannya di da'erah yang dilindungi sehingga hampir saja menerobos tanpa bisa dicegat"
Tingkah laku yang merupakan pilihan ataupun sekedar gerak yang mengikuti alur kebiasaan sangatlah dipengarui oleh kondisi hati (iman). Hati, ketika didominasi oleh iman, membuat seseorang berhati-hati dalam berbuat. Sebaliknya, hati yang melemah akibat dominasi syahwat sangat potensial melahirkan tingkah laku murahan. Hal ini disinggung oleh Allah swt dalam firman-Nya :
"Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagIan ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya" (Q.S Ali Imran : 7).
Kaitannya dengan halal, haram dan syubhat adalah bahwa keimana akan menghindarkan seseorang dari perkara syubhat apalagi yang haram.
Beberapa hal yang merupakan rangkuman pembahasan di atas adalah :
v Jika seseorang terlibat dengan perkara syubhat maka mudah baginya terjatuh pada hal-hal yang jelas keharamannya.
v Masalah kebaikan dan keburukan sangat ditentukan oleh hati. Karenanya memperhatikan kondisi hati secara terus menerus merupakan tuntunan agar dapat meniti jalur yang benar dengan tetap istiqamah.
v Rusaknya prilaku lahiriah merupkan indikasi kuat rusaknya kondisi bathin (hati).
Semoga Allah swt menjauhkan kita dari syubhat yang dapat menggerogoti agama dan kehormatan kita. Amin.
0 komentar:
إرسال تعليق