Oleh : Dr. ‘Utsman ‘Ali Hasan MA.
Sumber : Manhaj al-Istidlal ‘ala Masa’il al-I’tiqad ‘inda Ahli Sunnah.
Alih Bahasa : Idrus Abidin, Lc., MA.
Dosen PSI al-Manar Jakarta.
1. PENGERTIAN LOGIKA ARISTOTELES.
Ahli filsafat memandang bahwa logika itu terbagi dua kategori, yaitu: logika eksternal (lahirian) dan logika internal (bathiniah). Yang masuk kategori eksternal adalah lafazh dan penuturan. Tata-cara untuk meluruskannya adalah dengan gramatika (nahwu) pada prosa dan ilmu ‘arudh (aturan nada sya’ir) pada syair-syair. Adapun pembicaraan internal maka ia termasuk kerja-kerja rasio dan pemikiran. Tata-cara meluruskannya dengan metode logika yang telah dikenal secara terminologis.[1]
Pengertian yang sangat dikenal di kalangan ahli filsafat adalah bahwa logika (manthiq) merupakan sarana metodologis yang dapat menjaga rasio dari kesalahan dalam aktifitas berfikir atau mencegahnya dari ketergelinciran dalam ranah pemikiran.[2]
Dengan makna yang sangat mirip dengan pengertian di atas, Ibnu Sina memberikan batasan terhadap logika dalam kitabnya, an-Najah, bahwasanya logika adalah merupakan sarana yang akan menjaga rasio dari kesalahan terhadap apa-apa yang kita asumsikan (tashawwur) dan kita putuskan (tashdiq), yang akan mengantarkan kepada keyakinan yang benar, dengan memberikan pencetusnya dan mengikuti langkah-langkahnya.[3] Pengertian ini lahir berdasarkan manfaat dan signifikansi ilmu logika itu sendiri. Adapun pengertian ilmu logika dari sisi terminologisnya, dijelaskan oleh Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa, “Logika adalah merupakan upaya teoritis yang berusaha mengetahui bentuk dan materi apa yang membentuk sebuah pengertian yang benar. Hal ini sering disebut dengan kebenaran terminologis, dan juga mengetahui analogi (qiyas) yang benar, yang dikenal dengan istilah kebenaran demonstratif (burhan).[4]
Ahli filsafat memandang bahwa sarana tersebut telah ada dalam rasio manusia secara garizah. Karenannya, penggunaan metode ini mendahului masa penulisannya.[5] Aristoteles hanya berperan sebagai penyusun saja dan berjasa dalam menyusun sistematika pembahasannya. Atas dasar asumsi ini mereka mengatakan,[6] “Penisbatan ilmu logika tehadap filsafat seperti penisabatan ilmu gramatika Arab (nahwu) terhadap bahasa, juga penisbatan ilmu ‘arudh dalam lingkup syair. Posisi Aristoteles, dalam hal ini persis seperti posisi Sibawaih dan Khalil bin Ahmad. Penulis kitab al-Sullam mengatakan :
( وبعد ، فالمنطق للجنان نسبته كالنحو للسان )
“Setelahnya, (posisi) logika terhadap pisik penisbatannya seperti ilmu gramatika Arab (nahwu) terhadap bahasa”
2. SISTEMATIKA ILMU LOGIKA.
Ilmu logika membahas seputar dua masalah utama :
A. Masalah asumsi dan abstraksi (tashawwur). Yaitu mengenal sebuah subyek tanpa memberikan predikat sama sekali, baik dengan meniadakan (negatif) maupun menetapkannya (positif).[7] Cara untuk mengetahui bidang ini dengan melalui pengertian, yaitu perkataan yang menujukkan hakikat (subjek) sesuatu.[8] Pembahasan yang termasuk dalam kategori ini adalah masalah kata (lafazh) dan kandungan maknanya (dilalah) dan kajian yang terkait dengannya.
B. Masalah putusan (tashdiq). Yaitu penisbatan putusan kepada subyek yang telah diasumsikan dan diabstraksikan.[9] Jalur yang ditempuh untuk mengetahuinya adalah dengan metode analogis (qiyas). Yaitu ungkapan yang terdiri dari beberapa pernyataan yang apabila diterima, maka konsekwensi logisnya adalah kita harus menerima pernyataan lain yang merupakan tuntunan pernyataan tersebut.[10]
Pembahasan yang masuk dalam kategori ini adalah seperti permasalah (qadhaya) dan jenis-jenisnya, analogi (qiyas) : bentuk, ragam, hukum dan permasalahan yang terkait dengannya.
Logika Aristoteles hanya membahas bentuk berpikir (logika formal) tanpa membahas isi pemikiran tersebut (logika material). Targetnya adalah mengetahui sebuah pemikiran (kebenaran) dengan cara berpikir yang benar dan menegaskan bahwa aktifitas berpikir tersebut jauh dari kontradiksi. Tujuan ini persis seperti dialektika Yunani, terutama yang dikembangkan oleh Sokrates dan Plato. Berdasarkan asumsi inilah logika Aristoteles sering dikenal dengan logika formal. Maksudnya, bahwa logika Aristoteles hanya fokus pada bentuk berpikir tanpa peduli dengan materi (konten) berpikir tersebut.[11]
3. SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA ARISTOTELES.
A. Sejarah Pertumbuhan Logika Aristoteles.
Pemikiran Yunani telah melewati masa krisis yang sangat parah pada zaman berkembangnya dialektika kaum sofis. Yaitu metode debat yang menghalalkan segala cara demi untuk memenangkan perdebatan. Mereka mengingkari semua prinsip-prinsip yang sudah baku dan mendebat semua yang sifatnya aksiomatik. Kaum sofis mengklaim diri mengetahui segala sesuatu. Kebenaran dalam persfektif kaum sofis ini hanyalah masalah nisbi (relatip). Yaitu kebenaran berdasarkan pada persfektif masing-masing orang. Kesalahan adalah merupakan kemustahilan karena standar kebenaran ada pada masing-masing orang. Semua yang dipandang benar maka itulah kebenaran sesungguhnya, sekali pun semua orang memandangnya sebagai kesalahan. Dua orang yang memperdebatkan suatu permasalahan masing-masing dipandang benar. Karenanya, kaum sofis seringkali memperkuat argumentasinya dengan beragam fakta sehingga tampak seperti kebenaran mutlak. Lalu kemudian ia sendiri yang mengkritisinya dengan pandangan berbeda dengan mengajukan bukti-bukti yang menegaskan bahwa yang benar adalah sebaliknya.[12]
Lalu Sokrates datang dan mengkritis semua metode dialektika kaum sofis dengan merumuskan standar baru dalam seni berdebat dan berdialektika. Ia mengembangkan metodologinya dengan mengkritisi semua mukaddimah pemikiran dan pandangan yang sedang berkembang, yang merupakan teori standar dalam penarikan kesimpulan. Ia senantiasa mendiskusikan tentang pengertian sesuatu yang sebenarnya bersama para teman diskusinya.[13] Yaitu pengertian yang menjelaskan tentang hakikat sesuatu yang sedang diperjelas. Karena itulah, Aristoteles mengakui bahwa Sokrateslah yang membahas hakikat sesuatu secara utuh karena ia telah menggunakan metodologi analogis (qiyas)[14] Ia juga membantu lawan debatnya untuk bisa sampai kepada hakikat sesuatu melalu metode yang disebut metode al-Taulid.[15]
Lalu datnglah Plato, murid Sokrates sendiri, untuk melanjutkan metode gurunya. Bahkan ia lebih mempertegas lagi tentang makna lafazh dan pengertian, hingga tidak ada peluang lagi adanya kesalahan. Ia bahkan menemukan metode yang disebut metode induksi. Yaitu perpindahan dari alam nyata kepada citra pikiran holistik yang ia sebut sebagai dunia ideal.
Citra rasio yang sempurna menurutnya hanyalah diperoleh dari dunia ideal yang merupakan wilayah pasti dan tidak stagnan serta merupakan wilayah kebenaran secara mutlak. Adapun wilayah nyata, ia hanyalah wilayah yang senantiasa berubah dan akan sirna. Ia hanyalah dunia kemiripan dan bukan dunia hakikat. Bahkan, pada perinsipnya, ia hanyalah bentuk tiruan dari dunia yang sebanarnya, yaitu dunia ideal. Koneksi antara ke dua wilayah ini merupakan efistemologi ilmu menurut Plato. Ilmu menurutnya adalah mengingat sedang kebodohan adalah melupakan sesuatu.[16] Fenomena ini, menurutnya adalah faktor yang paling potensial meruntuhkan klaim kaum sofis yang menganggap segala sesuatu senantiasa berubah dan menganggap relatifnya kebenaran.
Lalu datanglah Aristoteles[17], murid Plato, untuk mengambangkan hasil pikiran tersebut dengan metode yang ia sebut dengan metode analisis logika[18]. Ia fokus dengannya, menetapkan batasan-batasan terminologisnya dan mengatur sistematika pembahasannya. Karenanya, ilmu logika seringkali dinisbatkan kepadanya. Penisbatan ini hanyalah penisbatan sebagai perumus dan promotor dan bukan sebagai penemu dan pionir.[19] Ibnu Khaldun mengatakan, “Para pendahulu membahas logika pada awal pembahasannya dengan kalimat per kalimat dan parsial serta metodenya juga belum diringkas. Sitematika pembahasannya juga belum ditata rapi. Lalu tampillah Aristoteles di Yunani yang meringkas sistematikan pembahasannya dan menyusun permalahan yang dikaji serta mengatur ulang bab dan pasal-pasalnya dan memproklamirkannya sebagai ilmu hikmah pertama dan sebagai kunci utamanya. Karena itulah, ia disebut sebagai muallim pertama.[20]
B. Fase Awal Masuknya Ilmu Logika ke dalam Negeri Muslim.
Pendapat yang paling masyhur tentang awal mula masuknya logika Aristoteles ke dalam wilayah kaum muslimin dan kesibukan beberapa sarjana untuk menelaahnya adalah pada fase kekuasaan Bani Abbasiah. Yang mana, zaman tersebut banyak terinfeksi oleh ilmu filsafat dan terpengaruh signipikan oleh metode bahasa Yunani.[21]
Abu Muhammad Abdullah bin Abu Zaid Al-Qayrawani mengatakan, “Semoga bani Ummayah dirahmati oleh Allah swt. Tidak ada seorang khalifah pun di kalangan mereka yang mempelopori lahirnya bid’ah dalam lingkup keislaman. Kekuasaan dan para pegawai mereka banyak dikuasai oleh orang-orang Arab. Tatkala kekhilafaan pindah dari kekuasaan mereka lalu beralih kepada bani Abbasiah, Negara mereka pun berdiri di walayah Parsi, sehingga kekuasaan tertinggi berada dalam kendali mereka. Sementara penguasanya banyak mengidap pemikiran yang cenderung kepada kekafiran dan memendam kebencian terhadap Islam dan orang-orang Arab. Lalu mereka memunculkan banyak kejadian-kejadian memilukan dalam Islam yang potensial menghancurkan Islam sendiri. Seandainya saja Allah swt tidak meberikan janji pada Nabi-Nya bahwa agama ini dan pemeluknya akan senatiasa mendapatkan kemenangan hingga datangnya hari kiamat kelak maka mereka akan menghancurkan Islam. Tetapi mereka mengelabui agama ini dan menggebosi pilar-pilarnya. Sedang Allah swt akan senatiasa memenuhi janji-janji-Nya insya Allah….” Beliau lalau menyebutkan bahwa kejadian memilukan pertama adalah transfer buku buku Yunani ke dalam dunia Islam melalui jalur Yahya bin Khalid bin Barmak (al-Barmaki), seorang menteri pada zaman pemerintahan Harun al-Rasyid. Yahya ini kemudian mencari buku-buku Yunani ke raja Roma. Ketika itu, buku buku tersebut sengaja dijauhkan dari padangan kaum Nasrani agar mereka tidak tertarik padanya. Lalu mereka kemudian mengirimkannya ke menteri yang berbangsa Arab, demi untuk menghindari bahayanya dan dengan harapan dapat merusak kondisi kaum muslimin. Sehingga seorang pentolan Roma mengatakan, “Tidaklah ilmu ini (Filsafat) memasuki sebuah Negara agama kecuali merusaknya dan membuat kalangan intelektualnya kacau-balau”.[22] Lalu al-Barmaki mendatangkan banyak kalangan zindik dan banyak filosof untuk mengkajinya secara mendalam.
Beberapa ahli mengindikasikan bahwa pengalihan ini terjadi sebelum masa bani Abbasiah, yaitu pada pase bani umayyah melalu jalur Khalid bin Yazid bin Muawiyah, ketika ia meminta beberapa intelektual Yunani untuk menerjemahkan beberapa literatur Yunani[23]
Argumen yang menguatkan kecenderungan ini adalah fakta yang disebutkan oleh al-Syahrastani bahwa rekan Wasil bin ‘Atha telah menelaah beberapa literature filosof.[24]
Untuk memadukan ke dua pendapat ini, sebaiknya kita mengatakan bahwa literatur tersebut awalnya masuk ke dunia muslim dan diarabkan pada masa bani umayyah, tetapi kala itu belumlah banyak beredar dan belumlah dikenal luas oleh banyak sarjana, karena kaum salaf masih banyak yang melarang untuk menelaahnya. Lalu meluaslah pada zaman al-Barmaki dan mendapatkan dukungan pada era al-Makmun karena ia banyak mendukung praktek-praktek bid’ah. Bahkan ia mendorong sarjana untuk menelaah lieteratur tersebut dibanding sekedar sibuk dengan ilmu-ilmu sarjana muslim masa awal dan mulai mengerdilkan ilmu-ilmu Sunnah (hadits).[25]
Sekali pun demikian, literatur filsafat tidak banyak mengundang perhatian dan penghargaan dari kalangan intelektual dari seluruh kalangan, baik Ahlu Sunnah, Muktazilah, Asya’irah, Karamiah[26], dan kalangan Syi’ah. Bahkan orang-orang yang menelaahnya dikenal luas oleh kalangan kaum muslimin sebagai orang menyimpang dan zindik. Seperti al-Farabi,[27] Ibnu Sina[28], al-Kindi[29] dll.
C. Internalisasi Ilmu Logika ke Dalam Ilmu-Ilmu Agama (Syari’ah).
Asumsi yang banyak berkembang dalam benak banyak sarjana adalah bahwasanya kaum muslim telah terpengaruh secara mendalam dalam aktifitas intelektual mereka dengan logika Aristoteles. Terutama dalam lingkup ilmu Ushul Fiqh. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada adanya kemiripan antara ilmu ushul dengan ilmu logika dalam hal tujuan. Yaitu bahwa keduanya memiliki target untuk mengenal jalan yang dapat mengantarkan kepada kebenaran.[30]
Pada hal, sebenarnya, pembahasan seputar uhsul fiqh telah diawali sejak zaman sahabat radiyallahu anhum. Kita mendapati pandangan mereka dalam masalah analogi (qiyas), illah, ‘am, khas dll. Hanya saja pembahasan tersebut masih terbatas karena kedekatan mereka dari zaman kenabian, juga karena ketersediaan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah serta sedikitnya tantangan perubahan yang ada ketika itu.[31]
Zaman sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya berlalu, namun kita tidak menemukan penadapat dari mereka seputar logika atau upaya asimilasi (pencampuradukan) antara logika dan ilmu-ilmu agama. Sekali pun tidak bisa dipungkiri keberadaan beberapa literatur Yunani pada beberapa kalangan kaum muslimin. Hal yang kita tolak adalah keberadaan logika yang telah terinternalisasikan ke dalam ilmu-ilmu agama pada zaman itu.[32]
Demikianlah kenyataannya hingga giliran imam al-Syafi’i rahimahullah hadir dalam rangka menuliskan dan menyusun sistematika serta menambah pembahasan seputar ilmu ushul ini dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam kitabnya yang bernama al-Risalah. Fakhruddin al-Razi mengatakan, “Sebelum Imam Syafi’I, para sarjana membahas isu-isu seputar ushul fiqih dengan argumentasi dan diskusi, tetapi mereka ketika itu belum memiliki landasan umum yang pantas dijadikan acuan dalam rangka mengenal petunjuk-petunjuk syari’at dan dalam rangka menolak dan menegaskannya (tarjih). Lalu kemudian Imam Syafi’I merumuskan ilmu ushul fiqih dan menjadikannya sebagai prinsip umum yang dijadikan landasan dalam rangka mengenal hirarki dalil-dalil syari’at.[33]
Al-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-Risalah sama sekali tidak terpengaruh dengan logika Yunani. Bahkan beliau sangat mencelanya dan mencela bahasanya (bahasa Yunani) dengan mengatakan, “Masyarakat muslim tidaklah menjadi bodoh dan tidak berbeda pendapat antar sesama kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab lalu beralih ke bahasa Aristoteles”[34] al-Suyuthi mengomantari pendapat ini dengan mengatakan, “……al-Qur’an dan Sunnah tidaklah terbentuk kecuali dengan formulasi dan terminologi orang-orang Arab dan sesuai gaya mereka dalam berdiskusi, berbicara, berargumen dan berlogika. Al-Qur’an dan Sunnah sama sekali tidak teformulasikan dengan terminologi Yunani. Tetapi setiap kelompok memiliki bahasa dan istilah-istilah terminologis masing-masing….”[35]
Bahkan al-Syafi’i mengingkari sikap sarjana ahli kalam, pada hal mereka umumnya tidak seperti para ahli logika dan filsafat, dan memandang perlunya membatasi dan memberikan sanksi ta’zir karena pendapat-pendapat ganjil yang mereka kembangkan. Pedapat beliau dalam hal ini sangatlah masyhur.[36] Lalu bagaimana mungkin beliau terpengaruh dengan sarjana logika. Padahal beliau telah mengenal dengan baik kerancuan akidah, logika rasio dan bahasa mereka.
Ada pun pendapat yang beredar bahwa al-Syafi’i mengatakan, “Saya mengenal apa yang dibahas oleh sarjana Romawi seperti Aristoteles, Mohraris, Forforius, Galonius, Bocrat dan Usud Fles dengan bahasa asli mereka”[37] maka fakta ini hanyalah kebohongan yang mengada-ada. Pada jalur transmisinya (isnad) terdapat seorang pemalsu dan pembohong yang bernama Muhammad bin Abdullah al-Balawi.[38] Sekali pun fakta ini kita anggap benar, maka tidak ditemukan indikasi yang membuktikan bahwa al-Syafi’i terpengaruh dengan ilmu logika dan pemikiran Yunani dalam penulisan karya-karyanya.
Kemudian metodologi penulisan ushul fiqih mulai berubah manakala beberapa sarjana teologi mulai terlibat, baik dari kalangan pengikut Asy’ari maupaun kalangan Muktizilah. Mereka lalu menggunakan metode kalam dan memasukan banyak isu-isu kalam ke dalamnya. Namun pun demikian, ushul fiqih tetaplah tidak tersandera oleh logika Aristoteles.[39]
Adapun upaya internalisasi (pencampuradukan) antara logika dengan ilmu-ilmu kaum muslimin, terutama sekali ushul fiqih, terjadi melalui tangan Abu Hamid al-Gazali mana kala ia melihat pentingnya mempelajari logika. Bahkan ia menjadikan logika sebagai syarat dalam rangka mecari ilmu dan menegaskan bahwa logika merupakan timbangan dan standar keilmuan. Bahkan ia menulis sebuah buku tentang hal ini dengan judul “Mi’yar al-‘Ilm, Mahk al-Nazhr, al-Qisthas al-Mustaqim dan kitab Maqashid al-Falasifah” Ia menyebutkan pada awal kitabnya yang berjudul al-Musthasfa[40] bahwa barang siapa yang tidak menguasai logika maka kepakarannya dalam ranah keilmuan tidak pantas diakui.
Kata-kata terakhir ini begitu banyak menginspirasi generasi ilmuan belakangan, baik para penulis dalam ranah ushul fiqih maupun pada bidang lainnya. Sehingga mereka berlomba-lomba mempelajari ilmu logika sehingga dapat meneyempurnakan syarat-syarat sebagai pemikir dan ahli ijtihad, serta pantas untuk menulis karya ilmiah dan menjadi ahli fatwa.[41] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Karena beberapa faktor yang mempengaruhi hidupnya, maka banyak sarjana ahli yang memasukkan logika dalam daftar keahlian mereka. Bahkan generasi sarjana belakangan yang menempuh jalur tersebut mengira bahwa tidak ada lagi jalan lain dalam menguasai intelektual keislaman kecuali dengan logika Yunani. Pada hal mereka luput mengamati bahwa masih banyak sarjana ahli lain dan kaum terpelajar dari kalangan muslim lainnya yang senantiasa mengingkari dan bahkan mencela metode tersebut. Bahkan kalangan sarjana ahli muslim telah menulis banyak karya-karya brilian dalam masalah ini”[42].
Sekalipun demikian, di akhir hidupnya, al-Gazali banyak mencela ilmu logika dan para ahli logika. Bahkan ia mengatakan bahwa metode mereka itu tidaklah bisa menyampaikan kepada tarap keyakinan yang mendalam, terutama dalam lingkup ilahiyyat (ketuhanan). Bahkan ia mencelanya dengan celaan yang melebihi sikapnya dalam mencela metodologi teolog dengan menjelaskan bahwa metodologi mereka mengandung kebodohan dan condong kepada nilai-nilai kufur yang menyebabkannya pantas untuk dicela. Beliau meninggal dalam keadaan sibuk mengkaji kitab hadits Bukhari dan Muslim.[43]
Di antara faktor penting yang menambah laju perkembangan ilmu logika dan filsafat pada generasi belakangan adalah bahwa Nashiruddin al-Thusi[44] mendirikan lembaga bernama Dar al-Hikmah pada zaman kaum Tatar. Ia menyiapkan uang sebanyak tiga dirham setiap hari bagi orang-orang yang mengkaji filsafat di sana. Ia juga mendirikan lembaga kedokteran bernama Dar Thibb dan menyiapkan dua dirham bagi mereka yang mengkaji ilmu kedokteran di sana setiap hari. Selain itu, ia mendirikan lembaga hadis yang ia namai Dar Hadis denan menyiapkan setengah dirham bagi mereka yang mengkaji ilmu-ilmu hadits dalam sehari. Sehingga berkembanglah filsafat dan ilmu logika serta Ilmu-Ilmu Yunani, setelah pada era sebelumnya, para pengkaji yang terlibat di bidang ini hanya bisa dihitung dengan jari dan dalam kondisi penuh kekhawatiran jika diketahui oleh sarjana ahli.[45]
4.LATAR BELAKANG PENOLAKAN KAUM MUSLIMIN TERHADAP LOGIKA ARISTOTELES.
Beberapa kalangan berasumsi bahwa kaum muslimin menolak logika Aristoteles dengan pertimbangan bahwa kajian ini merupakan hasil intelektual kalangan orang-orang kafir. Asumsi seperti ini tentu bermasalah karena konsekwensinya adalah bahwa kaum muslimin dipastikan akan menolak semua ilmu-ilmu yang berasal dari luar, seperti ilmu kedokteran, matematika dan ilmu arsitektur, sekali pun ilmu tersebut benar dari sisi kandungan dan sistematikanya. Kaum muslimin menolak filsafat dan logika aristoteles murni karena pertimbangan keagamaan (teologis) dan pertimbangan rasional. Beberapa sisi penolakan tersebut akan kami paparakan berikut :
Satu : Pertimbangan keagamaan (teologis).
1. Bahwa kalangan kaum muslim pertama dari golongan sahabat, tabi’in dan kalangan setelahnya tidak sama sekali terlibat dalam wacana ilmu logika filsafat. Baik karena pertimbangan bahwa logika filsafat belumlah masuk ke wilayah mereka pada zamannya atau pun ketika itu telah ada, tetapi mereka enggan untuk melibatkan diri.[46] Padahal secara prinsip, syari’ah Islam tidaklah terkait dan tidak pula tergantung pada ilmu eksternal dalam rangka untuk memahami dan mengaksesnya.[47] Hal demikian jika ilmu eksternal yang dimaksud tersebut benar. Lalu bagaimana jika ilmu tersebut bermasalah ataupun mengandung hal-hal yang bermasalah, apalagi jika kandungannya berupa kekufuran dan penyimpangan (ilhad) ?!.
2. Juga bahwa logika tumbuh berkembang dalam lingkup filosofis. Yang mana, para penggiatnya adalah orang-orang musyrik dan orang yang menyimpang. Bahkan kekafiran dan kesyirikan yang dimilik oleh kalangan kaum pagan Arab masih lebih baik dibanding kekafiran dan kesyrikan para filosof.[48] Ibnu Taimiyah mengatakan ketika mengomentari filosof, “Kesesatan mereka dalam lingkup ketuhanan sangat nyata bagi banyak orang. Karenanya, seluruh intelektual Muslim memandanganya kafir.[49] Berdasarkan hal inilah, abu al-Qasim al-Suhaili dan lainnya mengatakan, “Kita berlindung kepada Allah (Nudzubillah) dari analogi (qiyas) filsafat dan khayalan kaum sufi”.[50] Jadi, kaum Muslimin tidak memandang logika aristoteles karena ia terinfeksi oleh ilmu-ilmu filsafat yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan yang benar dalam Islam.[51]
3. Rasa khawatir jika saja beberapa kaum muslimin terpedaya dengan logika. Karena beberapa wilayah kajiannya sangat tepat sehingga nantinya mereka mengira bahwa semua pembahasannya berada pada level yang sama dari sisi tingkat akurasi dan kebenarannya. Juga rasa khawatir jika mereka meyakini bahwasanya kajian yang terkait dengan wilayah akidah pun bisa dibuktikan dengan metode pembuktian ala filsafat dan logika. Ketika mengertisi ilmu logika pada karya mutakhirnya,[52] al-Gazali mengatakan, “Bisa jadi orang-orang yang berpandangan positif terhadap logika mengkajinya dan memandangnya benar. Lalu mengira bahwa pandangan-pandangan yang bernuansa kekafiran pun juga dapaat diperkuat dengan cara-cara logika filsafat tersebut. Lalu dengan segera mereka berpihak kepada nilai-nilai kufur sebelum ia sampai ke tarap pembahasan masalah ketuhanan (ilahiyyat) yang nyata bermasalah dalam filsafat”. Ibnu Taimiyah telah mengindikasikan bahaya ini pada awal karyanya “al-Radd ‘Ala al-Mathiqiyyin”[53] dengan mengatakan, “Saya awalnya mengira bahwa kajiannya –yakni kajian logika filsafat- benar. Karena saya melihat banyak kajiannya begitu tepat dan logis. Lalu beberapa waktu kemudian, saya melihat dengan jelas beberapa wilayah kajiannya begitu bermasalah…Juga tampak jelas bagi saya bahwa apa yang mereka bahas seputar efistemologi ketuhanan dan seputar logika juga berasal dari kesalahan pendapat dan pandangn mereka dalam ranah efistemologi ketuhanan”.
4. Ketidakmampuan metode demonstratif yang dimiliki ilmu filsafat untuk mengantarkan manusia ke tarap keyakinan yang mendalam. Terutama ketika diterapkan dalam lingkup kajian ketuhanan. Al-Ghazali mengatakan, “Mereka tampaknya berlaku tidak jujur (zhalim) dalam kajian ini. Yaitu bahwa mereka menetapkan syarat-syarat untuk mencapai tarap demonstratif (burhan) yang dipandang dapat mengarahkan kepada tingkat keyakinan yang utuh. Tetapi, manakala tiba pada wilayah inti keagamaan (maqashid diniyah), mereka tidak mampu komitmen dengan syarat-syarat yang telah mereka tetapkan. Bahkan mereka terkesan sangat longgar dan liberal”.[54]
5. Juga pertimbangan bahwa logika Aristoteles telah beperan dalam terjadinya keretakan, pertentangan dan sikap saling menuduh antara satu pihak dengan pihak lain sebagai salah dan sesat. Orang-orang yang mengkaji dan sibuk menelaahnya juga masih dalam suasana demikian. Bahkan dua orang ahli dalam sebuah masalah saja susah untuk bersepekat, bahkan pada hal-hal yang mereka anggap sebagai pasti (yaqiniyyah) dan logis (badihiy).[55] Sebelumnya telah disampaikan ucapan orang yang mengatakan bahwa, kajian ini tidaklah memasuki wilayah sebuah Negara agama kecuali para intelektualnya akan kacau balau dan saling bertengkar dan berbeda.[56]
6. Juga pertimbangan bahwa ilmu logika meniscayakan keonsekwensi yang tidak benar. Yang dapat merusak ilmu dan keimanan dan juga mengantarkan kepada kebodohan dan kesesatan.[57] Di sini, saya akan menyebutkan beberapa sisi kekurangan tersebut, di antaranya :
A. Pendapat yang menyatakan bahwa alam ini qadim. Pertimbangannya adalah bahwasanya tuhan tidak akan mendahului keberadaan alam ini dari aspek zaman, sekalipun mendahuluinya dari aspek pemikiran, sebagaimana halnya pengantar (muqaddimah) mendahului hasil putusan dalam aktifitas berfikir.[58] Ini adalah pernyataan filosof yang dikritisi oleh al-Gazali dan juga mengkafiran mereka karenanya dalam kitab “Tahafut al-Falasifah”.[59]
Sisi kerancuan pandangan ini antara lain adalah konsekwensi logis yang salah berupa ketercakupan (kesatuan) mahluk dengan Tuhan sejak dari awal, sebagaimana ketercakupan hasil putusan pada mukaddimah sejak dari awal (pembentukan analogi dalam metode logika. Penterj.) Dengan demikian, Sang pencipta menjadi mahluk dan sang mahluk menjadi pencipta, sang perancang menjadi rancangan dan rancangan menjadi perancang, sebuah alasan (illah) menjadi kasus dan kasus menjadi alasan…dan konsekwensi kontradiktif lainnya yang tidak terbatas.[60]
B. Penafian terhadap sifat-sifat positif (tsubutiyah) Allah Swt. Bahkan filososof memberikan predikat (sifat) terhadap Allah dengan predikat penafian (negatif) atau pun sifat yang berindikasi penafian. Karena itulah, mereka berpendapat : Suatu hal tidak akan tercipta darinya kecuali dengan satu hal pula. Karena jika satu melahirkan dua maka itu akan bertentangan dengan kesatuan. Dengan argumen ini, filosof menafikan sifat Allah sebagai pelaku yang memiliki kebebasan berbuat. Mereka menafikan semua sifat dari Allah Swt. demi menghindarkan-Nya dari bentuk penyerupaan dengan jiwa manusia. Lalu mereka tanpa sadar menyerupakannya dengan benda mati.[61]
C. Pengingkaran mereka terhadap pengetahuan Allah Swt yang mencakup segala lingkup kehidupan ini. Inilah pendapat mereka yang paling terkenal dan juga ditentang oleh al-Gazali dalam tahafut-nya dan pada karya lainnya.[62] Allah Swt menurut mereka mengetahui masalah umum tanpa mengetahui bagian-bagian kecilnya dengan alasan bahwa bagian tersebut senantiasa berubah dan berganti. Jika saja ilmu Allah terkait dengannya maka Allah juga senantiasa akan berubah dan senantiasa baharu sesuai dengan perubahan dan pembaharuan hal-hal yang diketahuinya. Semua itu menegaskan bahwa Dzat Allah akan senantiasa berubah, pada hal Dia-lah Yang Maha Esa. Pendapat ini merupakan pendapat yang sangat jelas mendustakan al-Qur’an dan fakta-fakta rasional. Juga pendapat ini membuka peluang keburukan untuk kehidupan ini, yang mengantarkan seseorang keluar dari rel syari’at secara global maupun secara penuh. Yang lebih buruk dari sekedar konsekwensi di atas adalah persangkaan jelek terhadap Tuhan Semesata Alam ini.
5. UPAYA SARJANA MUSLIM DALAM MENGERITISI LOGIKA (FILSAFAT) ARISTOTELES.
Terdapat dua kecenderungan untuk mengeritisi logika dan filsafat Aristoteles :
A. Fakta yang dilaporkan dari mayoritas sarjana Muslim dan dari banyak kelompok tentang penolakan mereka terhadap logika Aristoteles. Dan bahwa mereka juga mengharamkan upaya untuk menelaah dan mendalaminya. Dalam kelompok ini, tidak ditemukan seorang pun yang memberikan koreksi menyeluruh terhadap logika Aristoteles –atau pun bisa jadi ada, namun literatur yang mereka tulis belum sampai pada jangkauan para peneliti. Kecenderungan seperti ini biasanya memerankan upaya untuk memperjelas tentang kontradiksi antara logika Aristoteles dengan riwayat-riwayat yang valid dan shahih dalam Islam.
B. Kecenderungan yang berupaya memberikan kritikan secara menyeluruh dan komprehensif terhadap alur logika Aristoteles, juga seputar pembahasan utama dalam lingkup logika ini. Langkah inilah yang ditempuh oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pada karyanya, “Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin” dan pada karyanya yang lain “Naqd al-Manthiq”. Kecenderungan seperti ini biasanya berperan dalam menjeleskan tentang pertentangan antara logika Aristoteles dengan fakta-fakta rasonalitas wahyu. Ini adalah kecenderungan umum kelompok ini. Sekalipun juga dalam argumentasinya, ditemukan pembahasan seputar penjelasan tentang kesalahan-kesalahan pendapat Aristoteles dan para pendukungnya jika ditinjau dari sudut pandang keagamaan dan dari aspek rasio.
Untuk kategori pertama, alasan yang mereka ajukan seputar penolakan mereka terhadap logika Aristoteles berdasarkan pada beberapa sudut pandang berikut :
1. Bahwasanya, sahabat dan para kalangan tabi’in tidak ada satu pun yang mewacanakan tentang logika demikian. Al-Suyuthi berusaha memberikan alasan kenapa hal itu terjadi dengan mengemukakan bahwa mereka pada zamannya belumlah berhadapan dengan logika Aristoteles. Karena logika Aristoteles dan semisalanya nanti menyebar pada akhir abad ke-2 hijriah.[63] Hanya saja, para sahabat dan kalangan tabi’in tidak senang dengan sikap memaksakan diri (takalluf) dalam masalah agama dan sikap yang tampakanya berusaha keluar dari jalur al-Qur’an dan Sunnah dalam rangka menjaring hidayah. Jika saja mereka menelaah logika maka status hukum yang mereka tetapkan sama dengan status hukum sikap memaksakan diri dalam beragama (takalluf) dan keluar dari frame al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan asumsi ini, al-Suyuthi mengharamakan upaya mempelajari ilmu filsafat dan logika dengan menganalogikannya dengan keharaman mengikuti metode kalam dalam masalah teologis dengan mengatakan, “Yang bisa dirilis dan difahami dari kalangan kelompok yang secara prinsipil (efistemologis) mengharamkan logika dan filsafat adalah bahwa mereka juga mengharamkan metode ahli kalam dalam lingkup teologis. Alasan yang dikemukakan dalam hal ini persis dengan alasan mereka ketika mengharamkan ilmu filsafat dan logika. Karena itulah, kalangan generasi belakangan dari kelompok ini makin mengaskan sikapnya dalam mengharamkan filsafat berdasarkan pada efistemologi para pendahulunya”.
2. Riwayat yang begitu banyak beredar dari kalangan para sarjana besar ahli fiqih yang melarang mengkaji ilmu filsafat dan logika. Juga sikap mereka yang menganggapnya sebagai bid’ah dan faktor yang melatari terjadinya perpecahan dan perdebatan. Di antara pendapat yang berkembang secara luas adalah pernyataan Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya seputar upaya baru dari kalangan intelektual yang memasukkan pembahasan masalah sifat (a’radh) dan fisik (ajsam) dalam ilmu kalam. Beliau mengatakan, “Itu adalah pendapat para filosof. Kalian hendaknya mengikuti sunnah dan metode salaf. Hindarilah kalian setiap metode baru, karena ia pasti berkategori bid’ah”.[64] Di antara pendapat sarjana besar kalangan fuqaha adalah apa yang disampaikan oleh al-Syafi’I rahimahullah, “Kaum muslimin tidaklah bodoh dan tidaklah berselisih kecuali karena mereka meninggalkan metode bahasa Arab (logika Islam) dengan condong mengikuti bahasa (logika) Aristoteles”.[65]
3. Laporan yang diterima tentang penolakan beberapa sarjana linguistik Arab terhadap filsafat dan logika Aristoteles. Di ataranya adalah Ibnu Qutaibah pada pendahuluan kitabnya “Adab al-Katib”[66] dan Ibnu al-Atsir dalam kitab “al-Matsal al-Sa’ir”.[67] Juga disebutkan bahwa Ibnu Sina dan kalangan intelektual Yunani, seandainya mereka koimten dengan ketentuan-ketentuan ilmu logika (filsafat) maka mereka tidak akan pernah menghasilakan karya syair dan karya yang bersajak. Bahkan mereka diangap tidak menghasilkan karya yang dianggap bermanfaat. Al-Buhturi pernah bersenandung dengan nada ejekan terhadap ilmu logika dan para penggiatnya :
Kalian memaksakan ketentuan-ketentuan ilmu logika kepada kami
Padahal syair, karena benarnya metodenya, kesalahannya dibiarkan begitu saja.
Dan tidaklah Imru’ul Qais menggunakan metode logika, baik jenis maupun sebab-sebabnya.
Padahal syair cukup mudah dipahami dengan isyarat-isyaratnya.
Syair bukanlah omong kosong yang bertele-tela ungkapannya (layaknya metode logika kalian)
Termasuk liguis Arab yang dikenal kritis terhadap logika adalah Abu Said al-Sairofi al-Nahwi. Sikap demikian diketahui melalui perdebatannya dengan Abu Bisyr Matta bin Yunus, sang filosof yang beragama Kristen. Ia termasuk salah seorang pensyarah karya-karya Aristoteles. Perdebatan dilaksanakan di Majelis seorang menteri yang bernama Abu al-Fath al-Fadhl bin Ja’far bin al-Furat. Perdebatan tersebut dihadiri pula oleh sejumlah ahli, baik dari cendikiawan muslim maupun tokoh intelektual dari kalangan filosof. Pada perdebatan tersebut Abu Bisyr Matta bin Yunus menolak penetapan ilmu logika sebagai standar baku dunia intelektual dan sebagai penentu kebenaran ilmiah. Pengingkaran tersebut didasari pada argumentasi yang sangat jelas dan bukti-bukti yang sangat nyata. Sehingga majelis debat tersebut seolah berguncang dan para hadirin terpesona dengan kepiawaian Abu Said dengan lisannya yang mempesona, mimikya yang santai, dan uargumen yang begitu tertata rapi dengan kebesaran jiwa dalam berdebat. Sehingga banyak hati yang mengelu-elukannya dengan sanjungan yang senantiasa mengalir dari banyak lisan para masyarakat.[68] Sang menteri, Ibnu al-Furat mengatakan kepadanya, “Sungguh Allah telah menegaskan hatimu wahai Syekh. Engkau telah mencerahkan hati, membuat mata kami cerah, wajah kami dihiasi dengan senyuman. Sungguh engkau telah melukis sejarah baru yag tidak akan lekang oleh zaman dan tidak akan tergusur oleh laju modernitas”.[69]
4. Hal yang sangat masyhur di kalangan intelektual adalah sikap penolakan Ahlu Sunnah dan kalangan ahli hadits terhadap bid’ah yang dikembangkan oleh ahli logika. Bahkan banyak karya ilmiah yang ditulis untuk hal tersebut. Sekali pun demikian, sejarah juga meng-infut kepada kita beberapa penolakan ahli teologi, terutama ahli senior, terhadap ilmu logika dan celaan mereka terhadap ilmu dan para penggemarnya. Mereka juga banyak menulis buku tentang sikap dan ejekan tersebut, seperti kitab al-Daqa’iq karya Abu Bakar bin Thayyib al-Baqillani, al-A’raa wa al-Diyanaat karya Ibnu al-Naubakhti (syi’ah). Bahkan banyak informasi yang menyebutkan bahwa Abu Ali al-Jubba’I, Abu Hasyim dan Qadhi Abd al-Jabbar telah menelorkan karya yang mengkritisi logika Aristoteles.[70] Juga informasi yang meneyebutkan tentang kritik Abu al-Abbas al-Nasyi’ al-Mu’tazili terhadap logika sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Said al-Sairopi dalam perdebatannya dengan Matta bin Yunus.[71]
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para pendahulu dari kalangan ahli teologi tidaklah rela menceburkan diri ke dalam pembahasan mengenai pengertian berdasarkan pada metode ahli filsafat, seperti sikap para pelanjut mereka belakangan yang meyakini metode tersebut sebagai bagian dari metode tahqiq. Pada hal itu tidak lebih dari penyimpangan dari jalur yang benar”.[72]
Sikap ini pula yang ditegaskan oleh Dr. ‘Ali Sami al-Nasyyar dengan mengatakan, “Kritik mendalam banyak ditujukkan oleh teks yang berasal dari kalangan teolog yang mengungkapkan bahwa al-Baqillani dan imam al-Haraimain serta kebanyakan kalangan muktazilah yang keluar dari metode logika Aristoteles dalam pembahasan yang mereka kembangkan”.[73] Motede logika masuk dalam ranah pembahasan teologi melalui tangan ahli teologi belakangan seperti Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Gazali, Fakhruddin al-Razi dll.[74]
Sedang kategori ke-2, yaitu kritik mendalam terhadap logika Aristoteles, baik dari aspek dasar-dasarnya maupun kaeda-kaedah utamanya, serta sistematika dan permasalahannya, dengan metode ilmiah yang sangat teliti. Metode ini dikembangkan melalui karya Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dr Abdullatif Muhammad al-‘Abd mengatakan, “Kritik Ibnu Taimiyah ini merupakan kritikan yang pertama dikenal dalam kehidupan rasional manusia dalam rangka mengkritis logika Arstoteles. Sebuah kritikan yang hanya berpijak pada logika murni…..”[75]
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kritkan Ibnu Taimiyah bukanlah kritikan semata. Teapi juga mengandung sejumlah penegasan tentang logika islami sebagai pengganti dari logika Aristoteles. Sisi inilah yang nantinya dimanfaatkan oleh kalangan ahli dari Eropa dari metode Islam dalam masalah lingkup ilmu pengetahuan (efsitemologi ilmu). Lalu mereka sepakat mengistilahkannya dengan metode tajribi (metode observasi dan analisis lapangan).
Metode Ibnu Taimiyah dalam mengeritisi logika filsafat :
Ketika logika dalam filsafat dibangun berdasarkan pada abstraksi dan putusan. Juga bahwa jalur ilmu melalui jalur abstraksi adalah dengan pengertian, sedang jalur ilmu dengan putusan adalah analogi, maka Ibnu Taimiyah membangun kritiknnya berdasasarkan pada 4 kategori. 2 kategori negatif (penafian) dan 2 kategori positif (penegasan).
Untuk kategori pertama (negatif) :
1. bahwa abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.
2. bahwa putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
Sedang kategori ke-2 (positif) adalah :
1. bahwa pengertian meniscayakan pengetahuan abstraktif
2. bahwa analogi meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Dua kategori pertama (negatif) menafikan semua metode ilmu yang dikembangkan oleh selain ahli logika dan filsafat dalam rangka mencapai pengetahuan abstraktif dan putusan. Sedang dua kategori lanjutannya (positif) membatasi cara memperoleh pengetahuan melalui jalur abstraksi dan putusan hanya dengan dua metode ahli logika dan filsafat, yaitu : pengertian dan analogi (qiyas).
Tetapi Ibnu Taimiyah mengembangkan kritikannya dalam kitabnya dengan sistematika berikut :
1. kategori negatif pada sisi pengertian : abstraksi tidak bisa dicapai kecuaali melalui pengertian.
2. kategori positif pada sisi pengertian : pengertian meniscayakan pengetahuan abstraktif.
3. kategori negatif pada sisi analogi : putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
4. kategori positif pada sisi analogi : analogi meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Di sini, saya akan menyebutkan contoh kritikan Ibnu Taimiyah berdasarkan kategori di atas, dengan berusaha menjelaskan sisi solutif yang merupakan solusi islami yang sedang dikembangkan Ibnu Taimiyah.
Contoh kritikan Ibnu Taimiyah terhadap logika Aristoteles :
Pertama : Kritikan terhadap kategori pertama. Yaitu sisi penafian (negatif) pengertian dalam ilmu logika.
Abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.
Pada kategori ini, Ibnu Taimiyah mengembangkan krtitikannya dalam 11 poin utama. Di sini, saya akan menyebutkan beberapa poin diantaranya :
1. Tidak bisa diragukan bahwa siapa pun menafikan sesuatu, maka ia harus mendatangkan bukti, terutama seandainya penafiannya tersebut bukanlah pada masalah yang nyata. Sama halnya dengan orang yang menegaskan sesuatu juga harus menunjukkan bukti. Pernyataan yang berbunyi Abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian merupakan penafian yang tidak nyata. Lalu mana bukti yang mereka tunjukkan ?! Itu merupakan pernyataan tanpa disertai ilmu yang mendalam. Pernyataan inilah yang mengawali logika ilmiyah yang mereka bangun. Sedang anggapan mereka bahwa ia merupakan standar ilmu juga merupakan pernyataan tanpa ilmu.[76]
2. Bahwa semua masyarakat dari kalangan intelektual dan para penulis, serta para pekerja dan pengusaha memiliki abstraksi dan persefsi terhadap ilmu dan pekerjaan yang mereka butuhkan tanpa tergantung kepada pengertian yang dikembangkan oleh para filosof tersebut. Dengan demikian, diketahuilah bahwa persfektif dan abstraksi tidaklah tergantung terhadap pengertian yang dimaksud oleh filosof.[77]
3. bahwa pengertian – menurut mereka adalah pernyataan yang menunjukkan makna benda yang dijelaskan- baik orang yang memberikan pengertian tersebut telah memiliki persfektif dan abstraksi terhadap benda yang dijelasksan maupun ia mengetahuinya tanpa melalui mekanisme pengertian. Jika yang dimaksud adalah orang yang memberikan pengertian dan telah memiliki persfektif dan abstraksi terhadap benda yang dijelaskannya maka itu mengandung pengulangan atau terjadi rentetan dalam masalah sebab, pada hal itu tidak bisa diterima oleh orang-orang rasional. (Maksudnya, ilmu yang hendak diketahui melalui pengertian malahan telah diketahui tanpa pengertian. Karena sebelum membentuk pengertian seseorang harus memiliki persfektif dan abstraksi tentang benda yang akan dijelaskan lewat pengertian tersebut. Pen). Manakala seseorang telah mengetahui sesuatu tanpa mekanisme pengertian maka batallah pernyataan dan penegasan mereka yang berbunyi : Abstraksi tidak bisa dicapai kecuali melalui pengertian.[78]
Kedua : Kritikan terhadap kategori kedua. Yaitu sisi positif (penegasan) pengertian dalam ilmu logika.
Pengertian Meniscayakan Pengetahuan Abstraktif.
Pada kateori ini, Ibu Tamiyah mengajukan 9 point untuk mengeritisi pernyataan ini. Di sini, sebagian kritikan tersebut akan saya tampilkan :
1. Bahwa pengertian adalah murni perkataan orang-orang yang memberikan pengertian dan hanya merupakan pernyataan pribadi. Manakala ia mengatakan, pengertian manusia adalah hewan yang berpikir, maka ini adalah informasi dan merupakan pernyataan yang tanpa disertai dengan bukti. Orang yang mendengarkan, bisa jadi megetahui kebenaran makna pernyataan tersebut tanpa melalui penertian tersebut dan bisa jadi tidak. Jika ia mengetahuinya maka berarti ia tidak memanfaatkan pengertian tersebut untuk mengetahuinya. Jika ia tidak tahu, dengan hanya mendengarkan informasi tanpa adanya bukti maka itu tidak memberinya pengetahuan yang meyakinkan. Bagaimana ia tahu, padahal ia sadar bahwa orang tersebut tidak terbebas dari kesalahan dalam pernyataannya. Karena dengan hanya pernyataan murni tanpa disertai bukti merupakan informasi yang mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sedang kita sadar bahwa memilih salah satunya harus dengan bukti, sementara di sini tidak ada bukti apapun.[79]
2. jika memang pengertian bermanfaat dalam mempersefsikan suatu benda, maka hal itu tidak bisa terjadi kecuali setelah mengetahui dengan pasti kebenaran pengertian. Karena uji kebenaran pengertian tersebut merupakan bukti dan jalur perifikasinya. Merupakan hal mustahil mengetahui benda yang dijelaskan sebelum mengetahui kebenaran pengertian yang diajukan. Mengetahui kebenaran pengertian yang diajukan tidak bisa terjadi kecuali setelah mengetahui benda yang dimaksud. Atau dengan kata lain mengabstraksikannya dalam pikiran. Sedang mengetahui benda yang dimaksud tidak bisa kecuali mengetahi pengertiannya. Sehingga kita tidak bisa mengetahui sebuah benda (abstraksi) dengan hanya mengandalkan pengertian semata.[80]
Solusi islami terkait dengan pengertian menurut Ibnu Taimiyah :
Setelah Ibnu Taimiyah mengajukan kritiknya dalam meruntuhkan pemahaman pengertian yang dipersefsikan oleh ahli filsafat, maka ia menjelaskan pengertian yang benar sesuai dengan logika orang-orang Islam dari kalangan teolog mapun dari kalangan ahli ushul maupun dari kalangan ahli-ahli yang lain. Secara ringkas, solusi tersebut dirumuskan pada beberapa poin berikut :
1. bahwa pengertian seperti benda-benda, maksud utamanya hanyalah sekedar untuk membedakan sesuatu dari semisalnya dan tidak sama sekali dimaksudkan untuk mengetahui hakikat benda-benda tersebut.[81]
2. bahwa membedakan benda dari semisalnya terjadi melalui penyebutan sifat-sifatnya yang khusus baginya.[82]
3. bahwa untuk mengetahui sifat benda yang membedakannya dari yang lain cukup dengan melalui metode thard dan ‘aks. Sebuah benda ditegaskan dengan penegasannya dan dinafikan dengan penafiannya.[83] Metode thard seperti pernyataan : setiap ilmu adalah pengetahuan sedang setiap pengetahuan adalah ilmu. Sedang metode ‘aks sperti pernyataan : semua yang bukan ilmu juga bukan pengetahuan dan setiap yang bukan pengetahuan juga bukan merupakan ilmu.
4. pengertian bukanlah masalah pasti dan statis yang tidak bisa berubah. Tetapi terkadang terjadi perubahan sifat pada pengertian berdasarkan pada perkembangan zaman sehingga ia berubah berdasarkan pada perubahan yang terjadi. Satu hal yang telah diterima secara umum oleh kalangan filosof dan para teolog bahwa sifat (‘ardh) tidak bisa kekal dalam dua waktu. Lalu di belakang hari pernyataan ini terbukti salah. Suara misalnya bisa ada pada dua waktu yang berbeda dengan merekamnya pada pita rekaman.
5. bahwa untuk menegaskan sebuah pengertian dibutuhkan bukti, terutama jika masalahnya tidak nyata. Terkadang sebuah bukti (dalil) berasal dari firman Tuhan yang terbebas dari kesalahan (ma’sum).[84]
6. fungsi pengertian hanya sekedar mengingatkan orang-orang yang sedang lupa agar bisa mepersefsikan kembali sesuatu dalam benaknya. Pengertian tidak berfungsi untuk membentuk persfektif yang sama sekali baru dalam benak seseorang.[85]
Ketiga : Kritikan terhadap kategori ke-3. Yaitu, sisi penafian (negatif) pada analogi logika filsafat.
Putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas).
Dalam kategori ini, Ibnu Taimiyah berusaha mengajukan kritikannya berdasarkan pada beberapa prolog dan 6 sisi.[86] Beberapa diantaranya akan saya sebutkan di sini :
1. Pernyataan mereka bahwa bahwa putusan tidak bisa dicapai kecuali melalui analogi (qiyas) merupakan pernyataan penafian-negatif dan bukan merupakan hal yang nyata. Karenanya, ia membutuhkan bukti logis; pada hal mereka tidak memiliki argument kecuali sekedar pengakuan murni. Sehingga ini merupakan pernyataan tanpa didukung keilmuan yang mapan. Sedang penafian dalam prinsif mereka tidaklah bisa mengantarkan kepada tarap keyakinan. Bahkan menurut mereka, hal itu mustahil terjadi. Dari mana mereka berpijak sehingga menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang dari kalangan bani Adam dapat mengetahui sesuatu yang berkategori putusan, yang menurut mereka bukan merupakan hal yang nyata, kecuali melalui perantaraan analogi (qiyas) dalam logika filsafat ?!.[87]
2. Ahli logika megakui bahwa putusan terbagi menjadi dua, yaitu logis dan teoritis. Dan tidak mengkin semua putusan berbentuk teori karena pengetahuan teoritis membutuhkan pengetahuan mendasar (logis). Jika demikian halnya, sangat diketahui bahwa perbedaan antara logis dan teoritis hanyalah masalah nisbi dan berdasarkan pada kategori tertentu. Dengan demikian ia termasuk masalah nisbi-idhafi. Maka terkadang sebuah pengetahuan bersifat logis-mendasar bagi seseorang dan bagi orang lain bisa jadi bersifat teoritis. Sehingga baginya, ilmu tersebut tidak bisa dicapai kecuali melalui teori, baik teori itu rigkas ataupun panjang dan bertele-tele. Bahkan, bisa jadi ilmu tersebut tidak bisa ia ketahui melalui seperangkat teori yang ada.[88]
3. Bukti demonstratif (burhan/analogi) menurut ahli logika tidaklah memberikan pengetahuan kecuali pada hal-hal yang bersifat umum. Sangat dimaklumi bahwa hal-hal umum tidaklah memiliki realitas kecuali dalam pikiran. Relaitasnya di dunia nyata tidaklah ada. Realitasnya di dunia nyata (di luar) tidak lain kecuali berwujud khusus. Di luar sana tidak ada wujud manusia atau pun kemanusiaan, juga hewan dan kehewanan. Yang ada adalah salah satu anggota dari istilah umum tersebut di atas, seperti : Muhammad, Thariq, dan Fatimah. Juga seperti : kuda, keledai atau pun harimau dll.
Dengan demikian, bukti demonstrarif (burhan/analogi) mereka tidak memberikan pengetahuan tentang wujud yang nyata. kita tidak bisa mengetahui wujud sesuatu yang nyata dengan perantaraan analogi. Yang dapat diketahui denga mekanisme analogi ini hanyalah sesuatu yang dianggap ada dalam benak pikiran semata.[89]
Keempat : Kritikan terhadap kategori ke-4. Yaitu sisi penegasan (positif) pada analogi logika filsafat.
Analogi meniscayakan pengetahuan berupa putusan.
Dalam kategori ini, Ibnu Taimiyah maju untuk mengeritisinya dengan beberapa prolog dan 14 segi, yang akan saya sebutkan beberapa segi di sini :
1. Ibnu Taimiyah senantiasa menegaskan bahwa analogi yang terdiri dari dua pernyataan –yaitu analogi filsafat- dapat menghasilkan pengetahuan. Ini adalah pernyataan yang benar dengan sendirinya. Hanya saja manfaat analogi demikian –setelah mengeluarkan banyak upaya dan jalur yang panjang, tidaklah banyak. Itu untuk tidak mengatakan bahwa tidak memberi manfaat sedikit pun sama sekali. Bahkan semua yang bisa diketahui melalui analogi filsafat sangat bisa diketahui tanpa melalui mekanisme analogi filsafat tersebut. Semua yang tidak mungkin diketahui melalui mekanisme analogi filsafat sanga tidak bisa diketahui melalui mekanisme analogi filsafat tersebut, sehingga ia tidak masuk dalam lingkup analogi mereka : tidak dalam rangka memperoleh pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya, yang tidak diketahui kecuali melalui mekanisme analogi filsafat, dan tidak ada kebutuhan padanya untuk mengetahui hal-hal yang masih majhul. Sehingga a menajdi tidak berpengaruh dalam menjaring pengetahuan, baik dalam mewujudkan ilmu maupun untuk menafikannya. Belum lagi jika ditambah dengan beban berat yang dialami oleh pikiran selama mengikuti alurnya dan waktu yang terbuang percuma serta banyaknya pernyataan ngawur di dalamnya.[90] Inilah makna pernyataan Ibu Taimiyah dalam masalahlogika filsafat dalam pengantar bukunya, “Saya senantiasa menyadari bahwa logika Yunani tidaklah dibutuhkan oleh orang-orang cerdas dan tidak bisa memberikan pengetahuan apa pun kepada orang-orang bodoh.[91]
2. Yang diharapkan dari berbagai dalil dan demonstratif (burhan) adalah penjelasan tentang ilmu dan jalur untuk mendapatkannyanya. Padahal diketahui dengan baik bahwa analogi filsafat ini tidaklah membantu dalam menggapai harapan tersebut. Bahkan sangat mungkin ia menjadi faktor penghalang karena banyaknya jalur yang harus ditempuh dan sangat membebani pikiran. Seperti halnya orang yang hendak bepergian ke Mekah, jika ia melwati jalur yang seharusnya, maka ia akan sampai ke tujuan pada waktu yang sangat singkat dan dengan langkah yang normal. Jika ia ditemani oleh orang yang mengarahkannya ke jalur yang menyimpang dan jalan yang berputar maka ia akan merasakan keletihan yang luar biasa setelah ia sampai tujuan, itu kalau benar-benar ia bisa sampai. Kalau tidak, bisa jadi ia sampai ke jalur yang tidak diinginkan. Sehingga ia meyakini akidah yang tidak benar hingga ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dan tidak pula istirahat dari kelelahan. Karena itulah, dikisahkan dari al-Khunji[92] bahwa ia mengatakan ketika akhir hidupnya, “Saya hampir meninggal, sedang tidak ada yang saya ketahui kecuali bahwa semua yang mungkin tergantung kepada yang wajib”. Lalu ia mengatakan, “Ketergantungan merupakan bentuk penafian (negatif), sehingga saya meniggal dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa”.[93]
3. Analogi dalam logika filsafat tidaklah menunjukkan sesuatu kecuali yang sifatnya umum (kulli) yang diasosiasikan dalam benak –hal ini sesuai dengan pengakuan ahli logika-. Padahal sangat dimaklumi bahwa setiap wujud memiliki bentuk yang spesifik, yang membedakannya dari wujud lain dan tidak ada yang bisa meyamainya persis. Sedang analogi dalam logika filsafat tidak bisa dijadikan landasan argumen terhadap wujud spesifik. Sehingga kita menyadari bahwa analogi mereka tidak dapat menunjukkan wujud terbesar sekali pun, sekali pun Dia-lah sesungguhnya Sang Pemberi wujud kepada yang lain, Dia-lah Allah Swt. Analogi mereka hanya menunjukkan adanya wujud yang bersifat umum dan mutlak yang tidak bisa sama sekali menolak wujud lain yang menyerupai-Nya. Lalu apa manfaat sebuah analogi yang tidak dapat digunakan untuk menunjukkan wujud Yang Maha kuasa ?![94]
Solusi islami terkait dengan analogi menurut Ibnu Taimiyah :
Setalah Ibnu Taimiyah meruntuhkan otoritas analogi logika filsafat dan menjelaskan manfaatnya yang tidak jelas, ia menegaskan jalur ilmu yang benar dan sangat efektif. Hal tersebut bisa dirangkum pada beberapa poin berikut :
1. Bahwasanya Allah Swt telah menurunkan al-Kitab dan timbangan (standar/mizan). Al-Kitab yang dimaksud adalah al-Qur’an, sedang timbangan yang dimaksud adalah analogi logis dan perumpamaan yang dipaparkan (al-Amtsal al-Madhrubah).
2. Analogi logis digunakan untuk mengenal persamaan hal-hal yang serupa dan perbedaan hal-hal yang memang berbeda. Diantara ciri utama rasio adalah mengenal keserupaan dan perbedaan. Manakala ia melihat dua hal yang serupa maka ia mengetahui bahwa yang satu sama dengan yang lainnya. Lalu kemudian ia menetapkan satu status hukum untuk keduanya. Inilah yang disebut sebagai analogi keserupaan (qiyas al-Thard). Jika ia melihat dua hal yang berbeda dengan secepatnya ia mengeidentifikasi bahwa keduanya berbeda, lalu mebedakan status hukum untuk keduanya. Inilah yang dikenal dengan istilah analogi perbedaan (qiyas al-‘Aks).[95]
3. Jalur untuk mengetahui masalah yang bersifat umum (kulli) adalah pngetahuan terhadap berbagai wujud (partikular) spesifik. Sehingga pengetahuan yang efektif adalah peralihan dengan mengguakan rasio dari pengetahuan terhadap berbagai wujud spesifik menuju ke pengetahuan yang bersifat umum dan mutlak. Bukan sebaliknya (sebagaimana dalam logika Yunani, Pent.)[96] inilah yang membuat filsafat Aristoteles menjadi mandul, dan tidak bisa menghasilkan pengetahuan baru. Bahkan semua yang diyakini sebagai hasil akhir, setelah letih dan menempuh jalan berkelok, Anda akan menemukan hasil yang diperoleh telah ada pada salah satu pernyataan (mukaddimah) dalam analogi logika filsafat.[97]
4. Argumentasi al-Qur’an merupakan bentuk argumentasi yang spesifik ke bentuk spesifik yang menjadi konsekwensinya atau argumentasi umum ke bentuk argumentasi umum yang menjadi konsekwensinya. Yang pertama contohnya seperti terbitnya matahari merupakan pertanda awalnya siang. Sedang yang kedua seperti berargumen bahwa setiap kali ada siang maka setiap kali itu pula ada matahari terbit.[98]
5. Berargumen tentang masalah-masalah ketuhanan harus melalui perantaraan ayat dan analogi keutamaan (qiyas al-‘Aula) :
Yang dimaksud ayat adalah tanda dan petunjuk. Sedangkan petunjuk senantiasa menunjuk wujud yang spesifik. Tidaklah mungkin petunjuknya berupa masalah umum yang menyeluruh yang merangkum hal-hal yang dikehendaki maupun yang tidak. Tetapi pengetahuan itu sendiri yang menuntut wujud nyata dari wujud yang ditunjukkannya. Seperti pengetahuan tentang mukjizat tertentu, menuntut pengetahuan tentang kenabian Rasulullah Saw. Sama sekali tidak mengharuskan adanya wujud umum yang membuatnya sama-sama masuk dalam kategori yang sama. Pernyataan seperti ini pula dikatakan pada ayat-ayat Allah Swt. Bahwa pengetahuan tentang tanda-tanda Allah Swt tersebut menuntut pengetahuan tentang Dzat-nya yang begitu mulia. Sama sekali tidak mengharuskan adanya hal yang bersifat umum yang menghendakinya harus sama-sama masuk dalam kategori yang sama.
Adapun analogi keutamaan, maka ia digunakan pada masalah sifat-sifat Allah Swt. Karena Allah Swt. tidak mungkin masuk dalam kaegori umum yang mengindikasikan kesamaan antara semua bagian-bagiannya sebagaimana yang berlaku pada analogi menyeluruh (qiyas al-Syumul/analogi filsafat). Juga tidak diserupakan dengan selain-Nya pada suatu kategori yang menyamakan antara yang asli dengan cabangnya, sebagaimana pada analogi permisalan (qiyas al-Tamtsil/qiyas Ushuli). Allah Swt tidak ada yang meyerupai-Nya sama sekali. Yang digunakan untuk membahasnya adalah hanya dengan analogi keutamaan. Yaitu dengan mengatakan, semua kesempurnaan yang pantas dilekatkan kepada mahluk, yang tidak mengandung kekurangan sama sekali jika dilihat dari berbagai sisi, maka Allah Swt pasti yang paling berhak untuk menyandangnya. Dan semua karakter buruk yang dihindari oleh mahluk maka Allah Swt lebih pantas untuk dihindarkan darinya.[99]
6. Status Hukum Mempelajari Filsafat Aristoteles.
Dalam masalah ini, biasanya seorang penulis membahas tema ini pada awal pembahasan tentang ilmu logika filsafat. Saya memandang perlunya ditunda hingga posisi ini sehingga status hukum tentang mempelajari logika filsafat lahir dari persfektif yang utuh tentang masalah ini. Karena pada prinsipnya, memberikan status hukum terhadap sebuah masalah merupakan bentuk lain dari pemahaman dan persfektif yang mendasarinya.
Masalah yang tidak murni benar dan tidak murni salah, tetapi bercampur aduk antara yang benar dengan yang salah, status hukumnya, baik dari segi benar salahnya, diterima tidaknya, boleh tidaknya, wajib atau tidaknya, pada prinsipnya hanyalah tergantung pada sejauh mana konten yang baik dan yang buruk, serta yang benar maupun yang salah yang menghiasi semua sendi-sendi pembahasannya. Konten yang mana saja yang mendominasi maka status hukumnya bisa saja benar atau salah sesuai dengan tuntunan konten yang ada.
Ilmu logika filsafat, sekali pun mengandung beberapa kebenaran, terutama yang terkait dengan bentuk-bentuk formalnya (sistematikanya), tidaklah bisa menjadi alasan untuk mempelajarinya. Tetapi kebatilan yang dimilikinya berlipat ganda dibanding kebenaran yang ada. Suatu hal yang tidak bisa dipuji karenanya, sebagaimana pernyataan Ibnu Qutaibah rahimahullah, “Sekalipun di dalamnya terdapat beberapa nilai kebenaran -maka tentu setiap penulis memiliki sisi kebenaran. Hanya saja di dalamnya terdapat hal-hal yang salah, sehingga mana kala ia dijadikan standar dalam menilai kebenaran ilmu agama maka pasti akan merusak stadarisasi kebenarannya.[100]
Jika hal ini telah dipahami, maka para ahli memandang status hukum untuk mempelajari ilmu logika filsafat terbagi ke dalam tiga kecenderungan (mazhab), yang telah dideskripsikan oleh penulis kitab al-Sullam, seperti berikut :
Generasi belakangan terbagi dalam tiga mazhab dalam memandang perlunya mempelajari filsafat. Ibnu Shalah dan al-Nawawi, keduanya mengharamkan. Sedang kelompok lain memandang perlu untuk mempelajarinya. Pendapat yang benar dan populer yaitu bolehnya mempelajari filsafat bagi yang telah kokoh dasar keilmuannya. Komitmen dengan Sunnah dan al-Qur’an, sehingga ia bisa menemukan kebenaran”.
Ketiga kecenderungan tersebut akan saya paparakan sebagaimana berikut :
A. Pendapat yang memandang bahwa wajib mempelajari logika filsafat.
Pendapat ini didukung oleh mereka-mereka yang disebut sebagai filosof Muslim, seperti : al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dll. Karena, bagi mereka tidak ada perbedaan antara ilmu logika filsafat dan Islam. Diantara mereka ada yang berpendapat, “Dalam rangka membela akidah Islam, tidak ada jalan lain kecuali mempelajari filsafat. Tentunya setelah mensterilkannya dari nuansa filsafat murni yang menginfeksi beberapa isu-isu yang ada di dalamnya”.[101]
Mereka ini tidaklah memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan ummat. Bahkan mereka tekenal di kalangan mayoritas ummat sebagai orang zindik dan menyimpang. Hingga datanglah al-Ghazali pada abad ke-6, lalu menulis karya tentang filsafat yang ia campuradukkan dengan ilmu-ilmu syari’ah[102] lalu menjadikannya sebagai syarat bagi dunia intelektual dan menyebutkan pada pengantar kitab al-Musthasfa bahwa mereka-mereka yang tidak memiliki intelejensia dalam ilmu filsafat maka kepakarannya tidak bisa dianggap.[103]
Lalu kemudian al-Gazali rujuk dari pendapatnya tersebut, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Lalu ia menjelaskan kelemahan ilmu logika dan menerangkan konsekwensi logis yang bermasalah di dalamnya sekaligus mencegah orang-orang untuk mempelajari dan menelaahnya. Sehingga dengan demikian, tidak ada lagi argumentasi kuat yang bisa dijadikan landasan pada pendapat awalnya. Hanya saja, fitnah keilmuan yang dialami al-Gazali persis seperti yang terjadi pada kalangan pengikut Asy’ariyah. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri telah kembali kepada pendapat kaum salaf. sementara para pengikutnya masih tetap berpegang teguh pada pandangan-pandangan awalnya. Mereka akhirnya tidak mengikuti syekhnya dan tidak pula mengikuti dalil-dalil yang benar dan telah nyata adanya.
B. Pendapat yang memandang bolehnya mempelajari logika filsafat bagi yang telah memiliki dasar pengetahuan keagamaan yang kokoh.
Sebagai referentasi pandangan ini adalah Abdul Wahhab al-Subki. Beliau membolehkan bagi siapa saja yang memiliki penguasaan yang baik terhadap al-Qur’an dan Sunnah, serta kokoh adalah masalah cabang-cabang fikih yang bisa diangap sebagai pakar di bidangnya. Jika seseorang telah merasa sampai ke level ilmiah seperti ini, yang kira-kira ia tidak lagi akan terombang-ambing oleh tiupan kebatilan dan syubhat yang bisa menjebak serta tidak lagi ikut pada hawa nafsu kalangan menyimpang maka ia berhak untuk menelaahnya secara mendalam dan memanfaatkannya dalam batas-batas yang tidak mencampuradukkan dengan ilmu-ilmu keislaman. Karena upaya demikian telah menyebabkan terjadinya masalah seperti yang telah terjadi sebelumnya.[104]
Lalu apa manfaat mempelajarinya ? lalu kenapa harus melakukan petualangan ilmiah demikian ? padahal kita sudah mengerti bahwa manfaat yang dimilikinya kecil untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Belum lagi resikonya yang begitu mengkhawatirkan.
C. Pendapat yang mengharamkan.
Pendapat inilah yang benar. Inlah pendapat mayoritas intelektual salaf dan kalangan ahli hadits dan juga intelektual terkemuka dari kalangan cedekiawan Muslim dari seluruh kalangan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kalangan ulama masih tetap konsisten mencela ilmu logika para penggemarnya. Mereka melarang peserta didik untuk menalaahnya dan dekat dengan para ahlinya. Hingga saya menemukan kalangan ahli belakangan mengeluarkan fatwa yang mengkompilasi tulisan kalangan intelektual zamannya dari kalangan cendekiawan kelompok syafi’iyah, kelompok hanafiyah dll, yang mengandung pendapat yang luar biasa mengharamkannya dan menyiapkan sanksi bagi para pemerhatinya”.[105]
Ibnu Shalah mengatakan, “Saya mendengar Syekh Ibnu Imad bin Yunus menceritakan dari Yusuf al-Dimasyqi, seorang dosen universitas Nizhamiyah di Bagdad dan beliau termasuk cendekiawan terkenal, bahwasanya beliau mengingakari pendapat yang menyatakan tentang wajibnya mempelajari filsafat dan mengatakan, “Abu Bakar dan Umar dan lain-lain. Mereka semua adalah orang-orang yang besar sekali tingkat keimanan mereka, tetapi mereka sama sekali tidak pernah mengkaji perangkat-perangkat ilmu logika dan sistematika kajiannya”[106]
Fatwa Ibnu Shalah yang mengharamkan ilmu logika filsafat sangatlah terkenal. Beliau pernah ditanya tentang ilmu logika filsafat dan orang-orang yang mempelajarinya dan apakah filsafat termasuk ilmu yang dibolehkan untuk dipelejari dalam ilmu syari’ah ? apakah ada fakta dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam-imam yang telah mencapai derajat mujtahid yang menjelaskan kebolehannya dan bahwa mereka terlibat dalam hal ini ? Apa boleh menggunakan istilah-istilah filsafat dalam rangka menegaskan hukum-hukum syari’ah atau tidak ?... hingga bagian akhir fatwa tersebut.[107] Lalu beliau menjawab, yang versi ringkasnya, “Filsafat adalah dasar bagi semua kebodohan dan penyimpangan, merupakan kesesatan dan bentuk kebingungan….lalu beliau mencelanya habis-habisan….lalu mengatakan, “Ilmu logika adalah pengantar ilmu filsafat. Pengantar bahaya adalah bahaya. Terlibat dalam mempelajari dan mengajarkannya tidak termasuk kategori ilmu yang dibolehkan oleh syari’ah. Juga tidak dibenarkan oleh seorang pun dari kalangan sahabat, tabi’in, imam mujtahid, salafusshaleh dan semua panutan yang dikuti oleh mayoritas ummat”. Lalu beliau menjelaskan bahwa menggunakan istilah-istilah filsafat pada pembahasan ilmu-ilmu syari’ah termasuk hal-hal baru dan bentuk kemungkaran yang menjijikkan. Hukum-hukum syari’ah, al-Hamdulillah, sama sekali tidak membutuhkan filsafat. ….hingga titik akhir jawaban beliau.[108]
Lalu apakah kita akan mengatakan boleh bagi orang-orang yang telah mapan dalam ilmu keagamaan, setelah penejelasan di atas. Apalagi membolehkannya secara mutlak tentu tidak bisa. apalagi mewajibkannya bagi setiap orang (fardhu ain) atau bagi seseorang dari masing-masing komunitas (fard kifayah).. Subhanallah. Itu merupakan bentuk kebohongan yang sangat nyata !
Hanya saja, bisa kita berpendapat bahwa boleh saja menginformasikan untuk sekedar menjelaskan kelemahan-kelemahannya, menegaskan kesalahannya dan manfaatnya yang tidak signifikan. Dalam hal ini, sama halnya seperti hadis-hadis palsu yang disebutkan keberadannya untuk menegaskan kepalsuan dan kesalahannya.[109]
[1] Lihat : Hasyiah al-Jurjani ‘ala Tahrir al-Qawa’id al-Manthiqiyah, karya : Mahmud bin Muhammad al-Razi, hal.18 (Kairo : Maktabah Musthofa al-Babay al-Halabi), cet.2, th.1948
[2] Tahrir Qawa’id al-Manthiqiyah, Mahmud Muhammad al-Razi
[3] Hal.3, pengantar, Muhyiddin Sobri al-Kurdi, ( Mesir : Mathba’ah al-Saadah), cet.2, th.1938.
[4] An-Najah, hal.4
[5] Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq pada anotasi al-Khubaisi terhadap kitab al-Tahzib, karya : Abdul Muta’al al-Shaidi, hal.3 (Mesir : Mathba’ah al-Namuzajiyyah), cet. ke-5, tth.
[6] Lihat : Kitan al-Najah karya Ibnu Sina, hal.5
[7] Lihat :al-Ta’rifat, karya al-Jurjani, hal.22
[8] Ibid, hal.45.
[9] Ibid, hal.32.
[10] Ibid, hal.96
[11] Lihat : al-Tafikir al-Manthiqi baina al-Manhaj al-Qadim wa al-Manhaj al-Jadid, ‘Abd, hal.19. lihat pula : al-Manthi wa Asykaluh, Muhammad Azizi Nazmi Salim, hal.11, (Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jami’ah), tth. Dan juga Kitab Tarikh a-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hal.52.
[12] Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.12-13, ( Mesir : Maktabah Anglo al-Misriyah ), cet.4, th.1966. Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim,hal.53 dan setelahnya. ( Iskandariah : Muassasah Syabab al-Jamiah ) tth. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniayah, Yusuf Karam, hl.45-46. Al-Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.8-9
[13] Al-Manthiq wal Fikr al-Insani, Dr Abdussalam Muhammad Abduh, hal.10-11
[14] Lihat : al-Manthik al-Hadis wa Manahij al-Bahs, Dr Muhmud Qasim, hal.13-14, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hl.52-53
[15] Tarikh al-Falsafahal., Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim, hal.62-63. Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, Yusuf Karam, hal.52-53
[16] Tarikh al-Falsafah, Dr Muhammad Aziz Nazmi Salim, hal.71-75 dan 76-78.
[17] Ia disebut Aristateles dan Aristoteles. Istilah yang terakhir inilah yang paling dekat kepada istilah Yunani. Dia adalah anak Nekomakhes, sang dokter terkenal. Aristoteles adalah pentolah filosof musysyaiin. Ia dikenal pula dengan istilah muallim pertama karena dialah yang pertama merumuskan ilmu logika. Ia dilahirkan di mecodonia th.384 S.M. Setelah berumur 17 tahun ia kemudia pindah ke Atena lalu belajar ilmu filsafat dari Plato. Ia meninggal pada tahun 322 S.M. lihat : kitab , Dar al-Maarif, Petrus Bustani, vol.3, hal.75. ( Teheran : Muassasah Mathbuaatay Ismailiyani 1878 M – 1295 H, tth.
[18] Yang pertama menamai ilmu ini dengan ilmu logika (mantiq) adalah para komentator Aristoteles dan bukan timbul dari Aristoteles sendiri (Lihat : al-Mukjam al-Falsfi, Jamil Saliba, vol.2, hal.428, Madkhal Ila Ilm al-Mantiq, Dr Mahdi Fadhlullah, hal.18
[19] Lihat : al-Milal, Al-syahrastani, vol.2, hal.119-120
[20] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.462
[21] Lihat : Tajdid Ilm al-Manthiq karya : Abdul Muta’al al-Shaidi, hal.5, Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.30 (Bairut : al-Maktab al-Islami), cet.1, th.1979.
[22] Shaun al-Manthik, hal.9
[23] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 2-3 ( Mesir : Dar al-Ma’arif), cet.2, th.1965. lihat pula : Mathiq Ibn Taimiyah wa manhajuhu al-Fikri, Muhammad Husni al-Zayn, hal.31-32.
[24] Lihat : al-Milal wa an-Nihal, vol.1, hal.46
[25] Lihat : Shaun al-Mantik, hal.12
[26] Mereka adalah pengikut Abu Abdullah Muhammad bin Karam
[27] Nama lengkapnya adalah : Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan bin Auzlag. Asalnya dari Turki. Ia menguasai bahasa Yunani dan beberapa bahasa timur pada zamannya. Ia dikebal sebagai guru ke-2 karena telah mengomentari tulisan-tulisan Plato sebagai Sang Guru Pertama. Ia memiliki beberapa karya tulis, di antaranya : Ihsa al-Ulum, Ara’ al-Madinah al-Fhadilah dll. Ia berpandangan bahwa kelak diakhirat, kebangkitan hanya rohani saja tanpa fisik. Ia memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini yang menyelisihi mazhab kaum muslimin dan filosof para pendahulunya. Ibnu Katsir mengatakan, “Karena pendapatnya itulah, jika ia meninggal dalam keyakinan demikian, maka ia potensial mendapatkan laknat dari Allah Swt.” Beliau juga berkomentar, “Al-Hafiz Ibnu Asakir tidaklah menyebutkan entri tentang al-Farabi karena kejelekan dan keburukannya”. Ia dilahirkan pada tahun 260 H dan meninggal pada tahun 339 H. Lihat : al-‘A’lam, karya al-Zerekli, vol.7, hal.242-243, juga kitab al-Bidayah wa an-nihayah, vol.11, hal.224, peristiwa tahun 339 H.
[28] Nama lengkapnya adalah : Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina yang dijuluki sebagai syekh al-Rais (professor). Ia memiliki karya tulis pada bidang kedokteran, logika, ilmu alam dan ilmu teologi. Karyanya yang paling terenal adalah kitab al-Qanun. Ibnu Taimiyah mengomentari, “…..ia rajin mengambil pendapat orang-orang yang menyimpang dari kalangan orang-orang yang berafiliasi kepada Islam seperti dari kelompok Isma’Iliyah. Keluarga dan para pengikutnya terkenal sebagai orang-orang menyimpang di kalangan kaum muslimin zamannya.
[29] Nama lengkapnya adalah : Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak al-Shabah, seorang filosof dan salah seorang anak raja Kindah. Ia terkenal sebagai ahli kedokteran, filsafat, music dan sebagai seorang insinyur. Ia pernah disiksa pada zaman pemerintahan al-Mutawakkil dan buku-bukunya disita karena tuduhan sebagai orang sesat dalam beragama. Lalu kemudian buku-buku tersebut dikembalikan kepadanya. Ia memiliki kedudukan spesial pada pemerintahan al-Makmun. Di antara karya-karyanya : Risalah al-Tanjim dan Ilahiyaat Arsto. Ia meninggal pada tahun 260 H. Lihat : al-‘A’lam, karya al-Zerekli, vol.9, hal.255-256. Lisan al-Mizan, vol.6, hal.305. biografi no.1091.
[30] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 64-80. Dan kitab : Tajdid Ushul al-Fiqh al-Islami, karya : Dr. Hasan bin Abdullah al-Turabi, hal.12-22. (Bairut : Dar al-Jil), cet.1, th.1980 M.
[31] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 66. Dan kitab ‘Alam al-Muwaqqi’in, vol.1, hal.217.
[32] Lihat : Fatwa Ibnu Shalah dalam mengharamkan ilmu logika (manthiq) pada : Fatawa Ibn Shalah, hal.35, ( Turki :al-Maktabah al-Islamiyah ), tth.
[33] Manaqib al-Imam al-Syafi’i oleh al-Razi.
[34] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.15.
[35] Shaun al-Manthiq, hal.15.
[36] Lihat : Syarah al-Thahawiyah, hal.11, dan kitab Shaun al-Manthiq, hal.18-19.
[37] Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal.219-220
[38] Lihat : Miftah Dar al-Sa’adah, karya : Ibnul Qayyim, vol.2, hal. 220
[39] Lihat : Manahij al-Bahs ‘Inda Mufakkiril Islam, Dr Sami Ali al-Nasyyar, hal. 73-75.
[40] Vol.1, Lihat pula : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.14-15.
[41] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.1
[42] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198.
[43] Lihat : al-Munqiz min al-Dhalal, karya al-Gazali, hal.63-64 dan 88-93, (Damaskus : Maktabah Ibn Zaidun), cet.2, th.1934. dan kitab Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.195-198.
[44] Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan, yang dikenal dengan Nashiruddin al-Thusi. Ia seorang filosof, juga merupakan ahli dalam ilmu-ilmu logika serta menguasai ilmu hitung dan sains. Posisinya makin tinggi pada zaman Holako Khan. Di antara karya tulisnya : Tahrir ushul Iqleydes dan Talkhis al-Muhassal karya al-Razi. Ia meniggal di Bagdad pada tahun 672 H.
[45] Lihat : al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, vol.13, hal.268 dan lihat pula : Kitab Shaun al-Manthiq, hal.13.
[46] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.14 dan kitab Fatawa Ibnu Shalah, hal.35
[47] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.258.
[48] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.535 dan hal.101dst.
[49] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.200.
[50] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.482.
[51] Lihat : Muqaddimah Ibn Khaldun, hal.483, dan kitab Manahij al-Bahs karya al-Nasysyar, hal.87
[52] Al-Munqiz min al-Dhalal, hal.93
[53] Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.3-4.
[54] Al-Munqiz min al-Dhalal, hal.93
[55] Lihat : Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.334 dan setelahnya. Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Naqd al-Manthiq, hal.169, “Para penggemar logika filsafat adalah orang-orang yang paling banyak memiliki pertentangan, keraguan dan kebingungan. Merekalah yang sedikit memiliki tingkat intelektualitas dan kejernihan dalam wilayah ilmiyah. Jika benar bahwa logika merupaka sarana yang tepat untuk membuka tabir kebenaran dan mampu membentengi pilkiran dari kesalahan, tentunya hal demikian tidak perlu terjadi.
[56] Shaun al-Manthiq, hal.9
[57] Lihat : Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.198
[58] Lihat : al-Gazwu al-Fikri fi al-Manahij al-Dirasiyah, Ust ‘Ali Laban, hal.32, ( Mesir : Dar al-Wafa’), vet.1, th.1987 M – 1407 H.
[59] Lihat hal.88 dan setelahnya. Ditahqiq oleh : Dr Sulaiman Dunya, (Mesir : Dar al-Ma’arif), cet.4, th.1966 M – 1385 H.
[60] Lihat : al-Gazwu al-Fikri fi al-Manahij al-Dirasiyah, Ust ‘Ali Laban, hal.32
[61] Lihat : Al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.214 dan setelahnya
[62] Hal.5-6, lihat kitab : Fishal al-Tafriqah karya al-Gazali hal.192.
[63] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.14
[64] Shaun al-Manthiq, hal.32.
[65] Shaun al-Manthiq, hal.15
[66] Hal.3-5, tahqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, ( Mesir : Matba’ah al-Sa’adah ), cet.4, th.1382 H - 1963 M.
[67] Al-Matsal al-Sa’ir fii Adab al-Katib wa al-Sya’ir, Diyauddin ibn al-Atsir, vol.2, hal.7-10, tahqiq : Dr Ahmad al-Hufi dan Dr Badawi Tabanah, ( Riyadh : Dar Thabanah ), cet.2, th.1403 H – 1983 M.
[68] Perdebatan tersebut disebutkan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, Shaun al-Manthiq, hal.190-199.
[69] Shaun al-Manthiq, hal.199.
[70] Lihat : Manahij al-Bahs karya Ali al-Nasysyar, hal.80-81 dan kitab al-Radd ‘Ala al-Mathiqiyyin, hal.337.
[71] Lihat : Shaun al-Manthiq, hal.198
[72] Al-Radd ‘Ala al-mathiqiyyin, hal.31.
[73] Manahij al-Bahs, hal. 81
[74] Lihat : Mui al-Ni’am wamubid al-Niqam Kaya Tajuddin Abdul Wahhab al-Sabki, hal.78, Tahqiq : Muhammad Ali al-Najjar dll, Maktabah al-Khanji, (Kairo : Dar al-Kutub al-‘Arabi), cet.1, th.1948 M – 1367 H. dan Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.463-464, Manahij al-Bahs, Ali al-Nasyyar, hal.76
[75] Al-Tafkir al-Manthiqi, hal.43
[76] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.7
[77] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.7 dan kitab : al-Manthiq al-Hadis, karya Mahmud Qasaim, hal.5-6.
[78] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.8
[79] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.32
[80] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.38-39
[81] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal. 15 dan 79 serta kitab manahi al-Bahs, al-Nasyyar, hal.90.
[82] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.309
[83] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.17
[84] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.358-359
[85] al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.79
[86] al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, catatan kaki no.3, hal.88
[87] al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.88
[88] al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.88-89.
[89] al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.124-125.
[90] Lihat : al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.247-248. Dr. Mahmud Qasim memberikan indikasi bahwa analogi Aristoteles hanya cocok untuk digunakan dalam rangka untuk memaparkan hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Tidak ditemukan pengetahuan baru dari analogi filsafat. Bahkan semua yang dianggap sebagai hasilnya telah terdapat pada salah satu pernyataan yang ada dalam analogi tersebut. Lihat kitab : al-Manthiq al-Hadis, karya Mahmud Qasim, hal.9 dan 20.
[91] al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.3.
[92] Dia adalah Afdhaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Namur bin Abdul malik al-Khunji al-Syafi’i. seorang yang dianggap tamu dan menetap di kota Mesir. Ia menduduki jabatan kehaiman di kota Mesir setelah Izzuddin bin Abdussalam dicopot dari jabatannya. Al-Khunji adalah seoarang filosof yan bijaksana. Ia memiliki karya tuylisa dalam bidang kedokteran dan logika filsafat.ia dilahirkan pada tahun 590 H dan meninggal pada tahun 646 H. Lihat : Husnul Muhadarah fii Tarikh Misr wa al-Qahirah, karya Jalaluddin al-Suyuthi, 541/1, biografi no.15. tahqiq : Muhammad Abu al-Fadhl Ibraim, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, Isa al-baby al-Halabi, cet.1, th.1967 Masehi 1387 H di Mesir.
[93] Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.248-249.
[94] Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.344, 125, 138, dan 150.
[95] Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.371.
[96] Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.113-114.
[97] Lihat : al-Manthiq al-Hadis, Karya : Mahmud Qasim, hal.9 dan 20.
[98] Lihat : al-Radd ala al-Manthiqiyyin, hal.163-164.
[99] Lihat : Syarah al-Thahawiyah, hal.85-86
[100] Al-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, hal.180.
[101] Lihat : tajdid al-Manthiq, karya al-Shuaidi, hal. 5 dan 6.
[102] Lihat bagian awal tulisan makalah ini.
[103] Lihat : Muqaddimah kitab al-Musthasfa, vol.1, hal.10. al-Gazali telah diserang oleh sekelompok ulama, seperti koleganya, Abu Ishak al-Marginani, Abul Wafaa bin Uqail, al-Qusyairi, al-Thurthusi, Ibnu Rusyd, al-Mazri dan sekelompok ulama terkemuka. Lihat : syarh al-Aqidah al-Isfahaniyah, hal.132.
[104] Lihat : Muid al-Ni’am, karya Abdul Wahhab al-Subki, hal. 78.
[105] Naqd al-Manthiq, hal. 156.
[106] Lihat : Fatawa Ibnu Shalah, hal. 34.
[107] Ibid.
[108] Lihat : Fatawa Ibnu Shalah, hal. 35.
[109] Sungguh sangat tepat langakah Jurusan Usuluddin di Riyadh manakala menetapkan studi filsafat klasik lalu melanjutkannya dengan studi kritis yang wujudnya ada pada filsafat modern yang telah dikembangkan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
0 komentar:
إرسال تعليق