Seputar
Metodologi Studi Islam
Oleh : Ust. Idrus Abidin, Lc., MA.
Dosen STIS Al Manar Jakarta
Bagian ini merupakan orientasi umum kajian metodologi studi Islam yang
mencakup 4 pembahasan: pertama, pengertian metodologi studi Islam ; kedua,
urgensi dan signifikasni Metodologi studi Islam ; ketiga, objek studi Islam
; keempat, sejarah dan survey perkembangan studi Islam .
A. Pengertian Metodologi Studi Islam
Secara bahasa, metodologi adalah rangkaian dari dua kata (kata
majemuk); method dan logos. Method adalah cara dan logos adalah
ilmu. Sehingga secara kebahasaan, metodologi adalah ilmu tentang cara-cara
tertentu dalam melakukan suatu hal. Dalam Bahasa Arab, metodologi ini disebut
sebagai manhaj. Terambil dari kata nahaja, yanhaju, nahjan yang bermakna
jalan yang jelas dan terang. Kata ini, secara mutlak (tanpa embel-embel kata
sifat atau kata majemuk) diasosiasikan langsung dengan kata majemuk as-Shirat
al-Mustaqim (jalan lurus) yang mengandung arti cepat, praktis dan singkat
menuju tujuan (surga). Padanan kata lainnya dalam Islam adalah syari’ah, thariqah, sabil, sunnah, dll.
Semuanya bermakna jalan, cara dan metode yang cepat, praktis dan ringkas untuk mencapai
maksud dan tujuan.
Secara terminologis, manhaj atau metode adalah cara atau jalan yang
menyampaikan kepada hakikat ontologis suatu objek pembahasan pada setiap cabang
keilmuan; melalui seperangkat kaedah-kaedah umum, yang dapat mengarahkan
aktivitas rasio hingga sampai kepada kebenaran objektif suatu penelitian atau
penyelidikan. [1]
Dengan pertimbangan bahasa dan istilah di atas, bisa disimpulkan
bahwa metodologi atau manhaj adalah suatu ilmu yang bekerja di balik semua
jenis dan beragam cabang ilmu pengetahuan; dengan menganalisa metodologi dan
membatasi gerak-langkahnya secara logis dan sitematis. Inilah yang dikenal
dengan istilah Filsafat Ilmu (Nazariyatu al-Marifah), dalam kajian
akademik. Filsafat ilmu ini adalah salah satu cabang filsafat yang membahas
ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Filsafat ilmu membahas 3
cabang pengetahuan secara mendalam. pertama, aspek wujud suatu objek
ilmu yang disebut kajian ontologis; kedua, bagaimana cara
mengetahui hakikat ontologis sebuah wujud yang disebut efistemologi; ketiga,
manfaat pengetahuan yang disebut aksiologi. [2]
Studi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah bahts, yang
kandungan maknanya secara kebahasaan adalah mencari sesuatu yang tersembunyi
(gaib).[3]
Karena sesuatu yang tersembunyi dari akal manusia juga susah untuk digambarkan
dalam benak (persefsi), apalagi mewujudkannya dalam dunia nyata (realitas) yang
dapat dijangkau oleh indera, terutama yang sifatnya benda-benda maknawi seperti
keberaniaan dan kejujuaran. Hal yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti ini hanyalah
berusaha mengetahui sebanyak mungkin karakteristiknya hingga mencapai
hakikatnya secara utuh dan menyeluruh, melalui serangkaian langkah-langkah
metodologis, dengan beragam prosedur yang berstandar ilmiah.
Islam secara bahasa adalah penyerahan diri secara total kepada
otoritas (Allah) yang terbukti memiliki keunggulan (rububiyah dan qudrah)
sehingga pantas disembah (uluhiyyah). Sedang berdasarkan Istilah adalah
persaksian bahwa tiada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah dan nabi
Muhammad sebagai utusan Allah, lalu melaksanakan hak-hak Allah dengan penuh
keikhlasan dan mengikuti petunjuk Rasulullah (ittiba’) dalam hal-hal
seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan semua ketentuan umum Islam dalam aspek muamalah dan ahlak serta dalam
lingkup pribadi, keluarga, masyarakat hingga level kenegaraan.
Sedang studi Islam secara makna majemuknya bisa dijelaskan melalui
3 bidang kajian, sebagaimana yang diketengahkan oleh Dr. Sahrodi Jamali, yaitu
:
·
Studi Islam berdasarkan pada proses transmisi ajaran Islam
dari generasi ke generasi (studi proses pembelajaran
dalam 3 aspek; kognitif (pengetahuan), efektif (sikap), dan psikomotorik (pengamalan);
·
Studi Islam kelembagaan;
·
Studi Islam kritis (insider
dan outsider).
Berdasarkan proses, studi Islam bisa diartikan sebagai sebuah disiplin ilmu
yang mengkaji Islam , baik ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan
ummatnya. Prosesnya berupa transmisi doktrin-doktrin keagamaan dari generasi ke
generasi dengan menjadikan tokok-tokoh agama, sejak Rasulullah Saw. sampai
dengan ustadz-ustadz sebagai media utama yang hidup (the living mediators).
Secara kelembagaan, proses ini berlangsung di berbagai institusi,
mulai dari keluarga, masyarakat, masjid, kuttab, madrasah, pesantren, sampai
dengan perguruan tinggi (jami’ah).
Selain upaya transmisi, juga studi Islam mewakili sebuah usaha dari pemeluknya untuk memberikan
respon (tanggapan kritis) secara defensip (bertahan) atau pun opensif (menyerang)
terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya. [4]
Sedang studi Islam berdasarkan pada kajian
non pemeluk (outsider) bisa diartikan sebagai usaha pengkajian terhadap Islam secara kritis terhadap ajaran, institusi dan
kelembagaan serta sisi historisnya secara mendalam.
Aspek studi Islam kritis perlu ditegaskan di sini mengingat Islam dipelajari
tidak saja oleh pemeluknya, tetapi juga melibatkan semua kalangan akademik
berdasarkan pada tujuan-tujuan tertentu yang melatari studi dan pengkajian
tersebut. Perlu dijelaskan bahwa studi Islam versi insider (pemeluk) atau pun
outsider (orientalis) memiliki beberapa perbedaan secara signifikan, di
antaranya:
·
Secara sumber, Islam
adalah agama wahyu sedang menurut Orientalis,
Islam adalah agama budaya.
·
Islam adalah kebenaran absolut, Orientalis
memandangnya relatif.
·
Persfektif
studi Islam tauhidi (menyatukan), sedang
Orientalis dikotomik.
·
Persfektif
studi Islam bernuansa keimanan, studi Islam
Orientalis bernada kritis,
·
Wahyu, intuisi,
panca indera, Orientalis : rasio, empiris, positisime,
·
Peradaban Islam
memadukan hafalan dan tulisan, Orientalis
hanya berpatokan pada tulisan dan catatan saja.
Berdasarkan paparan dan analisa-analisa tersebut di atas, bisa
disimpulkan bahwa Metodologi Studi Islam adalah prosedur yang ditempuh secara ilmiah,
cepat, tepat dan praktis dalam mempelajari Islam secara luas dan mendalam pada beragam
aspeknya; baik aspek sumber ajaran, pemahaman terhadap sumber ajaran, maupun
aspek kelembagaan serta sejarahnya yang panjang (aspek historis) baik dari
kalangan insider maupun outsider. [5]
B. Urgensi dan Signifikansi Metodologi Studi Islam
Mengenal metodologi sebuah ilmu sebelum mempelajarinya lebih dalam
sangat besar urgensitasnya. Karena dengan bekal metode, setiap peserta didik
memiliki semacam acuan dalam mengarungi samudera keilmuan. Sehingga mereka
tidak tenggelam dan kebingungan dalam lautan luas tersebut. Jika mau dipetakan,
urgensi metodologi dalam setiap kajian keilmuan antara lain seperti:
·
Masalah
metodologi adalah masalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Maksudnya, hilangnya
metodologi berarti hilangnya cara yang tepat, tepat dan praktis dalam mempelajari,
mensistematika dan menganalisa sebuah cabang keilmuan.
·
Memberikan peta
pengetahuan yang ringkas, sistematis dan cepat dalam menyampaikan kepada tujuan
yang dikehendaki dari setiap jenis ilmu pengetahuan yang dikaji.
- Maju-tidaknya sebuah kajian keilmuan tergantung pada adanya metode yang tepat, ringkas, praktis dan cepat dalam menyampaikan kepada tujuan.
- Adanya landasan yang bisa dijadikan rujukan bersama manakala terjadi perbedaan dan perdebatan dalam setiap masalah-masalah keilmuan yang sedang dibahas dan diperdebatkan.
- Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa metode jauh lebih penting dibanding dengan kandungan (konten) dan manfaat ilmu pengetahuan. Karena metodologi membekali penuntut ilmu dengan sistematika dan langkah-langkah yang tepat dalam mencapai objek kajian dan mempelakukannya dengan tepat. Karenannya, kajian efistemologi lebih unggul dibanding kajian ontologi dan aksiologi. Karena efsitemologi membahas cara, sedang ontologi membahas hakikat dan isi, sementara aksiologi membahas seputar kegunaan pengetahuan. Artinya, cara mengetahui objek ilmu dan kegunaannya lebih urgen dibanding isi pengetahuan dan kegunaan ilmu itu sendiri. [6]
- Dengan metodologi, setiap pembelajar akan memperlakukan setiap kajian secara objektif, konprehensif dan penuh kebijaksanaan. Sehingga mereka proporsional dan menghindari sikap keras dan kaku (ekslusif) pada bidang-bidang ijtihadi, seperti dalam bidang muamalat dan akidah yang masih diperselisihkan. Dengan pengetahuan metodologi, seorang pengkaji Islam bisa bersifat elegan, fleksibel, inklusif, dan substantif, namun tetap tegas dan berintegritas dalam masalah-masalah yang berkategori prinsip seperti aspek akidah dan ibadah. Hal ini berdasarkan pada prinsip metodologis Islam , bahwa hukum asal akidah dan ibadah adalah haramnya melakukan kreativitas (ibda’ dan bid’ah) kecuali pada aspek format dan seistematika kajian. Sedang hukum asal muamalah adalah boleh berkreativitas dalam beragam tata cara dan beragam bentuk akad-akad transaksi, selama tidak ada dalil yang melarang dan membatasinya. [7]
- Dengan adanya metodologi, maka aktivitas pengkajian dan pengajian bisa dibedakan. Jika pengajian umumnya tanpa disertai metode, maka pengkajian senantiasa melekat dengan motode. Sehingga kedalaman dan keluasan wawasan terhadap objek pengkajian bisa melampaui kegiatan pengajian yang hanya membatasi diri pada satu aspek saja. Atau dengan bahasa lain, “Ilmu itu bukanlah orang-orang yang menginstal buku-buku dan perpusatakaan ke dalam otaknya, tatapi ilmu sebenanrya adalah kemampuan seseorang mengorganisir pengetahuan yang ada dalam kepalanya.” [8]
Urgensi metodologi dalam setiap aktivitas ilmiah bisa dipertegas
dengan adanya metodologi pada masing-masing cabang dan bidang ilmu pengetahuan,
seperti :
- Studi kebahasaan memberikan semacam ushul lughah atau fikih lughah (gramatika) yang menjadi landasan analisis. Seperti kaedah nahwu dan sharaf (morfologi) dalam studi bahasa Arab.
- Studi hukum Islam (fikih) memiliki perangkat metodologis yang disebut Ushul Fikih, termasuk di sini Qawa’id Fikhiyah. Imam Fakhruddin al-Razi berkata, “Sebelum era Syafi’i, kalangan ilmuan mendukung atau menolak sebuah permasalahan keilmuan umumnya tanpa disertai dengan metodologi umum yang bisa dijadikan rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan tata cara menolak dan menjastifikasinya. Lalu imam Syafi’i merumuskan ilmu usul fikih dan memberikan acuan umum bagi kalangan ilmuan yang menjadi kerangka bersama dalam mengenal tingkatan dalil-dalil syari’at.
- Studi al Qur’an dan tafsir memiliki metodologi pengantar yang dikenal dengan istilah Ulumul Qur’an dan Ushul Tafsir. Bahkan, keberhasilan Ibnu Taimiyah merumuskan Ushul Tafsir menjadi acuan Ibnu Katsir dalam melahirkan karya masterpiesnya; Tafsir al-Qur’an al-Azhim, yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir
- Studi Hadits dipalajari melalui serangkaian kaedah metodologis berupa Ushulul Hadits atau Musthalah al-Hadits.
- Studi ilmu-ilmu alam juga mengandalkan metode deduktif (istiqra’) yang memiliki basis ilmiah yang kokoh melalui 3 tahapan penting:
a)
Tahap awal (iftirad):
tahap hipotesis dan asumsi adanya keterkaitan antara teori ilmiah dengan
fenomena yang diangkat sebagai objek penelitian. Tahap ini dilakukan dengan
metode pengamatan (mulahazah) dan observasi (tajribah)
b)
Tahap
kematangan (fard): tahap di mana seorang peneliti mampu menemukan adanya
hubungan erat antara fenomena yang diteliti dengan hipotesis dan asumsi awal
yang mendasari penelitiannya
c)
Tahap
pembuktian (burhan) : tahap di mana seorang peneliti sampai kepada
kesimpulan akhir, bahwa hipotesis dan asumsinya betul-betul sesuai dengan
kenyataan lapangan. Juga bahwa teori yang dia pakai betul-betul berlaku seutuhnya
pada masing-masing fenomena dan bagian-bagian yang diteliti satu persatu tanpa
pengecualian atau pun berlaku secara umum dengan pengecualian terhadap beberapa
sampel karena beberapa pertimbangan dan alasan.
Tujuan penegasan ini sekedar menguatkan betapa pentingnya
metodologi dalam merangkum setiap aktivitas keilmuan, dengan membatasi tujuan
dan langkah-langkahnya agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam hal permasalahan
dan pendekatan, sehingga dapat mempercepat laju perkembangan ilmu pengetahuan
dan mencegahnya dari infiltrasi luar, sekaligus menjauhkannya dari ketidakjelasan
orientasi dan tujuan serta sebagai upaya menghindari perdebatan tak berujungpangkal.
Juga penting ditegaskan di sini bahwa metodologi haruslah jelas rambu-rambunya,
tepat pembagiannya; di mana peneliti bekerja dengan metode tersebut secara
benar dan penuh kesadaran; di mana dia sedang berpijak dan ke mana arah dan tujuan
dari penyelidikannya. [9]
urgensi tenang metodologi dalam studi Islam makin terasa jelas dengan pemaparan yang lebih
menyeluruh pada bab seputar metode dan pendekatan dalam studi Islam pada buku ini insya Allah.
C. Objek Studi Islam
Studi Islam adalah sebuah
upaya sistematis, logis dan terencana dalamrangka mengkaji Islam secara
integral; baik dari sisi norma-norma utama (kajian normatif) maupun dari aspek
praktis yang merupakan perwujudan dari praktek keislaman di tengah realitas masyarakat,
yang mencakup ibadah, muamalat dan ahlak. Bahkan studi Islam juga membahas referensi Islam secara utuh,
beserta hasil pemahaman dan pemikiran kaum muslimin dalam rentang sejarah yang
panjang, dalam bidang kalam, hukum fikih, filsafat, tasawuf, sejarah kebudayaan
dan pertumbuhan serta perkembangan historis segala aspek keislaman dll.
Artinya, studi Islam mempelajari secara
konprehensif segala bentuk fenomena keIslam an; baik yang bersifat ajaran ideal
(norma-norma langit) maupun ajaran realitas (bumi) yang praktis yang mencakup
ilmu-ilmu alam (sains) maupun ilmu-ilmu sosial, teramsuk di dalamnya kajian
historis (sejarah).
Ada sejumlah pertanyaan yang lahir dari sikap ragu mengenai kemungkinan
Islam dipelajari secara ilmiah.
Sementara studi Islam, terutama aspek akidahnya, tidak bisa ditundukkan dalam
wilayah empiris-indrawi. Lalu mungkinkah Islam dipelajari secara ilmiah? Jawaban dari
pertanyaan ini adalah: pertama, perlu dijelaskan dulu makna ilmiah yang
dimaksud sang penanya; kedua, menjelaskan kemungkinan studi ilmiah Islam
berdasarkan maksud sang penanya secara
sederhana. Secara umum dijelaskan bahwa jika yang dimaksud ilmiah adalah
berdasarkan pada kajian sumber referensi eksternal (Qur’an dan Sunnah) dan
sarana internal berupa; telinga, mata, akal dan hati yang dimiliki manusia,
maka jawabannya adalah objek studi Islam sangat ilmiah untuk didekati dengan metodologi
dan pendekatan transmisi-empiris, logis-supralogis,dll.[10]
Yang dimaksud transmisi-empiris adalah prosedur studi yang
mengandalkan riwayat sebagai standar ukuran dan timbangan dalam menilai hakikat
ontologis, terutama pada wilayah akidah dan ibadah. Lalu pada bidang ilmu alam
dan ilmu sosial, ukuran-ukuran yang bersifat empiris dapat dijadikan sebagai
pedoman dan standarisasi ilmiah.[11]
Islam tidak pernah kaku berhadapan dengan prosedur ilmiah, karena
hakikat-hakikat yang diajarkan sangat konprehensif. Berbeda dengan kajian
ilmiah peradaban lain yang membatasi objek kajian hanya pada seputar wilayah
material, tanpa memberi ruang pada aspek spiritual dan nilai-nilai etika dan
moral pada setiap prosedur ilmiah yang dikembangkan.
Singkatnya, jika wilayah kajian Islam mau dipetakan secara ringkas,
maka dikatakan bahwa ada 5 objek kajian yang ditawarakan Islam . Pertama,
kajian teologis terkait hubungan manusia dengan penciptanya (ibadah); kedua,
kajian akhirat (tanggungjawab); ketiga kajian seputar hakikat hidup
(ujian); keempat, kajian terkait relasi manusia dengan sesama mahluk
(adil dan ihsan); dan kelima, hubungan manusia dengan alam (eskplorasi).
Yang terakhir mencakup alam (sains) dan wilayah masyarakat (sosial). Artinya,
secara ilmiah, Islam mempelajari kelima
objek studi tersebut di atas secara menyeluruh. Tetapi peradaban lain (terutama
Barat Sekuler) hanya membatasinya pada 2 kajian: pertama, kajian terkait
hubungan sesama manusia dan kedua, kajian seputar alam (sains dan sosial).
Di bidang pertama, mereka berhasil mencapai tingkat profesional (ihsan) sekali
pun hanya sebatas wilayah materi tanpa terkait dengan nilai-nilai spiritual
(moral). Akhirnya, mereka tetap standar ganda dan sangat berat untuk bisa
berlaku adil (apalagi profesional dan sportif) terhadap budaya dan peradaban
lain.
Tiga wilayah kajian sama sekali tidak dianggap oleh Barat sekuler
sehingga mereka hanya unggul di bidang material saja, namun sepi nilai-nilai
ahlak dan spiritual yang menjadi kunci utama kebahagiaan manusia. Pantaslah
kalau perabadan Barat yang dianggap ilmiah tersebut dipandang oleh sejumlah
peneliti sebagai peradaban yang sukses besar mempersembahkan kemudahan secara
material bagi manusia, namun menghancurkan nilai-nilai moral (kemanusiaan) secara
membabi buta. Inilah alasan di balik lahirnya karya-karya ulasan dari
cendekiawan muslim yang intinya menegaskan kerugian ummat manusia akibat dari
kemunduran peradaban Islam.[12]
Karena, di masa lalu peradaban Islam telah mempersembahkan kemudahan material
kepada manusia sekaligus kesuksesan spiritual secara bersamaan.
Bahkan terdapat beberapa keunggulan lain peradan Islam dibanding
peradaban lain dari sisi ilmiah, seperti adanya metode transmisi (riwayat) yang
berpadu dengan metode penulisan dalamrangka menjaga warisan keilmuan dari dulu
hingga sekarang. Hingga terkenallah sebuah idiom yang berbunyi, “Ilmu itu
intinya ada di dalam jiwa (shudur/hafalan dan pemahaman), bukan sekedar tertulis
dalam buku-buku catatan (sutur)”.
Selain hafalan dan catatan, peradaban Islam juga unggul dari sisi silsilah keilmuan (sanad)
yang menjadi keistimewaan ilmu hadits, silsilah keturunan (nasab) yang
menjadi basis utama ilmu sosial (sejarah) dan analisis kedudukan kata dalam
kalimat (i’irab) yang memberikan keluasan pemaknaan terhadap sebuah
analisa ilmiah kebahasaan. Al-Khatib al-Bagdadi berkata, “Ada informasi penting
yang sampai kepadaku bahwa ummat (Islam ) ini diberikan keistimewaan melampaui
peradaban sebelumnya dengan tiga hal; isnad, nasab, dan i’rab”. [13]
[1] Ali Hasan,
Manhaj al-Istidlal ‘Ala Masa’il al-I’tiqad ‘Inda Ahli Sunnah, (Riyad : Maktabah
al-Rusyd), Vol. 1, Cet. 2, th. 1993 M /1413 H., hal. 20.
[2] Kami
berpendapat, sebelum metodologi studi Islam dipelajari, sebaiknya lembaga pendidikan Islam
mengenalkan peserta didik dengan
filsafat ilmu berdasarkan tinjauan Islam (Efistemologi Islam). Sehingga mahasiswa dan
peserta didik memiliki landasan umum dalam mempelajari metodologi studi Islam lebih kokoh. Buku acuan untuk edisi Indonesia
bisa menggunakan Pengantar Efistmologi Islam karya Dr. Mulyadi Kartanegara dan Filsafat
Ilmu karya Dr Adian Husaini, et. al.
[3] Abjadiyatu
al-Bahs fi al-Ulum al-Syar’iyyah, Dr. Farid al-Anshari, (al-Dar al-Baidha’,
ttc), cet. 1, th. 1997 M/1417 H. hal. 24.
[4] Metodologi
Studi Islam , Dr. Jamali Sahrodi, (Bandung: Pustaka Setia), cet. 1, th. 2008
/1429., hal. 37
[5] Lihat:
Metodologi Studi Islam , Prof. Dr Supiana, M. Ag, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama),
cet. 2, th. 2012, hal. 4 dengan beberapa pengembangan dan penyesuaian
[6]
Muhammad Murtadha al-Yamani, salah seorang intelektual handal, dalam bukunya Itsar
al-al-Haq ala al-Khalq mengatakan, “Sebab utama terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan ahli kalam bukanlah pelik dan detilnya pembahasan ilmiah
yang mereka perdebatkan. Tetapi ketidaksepakatan mereka terhadap metodologi dan
referensi yang mereka gunakan.” Beliau mencontohkan, “Matematika dan ilmu
rancangbangun termasuk pengetahuan pelik, namun teap saja benar argumennya.
Karena, kata beliau, permasalahan bukan pada jelimetnya pembahasan, namun
tidakadanya metodologi dan cara untuk mensistematika pengetahuan.”
[7] Lihat lebih
lanjut: Abdul Rahman Zaid al-Zunaidi, Masadir al-Ma’rifah fi al-Fikri al-Dini
wa al_falasafi, (Riyad : Maktabah al-Muayyid), Cet, 1, th. 1192 M./1412 H.,
hal. 17-18. Lihat pula Metodologi Studi Islam , Prof. Dr Supiana, M. Ag,
(Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama), cet. 2, th. 2012, hal.
6-8.
[8] Abjadiyatu
al-Bahs fi al-Ulum al-Syar’iyyah, Dr. Farid al-Anshari, (al-Dar al-Baidha),
cet. 1, th. 1997 M/1417 H. hal. 8.
[9] Lihat : Ali
Hasan, Manhaj al-Istidlal ‘Ala Masa’il al-I’tiqad ‘Inda Ahli Sunanah, hal.
21-26.
[10] Riwayat dan
panca indera.
[11] Kata ilmiah
sebagai kata sifat dari kata penelitian (penelitian ilmiah) di sini dimaknai
sebagai usaha yang terencana secara matang yang dimaksudkan untuk menyelesaikan
problematika keilmuan dengan menelesuri semua unsur-usur pembentukannya yang
dianggap sebagai sumber masalah. (Lihat : Abjadiyatu al-Bahs fi al-Ulum
al-Syar’iyyah, Dr. Farid al-Anshari, hal. 24.
[12] Salah satu
karya terebut eperti kitab Madza Khasira al-‘Alam bi Inhitahat al-Muslimin,
karya Syakib Arselan.
[13] Bahkan terkait
nilai keunggulan ini, Rasulullah Saw pernah menginformasikan, sebagaimana
riwayat dari Jabir r.a.:
أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ
لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى
قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
‘Aku diberi
(oleh Allah) lima perkara, yang itu semua tidak diberikan kepada seorang-pun
sebelumku. Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum
kedatanganku) sejauh perjalanan sebulan; Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai
masjid (tempat sholat) dan alat bersuci (untuk tayammum-pen). Maka siapa saja
dari umatku yang (waktu) sholat menemuinya, hendaklah dia sholat. Ghonimah
(harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk
seorangpun sebelumku. Aku diberi syafa’at (oleh Allah). Dan Nabi-Nabi dahulu
(sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, dan aku diutus kepada manusia
semuanya’” (HR. Bukhori no. 335 dan Muslim no.521)
0 komentar:
إرسال تعليق