Oleh : Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah (STIS AL-MANAR) Jakarta.
Pendahuluan.
Sungguh kita pantas berbahagia saat ini juga dan tidak perlu berlama-lama dalam lindasan
kesedihan dan linangan air mata, karena potensi rahmat Allah begitu sangat luas dan
meliputi segala sesuatu. Bahkan rahmat dan karunia Allah ini tidak hanya
sebatas yang bisa dipandang dan dilihat oleh mata kita, tetapi limpahan
karunia dan potensi harapan itu terbentang luas di segala sektor kehidupan sesuai dengan luas dan tak
terbatasnya Allah Swt. Mata kita hanya
mampu melihat dan memandang hal-hal yang terjaring olehnya dan sering kali
menipu kita. Karena yang jauh tampak kecil, padahal hakikatnya besar. Sementara yang
lurus tampak bengkok hanya karena objek yang dilihat berada pada kedalaman air.
Dengan demikian, kita sering kali salah ketika mengukur kebahagiaan hanya semata-mata pada
fakta yang terlihat.
Salah satu bentuk kesalahan itu adalah mana kala kita melihat orang
lain bahagia karena rumah mereka jauh melebihi rumah kita sekian kali lipat.
Mobil yang mereka miliki jauh lebih berkelas sementara kita baru sekedar
mempunyai motor. Itu pun dimiliki dengan system kredit dan bekas pakai orang
lain. Terlihat juga oleh kita bahwa anak-anak mereka sukses besar, bahkan ada yang
bekerja di perusahaan multi nasional, berkantor di luar negeri dengan gaji besar.
Semua itu secara pandangan mata seolah kebahagiaan itu sendiri. Padahal itu barulah sarana yang belum tentu benar-benar membahagiakan hati yang punya.
Kalau memang demikian hakikatnya, lalu kenapa artis dengan sejumlah kemewahan
yang disebutkan, dengan popularitas yang luar biasa, ditambah lagi dengan
aktivitas mereka yang terkait langsung dengan dunia hiburan,
namun banyak di antara mereka defresi berlebihan. Tampak bahagia di
layar kaca, namun hantinya menjerit kesakitan behind the scan. Bahkan
tidak sedikit di antara mereka bunuh diri di saat bermandikan popularitas dan
berkutat di tengah nyamannya fasilitas. Berikut
2 contoh artis Hollywood yang meninggal
bunuh diri di tengah glamour kemewahan.
Artis pertama bernama Justin Pierce.
Justin Pierce adalah seorang aktor yang lahir di London pada tanggal 21 Maret
1975. Pada awalnya dia adalah pemain skateboard. Suatu hari, dia ditemukan oleh
Larry Clark, yang merupakan seorang sutradara film. Justin kemudian berperan
sebagai Casper dalam film Kids pada tahun 1995. Setelah itu, dia berhasil
membintangi sederet film lainnya. Tapi kesuksesan rupanya tidak membuatnya
bahagia. Pada tanggal 10 Juli 2000, Justin ditemukan gantung diri di salah satu
hotel di Las Vegas.
Artis Hollywood kedua yang bunuh
diri adalah Dana Plato. Terlahir dengan nama Dana Michelle Stain pada tanggal 7
November 1964 di California. Perannya sebagai Kimberly pada serial
televisi Diff’rent Strokes telah membuat Dana terkenal. Setelah itu,
sederet film berhasil diperankan oleh Dana, salah satunya The Six Million
Dollar Man, di mana dia berperan sebagai Bionic Woman. Tapi ternyata semua itu
tidak membuatnya bahagia. Pada tanggal 8 Mei 1999, dia ditemukan tewas
overdosis di RV milik ibunya di Oklahoma. [1]
Selain itu, artis Bollywood juga
banyak bunuh diri di tengah kemewahan dan popularitasnya. Di sini, kami
tampilkan 2 artis yang juga bisa menjadi contoh. Yang pertama seorang artis
bernama Kuljeet Randhawa. Kuljeet Randhawa adalah model dan aktris yang telah memenangkan kontes
Gladrags dan populer dalam perannya dalam acara TV Kohinoor. Pada tanggal 8 Februari
2006, Randhawa gantung diri di apartemennya di Juhu. Dalam catatan bunuh diri,
Kuljeet menyatakan bahwa ia mengakhiri hidupnya karena tidak mampu mengatasi
kompleksitas kehidupan.
Artis Bollywood kedua
bernama Jiah Khan. Jiah Khan menjadi pusat perhatian pada tahun 2007 dengan film
debutnya, Nishabd.
Pasalnya, dalam film tersebut dia beradu akting dengan aktor legendaris
Bollywood Amitabh Bachchan. Dia mendapat nominasi Filmfare Best Debutan untuk
Ram Gopal Varma film. Ia memainkan peran sebagai seorang remaja yang
tergila-gila dengan pria cukup tua untuk menjadi ayahnya. Jiah ditemukan
tergantung di apartemennya di Sagar Building
Sangeet di Juhu, kawasan elite bagian barat laut Mumbai pada tanggal 3 Juni
2013. [2]
Yang tak kalah menarik untuk kita sebutkan di sini adalah
artis-artis Korea yang belakangan ini menarik banyak perhatian kalangan muda
Indonesia. Sehingga muncullah artis-artis yang seoalah mengikuti trend
artis-artis Korea tersebut. Sebutlah misalnya Cherry Belle. Tampilannya di
layar kaca dan di tempat lain sering kali membuat banyak kalangan muda
terhipnotis. Seolah kebahagiaan bisa diperoleh dengan tampilan mereka yang
menghibur. Tapi, pada kenyataannya mereka sebagai kuli hiburan ternyata tidak
merasa terhibur oleh perannya dalam dunia keartisan dan hiburan. Seperti yang
dialami 2 artis Korea berikut.
Artis pertama bernama Song Ji Seon. Pada tanggal 23
Mei 2011 Song Ji Seon bunuh diri dengan melompat dari lantai 19 apartemennya di
Seoul. Uniknya, sebelum dia merencanakan bunuh diri, presenter ini sempat
menulis di twitter agar polisi bergegas ke tempat tinggalnya, tapi dia kemudian
menganulir postingan pertamanya. Setelah disediliki, tampaknya Song bunuh diri
karena cinta. Dia mengaku punya skandal asmara dengan pemain bisbol
profesional, Im Taehoon (23). Namun Im membatahnya dan Song sakit hati. Im
Taehoon pun sempat dikecam publik.
Artis kedua bernama Chae Dong Ha. Pada tanggal 27 Mei 2011 dia bunuh diri juga. Ini kasus termutakhir. Chae Dong Ha ditemukan gantung diri di kediamannya. Mantan personel SG Wannabe ini dikabarkan bunuh diri karena depresi akibat mantan manajernya meninggal dunia dua tahun lalu akibat menghirup gas di sebuah kamar hotel. Chae Dong Ha telah menulis pesan kepada manajernya, yang berbunyi, “Ini adalah saat yang lebih menarik daripada ciuman pertamaku. Manajer pertamaku. Temanku, dan saudaraku. Pada saat aku bertemu orang itu, aku telah menerima isi seluruh dunia. Pada 9 Juni 2009, ia tidak lagi di sisiku. Setengah hatiku masih hilang. Masih. ‘Hyung, Anda harus bahagia, oke? Janji padaku bahwa Anda akan bahagia …’” [3]
Artis kedua bernama Chae Dong Ha. Pada tanggal 27 Mei 2011 dia bunuh diri juga. Ini kasus termutakhir. Chae Dong Ha ditemukan gantung diri di kediamannya. Mantan personel SG Wannabe ini dikabarkan bunuh diri karena depresi akibat mantan manajernya meninggal dunia dua tahun lalu akibat menghirup gas di sebuah kamar hotel. Chae Dong Ha telah menulis pesan kepada manajernya, yang berbunyi, “Ini adalah saat yang lebih menarik daripada ciuman pertamaku. Manajer pertamaku. Temanku, dan saudaraku. Pada saat aku bertemu orang itu, aku telah menerima isi seluruh dunia. Pada 9 Juni 2009, ia tidak lagi di sisiku. Setengah hatiku masih hilang. Masih. ‘Hyung, Anda harus bahagia, oke? Janji padaku bahwa Anda akan bahagia …’” [3]
Demikianlah beberapa sisi tampilan lahiriah yang tampak oleh mata
seolah wujud kebahagiaan, namun sebenarnya malah pemiliknya tersiksa di tengah
seluruh fasilitas dan populartas tersebut. Kondisi seperti ini sebenarnya sudah
diingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an sejak 14 abad yang lalu. Orang-orang
kafir dan munafik tampak secara duniawi lebih bahagia dan lebih menarik, bahkan
di mata kaum muslimin se3kali pun. Namun kenyataan sebebanrnya tidak berbanding
lurus dengan apa yang tampak di mata. Lihatlah peringatan ALlah terhadap sarana dan
prasarana kehidupan yang dimiliki orang kafir dan orang munafik di zaman
Rasulullah berikut:
Maka janganlah harta benda dan
anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan
(memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan
di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan
kafir. (QS at-Taubah [9]: 55) [4]
Apa yang tampak oleh mata hanyalah fenomena dan sarana kebahagiaan.
Sedang kebahagiaan itu sendiri ada pada hati yang merasa tentram dan tenang
oleh pengakuan dan celupan karunia dan nikmat Allah. Allah Swt. menegaskan betapa luasnya cakupan
rahmat-Nya dalam salaah satu ayat al-Qur’an
وَرَحْمَتِي
وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. (QS. al-A’raf [7]: 156)
Dalam kondisi bagaimana pun juga
mahluk senantiasa berada dalam karunia dan nikmat Allah selama masih berada
dalam dekapan kehidupan duniawi. Karena segala apa yang ada pada dirinya dan
sekitarnya adalah wujud dari karunia Allah. Dalam kondisi sakit, miskin,
berkekurangan, ditimpa musibah dll, nikmat itu senantiasa ada walaupun dianggap
berkurang dari kadar sebelumnya. Kita tentu kurang bijak jika pemberian yang
kita dapatkan kita hanya ingin agar senantiasa bertambah tanpa pernah bersiap
kalau pemberian itu berkurang. Padahal, makna kenikmatan dan kebahagian serasa
tampak begitu menggiurkan dan nilainya akan berasa besar jika apa yang
dinikmati sekali-kali jauh dari jangkauan. Bukankah kemudahan ada setelah
kesuliatan, siang tampak terang setelah gelapnya malam, langit begitu indah
karena ada bumi yang membersamainya!?
Tabiat kehidupan adalah berpasangan. Karenanya, jika kenikmatan itu
ada maka rasa sengsara dan perih akibat ujian dan cobaan pasti menjadi realitas
kehidupan. Hidup ini tidak selamanya untuk dinikmati tapi pada dasarnya harus
diperjuangkan. Hasil perjuangan dalam rangka mengejar dan menggapai harapan
itulah yang menyimpan potensi kebahagiaan. Bahkan, prosesnya pun bisa dinikmati
apabila berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita. Jika kita hanya berharap
kenikmatan tanpa perjuangan berarti seolah kita memaksa hidup ini menjauh dari
tabiat mendasarnya. Naudzubillah. Padahal, kita tidak punya kemampuan
untuk memaksa dunia agar mempersembahkan kenikmatan itu pada diri kita. Hati
yang merasakan nikmat itu malahan bersemayan dalam diri kita sendiri, tapi
kadang kita tak berdaya untuk mengendalikannya dan mengisinya dengan secuil
kebahagiaan dan mencongkel darinya tumpukan kesengsaraan. Dialah yang pantas
kita todong agar bersabar terhadap musibah dan ketetapan takdir yang meyesakkan
dada, lalu bersyukur atas segala nikmat yang masih ada dengan beragam ketaatan
dan ketakwaan.
Dunia ini adalah hamparan karunia dan nikmat Allah. Orang kafir dan
ahli maksiat sekalipun kadang dibiarkan semena-mena di sini dan tidak diazab
dengan segera, karena tidak sesuai dengan rahmat Allah dan kasihsayang-Nya.[5] Kalau bukan karena kasih sayang Allah maka
hidup manusia di dunia ini tidak akan berlangsung lama dan tidak akan
beranak-pinak dan beranakketurunan. Karena, jika setiap dosa dan kesalahan harus
disikapi dengan adil di dunia ini oleh Allah maka tidak akan ada mukallaf yang bisa
hidup dalam jangka waktu yang lama. Allah Swt. menegaskan:
وَلَوْ
يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن
دَابَّةٍ وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
Dan
kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia
tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk melata pun. Akan
tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka
apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat
(keadaan) hamba-hamba-Nya. (QS. Fathir [ 35]: 45)
Selain itu, Allah Maha Penyabar (as-Shabur). Konsekwensi
dari Kemahasabaran Allah adalah penangguhan siksaan supaya ada waktu penyesalan
dan taubat bagi para pendosa. Kasih sayang yang berwujud kesabaran dan sikap
pemaaf ini adalah merupakan perintah Allah yang juga sering ditegaskan.
Rasulullah dan seluruh ummatnya juga diharapkan senantiasa menjadi mahluk yang
penuh kasih sayang, pemaaf dan penuh kesabaran. Dalamrangka itu, Allah
memerintahkan kita agar senatiasa bertasbih dan bersabar terhadap ketetapan dan
keputusan Allah Swt. (QS Thaha [20]: 130).
Dalam kategori yang sama,
Allah menyuruh kita bersabar dan bertasbih (mensucikan-Nya dari segala
kelemahan dan kekurangan) sekaligus memuji kesempurnaan dan keagungan-Nya saat
hinaan dan siksaan dialami para hamba-hamba-Nya. [6]
Jadi, dunia sebagai ladang rahmat Allah ini begitu luas sehingga pemaafan dan
penangguhan azab juga merupakan bentuk lain dan bagian utama dari kasih sayang-Nya yang agung.
Nerakalah nantinya yang akan menjadi tempat keadilan ditegakkan, walapun rahmat
Allah makin melimpah di surga-Nya.
Beberapa Bentuk Rahmat Allah di Dunia.
Allah Swt. terkadang menyebut beberapa nikmat-Nya seperti hujan,
al-Qur’an, rasul-rasul yang diutus dengan menggunakan kata rahmat. Karena
memang segala sesuatu berasal dari rahmat Allah Swt. Hal ini seperti kita
jumpai dalam al-Qur’an. Tentang hujan, Allah menyebutkan:
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا
بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ
مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ
نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu
telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu
pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang
telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (QS al-A’raf [7]: 57).
Tentang
rezeki sebagai rahmat Allah dinyatakan:
وَإِمَّا
تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا
مَيْسُورًا
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rezeki
(rahmat) dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka
ucapan yang pantas. (QS al-Israa [17]: 28).
Tentang
al-Qur’an sebagai rahmat, Allah tegaskan:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami
turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
(QS an-Nahl [16]: 89).
Tentang kerasulan nabi Muhammad Saw. sebagai rahmat
untuk seluruh alam, dijelaskan oleh ayat berikut:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiyaa [21]: 107).
Bahkan
sorga Allah yang maha luas tersebut disebutkan sebagai bentuk rahmat Allah
Swt.:
وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ
فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka
mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. (QS
Ali Imran [3]: 107).
يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ
وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya
(surga). Dan bagi orang-orang lalim disediakan-Nya azab yang pedih. (QS
al-Insan [76]: 31).
Jadi, jika dipandang dari persfektif
duniawi, kita diciptakan, bergerak, hidup, beraktifitas, mendapatkan peringatan
melalui para rasul dan media petunjuk berupa kitab suci, itu semua adalah
bentuk kasih sayang Allah Swt. Belum lagi ditambah dengan kebebasan selama
hidup ini. Apalagi jika kebebasan yang dimaksud nantinya baru mulai diperhitungakan
dari aspek dosa maupun pahala setelah kita sampai pada masa akil balig.
Ditambah lagi pembatasan-pembatasan lain setelah kita balig seperti terpaksa,
gila, pingsan, ketiduran yang disebutkan oleh Rasululah dalam salah satu
sabdanya, sebagaimana penuturan Aisyah r.a.,
رُفِعَ
القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ، وَعَنِ المَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
“Pena pencatat amal dan dosa diangkat dari tiga
hal ; dari orang yang sedang tertidur hingga ia bangun, dari orang gila hingga
sadar dan dari anak-anak hingga ia akil balig. [7]
Sedang terkait dengan sifat rahim Allah terhadap
orang beriman, dengan memberikan taufiq kepada mereka sehingga mereka merasakan
nilai keimanan dan amal shaleh, hal yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir,
maka dapat kita tunjukkan beberapa ayat berikut :
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Dan sungguh Allah Swt. sangat menyayangi
orang-orang beriman (QS al-Ahzab [33]: 43)
Salah satu wujud sifat rahim Allah terhadap
kaum beriman adalah bahwa Allah memberikan rahmat dan para malaikat-Nya
memohonkan ampunan bagi mereka supaya Allah menge-luarkannya dari gelapnya
kekafiran menuju cahaya iman dan taqwa. Allah Swt. berfirman:
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan
kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang
yang beriman. (QS al-Ahzab [33]: 43).
Bahkan, dengan karunia dan rahmat Allah lah kita bisa mencerap
nikmatnya iman, menatap terangnya cahaya syari’at, membersihkan jiwa dan fisik
dari noda dan maksiat. Sehingga keimanan dan segala getarannya, keislaman
dengan semua fenomenanya, ahlak dengan sekumpulan pesona dan keindahannya bisa
kita peroleh dengan penuh kilaun rasa, kepuasan rasio dan kelegaan batin.
Lihatlah betapa peringatan Allah agar kita senantiasa menjauh dari
langkah-langkah setan yang gemar memesonakan keburukan dan menampilkannya di
hadapan kita layaknya keindahan yang bersolek di hadapan para pecinta dunia.
Mereka berusaha mengecoh kaum beriman dengan keindahan yang fana dan serba
terbatas itu, sehingga menjauh dari nikmatnya cahaya hidayah dan taufik. Allah dengan rahmat dan kasih sayang-Nya
mengingatkan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن
يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا
زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu
menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang
pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS an-Nuur [24]: 21)
Syekh
as-S’adi rahimahullah menjelaskan, “Setelah Allah melarang dosa
penyebaran berita bohong dan efeknya dalam kekacauan masyarakat muslim secara
khusus, Allah menegaskan larangan dari segala dosa secara umum dengan
firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan. Yakni, jalan-jalan dan was-was yang mereka
timbulkan. Langkah-lagkah setan mencakup semua dosa yang terkait dengan hati,
lisan dan badan. Dia antara bentuk kebijaksanaan Allah adalah ketegasan-Nya
dalam menjelaskan ketetapan hukum dan aturan, berupa larangan mengikuti
langkah-langkah setan. Hikmahnya adalah penegasan dari bahaya yang terkandung
pada larangan berupa keburukan serta alasan untuk meninggalkannya dengan
berfirman, “Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka
sesungguhnya dia,” Yakni, setan senantiasa “Menyuruh mengerjakan perbuatan yang
keji.” Yakni, hal-hal yang dianggap keji oleh rasio dan syari’at berupa dosa-dosa besar beserta kecendrungan
sebagian jiwa kepadanya. “Dan yang mungkar.” Yakni, hal-hal yang
ditolak oleh akal dan tidak dikenal olehnya. Sungguh maksiat yang merupakan
bagian dari langkah-langkah setan tidaklah keluar dari cakupannya. Sehingga
Allah menghalau hamba darinya sebagai wujud karunia agar mereka senatiasa
mensyukuri dan mengigat-Nya. Karena yang demikian itu merupakan upaya
perlindungan dari lumuran keburukan dan kehinaan. Sehingga dia antara bentuk
kebaikan Allah kepada mereka adlah adanya larangan agar menjauh dari dosa dan
maksiat itu, sebagaimana larangan dari menenggak racun yang mematikan dan yang
sejenisnya.
Firman Allah, “Sekiranya tidaklah karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,” Yakni,
tidak akan ada siapa pun yang bisa terbebas dari mengikuti langkah-langkah
setan. Karena setan senantiasa berusaha keras bersama seluruh pasukannya untuk
mengajak kepadanya dan senantiasa menampilkan keburukan itu sangat memesona
dalam pandangan mata. Sementara, jiwa sangat cenderung kapada keburukan dan
senatiasa mengarahkan kepadanya, sedang kekurangan dan kelemahan senatiasa
menguasai hamba dari segala aspeknya, semenatara keiman tidak begitu kuat
cengkeramannya dalam hati. Sendainya manusia kosong dari keimanan sedang
kencendrungan kepada keburukan itu senantiasa ada maka tidak akan ada yang bisa
terbebas dan tersucikan dari dosa dan makisat dengan senantiasa berkembang baik
dalam lingkup amal shaleh. Karena kesucian dan keterbebasan dari kemaksiatan
mengandung makna kesucian dan keberkahan. Hanya saja, karunia dan rahmat-Nya
berketetapan agar orang-orang tertentu di antara kalian bisa tersucikan dan
terbebas dari balutan dosa dan maksiat. Karenanya, di antara do’a yagn
senatiasa dipanjatkan oleh Rasulullah saw adalah:
اللَّهُمَّ
آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ
وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah, berikanlah jiwaku ini potensi ketakwaannya.
Dan sucikanlah ia dengan baik. Engkaulah yang terbaik dalam mensucikannya.
Engkaulah penguasa dan tuannya.”
Karena
itulah, Allah berfirman, “Tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya,” yakni, siapa pun yang tampak darinya upaya untuk
membersihkan diri dengan tazkiyatunnafs. Karena itu pula Allah
berfirman, “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [8]
Pada surat an-Nur ini, setelah Allah menerangkan fitnah yang
menyebar akibat adanya desas desus yang disebarkan oleh kawanan orang-orang munafik,
tanpa sengaja seorang sahabat bernama Masthah, keponakan Abu Bakar as-Shiddq
r.a sendiri, ikut terlibat dalam penyebaran berita bohong tersebut dengan
sekedar mengatakan, “Katanya sih begitu.” tatkala mendengar selentingan berita
itu. Maka tak disangkal, Abu Bakar r.a.
sebagai ayah Aisyah r.a. bersumpah untuk memberhentikan santuan yang selama ini
diberikan kepada si Masthah. Namun sikap
marah dan memboikot kebaikan yang selama ini dilakukan, ternyata ditegur oleh
Allah dan diarahkan kembali agar beliau memaafkan dan melanjutkan kembali
santunanya kepada Masthah tersebut. Sikap itu merupakan bentuk kasih sayang
yang diajarkan dan dicintai oleh Allah Swt. Teguran Allah kepada Abu Bakar
berbunyi:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang
berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS an-Nuur [24]: 22)
Bentuk lain dari sifat rahim Allah terhadap kaum beriman
adalah ampunan yang senantiasa tercurah kepada mereka. Allah berfiraman:
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي
سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ
تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar,
yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka
hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka, (QS at-Taubah [9] : 117). [9]
Sifat rahim yang kemudian berwujud pada datangnya ampunan
Allah demikian, dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu hadits qudsi
berikut berdasarkan penuturan Abu Hurairah r.a,
(( أذْنَبَ
عَبْدٌ ذَنْباً ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي ، فَقَالَ الله تَبَاركَ
وَتَعَالَى : أذنَبَ عبدي ذَنباً ، فَعَلِمَ أنَّ لَهُ رَبّاً يَغْفِرُ الذَّنْبَ ،
وَيَأْخُذُ بالذَّنْبِ ، ثُمَّ عَادَ فَأذْنَبَ ، فَقَالَ : أيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي
ذَنْبي ، فَقَالَ تبارك وتعالى : أذنَبَ عبدِي ذَنباً ، فَعَلِمَ أنَّ لَهُ رَبّاً
، يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بالذَّنْبِ ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي فَلْيَفْعَلْ
مَا شَاءَ))
“Jika seseorang berdosa, lalu ia berdo’a : Ya Allah ampunilah dosaku,
maka Allah akan berkata: hamba-Ku berdosa dan ia sadar bahwa ada Allah yang
akan mengampuni dosanya. Lalu ia melakukan hal yang sama hingga ia berdosa
lagi, kemudian ia berdo’a : Ya Allah, ampunilah dosaku, maka Allah akan berkata
: hamba-Ku berdosa dan ia sadar bahwa ada Allah yang akan mengampuni dosanya.
Sungguh Aku telah mengampuni dosa-dosa hamba-Ku. Maka silahkan ia melakukannya
(selama ia tetap minta ampunan. Pen).[10]
[11]
Tentang sifat
Allah Yang Maharahman dengan
cakupan makna yang begitu
luas tersebut dapat kita temukan makna-makna serupa dalam al-Qur’an. Seperti
ayat-ayat berikut:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ
Kemudian Dia bersemayam di atas Arasy,
(Dialah) Yang Maha Pemurah, (QS al-Furqan [25]: 59)
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy. (QS Thaha [20]: 5).
Maksudnya bahwa Allah Yang Maharahman menyebar
rahmat-Nya dari wilayah mulia, yaitu Arasy. Dengan demikian, rahmat tersebut menyeluruh dan
mencakup semua mahluk. Salah satu contoh rahmat tersebut Allah tunjukkan pada
pergerakan burung yang mengepakkan sayapnya saat terbang. Bukti kasih sayang
dan kekuasaan Allah ini dijadikan sebagai argumen untuk orang-orang kafir agar
mereka mau beriman dan beribadah hanya kepada-Nya semata :
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ
وَيَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang
mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang
menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat
segala sesuatu. (QS al-Mulk [67] : 19).[12]
Artinya bahwa, untuk sekedar
bergerak saja, mahluk membutuhkan kasih sayang Allah Swt. Gerak dan diam yang
biasanya menjadi ciri kehidupan, ternyata membutuhkan rahmat Allah Swt. untuk
memfungsikannya dalam kehidupan ini.
Demikian pula semua gerak organ-organ
kita yang lain, yang berfungsi dengan baik dan sempurna sesuai program
yang telah dibenamkan Allah Swt. dalam fisik kita yang serba canggih dan
terkadang belum terpecahkan rahasianya oleh ilmu ilmu-ilmu sains modern.
Kalaulah bukan karena rahmat Allah maka tidak ada yang bisa berfungsi dengan
baik. Sekedar contoh, orang yang terserang penyakit strok, maka ia seolah
melupakan semua cara menggerakkan fisiknya dengan normal. Sehingga untuk
mengangkat kakinya saja tidak bisa, apalagi untuk mengarahkannya ke tempat
tertentu yang biasanya ia lakukan secara refleks ketika normal. Bahkan, untuk
kasus semacam ini, terkadang seseorang ingin ke kanan secara rasa dan pikiran,
tapi kakinya malah bergerak ke arah yang berbeda. Naudzbillah.
Di sinilah letak nikmat Allah yang
tidak akan pernah terhitung oleh jumlah dan angka-angka, yang seharusnya kita
syukuri sebagai manusia dengan kepatuhan terhadap perintah dan larangan-larangan-Nya. Karena itulah, Rasulullah senatiasa berpesan
kepada salah seorang sahabatnya bernama Muadz bin Jabal agar tidak pernah lupa
untuk membaca, “Ya Allah, mudahkanlah aku untuk mengingat dan mensyukuri segala
nikmatMu.” pada riwayat yang dilaporkan oleh Muadz bin Jabal r.a., bahwasanya
Rasulullah Saw. memegang tangannya lalu berkata,
« يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ
وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ ». فَقَالَ « أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى
دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ ».
“Wahai Muadz, demi Allah, saya mencintaimu.
Demi Allah, saya mencintaimu”. Beliau melanjutkan, “Saya menasehatimu wahai Muadz agar jangan
meninggalkan setiap kali selesai shalat untuk membaca: “Ya Allah, mudahkanlah
aku untuk senantiasa mengingat dan mensyukuri segala nikmat-Mu serta
memperbaiki kualitas ibadah kepada-Mu.” Muadz melanjutkan nasehat ini kepada
as-Shanabihiy, sedang as-Shanabihiy melanjutkan nasehat ini kepada Abu Abdul
Rahman.[13]
Untuk mengakses bentuk-bentuk rahmat
Allah yang begitu luas, Allah menunjukkan beberapa di antaranya dalam surah
ar-Rahman:
الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ
الْبَيَانَ (4) الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5) وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
(6) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
(8) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (9) وَالْأَرْضَ
وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ (10) فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِ (11)
وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ (12) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
(13)
(1). (Tuhan)
Yang Maha Pemurah, (2). Yang telah mengajarkan Al Qur'an. (3). Dia menciptakan
manusia, (4). Mengajarnya pandai berbicara. ( 5). Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (6). Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan
kedua-duanya tunduk kepada-Nya. (7). Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan). (8). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang
neraca itu. (9). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu. (10). Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk
(Nya). (11). di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak
mayang. (12). Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.
(13). Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan? (QS. Ar-Rahman [55] : 1-12) [14]
Salah satu bentuk kasih sayang Allah di dunia ini adalah sikap-Nya
sebagai Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemaaf. Sifat ini terangkum dalam 3 nama
yang sering dilekatkan sendiri oleh Allah terhadap diri-Nya. Ketiganya adalah al-Ghaffaar,
al-Ghafuur dan al-Afuww. Ketiga nama ini merupkan bentuk
kasih sayang Allah terhadap seluruh mahluk-Nya, terutama terhadap jin dan
manusia yang sering kali melakukan pelanggaran dan penentangan. Supaya nuansa
kasih sayang Allah makin terasa dalam jiwa dan raga kita, marilah kita mencoba
menelusuri kedalaman makna ketiga sifat Allah ini. Yang terpenting untuk
dipahami bersama sidang pembaca yang dirahmati Allah adalah bahwa jika sifat
ini hendak diurutkan berdasarkan kesempurnaan maknanya dan penggunaannya dalam
al-Qur’an maka susunannya seperti disebutkan sebelumnya. Sehingga sifat al-Afuww
menjadi yang terdalam dengan cakupan yang menyeluruh dan komprehensif. Setelah
itu adalah sifat al-Ghafuur kemudian menyusul sifat al-Ghaffar.
Kita mulai dari al-‘Afuww, lalu membandingkan sisi-sisi persamaan dan
perbedaannya dengan al-Ghaffar dan al-Ghafuur.
Allah Sebagai al-‘Afuww.
Kalimat
'afaa, secara bahasa –sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa kamus
bahasa Arab- memiliki dua makna. Pertama, memberi dengan penuh
kerelaan. Ini seperti ungkapan, "A'thaituhu min maali 'afwan",
maknanya: aku beri dia sebagian dari hartaku yang berharga dengan penuh
kerelaan tanpa diminta. Hal Ini senada dengan firman Allah Swt.
وَيَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
"Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang
lebih dari keperluan"." (QS. Al-Baqarah: 219) sehingga nafkah
itu dikeluarkan dengan penuh keridhaan karena memang tidak disiapkan untuk keperluan tertentu. Wallahu a'lam.
Kedua,
al-izalah (menghilangkan/menghapus). Seperti kalimat, "'Afatir riihu
al-atsara" artinya: angin telah menghilangkan/menghapus jejak. Contoh
nyata terdapat dalam catatan sirah nabawiyah (sejarah perjalanan hidup Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam) tentang perjalanan hijrah. Saat beliau
bersembunyi di gua Tsur bersama Abu Bakar, adalah Asma' binti Abu Bakar
membawakan makanan untuk keduanya. Maka terdapat dalam catatan:
فأمر غلامه أن يعفوآثار أقدام أسماء حتى لا
يعرف الكفار طريق النبي
"Maka
ia memerintahkan budaknya agar menghilangkan/menghapus jejak kaki Asma'
sehingga orang-orang kafir tidak tahu jalur yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam."
Sedangkan sebagai nama dan
sifat Allah, Al-’Afuww bermakna, zat
yang Maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat
tanpa harus diminta, sekali pun yang bersangkutan berhak mendapatkan siksaan.
Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat tetap (sifah
tsubutiyah) dan senantiasa terus-menerus ada pada zat Allah (yang Maha
Mulia). Pengaruh dan efek sifat-sifat ini senantiasa meliputi semua makhluk-Nya
dalam terangnya siang dan gelapnya malam. Karena sifat “memaafkan” dan “mengampuni”
yang dimiliki-Nya meliputi semua makhluk, seluruh dosa dan segala bentuk
perbuatan maksiat. Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan
manusia menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan. Akan tetapi pemaafan dan
pengampunan Allah menghalangi turunya siksaan tersebut. Allah Swt. berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ
اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ
وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ
أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia
disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas
permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan
(penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya”
(QS Faathir: 45).
Inilah
titik kesempurnaan sifat pemaaf Allah Swt, yang mana kalau bukan karena
pertimbangan kasih sayang dan pemaafan-Nya ini niscaya Dia tidak akan
meninggalkan dan membiarkan di atas permukaan bumi ini suatu makhluk melata pun
yang dapat hidup lebih lama dibanding tingkat pelanggaran dan dosanya.
Sifat al-‘Afuww (memaafkan) ini
mencakup dua macam kategori utama:
1) Yang pertama: pemaafan-Nya yang
bersifat umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang
kafir maupun selain mereka. Yaitu dengan tidak menimpakan siksaan yang telah
ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari
kenikmatan duniawi yang mereka rasakan. Padahal mereka menentang Allah dan mencela-Nya
dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, menyekutukan-Nya dan melakukan
berbagai macam penyimpangan. Namun demikian, Allah tetap memaafkan dengan
menangguhkan siksaa-Nya, memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam
nikmat duniawi; lahir dan batin kepada mereka semua. Makna ini sebagaimana Allah
Swt. berfirman,
وَمَا
أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu
maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Al-Syuura: 30)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata tentang ayat ini, “Apa saja yang menimpamu wahai manusia dari berbagai jenis
musibah, sesungguh itu disebabkan kesalahan-kesalahan yang telah engkau
lakukan. (dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)).
Maksudnya, dari kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga Allah tidak membalas
(menghukum) kalian karena kesalahan-kesalahan tersebut, tetapi Dia
memaafkanya.” Kemudian beliau menyebutkan firman Allah, “Dan kalau sekiranya
Allah menyiksa manusia karena sebab perbutan mereka, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun.” (QS.
Faathir: 45)
2) Yang kedua: Pemaafan dan pengampunan-Nya
yang bersifat khusus bagi orang-orang yang bertaubat, meminta ampunan dan
berdoa dalam rangka menghambakan diri kepada-Nya. Demikian pula bagi
orang-orang yang mengharapkan rahmat-Nya dengan musibah-musibah yang menimpa
mereka. Maka semua orang yang bertaubat kepada-Nya dengan taubat nashuh,
pasti Allah akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya. Baik dosa itu berupa
kekafiran, kefasikan maupun beragam maksiat lainnya. Semua dosa tersebut
termasuk dalam cakupan firman Allah Swt,
قُلْ ْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ
أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah:
Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS az-Zumar:
53).
Dengan
demikian, terdapat tiga kandungan makna dalam nama Allah “Al-'Afuww” ini.
Yaitu, menghilangkan dan menghapuskan, lalu ridha, kemudian memberi. Sehingga
Allah Swt. menghilangkan, menghapuskan dosa-dosa
hamba-Nya dan bekas-bekas dosa tersebut. Lalu Allah meridhai mereka. Kemudian
setelah meridhai, Dia memberi yang terbaik (maaf) tanpa mereka memintanya
sendiri.
Kata al-‘Afuww
merupakan bentuk yang lebih tinggi (sigah mubalaghah) dari kata ‘afwu
dan ‘aafiy. Karena al-‘Afuww berarti mengampuni setiap saat dan
setiap waktu. Jika kita sedang membaca al-Quran dan mendapati kata al-‘Afuww,
perhatikanlah bahwa kata ini selalu beriringan dengan dosa-dosa besar. Mungkin
karena makna inilah, Rasulullah Saw. mengajarkan ummatnya agar selalu berdoa di
malam lailatul qadar dengan menyebut nama al-‘Afuww ini. Diriwayatkan
dari Aisyah r.a., “ Aku bertanya, Ya rasul, bagaimana pendapatmu ketika aku
mengetahui bahwa malam itu adalah malam lailatul qadar, do’a apa yang mesti
kupanjatkan? ”Rasul pun mengucapkan doa:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ
كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“YaAllah, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mulia, Engkau jualah yang mencintai ampunan, maka ampunilah aku.” (HR. Tirmidzi, n0. 3513, an-Nasa’i, no. 7712. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab Shahih at-Tirmidzi).
“YaAllah, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mulia, Engkau jualah yang mencintai ampunan, maka ampunilah aku.” (HR. Tirmidzi, n0. 3513, an-Nasa’i, no. 7712. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab Shahih at-Tirmidzi).
Perbedaan antara al-'Afuww (Maha Pemaaf) dan al-Ghaffar
(Maha Pengampun)
Pada dasarnya, semua nama Allah sangat baik dan mengandung
makna-makna utama yang sangat dalam dan luas cakupannya. Kedua nama Allah yang
maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama Allah ‘al-Afuww
memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan” mengisyaratkan arti as-sitru
(menutupi), sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-mahwu
(menghapuskan) yang artinya lebih mendalam jangkauannya dalam penghapusan dosa.
Karena maghfirah adalah ampunan dosa, sekalipun dosa itu pada hakikatnya
masih ada. Dosa tersebut hanya ditutupi oleh Allah di dunia ini. Dan, di akhirat
nanti dosa itu juga ditutupi dari pandangan makhluk. Sehingga Allah tidak menyiksa
seseorang dengan dosa tersebut, walaupun dosa itu masih tetap ada.
Adapun maaf (al-‘Afuww), bermakna bahwa dosa yang dilakukan
hamba sudah tidak ada lagi. Seolah-olah, seorang pendosa tidak pernah melakukan
kesalahan apa pun dan di mana pun. Karena dosa itu telah dihilangkan dan
dihapuskan, sehingga bekasnya saja tidak lagi terlihat. Dilihat dari sisi ini, maka
pemberian maaf lebih istimewa dan lebih luas cakupan maknanya dibanding magfirah
(pemberian ampunan). Meskipun demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan
sendiri-sendiri, maknanya tetap mencakup keseluruhan arti tersebut.
Boleh jadi seseorang melakukan dosa-dosa kecil dan ia tidak banyak
ibadah di Lailatul Qadar, lalu ia datang pada hari kiamat dan mendapati Allah
sebagai Maha Pengampun (al-Ghafur). Sehingga nanti dosa-dosa itu akan
ditampakkan dan ia disuruh mengakuinya. Berbeda dengan orang yang -boleh jadi-
melakukan dosa besar, lalu ia bertaubat, giat ibadah di Lailatul Qadar, maka di
hari kiamat ia memperoleh maaf. Sehingga Allah sebagai Sang Maha Pemaaf (al-‘Afuww),
tidak lagi menyebutkan kesalahan-kesalahannya, karena sudah dihapuskan ketika
di dunia mau pun di akhirat. Adapun al-Ghafur (Maha Pengampun),
terkadang dosanya masih disebut dan ditampakkan, namun Allah
tidakmenyiksa/menghukum mukallaf karenanya.
Perbedaan kedua sifat ini, tampak lebih jelas dalam dua hadits
berikut ini: Pertama, hadits tentang datangnya seorang hamba pada
hari kiamat, lalu Allah Swt. berfirman kepadanya, "Wahai hamba-Ku,
mendekatlah!" Maka hamba tadi mendekat. Lalu Allah menurunkan tabir
penutupnya, dan bertanya padanya, "Apakah kamu ingat dosa ini? Apakah kamu
ingat dosa itu?" -Dan ini menunjukkan bahwa bekas dosa itu masih ada dalam
catatan amal-. Lalu hamba tadi menjawab, “Ya, masih ingat wahai Rabb.” Hamba
tadi mengira akan binasa. Lalu Allah berfirman padanya, “(Jangan khawatir)
karena Aku telah tutupi dosa itu di dunia, maka pada hari ini Aku beri ampunan
atas dosa –dosamu itu.” Ini adalah maghfirah
(al-Ghafuur / al-Ghaffar).
Sedangkan al-'Afuww (pemaafan atas dosa), maka Allah akan
berfirman pada hari kiamat kepada seseorang yang telah dimaafkan-Nya, “Wahai
fulan, Sesungguhnya Aku telah ridha kepadamu karena perbuatanmu di dunia, Aku
telah ridha kepadamu dan memaafkanmu, maka pergilah dan masuklah ke dalam
surga.”
Perbedaan antara al-'Ghafur dan al-Ghaffar
Menurut Imam Ghazali, al-Ghafuur adalah (يغفر الذنوب العظيم)
atau mengampuni dosa- dosa besar (kualitas dosa). Sedangkan al-Ghaffar
adalah (يغفر الذنوب الكثير) atau mengampuni dosa-dosa yang sangat banyak (kuantitas
dosa-dosa). Sehingga al-Ghafur lebih sempurna dan menyeluruh cakupan pengampunannya.
Ada juga ulama lain yang menjelaskan perbedaan kedua kata itu dengan menegaskan
bahwa al-Ghafuur adalah mengampuni dosa dari masa lalu hingga masa mendatang (من الماضي الى المستقبل), sedangkan al-Ghaffar mengampuni dosa dari masa kini hingga
masa mendatang (من الحاضر الى المستقبل)
Beberapa Bentuk Pengampunan dan Pemaafan Allah Swt.
Sebagai
bentuk dari sifat Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim, maka muncullah sifat
pengampun dan pemaaf-Nya. Dari kesemua sifat-sifat ini sehingga wujudlah
beberapa efek dan pengaruh langsung pemaafan dan pengampunan-Nya ini bagi ummat
Islam dengan memberikan keringanan dalam bersuci dengan tanah (debu) sebagai
pengganti air ketika tidak mampu menggunakan air (tayammum).
Termasuk dalam
cakupan dan bentuk pemaafan dan pengampunan Allah adalah saat Dia membukakan
pintu taubat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa. Bahkan
Dia sendiri menyeru mereka untuk bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi
dosa-dosa mereka. Juga termasuk bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah
bahwa seandainya seorang mukmin datang menghadap-Nya di akhirat nanti dengan
membawa beban dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan sepenuh bumi ini pula.
Termasuk
(bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa
menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Swt. berfirman,
إنَّ الحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk” (QS Huud:114).
Dan
Rasulullah Saw. bersabda, “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik,
maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk
tersebut”. HR at-Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad (5/153). Hadits ini dinyatakan
hasan oleh syaikh al-Albani.
Demikian
juga termasuk salah satu bentuk pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang
menimpa seorang hamba pada diri, anak maupun hartanya, itu semua akan berfungsi dan berperan dalam menghapuskan
dosa-dosa, khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala dari musibah tersebut
dan menunaikan sikap sabar dan ridha dengan takdir Allah Swt. yang menimpa
dirinya.
Dan
termasuk bentuk pemaafan-Nya yang begitu agung adalah bahwa hamba-Nya selalu
menentang perintah-Nya dengan melakukan berbagai macam maksiat dan dosa besar,
tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepada mereka. Lalu
kemudian Dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk bertaubat kepada-Nya, lalu
Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Swt. sangat bergembira dengan taubat
hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Padahal ketaatan orang-orang
yang taat tidak akan memberi manfaat bagi-Nya sedikit pun. Sebagaimana kemaksiatan
orang-orang yang berbuat maksiat tidak akan merugikan diri-Nya sama sekali. [15]
Sekian. Wallahu A’lam
[2] http://showbiz.liputan6.com/read/610300/hidup-mewah-6-artis-bollywood-tewas-bunuh-diri
[3] http://forum.detik.com/daftar-artis-terkenal-korea-yang-mati-karena-bunuh-diri-t295992.html
[4]
Pernyataan yang sama Allah tegaskan kembali pada ayat 85 pada surat at-Taubah.
[5] Namun
demikian, orang kafir dan pelaku maksiat tidak boleh merasa bahwa sikap Allah
dan kesabaran orang beriman itu adalah kelemahan dan bisa jadi membuat mereka
merasa tidak diawasi oleh Allah Swt. Jeda dan waktu yang diberikan, kalau tidak
diberdayakan untuk bertaubat, maka bahayanya lebih hebat lagi karena akan
menumpuk dosa dan maksiat. Firman Allah:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي
لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ
عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka
bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS Ali
‘Imran [3]: 178).
Senada dengan ayat di atas, Allah menegaskan kembali
dalam firman-Nya
وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلاً عَمَّا
يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ
الأَبْصَارُ مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُؤُوسِهِمْ لاَ
يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاء
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira,
bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim.
Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu
itu mata (mereka) terbelalak. mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan
dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati
mereka kosong. (QS Ibrahim [14]: 42-43).
[6] Lihat
misalnya akhir surat ath-Thariq ayat 15-17 yang menegaskan perintah Allah agar
memberikan jedah bagi oang-orang kafir yang membuat makar dan siksaan terhadap
kaum beriman di Makkah. Setelah itu, di awal surat al-A’la Allah memerintahkan
agar kaum muslimin yang dihina dan disiksa agar banyak bertasih. Lihat: At-Tafsir al-Maudhu’i Lisuari
al-Qur’an al-Karim, Tim Ahli Tafsir dan Ulumul Qur’an di bawah
supervisor: Prof. Dr. Musthofa Muslim,
(Universitas Sharjah), Jilid 9, cet., Th. 1431 H / 2010 M., hal. 109.,
sebagaimana dikutip dari karya al-Biqa’i, Nuzm ad-Durar fi Tanasub al-Aiy
wa as-Suar. Wallahu a’lam.
[8] Taisir al-Karim al-Rahman Fii Tafsir Kalam
al-Mannan, Syaikh Abdul Rahman Nashir as-Sa’di, (Dar as-Sunnah: Kerajaan Saudi
‘Arabiyah), cet. 1, th. 1425 H./2005 M., hal. 564.
[9] Lihat:
Tafsir Adhwa’ al-Bayan fi Iydhahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Syaikh Muhammad
al-Amin al-Syinqithy, (Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alam al-Fawaid), cet. 1, th.
1426 H, hal.49.
[10] HR
Bukhari dan Muslim.
[11] Untuk
lebih jauh mengenal luasnya ampunan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, terutama
terkait dengan ampunan, dapat dilihat pada tulisan kami yang berjudul: 1000
Jalan Menuju Taubat, (Penerbit al-Kautsar: Jakarta), cet.1, th. 1434. H. /
2013 M. Pada buku kami, Energi Spiritual al-Fatihah, (Penerbit: Dapur
Buku), cet.1, th. 2013, juga terdapat
ulasan lanjutan pada Bab 2 tentang
keagungan rahmat Allah.
[12] Lihat:
Tafsir Adhwa’ al-Bayan fi Iydhahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Syaikh Muhammad
al-Amin al-Syinqithy, (Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alam al-Fawaid), cet. 1, th.
1426 H., hal.48.
[13] HR Abu
Daud, Bab: al-Istigfar, no.1524. HR. Ahmad bin Hanbal, no. 947 dalam
kitab Musnad-nya, Bab: Hadits Muadz bin Jabal.
[14] Analisa
ringkas tentang kandungan rahmat dan kasih sayang Allah dalah surat ar-Rahman
akan kita ulas bersama pada entri khusus di buku ini insya Allah.
[15] Diolah
dari beragam sumber: al-‘Afuww: yang Maha Pemaaf, Badru Tamam, http://www.fiqhislam.com/index.php?,
al-‘Afuww, Yang Maha Pemaaf, Abdullah Taslim, Lc., M.A., http://muslim.or.id/aqidah/al-afuw-yang-maha-pemaaf.html,
Perbedaan Maaf dan Ampunan Allah, http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2013/07/30/26079/perbedaan-maaf-ampunan-allah,
Perbedaan al’Afuww, al-Ghaffar dan al-Ghafur, Novita Ungu, http://novitaungu.blogspot.com/2013/07/perbedaan-al-afuww-al-ghafur-dan-al.html.
0 komentar:
إرسال تعليق