By. Idrus Abidin.
Banyak
pedalaman yang telah dihuni manusia, tanpa ada sekolah, tak ada rumah
sakit dan tak ada pasar. Namun, tidak ada pedalaman yang telah dihuni
manusia tanpa tempat ibadah. Artinya, ibadah merupakan kebutuhan fitrawi
manusia. Bahkan, ibadah merupakan kebutuhan eksistensial dan tujuan
dari adanya wujud ini. Demi mendapatkan kebaikan dan terhindar dari
keburukan, ibadah menjadi kebutuhan dasar manusia agar senantiasa
terhubung dengan sumber segala kebaikan dan tameng seluruh keburukan ;
Allah Ta'ala.
Allah Maha Kaya; Tak Butuh Ibadah Manusia.
Manusia
tak hidup hatinya tanpa iman. Maka iman adalah tuas pengungkit ibadah.
Iman bertumpu pada masalah-masalah ghaib. Sedang hal ghaib yang paling
ghaib adalah Allah dan hari akhirat. Surga, neraka, kuburan, pahala,
dosa, malaikat, jin, setan dll adalah masalah ghaib yang masuk dalam
pembahasan iman. Untuk semua itu Allah menurunkan kitab suci, mengutus
rasul, menugaskan malaikat, menjelaskan akhirat, qadha dan Qadar dll.
Allah mengurus semua kebutuhan seluruh makhluk tanpa ada kebutuhan
kepada mereka. Semua itu dilakukan oleh Allah murni sebagai wujud rasa
cinta dan bentuk kasih sayangNya pada semua makhluk. Di saat yang sama,
manusia menyembah Allah karena besarnya kebutuhan mereka padaNya. Maka
tak heran, ahli spiritual seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyah pernah
berucap, "Bukanlah sesuatu yang istimewa dan mengagumkan jika manusia
menyembah Allah, karena memang manusia sangat butuh padaNya. Tapi yang
sungguh mengagumkan dan istimewa adalah ketika Allah mengurus seluruh
makhlukNya, padahal Allah sendiri tidak membutuhkan mereka semua."
Matahari Menyinari, Tanpa Butuh Apa pun Dari Manusia.
Layaknya
matahari menyinari bumi, tapi matahari sendiri tak butuh apa pun dari
bumi. Namun bumilah yang butuh pancaran sinar matahari, mengharap
terangnya bulan, menunggu kucuran hujan. Maka jangan heran, dengan bekal
cinta dan kasih sayang, seorang ibu mampu mengurus belasan anak. Tapi
belasan anak tak mampu mengurus walau hanya seorang ibu. Itulah rahasia
cinta dan makna dari sebuah pengorbanan. Jika makhluk Allah saja
demikian, tentu Allah jauh lebih dari itu. (Qiyas Aulawi).
Contoh
lain, jika kita butuh ahli bangunan untuk sebuah proyek. Sedang kita
mengetahui adanya 2 atau beberapa ahli bangunan yang handal. Namun, dari
sekian ahli bangunan yang ada, ada seorang ahli bangunan yang tak
tertandingi karena keahliannya. Sementara biaya dan ongkos kerja mereka
sama, lalu kita lebih memilih ahli bangunan yang mana?! Tentu kita
memilih yang paling ahli; kata-katanya didengar, tuntunannya dipenuhi,
sekali pun menuntut biaya, waktu dan pengorbanan lebih dari kita. Semua
itu menunjukkan bahwa mencari sesuatu yang sempurna, terutama dalam hal
Tuhan yang pantas disembah, merupakan fitrah suci manusia. Jika
demikian, lalu bagaimana dengan Allah yang maha sempurna, baik diri sisi
perbuatan, sifat, nama dan zatNya. Maka, pantaslah jika kita menerima
sepenuhnya apa pun yang dipilih untuk kita (Islam dan semua syari'atNya)
dan tujuan hidup (ibadah dan tawakkal) yang telah ditentukan sebagai
arah dan fokus hidup kita. Karena Dialah zat paling sempurna dari sisi
karakteristik pribadi (sifah zatiyyah) seperti hidup yang tak mengenal
kematian, ilmu yang tak dibatasi oleh kebodohan, kekuasaan yang tak
mengenal kelemahan, kasih sayang yang tak mengenal kezhaliman. Dia pula
yang zat yang paling sempurna dari sisi karakteristik perbuatan (sifat
fi'liyah) seperti mengampuni jika Dia mau, mengazab bila Dia mau,
menerima taubat mereka-mereka yang pantas, mengadili mereka yang pantas
untuk diadili. Jika Allah demikian sempurnaNya, pantaskah kita cuek
terhadap perintahNya dan tidak peduli pada semua laranganNya?!
Ibadah; Bentuk Ihsan Allah kepada Makhluk.
Dengan
ibadah, manusia senantiasa menjaring semua jenis kebaikan dari Allah.
Karena mereka yang senantiasa beriman, beribadah, taat dan patuh penuh
cinta akan mendapatkan kucuran karunia dan kasih sayang lebih dari Allah
(Ihsan dan rububiyah khusus). Itulah makna rahim Allah. Namun, mereka
yang tidak taat dan tak patuh, apalagi jauh dari cinta Allah, cukup bagi
mereka karunia material. Wahyu, rasul, mubaligh dan semua karunia
hidayah, di akhirat kelak hanya menjadi bumerang. Karena mereka tidak
berkembang secara spiritual. Mereka hanya mengenal Allah sebagai Rabb
yang dimintai fasilitas duniawi. Tapi Allah sebagai Zat yang harus
disembah; dicintai, diharap dan ditakuti azabNya, tidak dipedulikan sama
sekali. Padahal itulah rahasia wujud dan tujuan keberadaan makhluk di
dunia ini.
Dengan
IhsanNya, Allah terus menerus menebar manfaat dan menjauhkan bahaya dari
semua makhlukNya. Karena di antara bentuk kesempurnaan Allah adalah
terwujudnya semua bentuk kesempurnaan dan keagungan sifat dan namaNya
itu pada diri semua makhluk. Jika semua makhluk tunduk patuh padaNya
dengan penuh rasa cinta, tanpa adanya pilihan dan kebebasan; tentu efek
dan pengaruh kesempurnaan itu tidak terjadi pada diri mereka. Bila semua
makhluk tak ada yang berdosa, tidak ada yang zhalim dan tidak ada yang
menyimpang, lalu bagaimana bisa kita mengetahui kasih sayang, ampunan,
kelembutan dan keadilan sang maha pencipta?! Bila tidak ada yang taat
dengan tingkat tertinggi layaknya para nabi dan rasul, lalu dari mana
kita mengetahui hidayah khusus, kasih sayang lebih dan hidayah Taufik
yang ditebar Allah kepada mereka?! Bahkan, para nabi dan rasul itu
diproteksi dari kesalahan-kesalahan dan dosa (ma'sum) sebagai bentuk
karunia khusus Allah bagi manusia terpilih dan layak untuk itu.
Ibadah, Jalan Kesempurnaan dan Kebahagiaan Manusia Satu-Satunya.
Itulah
cara Allah memuliakan hamba-hambaNya yang taat dan patuh penuh cinta.
Itulah hamba yang amanah dalam setiap pilihan-pilihan mereka. Amanah
yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan pegunungan. Namun mereka
semua menolak amanah itu dan manusialah yang menerimanya. Yaitu, amanah
untuk memilih antara taat atau maksiat. Memilih yang halal di saat ada
peluang memilih yang haram. Memilih jujur manakala ada peluang
berbohong. Memilih benar saat ada peluang bersalah. Sebuah amanah yang
berat untuk dipertanggungjawabkan secara penuh dan dilaksanakan dengan
sempurna. Namun manusia menerimanya sekalipun sadar sangat berat untuk
memenuhi tuntutan-tuntunannya. Karena mereka adalah makhluk lemah dari
sisi ilmu dan semangat. Sehingga kesalahan mutlak terjadi. Maka, manusia
berusaha untuk meminimalkan kesalahan dengan selalu berdoa agar
diarahkan, dibimbing, dibantu, ditunjuki, diurusi oleh Allah sang maha
pembimbing dan maha pengarah (Maulanaa). Manusia terus memohon ampunan,
meminta perkenaan dan keridhaan sang pencipta langit dan bumi. Tentunya
disertai pengangungan, pujian, sanjungan dan pemuliaan kepada zat yang
maha agung, maha terpuji, maha tersanjung dan maha mulia.
Jika
saja seorang raja/ presiden mengurus rakyatnya dengan penuh kasih
sayang, disertai keadilan, dibuktikan dengan tersebarnya kemakmuran,
lalu kira-kira apa yang pantas dilakukan oleh rakyat terhadap presiden
dan rajanya kalau bukan pujian, sanjungan, penghormatan dan
penghargaan?! Sehingga kesimpulannya bahwa Allah menyuruh kita ibadah
sama sekali bukan karena butuh pada hambaNya, tapi murni karena tabiat
hubungan kita denganNya menuntut hal demikian. Maka, tak mengherankan
jika tabiat hubungan itu berupa pernyataan penghambaan secara total
dengan ucapan iyyaka na'budu (hanya Engkau yang kami sembah) dan
kebutuhan total kepadaNya dengan ucapan iyyaka nasta'in (hanya kepadaMu
kami minta bantuan). Itulah rangkaian tugas utama manusia yang
menunjukkan ketergantungan mereka kepada Allah secara total; ibadah dan
tawakkal. Semoga kita amanah dalam ibadah dan tawakkal serta jauh dari
khianah pada keduanya. Aamiin.
Depok, 28 Februari 2019
Ikuti update status nasehat dari kami via :
1. FB : Idrus Abidin
2. Blog :http://idrusabidin.blogspot. com/?m=1
3. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
0 komentar:
Post a Comment