KAREKTERISTIK
TINGKATAN MENENGAH (MUKMIN/MUQTASHID) KAUM BERIMAN
Makalah Ini Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu:
Idrus Abidin, Lc, M.A.
Nama : Muhammad Qayyim Aljauzi
NIM : 0822008
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH AL MANAR
TAHUN AJARAN 2023-2024
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad ﷺ
yang kita nanti-natikan syafa‟atnya di akhirat nanti.
mengucapkan
syukur kepada Allah ﷻ atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah penulis sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu
Tasawuf dengan judul “KAREKTERISTIK TINGKATAN MENENGAH
(MUKMIN/MUQTASHID) KAUM BERIMAN”
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Jakarta , 12 November 2023
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C. Tujuan.................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Apa yang dimaksud tingkatan menengah (mukmin/muqtashid)?.......... 2
B. Bagaimana karakteristik tingkatan menengah (muqtashid)?................. 3
1. Rajin belajar agama......................................................................... 3
2. Bertaubat sesegera mungkin............................................................ 4
3. Sukses duniawi dan ukhrawi........................................................... 5
4. Husnul khatimah, nikmat tiada tara................................................ 6
C.
Potensi surga tingkatan menengah...................................................... 7
BAB
II I PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 8
B. Saran...................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam beragama sudah mestinya seseorang itu harus mengetahui
hakikat dari beragama tersebut. Terlebih dalam menjalankan ajaran Agama Islam.
Karena Agama adalah tuntunan dalam kehidupan yang paling efesien dalam mengubah
segala aspek kehidupan seseorang. Dan didalam beragama, seseorang itu harus
mendahulukan dalil ketimbang akal pikirannya. Karena ladasan dalam beragama
sudah jelas, yaitu wahyu yang diturunkan oleh Allah ﷻ baik melalui firman-Nya
langsung (Alquran) atau melalui lisan Nabi Muhammad ﷺ (Hadits).
Kemudian setelah ia mengetahui hakikat dari beragama tersebut,
barulah ia menentukan tingakatan dirinya dalam beragama tersebut. Apakah ia
masih di tingkatan muslim pemula atau sudah beranjak ke tingkatan mukmin
menengah, bahkan sampai ketingkatan muhsin profesional. Karena
tingkatan-tingkatan ini sangat menentukan dalam kehidupan seseorang agar
menjalankan Agama dengan sebaik-baik mungkin.
Dan untuk bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam beragama, yaitu
mukmin profesional, seseorang tersebut harus melalui tahapan-tahapan dalam
beragama. Dan ketika seseorang tersebut menjalankan agama dengan baik sesuai
tuntunan syariat, maka secara tidak langsung ia telah mulai menaiki
tingakatan-tingkatan tersebut. Yang berujung kepada tingkatan mukmin
professional. Yaitu ia telah sampai puncak keimanan diatas kebanyakan orang.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud tingkatan menengah (mukmin/muqtashid)?
2. Bagaimana karakteristik tingkatan menengah (muqtashid)?
a.
Rajin Belajar Agama
b.
Bertaubat Sesegera Mungkin
c.
Sukses Duniawi dan Ukhrawi
d.
Husnul Khatimah, Nikmat Tiada Tara
3. Potensi surga tingkatan menengah
C. Tujuan
Makalah
ini di buat agar para pembaca mengetahui tingkatan-tingkatan
dalam beragama islam dengan baik dan benar. Dan agar
penulis dapat mengetahui dimana posisi
tingkatan dalam keimanan terhadap ajaran-ajaran agama islam. Sehingga
akan tercipta manusia selalu merasa
diawasi oleh Allah ﷻ
BAB II
PEMBAHASAN
A. Apa Yang Dimaksud Tingkatan
Menengah (Mukmin/Muqtashid)?
Jika kaum muslimin memiliki pemahaman Islam yang baik dan semangat
beramal yang kondusif, mereka berpotensi untuk naik ke tangga kedua keimanan
dan tangga pertama ketakwaan. Tingkatan muqtashid ini diambil dari firman Allah
ﷻ dalam Alquran Surah
Fathir ayat 32.
ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَا
دِنَا فَمِنْهُمْ ظَا لِمٌ لِّنَفْسِه وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَا بِقٌ بِۢا لْخَيْرٰتِ بِاِ ذْنِ اللّٰهِ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُ
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka
ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar."(QS. Fatir 35: Ayat 32)
Muqtashid adalah orang-orang yang mengimani
pilar-pilar (rukun iman) dengan baik dengan melakukan taqarrub kepada Allah ﷻ, denagn upaya menjalankan kewajiban yang ditetapkan Allah ﷻ kepadanya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.[1].
Mereka seringkali sibuk dengan hal-hal yang mubah dan makruh, namun segera
bertaubat jika merasa adanya pelanggaran dan dosa.
Dan juga pengertian yang lain adalah orang-orang yang hanya
melakukan hal-hal yang diwajibkan kepadanya dan meninggalkan yang diharamkan[2].
Intinya adalah tingkatan mutqashid ini adalah tingakatan orang-orang memiliki
ilmu agama yang mendasar, sehingga ia ketika melakukan kesalahan, kekhilafan,
maka ia bersegera mungkin untuk bertaubat kepada Allah ﷻ.
B. Bagaimana Karakteristik
Tingkatan Menengah (Muqtashid)?
Ada beberapa karakteristik orang-orang yang sudah mencapai
tingkatan menengah (muqtashid). Dan seorang mukmin haruslah mengetahui
karakteristik-karakteristik ini dengan seksama. Supaya ketika ada salah satu
atau seluruh karakteristik ini, maka ia mengetahui tingkatan keimanannya pada
saat ini. Dan dengan itu pula ia akan mengupgrade tingakatan keimanannya
menjadi tingkatan yang tertinggi, yaitu muhsin (professional).
Karakteristik-karakteristik nya adalah sebagai berikut :
1.
Rajin Belajar Agama
Belajar adalah syarat mutlak bagi
siapa saja yang hendak memperbaiki kualitas dan kapasitas pribadinya. Belajar tidak selamanya harus melalui
jalur formal, tetapi juga bisa melalui belajar mandiri atau autodidak. Sesuai
dengan sabda Nabi ﷺ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. (HR. Tirmidzi)[3]
Kalimat طريقا menunjukkan nakiroh, yang berarti bersifat umum. Jadi ketika seseorang menuntut ilmu dengan cara apapun, maka ia termasuk dalam hadits ini. Meski demikian, Islam senantiasa mengharapkan umatnya untuk berguru kepada orang yang mempunyai otoritas pemahaman agama dan akhlak yang baik. Objek pertama dan utama dalam islam adalah Allah ﷻ.
Oleh karena
itu Sufyan Ibnu Uyainah ketika ditanya tentang urgensi ilmu, beliau menjawab,
“Tidaklah engkau perhatikan firman Allah berikut”.
فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا
ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu. (QS. Muhammad (47): 19)
Pada ayat ini Allah menyatakan memerintahkan kita agar berilmu dulu sebelum beramal. Maksudnya adalah sebelum beramal -berupa istighfar-, Allah menyuruh kita mengenal keangungan-Nya terlebih dahulu, sehingga kita sadar akan segala kelemahan yang memaksa diri kita untuk beristighfar.
Itulah yang harus kita pahami dan kita
laksanakan agar kita bisa menaiki tengga kedua keimanan, yang merupakan tangga
pertama dalam ketakwaan. Semoga kita senantiasa diberi taufik dan hidayah oleh
Allah ﷻ
untuk senantiasa berada di jalur ilmu dan iman sehingga kita berhak melewati
jalur keimanan dan ketakwaan.
2.
Bertaubat Segera Mungkin
Tidak ada di dunia ini orang yang
suci dari dosa (ma’shum) kecuali para nabi dan rasul. Bedanya kelompok ini dengan kelompok
pertama (zhalim) adalah, ketika seseorang melakukan dosa atau
kekhilafan, maka ia langsung bersegera untuk bertaubat kepada Allah ﷻ.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ yang di riwayatkan dari
sahabat Anas Ibnu Malik Al-Anshori
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Semua bani
Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang
segera bertaubat.[4]
Maka ketika
seseorang melakukan dosa, sudah semestinya ia harus bersegera mungkin untuk
bertaubat kepada Allah ﷻ dengan banyak beristighfar, bersedakah, dan
amal sholeh lainnya. Karena amal sholehlah yang bisa mengugurkan segala dosa
atas kehendak Allah ﷻ. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اتَّقِ
اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
وَفِيْ بَعْضِ النَّسَخِ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda: ”Bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala di
manapun engkau berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan
itu akan menghapusnya (kejelekan). Dan pergaulilah manusia dengan pergaulan
yang baik.” (HR. Tirmidzi), dan ia berkata bahwa hadits ini hasan. Di sebagian
naskah hadits hadits ini hasan shahih[5]
Maka karakteristik inilah yang harus kita jaga. Karena setiap
manusia ini penuh dengan dosa dan hanya Allah lah yang bisa mengampuni segala
dosa kita. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni dosa-dosa
kita. Amin.
3.
Sukses Duniawi dan Ukhrawi
Kebanyakan orang seringkali menilai bahwasanya
yang dianggap sukses itu adalah dalam masalah dunia semata, seperti : memiliki
banyak uang, rumah mewah, mobil mewah, dll. Padahal kesuksesan
yang hakiki itu adalah sukses di akhirat kelak. Karena akhirat adalah tempat
yang abadi, sedangkan dunia sifatnya adalah sementara. Allah ﷻ berfirman
مَا عِندَكُمْ
يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ
Artinya: Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi
Allah adalah kekal. (QS. An Nahl (16): 96)
Maksud nya adalah apa yang ada di sisi kalian berupa harta benda
dunia akan lenyap. Sedangkan apa yang ada di sisi Allah bagi kalian berupa
rizki, dan pahala, tidak akan pernah sirna.[6]
Oleh sebab itu tujuan utama kita adalah mengejar akhirat tanpa melupakan dunia.
Sebagaimana firman Allah ﷻ
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا
تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ
وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS. Al-Qashash (28): 77)
Oleh sebab itu, bagi orang-orang yang sudah berada di tingkatan
menengah ini, ia bisa meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Tetapi yang harus
digarisbawahi adalah ia tetap menjadikan akhirat tujuan utamanya, karena tidak
ada yang lebih indah ketimbang segala hal yang ada di akhirat kelak. Semoga
Allah mudahkan kehidupan kita di dunia dan di akhirat.
4.
Husnul Khatimah Nikmat Tiada Tara
Husnul khatimah diambil dari dua kata, yaitu “Husnul” yang berarti baik, dan “Khatimah” yang berarti penutup. Jadi maksud dari husnul khatimah adalah akhir penutup hidup yang baik. Sedangkan lawan katanya adalah “Suul Khatimah” yaitu akhir penutup hidup yang buruk -nauzubillah min dzalik-. Husnul khatimah adalah adanya taufik dari Allah ﷻ kepada seseorang menjelang kematiannya, sehingga ia jauh dari segala perbuatan yang menyebabkan datangnya murka Allah ﷻ.[7]
Meninggal
dunia dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan
beriman. Karena seseorang apabila meninggal dalam keadaan husnul khatimah ia
akan mendapatkan lautan nikmat, rasa aman, dan ancaman di alam barzakh maupun
akhirat kelak. Para ulama telah menyebutkan beberapa tanda orang yang
mendapatkan husnul khatimah.
a. Mengucapkan Syahadat Menjelang
Meninggal
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang artinya : “Dari Muadz bin Jabal h, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat La ilaha illallah, ia akan masuk surga’”[8]
b. Meninggal dengan Keringat yang Membasahi Dahi
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ dari sahabat
Buraidah bin Hushaib h, bahwasanya
ketika ia sedang berada di wilayah khurasan untuk menjenguk saudaranya yang
sedang sakit, ia mendapati saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan
berkeringat pada bagian dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah
mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Meninggalnya seorang
mukmin dengan keringat di dahi.’” [9]
Dan masih banyak lagi tanda-tanda orang yang meninggal dalam
keadaan husnul khatimah. Maka oleh sebab itu minta kepada Allah agar kita
diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah. Tidak ada hal yang lebih indah
ketimbang wafat dalam keadaan terbaik, yaitu husnul khatimah.
Itulah beberapa karakteristik orang-orang yang berada pada
tingkatan menengah (muqtashid). Semoga sifat-sifat tersebut ada pada
diri kita semua. Amin.
C.
Potensi Surga Tingkatan Menengah
Jika seseorang
meninggal dalam keadaan tetap pada keimanannya, ia memiliki potensi yang sengat
besar mendapatkan kenikmatan surga. Dengan
demikian apabila seseorang yang berada pada tingkatan menengah ini (muqtashid)
maka yang harus ia pertahankan adalah keistiqomahan dalam beramal. Karena nilai
istiqomah ini sangatlah mahal. Allah ﷻ berfirman dalam Alquran Surah Fushilat
ayat 30
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ
ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟
وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS.
Fushilat (41): 30)
Dan juga sabda Nabi ﷺ terkait istiqomah. Amalan yang paling Allah cintai adalah amalan
yang sedikit tapi berkesinambungan.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا
وَإِنْ قَلَّ
Dari Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (dilakukan)
meskipun sedikit.[10]
Maka oleh sebab itu ini adalah motivasi untuk senantiasa
menjalankan ajaran islam dengan keistiqomahan, dan untuk memecut orang-orang
yang masih berada di tingakatan pemula (zhalim) agar bisa menaiki
tingakatan orang yang beriman (muqtashid). Dan setelah kita berada
ditingkatan ini, tugas kita belum selesai. Karena masih ada tingkatan yang
harus kita capai, yaitu tingkatan professional (muhsin).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya setiap muslim itu ada kesempatan untuk memperbaiki dirinya
untuk lebih baik lagi. Tapi yang menjadi permasalahannya adalah rasa malas yang
selalu menghantui dirinya. Oleh sebab itu hal yang harus pertama sekali
dihilangkan dari diri seseorang adalah sifat pemalas ini.
Ketika telah berhasil menghilangkan rasa malas dalam dirinya, barulah ia
memulai dengan belajar dasar-dasar dalam agama islam. Karena segala sesuatu itu
harus didasari dengan keilmuan, supaya tidak salah melakukan suatu hal. Apalagi
dalam permasalahan agama, sudah mestinya belajar agama dengan giat, dan tekun.
Dan pada akhirnya, kita bisa melalui tingkatan-tingkatan dalam keimanan. Yang dimulai dari tingkatan pemula (zhalim), kemudian menengah (muqtashid), dan yang terakhir professional (muhsin).
Menyadari bahwa penulis masihn jauh
dari kesempurnaan, diharapkan kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail
dalam membuat makalah ini berdasarkan sumber sumber yang lebih banyak dan dapat
di pertanggungjawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Idrus Abidin, Jalan Takwa, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta :
Amzah, 2015.
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia, https://tafsirweb.com/4444-surat-an-nahl-ayat-96.html.
Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad bin Hambal.
Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi,
Sunan Ibnu Majah.
[1]
Idrus Abidin, Jalan takwa, Ed 1, Cet. 1, Jakarta : Amzah, 2015, hal 132.
[2]
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14
H. https://tafsirweb.com/7898-surat-fatir-ayat-32.html.
[3]
HR. Tirmidzi, no. 2646.
[4]
HR. Ibnu Majah, no. 4251, Tirmidzi, no. 2499 dan Imam Ahmad, no. 13049.
[5]
HR. Tirmidzi, no. 1987.
[6]
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia,
https://tafsirweb.com/4444-surat-an-nahl-ayat-96.html.
[7]
Idrus Abidin, Jalan takwa, Ed 1, Cet. 1, Jakarta : Amzah, 2015, hal 181.
[8]
HR. Ahmad, no. 21529, Abu Daud, no. 3116.
[9]
HR. Tirmidzi, no. 982, An-Nasai, no. 1828, dan Ibnu Majah, no. 1452. Dengan
hukum hadits shahih.
[10] HR. Muslim, no. 783, dan Bukhari, no. 6465.
0 komentar:
إرسال تعليق