Wednesday, January 25, 2012

HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN INTELEKTUAL INDONESIA

 
Oleh : Idrus Abidin

PENDAHULUAN
Tradisi interpretasi kitab suci adalah sesuatu yang mapan dalam diskursus keagamaan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari upaya masing-masing pemeluk agama untuk memahami lebih baik kandungan kitab suci masing-masing. Dalam sejarah Yunani kuno, hermeneutika dianggap sebagai sebuah media yang digunakan untuk memahami buku-buku sastra dan teks-teks keagamaan. Lalu sesuai perkembangannya, kaum Yahudi juga memanfaatkannya dalam rangka menginterpetasi Perjanjian Lama. Hal serupa juga belakangan diikuti oleh teolog Kristen dan berupaya memberdayakan hermenutika dalam diskursus Bibel studies. Dalam tradisi Kristen inilah berkembang wacana hermeneutika dari pase teologi menuju pase rasionalisasi dan kajian filosofis. Lalu dengan kajian yang dikembangkan oleh Friedrich Schliermacher, hermeneutika menjadi kajian bernuansa filsafat yang dari sisi teoritis dimanfaatkan untuk memahami berbagai teks dari beragam bentuk.
Dalam wacana keislaman, kajian hermeneutika mulai mendapatkan apresiasi dari beberapa ilmuan Muslim yang melihat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan dari teori hermeneutika. Munculnya ilmuan seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, dll sangat berperan dalam mentransformasikan kajian hermeneutika terhadap qur’anic stadies. Melalui merekalah dunia Islam mulai mengenal tradisi interpretasi Bibel dari para ahli hermeneutika seperti Friedrich Schliermacher, Habermas, Wilhem Dilthey, Paul Ricour, hingga Gadamer.
Dalam lingkup Indonesia, hadirnya kajian Hermeneutika di tingkat universitas juga merupakan penomena baru sehingga muncul perdebatan di kalangan intelektual Muslim mengenai keabsahan hermeneutika sebagai alat interpretasi, baik dari pihak pro maupun pihak yang kontra. Makalah ini berupaya mendiskripsikan dan menganalisa faktor-faktor yang diperdebatkan oleh intelektual Muslim Indonesia seputar keabsahan hermeneutika sebagai media penafsiran teks-teks al-Qur’an.

 TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIKA.
Setidaknya terdapat tiga istilah penting yang perlu disandingkan dalam upaya untuk melihat wacana yang digunakan oleh para ahli dalam mendekati pemaknaan teks kitab suci. Dalam tradisi Islam, tafsir dan ta’wil adalah dua peristilahan yang lahir dan berkembang dalam sejarah interpretasi al-Qur’an. Keduanya sering disandingkan dalam rangka menggambarkan hasil penelusuran terhadap makna sebuah ayat dalam al-Qur’an. Di samping itu, dalam tradisi Kristen, hermeneutika merupakan media interpretasi yang digunakan untuk mengungkap makna-makna yang terkandung dalam Bibel.
Ta’wil adalah kata benda yang terderivasi dari bentuk kata kerja lampau awwala yang berarti kembali kepada kondisi semula (sebenarnya). Dari sisi literalnya, kata ta’wil mengandung makna ; menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, menjelaskan, menggambarkan dan menerjemahkan. Sementara berdasarkan penelusuran terhadap penggunaan kata ini dalam al-Qur’an yang terulang sebanyak 17 kali ditemukan makna-makna seperti :
·           Pemecahan makna sesuatu yang bersifat simbolik seperti mimpi atau penjelasan tentang hasil akhir dari sebuah proses. Makna ini ditemukan pada akhir pertemuan Yusuf dengan kelurganya kembali, saat di mana Yusuf telah menjadi pejabat penting di lingkup kerajaan Mesir ketika itu. Di hadapan ayahnya ia mengatakan, sebagaimana pemaparan al-Qur’an, “inilah maksud (ta’wil) mimpiku sebelumnya”.(QS Yusuf : 100 )
·           Berita-berita mengenai kejadian sebuah perkara sebelum perkara tersebut terjadi secara faktual. Makna ini digunakan pada surah Yusuf terkait dengan ta’wil mimpi sahabat yang ikut bersamanya dalam penjara (QS. Yusuf : 37). Senada dengan makna ini, kisah pertemuan dua hamba yang shaleh, Musa dan Khidir. Ketika itu, Khidir merusak perahu, membangun kembali tembok yang runtuh, dan membunuh anak kecil. Perbuatan demikian tidaklah lazim dalam horizon pemikiran nabi Musa sehingga mengajukan keberatan kepada Khidir. Setelah dijelaskan dengan seksama oleh Khidir, Musa pun mengerti dan tidak lagi merasakan adanya keganjilan yang dirasakan sebelumnya. Di sini, Khidir menggunakan kata ta’wil sebgai penjelasan dari perbuatannya tersebut. Sehingga dalam pengertian ini, ta’wil dimaknai sebagai sebuah upaya pengungkapan makna-makna yang tersembunyi di balik sebuah perbuatan nyata.
·           Menyertai sesuatu dengan tindakan  pengaturan dan perbaikan agar sampai ke maksud dan tujuan akhirnya. Dalam hal ini, firman Allah seperti, “Itulah yang lebih baik dan lebih utama ta’wilnya (akibatnya) bagimu”. (QS. Al-Israa : 35).[1]
Sedangkan kata tafsir, dari sisi etimologi berarti penjelasan dan penerangan. Kata ini merupakan hasil pengembangan lebih lanjut dari kata al-fasr yang bermakna penjelasan dan pengungkapan sesuatu. Selain itu, mufassir juga melihat bahwa kata tafsir berasal dari kata al-safar yang mengandung arti perpindahan dan perjalan. Dalam kamus leksikal dikatakan bahwa al-fasr bermakna penerangan dan pengungkapan sesuatu yang tersembunyi. Dalam tradisi Arab sendiri, kata ini mengadung dua bentuk penggunaan. Dari satu sisi, kata ini digunakan untuk menunjukkan makna pengungkapan sesuatu secara nyata. Sedang dari sisi yang lain, kata ini mengandung pengungkapan makna sesuatu yang abstrak seperti dalam hal mimpi.
Jika melihat bagaimana penggunaan kata al-fasr sebagaimana terdapat dalam kamus leksikal klasik, Lisan al-Arab ditemukan bahwa arti dasarnya adalah pengamatan dokter terhadap air. Sedang kata al-tafsirah digunakan untuk menunjuk air kencing yang digunakan sebagai media oleh dokter untuk meganalisa jenis penyakit yang diderita oleh seorang pasien. Dengan demikian, dalam kata al-fasr ditemukan dua unsur penting, yaitu air sebagai objek penelitian dan aktifitas penelitian sendiri yang dilakukan oleh sang dokter. Dalam materi safara, ditemukan banyak arti yang tersimpul pada makna perpindahan dan perjalanan. Dari makna ini muncul kata penampakan dan penyingkapan. Orang yang sedang melakukan perjalanan jauh disebut musafir karena mereka melepas penutup hidungnya ketika telah sampai ke tempat tujuan. Kata asfara al-qaum berarti bahwa sebuah kelompok telah tiba pada waktu pagi. Dari kata ini muncul  pula kata safir, yaitu utusan, atau pun dalam bahasa moderen disebut sebagai duta. Di samping itu, makna al-safar yang berarti buku dan kata al-Safarah yang bermakna para pencatat amal kebaikan juga ditemukan dalam al-Qur’an. Kata pertama muncul dalam firman Allah, “Bagaikan himar yang membawa buku-buku”. Sedang kata kedua muncul pada firman-Nya, “Berada di tangan malaikat pencatat (amal kebaikan) yang mulia lagi berbakti”.[2]
Adapun makna tafsir dari sisi terminologisnya, maka dikatakan bahwa tafsir adalah sebuah cabang ilmu yang menjadi media utama dalam memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan berupaya menjelaskan hikmah-hikmah dan ketentuan-ketentuan  yang terkandung di dalamnya.[3]  Senada dengan makna ini, sebagian sarjanan al-Qur’an memberikan batasan berupa, sebuah ilmu yang mempokuskan pembahasannya seputar perkataan yang terdapat dalam al-Qur’an dari aspek kandungan makna (dilalah) yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan batas-batas kemampuan nalar manusia.[4]
Jika ditelusuri pembahasan sajana al-Qur’an terkait kedua kata ini maka ditemukan bahwa terjadi beragam pandangan dalam masalah ini. Terdapat ulama yang memandang bahwa kedua istilah tersebut sama saja. Sementara sarjana lain mengatakan, tafsir lebih umum dibanding ta’wil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam analisa aspek lahiriah bahasa sementara ta’wil diberdayakan pada aspek makna. Sebagian mengatakan bahwa tafsir merupakan penegasan tentang maksud Allah di balik firman-firman-Nya, sedang ta’wil merupakan penentuan salah satu makna terkuat dan terpilih dari sekian makna yang ada.  Ada yang memandang bahwa tafsir sangat terkait dengan riwayat dan ta’wil terkait dengan rasio (dirayah).[5]
Sementara itu, hermeneutika dalam sejarahnya dinisbatkan kepada Dewa Yunani Kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari yang maha Dewa yang ditujukan kepada manusia. Karena pesan-pesan Dewa masih dalam koridor bahasa langit, maka dibutuhkan apaya penerjemahan dan penafsiran ke dalam bahasa bumi yang dipahami oleh manusia.[6] Mengingat profesi utama Hermes adalah memintal maka kata ini dikaitkan dengan padanan yang sama dalam bahasa latin, yaitu tegere. Hasil dari pemintalan dalam bahasa latin ini adalah textus atau teks. Dan teks merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika.[7] Dalam perkembangannya, hermeneutika dipraktekkan dalam lingkup wilayah Yunani dalam rangka menggali makna dan peran teks-teks sastra yang berasal dari masyarakat Yunani Kuno. Sekali pun demikian, kata hermenutika sendiri nanti ditemukan pada karya Plato (429-347 SM) Pollitikos, Efinomis, Definitione dan Timues.
Hingga zaman moderen, menurut penelusuran Richard E. Palmer, terdapat enam definisi hermeneutika berdasarkan pada perkembangan yang telah dilewatinya. Masing-masing definisi mewakili zaman dan bentuk hermeneutika sebagaimanan dipahami oleh para penggiatnya. Keenam definisi tersebut bisa disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, filsafat, fenomenologi eksistensi dan sistem interpretasi.
A.      Hermeneutika sebagai teori penafsiran Bibel.
Pemahaman paling pertama dan masih tersebar luas tentang hermeneutika adalah masih merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Jika melihat buku-buku yang terbit pada abad ke-17, ditemukan bahwa muatan kata Bibel masih seputar interpretasi kitab suci. Buku yang dianggap muncul terkait dengan hermeneutika dalam pengertian ini adalah buku Dannhauer pada tahun 1654 yang berjudul hermeneutica sacra sive methodus exponemdarum sacrarum litterarum. Setelah terbitanya buku dannhauer ini, istilah tersebut berkembang dengan cepat terutama di wilayah Jerman.
Di Inggris dan di Amerika penggunaan kata hermeneutika mengikuti arah kecenderugnan umum dalam menunjuk penafsiran Bibel. Pertama kali kata ini digunakan oleh Oxford English Dictionary pada tahun 1737 dengan makna, “bersikap bebas dengan tulisan suci, sama halnya dengan tidak diperkenankan menggunakan bebrapa metode selain hermeneutika sebagaiamana seharusnya.
B.       Hermeneutika sebagai metodologi filologis.
Pada abad ke-18 filologi klasik berkembang bersamaan dengan rasionalisme. Keduanya mempuyai pengaruh besar terahadap hermeneutika. Ketika itu muncullah metode kritik historis dalam teologi. Dalam metode ini ditegaskan bahwa interpretasi Bibel dengan menggunakan displin hermeneutika juga bisa dimanfaatkan untuk membaca teks-teks lainnya. Dengan pengembangan ini, metode-metode hermeneutika Bibel secara esensial menjadi sinonim dengan teori interpretasi sekuler seperti filologi klasik. Setidaknya dari pencerahan hingga masa sekarang metode interpretasi Bibel tidak dapat dipisahkan dengan filologi.
C.       Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
Schleiermacher berusaha memodifikasi ulang hermeneutika hingga menjadi sebuah ilmu atau seni pemahaman. Ia mencurahkan seluruh energi intelektualnya untuk maksud tersebut dan berhasil hingga batas-batas tertentu. Ia berusaha melampaui persfektif hermeneutika yang bersifat teologi filologi dangan berupaya menghadirkan hermeneutika sistematis-koheren. Yaitu sebuah ilmu yang mendiskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
D.      Hermeneutika sebagai pondasi bagi filsafat.
Wilhelm Dilthey adalah seorang pemikir filsafat besar pada abad ke-19 di samping sebagai penulis biografi Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika sebagai dasar bagi upaya memahami semua ilmu yang mempokuskan diri untuk memahami seni, aksi, dan tulisan manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia berupa hukum, karya sastra, maupun kitab suci membutuhkan pemahaman historis. Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha mengarahkan kritiknya ke dalam ruang lingkup psikologis. Namun karena psiklogi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya terhambat sejak awal. Di dalam hermeneutikalah Dilthey menemukan dasar yang lebih humanis dan historis bagi usahanya untuk memformulasikan metodologi humanistik yang nyata bagi semua upaya pendekatan filosofis.

E.       Hermeneutika sebagai fenomenologi dan pemahaman eksistensial.
Dalam menghadapai persolan ontologis, Martin Heidegger meminjam metode, Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenoligi ini pada cara keberadaan sehari-hari manusia di dunia. Hermeneutika dalam konteks ini tidaklah mengacu pada ilmu atau kaedah interpretasi, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Haidegger mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model dasar keberadaan manusia.
F.        Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Paul Ricoeur mendefinisakan hermeneutika yang mengacu kembali kepada penafisran tekstual sebagai elemen penting dalam hermeneutika. Ia mengatakan, “yang kita maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah penafsiran. Dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan sesuatu yang dianggap sebuah teks.[8]
Dalam kajian hermeneutika, terdapat beberapa ahli yang ikut terlibat dan mengembangkan wacana ini secara luas. Tokoh-tokoh dan peranannya dalam hermenutika bisa kita telusuri seperti berikut :
1.         Hermeneutika Friedrich Schliermacher. ( 1768 – 1834).
Dalam kajian hermeneutika yang bersifat filosofis, Friedrich Schliermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern. Ia dianggap berjasa mengembangkan tradisi hermeneutika dari wilayah teologi menuju wilayah filsafat. Ketika berada di wilayah filsafat inilah, hermeneutika bisa menjangkau seluruh teks dan tidak hanya sebatas teks kitab suci semata yang berlandaskan pada tradisi gereja katolik.[9]
Menurut Abu Zaid, pijakan hermeneutika Friedrich Schliermacher adalah bahwa teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mengembangkan ide pengarang  kepada pembaca. Dalam sisi kebahsaan, ia merujuk kepada lingusitik dengan beragam perangkat-perangkat yang dimulikinya. Sedang dari aspek psikis, ia merujuk ide subyektif pengarang. Hubungan kedua hal tersebut adalah merupakan interaksi dialektis dalam pandangan Friedrich Schliermacher.[10] Untuk dapat menyelami makna teks, seorang hermeneut hendaknya memiliki dua kompetensi, yaitu kompetensi linguistik dan kemampuan dalam mengakses wilayah budaya saat teks tersebut ditulis. Ketika seseorang hanya berangkat dari aspek lingsuistik semata, kejelasan makna suatu bahasa tidaklah bisa dipahami mengingat manusia tidak mengenal bahasa yang tidak tunduk kepada pemaknaan tertentu. Demikian pula jika hanya memandang sisi kebudayaan saja, pemaknaan tidak bisa benar karena kompleksitas sisi budaya yang melingkupi tidak bisa ditangkap secara sempurna.[11]
2.         Hermeneutika Wilhem Dilthey (1833 – 1911).
Dilthey adalah merupakan pelanjut dari Schliermacher. Keduanya yakin bahwa seorang penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulisnya sendiri. Sekali pun dilthey dipandang terpengaruh dengan Schliermacher, tetapi dilthey tetap memilikii penekanan tersendiri dalam mendekati pemaknaan teks. Jika Schliermacher menegaskan penafsiran secara komprehensif, Dilthey menekankan aspek sejarah. Bagi Dilthey, Schliermacher kurang mempertimbangkan aspek sejarah untuk merokontruksi makna lebih baik dari yang dipahami oleh pengarangnya sendiri.[12]
3.         Hermeneutika Emilio Betti ( 1890 – 1968 )
Seabagai pelanjut dari pemikir hermeneutika sebelumnya kontribusi Betti bisa terlihat pada upaya menawarkan teori hermeneutika yang komprehensif. Ia juga teoritikus hermeneutika pertama yang mendirikan institusi khusus untuk mengkaji isu-isu penafsiran yang ditemukan dalam berbagai ranah keilmuan. Institut tersebut ia dirikan di Universitas Roma, Italia.[13]
4.         Gadamer ( 1990 – 1998 )
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks itu sendiri. [14]
Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang merupakan penilaian awal yang tidak bisa dihindar karena merupakan takdir, di mana tidak memiliki pilihan. Penilaian awal adalah hal yang mustahil dipisahakan menurut Gadamer mengingat manusia harus menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup seseorang.
Karenannya, sebagaimana dikutip oleh Malki Ahmad dari Budi Hadirman, hermeneutika Gadamer merupakan hermeneutika ontologis. Yaitu sebuah rasio pemahaman yang tidak bisa diukur oleh ruang, waktu dan tempat karena ia berhubungan dengan historitas yang selalu berubah-ubah. Karena itulah, obyektif adalah hal yang masih absurd dan nihilis. Baginya, tidak ada kebenaran obyektif sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu.[15]

HERMENEUTIKA DALAM PANDANGAN PENGERITIKNYA
Kalangan intelektual yang kontra terhadap hermeneutika berasumsi bahwa Bibel memang memiliki sejumlah permasalahan yang membuatnya pantas untuk dicecar dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan hermeneutis. Problema pertama adalah terkait dengan teks Bibel yang tidak memiliki bahasa standar. Hal ini terjadi akibat tidak adanya dokumen Bibel yang original. Akibatnya Bibel yang beredar di tengah penganut Kristen sangatlah beragam. Denga mengutif Metzger, Adian Husaini menunjukkan keragaman Bibel dalam bahasa Yunani (Greek) yang hingga kini berjumlah sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek yang berbeda antara satu dengan lainnya. [16] Karena tidak ada seorang pun yang kini sebagai native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew  itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew. Dan bahasa yang dapat memberikan harapan untuk dapat mengunakap bahasa Hebrew itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahas Arab masih hidup hingga hari ini. Kita mengetahui bahwa bahasa Arab yang hidup hingga hari ini karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur’an itu sendiri. Jadi al-Qur’an lah yang menyelamatkan bahasa Arab. Sedang dalam kasus Bibel, mereka harus menyelamatkan dulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bibel. Karena tidak adanya bahasa asal Bibel maka wajarlah para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memehami kembali Bibel melalui hermeneutika. Dalam hal ini, hermeneutika dapat membantu karya terjemahan, lebih-lebih lagi jika bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi.[17] Selain permasalahan di atas, kenyataan bahwa dalam Kristen otoritas pendeta sebagai pemegang monopoli interpretasi Bibel makin memperuncing permasalahan. Sehingga Gereja dengan pendetanya menjadi sebuah lembaga yang bertanggung jawab secara penuh terhadap pemaknaan Bibel.
Problem lain yang muncul dalam tradisi Kristen, menurut kalangan kontra hermeneutik adalah hubungan antara Bibel dengan sains modern. Dengan menelaah perkembagan berbagai genre dalam interpretasi herneneutis Bibel, Adian mendiskripsikan peroblema yang terjadi antara penafsiran literal dengan penafsiran alegoris terkait dengan masalah kosmologi.  Menurut asumsi kaum literal, ayat-ayat Bibel terkait dengan alam semesta seharsunya diartikan secara literal. Selain itu, dasar-dasar kosmologi haruslah diambil dari konsep Bibel itu sendiri. Dengan adanya otoritas kuat penganut ajaran literalis dalam gereja yang begitu kuat, maka dalam sejarah pernah terjadi ketegangan antara sains dengan doktrin literalis Bibel. Tercatat Galileo Galilei (1564-1642) dihukum oleh pihak otoritas gereja akibat dari temuannya berupa, matahari sebagai pusat galaksi dan bukanlah bumi yang berperan sebagai pusat tata surya.[18]
Sebagai sikap anti terhadap kekuasaan gereja, keberadaan Hermeneutika yang pada awalnya diterapkan untuk mencari makna asli di balik kata-kata Bibel, kini menjadi senjata ampuh bagi teolog liberal untuk menegaskan perlawananya terhadap otoritas gereja pada masa pertengahan. Liberalisasi yang dikuatkan oleh semangat hermeneutika modern tersebut tampak dalam upaya yang dilakukan oleh Friedrich Schliermacher (1768-1834). Baginya faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks , di samping faktor gramatikal.[19]
Di lain pihak, Hamid Fahmi Zarkasyi menyatakan sikap kontra terhadap hermeneutika juga disebabkan karena faktor muatan nilai yang dikandungnya. Dengan mengutip Werner, ia menyebutkan tiga hal yang berpengaruh terhadap keberadaan hermeneutika sebagai sebuah konsep atau teori interpetasi. Ketiganya adalah pertama millaeu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi yang dimaksud. Ketiga milleu masyarakat Eropa pada zaman pencerahan yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika  keluar dari konteks keagamaan.[20] Berangkat dari ketiga faktor tersebut, Zarkasyi berusaha mendeskripsikan pengaruh pandangan hidup (worldview) terhadap tiga pase perkembagan hermeneutika, yaitu : pertama dari motologi Yunani menuju teologi Yahudi dan Kristen. Kedua, dari teologi Kristen yang problematik menuju gerakan rasionalisasi dan filsafat. Ketiga, dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika.
Setelah deskripsi di atas, Zarkasyi menyimpulkan bahwa heremeneutika dengan kedua genrenya, alegoris dan gramatikal adalah metode pemahaman yang merupakan produk kebudayaan Yunani. Karenanya dipandang tidak bebas nilai. Ketika masuk dalam ranah penafsiran Bibel pada fase awal, hermeneutika tidaklah mendapatkan resistensi karena memang tradisi Bibel belum memiliki mekansime interpretasi tersendiri ketika itu. Namun setelah hermeneutika diberlakukan, perpecahan terjadi dalam internal Kristen. Walaupun perpecahan tersebut tidaklah mewakili sikap resistensi mutlak terhadap hermeneutika, tetapi hal itu lebih menunjukkan kepada fakta bahwa pemikiran Plato dan Aristoteles  ketika itu sangat mendominasi teologi Kristen. Bahkan pertentangan ini melahirkan dua kelompok besar dalam agama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik.
Realitas di atas dipandang oleh Zarkasyi sebagai bukti bahwa hermeneutika tidak bisa diadopsi begitu saja tetapi perlu diadapsi ke dalam realitas  teologi Kristen. Mengigat mekanisme tersebut tidak ada dalam tradisi Kristen maka dengan cepat kajian hermeneutika secara teologis berubah menjadi kajian filsafat. Dalam diskursus filsafat inilah nilai-nilai barat dengan mekanisme pembaratannya mengisi pemaknaan baru terhadap herneneutika. Karena keluar dari frame teologi dan bukan lagi teori interpretasi kitab suci maka penggunaan hermeneutika dapat merusak sendi-sendi agama. Hal ini terbukti dengan mendudukan teks Bibel sebagai sama dengan berbagai teks lainnya, bahkan dipandang tidak lagi bisa dianggap pedoman dalam mengartikulasikan keimanan Kristen.
Pada permaslahan yang sama, Adnin Armas menegaskan bahwa kehadiran hermeneutika dalam iklim peradaban Barat didominasi oleh konstruk ilmu yang skeptik. Karena itulah konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang sebuah makna, kandungan, dan teori hermeneutika selalu mengalami perubahan. Perubahan demikian dianggap sebagai sebuah penyempurnaan dari upaya menyelami makna menjadi lebih baik dan lebih objektif. Friedrich Schliermacher, pendiri teologi protestan modern, misalnya teori-teorinya tentang hermeneutika dimodifikasi oleh Wilhem Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Hirsch, Emilio Betti dan lain-lain. Hal demikian tidak terjadi secara ekstrim dalam tradisi tafsir. Sekalipun penafsir belakangan hadir dengan beragama karya yang berbeda, namun tetap saja hal-hal yang sudah mapan tidak disentuh dan tetap disepakati. Penyaliban Nabi Isa sebagai contoh. Tidak ada seorang penafsir pun mengatakan bahwa Isa mati di tiang salib. Demikian pula kesepakatan mereka bahwa tidak boleh wanita Muslimah kawin dengan lelaki non Muslim.[21]
Sedang sikap intelektual kontra hermeneutika memandang upaya hermeneutika yang dilakukan oleh sarjana Muslim telah menjadi gugatan baru dalam wacana keislaman moderen. Upaya memandang berbagai teks sebagai kitab yang memiliki penulis, termasuk di dalamnya al-Qur’an telah diwacanakan oleh Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid. Muhammad Arkoun memandang bahwa formulasi mushaf utsmani telah dijadikan sebagai wilayah yang steril dan tidak dapat disentuh oleh siapa pun oleh penguasa ketika awal pembentukannya dulu. Padahal formulasi ini hanyalah sebuah hasil konstruk sosial budaya ketika itu dan tidak sama sekali sakral. Bagi Arkoun, al-Qur’an merupakan hasil tokoh-tokoh historis yang mengangkat statusnya sebagai kitab suci. Adapun status kewahyuan al-Qur’an itu sendiri hanya bisa dikenal manusia lewat edisi dunia. Al-Qur’an dalam edisi dunianya inilah yang dianggap oleh Arkoun sebagai telah dimodifikasi, revisi dan substitusi.[22]
Demikian pula pandagan Nasr Hamid Abu Zaid, ia melihat al-Qur’an telah menjadi bahasa manusia. Perubahan teks ilahi menjadi teks yang manusiawi terjadi sejak al-Qur’an samapai kepada Rasulullah saw. Dalam asumsi Nasr Hamid, al-Qur’an lahir dalam konstruk budaya dan setting sosial tertentu selam lebih dari dua puluh tahun. Karenanya, al-Qur’an dianggap sebagai produk budaya yang sangat kuat nuansa kemanusiawiannya. Dalam hal ini, al-Qur’an telah diturunkan dari posisi sakralnya sebagai wahyu dan dianggap sebagai konstruk manusia layaknya pendapat Muhammad Arkoun. Hanya saja bahasa yang digunakan oleh Nasr Hamid lebih halus dan tampak lebih ilimiah disbanding penggambaran Arkoun.
Selain dua pemikir  Arab Kontemporer di atas, Fazlur Rahman juga ditengarai terpengaruh oleh metodologi hermenutika dalam kajiannya. Gerak ganda yang menjadi landasan teoritis penafsiran Fazlur Rahman dianggap dipengaruhi oleh pemikiran Emilio Betti. Gerak ganda yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman itu adalah upaya pembacaan al-Qur’an dengan menerobos masa lalu, kemudian mentransfernya kembali ke masa kini. Inilah gerak ganda yang ia maksudkan dan memandangnya sebagai metodologi paling tepat dalam mendekati pemaknaan al-Qur’an. Bahkan ia menganggap bahwa kesalahan para mufassir sebelumnya karena pendekatan yang mereka lakukan hanya bersifat parsial. Fazlur Rahman memetakan hubungan teks dengan pembacanya sebagai hubungan dialektis. Yaitu makna muncul setelah dipertemukan dengan pikiran pembaca. Ia menolak kalau teks hanya bisa dipahami oleh pembaca semata, sebagaimana penolakannya bahwa teks mampu memberikan pemahaman kepada pembaca secara otonom. Ia sangat menekankan makna asal sebuah teks. Karenanya ia sangat melihat betapa pentingnya mengetahui sosio historis al-Qur’an dalam mengungkap hal tersebut.

HERMEUNETIKA DALAM PANDANGAN PENDUKUNGNYA
Bagi para pengusung teori-teori hermeneutika sebagai salah satu alat bantu dalam mengungkap historis dan sosio politik sekaligus aspek psikologis al-Qur’an, berasumsi bahwa tafsir, ta’wil dan hermeneutika sebagai ilmu interpteasi kitab suci adalah sama.[23] Persamaannya terletak pada fakta bahwa sarjana al-Qur’an yang dinilai memiliki kompetensi dalam ranah penafsiran adalah mereka yang mapan dalam ilmu sejarah al-Qur’an dan gramatika serta sastra arab.[24] Hal ini tentu sama dengan fokus kajian hermeneutika yang menjadikan bahasa sebagai medium teks dan sejarah yang menjelaskan proses kreatif lahirnya teks dalam sebuah milleu. Seabagai wujud persamaan hermeneutika dan tafsir, setidaknya dalam aspek bahasa, Sumaryono menulis, “disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutikm adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab karya yang mendapatkan isprisai ilahi seperti al-Qur’an, kitab taurat, kitab-kitab veda, dan upasihad supaya dapat dimengerti memrlukan interpertasi atau hermeneutik.[25]
Hermeneutika yang berkembang dalam tradisi filsafat modern dipandang maju lebih jauh dalam aspek metodologis dibanding jangkauan tafsir yang berkembang dalam tradisi Islam.[26] sekalipun, dalam asumsi intelektual pro hermeneutic, ini tidak bisa diartikan sebagai wujud keunggulan hermeneutika atas tradisi tafsir dalam diskursus keislaman. Karena hal demikian hanyalah terkait dengan perbedaan tradisi dan metodologi yang diterapkan, yang masing-masing berkembang dalam sejarah dan filsafat yang berbeda.
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai kalam Allah yang diwahyukan sehingga outensititasnya disepakati oleh kaum Muslim. Sementara dalam lingkup kristiani, kemunculan dan peran hermeneutika  berbeda denga apa yang berlaku dalam ranah keislaman.  Al-Qur’an dengan posisi tersebut di atas menjadi standar dalam aspek hukum, etika dan seluruh  aspek hidup seorang Muslim. sementara di pihak lain, Bibel bukanlah firman tuhan langsung, tetapi hanyalah catatan tentang sejarah tuhan Yesus. Karenanya, Bibel tidaklah dijadikan standar hokum sehingga bebas ditafsirkan dan diterjemahkan. Jika para ahli hermeneutika Barat mengawali kajiannya dalam aspek keaslian teks Bibel, maka bagi Muslim hal itu telah final. Jika praktek hermeneutika dibarat diuapayakan untuk mencari makna yang lebih baik, maka dalam diskursus al-Qur’an, tidak ada makna yang lebih baik selain makna yang dikehendaki oleh Allah swt[27]
Namun, sekalipun berbeda, baik al-Qur’an dan Bibel tetap saja harus dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan hermeneutis menyangkut penafsiran dan pengungkapan makna-makna yang dianggap masih asing dan perlu penjelasan tentang inti pesan yang dikandungnya.
Al-Qur’an yang diyakini berlaku sepanjang zaman dan pada berbagai tempat juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ummat Muslim. hanya saja dalam asumsi pro hermenetika, dari segi pemahaman dan pelaksanaan klaim tersebut tetap menuntut pembuktian di satu sisi, dan di sisi lain, manusia punya pilihan untuk menentukan sikap dan pilihannya sendiri. Dalam ruang seperti inilah lingkaran hermenetik terjadi, yatu manakala al-Qur’an dan pembeacanya terlibat secara intens. Dalam proses ini al-Qur’an terkadang berposisi sebagai subyek yang menentukan dan di saat lain ia berposisi sebagai objek yang sedang dikaji. Dalam posisi terakhir ini, al-Qur’an diharapkan mampu menjawab berbagai klaim-klaim kebenaran yang dikandungnya.[28]
Dalam asumsi pro hermeneutika, hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan yang absolut, karena ia lahir dari rasio manusia yang memiliki keterbatasan. Ketika sebuah penalaran diabsolutkan maka ia telah menyamai bahkan menandingi al-Qur’an itu sendiri. Sebaliknya pun demikian, bagi Muslim, jika pesan al-Qur’an tidak diabsolutkan maka bisa saja terjatuh kedalam nihilisme. Karenanya, produk pemahan manusia terhadap al-Qur’an merupakan penghubung antara yang absolut dengan yang relative. Karenanya Hamid Abu Zaid mmepertanyakan, bagaimana mungkin makna obyektif al-Qur’an dapat dicapai ? Apakah mengugkap maksud Tuhan dengan segala keabsolutan-Nya termasuk dalam jangkauan manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasnnya. Tidak ada dari kedua genre penafsiran (tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi) berkeyakinan demikian.[29]
Dalam lapngan hermenutika al-Qur’an, Hasan hanafi lah yang dikenal pertama kali melontarkannya dalam wacana keislaman.  Hal yang dianggap paling menonjol dalam hermeneutika hanafi adalah muatan ideologisnya yang sarat dengan maksud-maksud praksis.dalam pandagan hanafi, hermeneutika bukanlah sekedar ilmu interpretasi dan teori pemahaman semata, tetapi ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat kenyataan, dan lugas sampaii praksis serta juga tampaknya wahyu dan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[30]
Upaya pendekatan al-Qur’an dengan disiplin hermeneutic seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zaid akhirnya menjadi wacana di antara para pemerhati dan pengkertik hermeneutika. Dengan adanya resistensi sejumlah ulama dari da’erah ketika kedatangannya ke Indonesia, Abu Zaid pun urung untuk tampil di beberapa forum yang telah direncanakan. Kondisi demikian membuat pemerhati hemeneutik mengemukakan gugatan. Apa yang sesungguhnya mengerikan dalam elemen hermeneutis yang diusung Abu Zayd? Di mana letak yang membahayakan itu? Barangkali yang dikhawatirkan para penyerang itu adalah jika dialog takwil dan hermeneutika akan memelintir makna takwil sebenarnya. Dalam bahasa Fahmi Salim selanjutnya “Konsep itu (takwil) tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat”. Sebuah kekhawatiran yang tidak seharusnya terjadi. Bukankah wacana “takhawwul dalali” (transformasi makna) telah ada dan masuk dalam kajian semantik yang sudah ada prosedur dan batasan-batasannya. Memang garis batas antara strukturalisme semantik dengan hermeneutik bahasa pernah kabur dan tumpang tindih. Semantik lebih berorientasi pada pemaknaan “syntaxtical” sedangkan hermeneutik lebih kepemahaman isi. Hermeneutika bahasa lebih kepemahaman isi dengan membuat telaah interpretif phenomenologik. Hermeneutika bahasa ini dalam tradisi Barat lebih dikenal sebagai hermeneutika Heidegger dan Derrida. Adapun hermeneutik ontologik Gadamer yang postmodern dapat disebut sebagai hermeneutik filsafat atau hermeneutik phenomenologik (Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, 2006). Dalam sejarah intelektual Islam klasik kajian semantik sudah dibahas, dibuatkan prosedur dan batasan secara lebih berani – daripada para penyerang Abu Zayd yang mengkhawatirkan metode ini – oleh tokoh-tokoh linguistik semisal Al Farra’, Al Jahidl, Qadli Abdul Jabbar, Al Jurjani dan lain-lain dalam teori-teori mereka laiknya “al qashdu”, “ma’nal ma’na”, “majaz”, “nadlm” dan sebagainya (Abu Zayd, Al Ittijah Al ‘Aqli, 2003). Abu Zayd lah yang justru mengapresiasi temuan-temuan pakar bahasa Islam klasik ini dan menganggapnya sebagai elemen progresif yang mendesak untuk diungkap dan diajarkan ke public.[31]
KESIMPULAN.
Berdasarkan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa hermeneutika yang menjadi ajang diskusi antara kedua belah pihak masih berada seputar keabsahan dan kepantasannya untuk dijadikan landasan metodologis interpretasi. Tampaknya istilah tafsir, ta’wil dan hermeneutika tidaklah dipermasalahakan oleh kalangan pro hermneutika. Sehingga kata hermeneutika yang digunakan selalu sinonim dengan istilah ta’wil dalam wacana keislaman. Hal demikian diangap bermasalah bagai kalangan kontra hermeneutika. Sejumlah permaslahan menjadi landasan penolakan ini. Mulai dari aspek keoutentikan al-Qur’an dengan bahasa aslinya yang masih terjaga hingga saat ini sampai pada kultur budaya yang mebentuk tafsir serta ta’wil tidak pernah meragukan aspek historisnya dan linguistiknya sebagai mampu untuk menerjemahkan kehendak Tuhan tanpa harus terbebani dengan budaya dan konstruk sosial yang melingkupi setiap penafsir. Wallahu A'lam


[1] Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an, ( Yogyakarta : LKiS ), cet.1, th.2001, hal.308-311.

[2] Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an, ( Yogyakarta : LKiS ), cet.1, th.2001, hal.304-306.
[3] Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, ( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), vol.1, cet.1, th.1987, hal.25
[4] Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), vol.1, cet.1, th.1987, hal.88.
[5] Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, ( Mesir : Dar al-Syuruq), cet.1, th.1999, hal.198
[6] Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004.
[7] Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa  Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, ( Jakarta : Paramadina ), cet.1, th.1996, hal.125.
[8] Richard E. Palmer, Hermeneutika :Teori Baru Mengenai Interpretasi, ( Yogyakarta : Pusataka Pelajar ), cet.2, th.2005.
[9] Adnin Armas, Metodologi Bibel ( Jakarta : Gema Insani Press), hal. 63-67.
[10] Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.15
[11]Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.16.
[12] Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur’an. (Makalah disampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam.
[13] Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur’an. (Makalah di sampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. Hal.8-9.
[14] Lady P.R. Mandalika, Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizon. http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/.
[15] Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004.hal.35.
[16] Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.9
[17] Ugi Sugiharto, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika ?, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.48-49.
[18] Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.13.
[19] Husaini, Adian, Problema Teks Bibel dan Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.14.
[20] Zarkasyi, Hamid Fahmi, Menguak nilai Di Balik Hermeneutika, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.18.
[21]  Adnin Armas, Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004, hal.42.
[22]  Adnin Armas, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur’an. (Makalah di sampaika di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam. Hal.20
[23] Anis Masduki, Menggagas Interaksi Positif Ta’wil dan Hermeneutika, dalam “http://anismasduki. blogspot.com2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html” Diakses pada hari Senin,3 Agustus 2009.
[24] Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa  Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta : Paramadina), cet.1, th.1996, hal.136.
[25] E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius), th.1999, hal.41.
[26] Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir
[27] Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir
[28] Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa  Agama :Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta : Paramadina), cet.1, th.1996, hal.139.
[29]  Abu Zaid, Nashr Hamid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004, hal.7
[30] Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin “Hermeneutika Al-Qur’an : Mazhab Yogya”, (Yoyakarta : Islamika), cet.1, th.2003, hal.60-61.
[31] Anis Masduki, Menggagas interaksi positif tafsir dan hermeneutika, http://anismasduki. blogspot.com /2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html

DAFTAR PUSTAKA.
Abu Zaid, Nashr Hamid, Teksutualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta : LKiS ), cet.1, th.2001.

-------------------------------, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problema Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, ( Jakarta : ICIP), cet.1, th.2004.

Al-Suyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, ( Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), cet.1, th.1987.

Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Baerut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), cet.3, th.2006.

Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, ( Mesir : Dar al-Syuruq), cet.1, th.1999, hal.198

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta : Paramadina ), cet.1, th.1996.

Richard E. Palmer, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar ), cet.2, th.2005.

Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an ( Jakarta : Gema Insani Press), cet.1, th.2004.

----------------, Filsafat Hermenutika dan Dampaknya terhadap Studi al-Qur’an, (Makalah disampaikan di hadapan Mahasiswa UI dalam dauroh Pemikiran Islam).

E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Penerbit Kanisius), th.1999, hal.41.

Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin “Hermeneutika Al-Qur’an : Mazhab Yogya”, (Yoyakarta : Islamika), cet.1, th.2003.

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, ( Jakarta : Khairul Bayan ), no.1, th.2004.

Lady P.R. Mandalika, Hermeneutika Gadamer - Lingkaran yang Memperluas horizon. http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/.

Anis Masduki, Menggagas Interaksi Positif Ta’wil dan Hermeneutika, dalam “http://anismasduki. blogspot.com2008/01/menggagas-interaksi-positif-takwil-dan.html
 

6 komentar:

  1. Pada mulanya ‘hermenetika’ adalah kajian ilmiah tentang bahasa,cara melihat,memahami atau menafsirkan segala suatu berdasar sudut pandang bahasa,sejarah,budaya dlsb. sepanjang gagasan demikian digunakan diluar bahasan agama mungkin tidak perlu terlalu dikawatirkan,tapi bila sudah mulai ‘mengetuk pintu’ agama maka kita harus hati hati sebab kita akan mendapatkan ‘tamu’ yang kelak menimbulkan banyak masalah.
    'Hermenetika' adalah semacam kacamata sudut pandang manusia yang biasa digunakan untuk ‘menyaring’ penafsiran manusia terhadap kitab suci agar hasilnya bersesuaian dengan kacamata sudut pandang sang penggagas,yang biasanya mengacu pada prinsip agar ‘bersesuaian dengan parameter ke kini an,misal bersesuaian dengan prinsip kacamata sudut pandang ‘modernisme’ atau yang lainnya. dengan kata lain secara halus sang penggagas sebenarnya ingin mendoktrin atau mengendalikan cara berfikir manusia agar cara pemahaman manusia terhadap agama mengikuti bingkai pemahamannya. Sang penggagas (hermenetika) juga menerapkan beragam syarat ‘ilmiah’ yang ketat sebelum orang mendefinisikan agama sebagai ‘kebenaran’ yang diyakini secara mutlak,sang penggagas (bisa saja) ingin agar manusia ‘meragukan apa yang selama ini diyakininya’ karena ‘kondisi dan keadaan dianggap sudah berbeda dengan saat kitab suci diturunkan’,maka karena itu sang penggagas menyiapkan ‘cara pemahaman baru’.
    Dengan kata lain bila kita menggunakan kacamata penggagas hermenetika dalam cara menafsirkan atau mendeskripsikan agama maka bisa jadi kita sebenarnya sedang didoktrin untuk memahami sesuatu berdasar kacamata sudut pandang penggagas,dan bisa jadi kita tidak lagi bebas menggunakan hati nurani dan akal fikiran kita dalam menafsirkan kebenaran agama.
    Tapi jangan lupa bahwa konsep kebenaran mutlak (yang menjadi konstruksi agama) adalah konsep kebenaran yang bersifat hakiki dan abadi tak bisa diubah oleh manusia,dan konsep demikian hanya bisa dibaca oleh orang yang memiliki hati nurani (ruhani) dan akal yang jernih-kuat dan cerdas.jadi yang tak bisa dikutak katik atau diubah penggagas hermenetika adalah essensi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali kang. memang sebuah wacana sangat tergantung dari niat seseorang. Dalam tradisi tafsir al-Qur'an, syarat pertama penafsir adalah benarnya akidah yang diyakini sesuai dengan budaya ahlu sunnah. syarat ini mewakili niat yang kang Anonim maksud.jika dari aspek ini seorang penafsir bermasalaha maka dipastikan kacamata analisisnya berangkat dari ideologi yang diyakini. masalahnya dalah, penggagas hermeneutika keagamaan berangkat dari ideologi yang bermasalah.

      Delete
  2. Dan penafsiran terhadap kitab suci sebenarnya lebih bergantung pada niat hati manusia,bila niat untuk tunduk dan patuh pada Tuhan tentu,hasilnya pasti akan lain dengan bila menafsirkan kitab suci dengan tujuan hanya untuk berwacana,beropini atau berdebat semata.
    Tanpa hermenetika sekalipun manusia sudah diberi Tuhan hati dan akal sebagai alat untuk menangkap-memahami serta mengelola kitab suci,bila melihat dengan kacamata 'nurani' dan akal yang bersih (murni tidak didoktrin oleh manusia) pasti beda dengan bila menggunakan doktrin ‘saringan’ yang dibuat oleh manusia
    Agama hasil saringan kacamata hermenetika sering merupakan ‘agama’ yang sudah tidak otentik lagi karena sudah diramu,dikemas,dibingkai oleh berbagai keinginan manusia yang beraneka ragam diantaranya untuk ‘mengendalikan’ agama,atau tidak murni karena sudah tercampur dengan berbagai bentuk pemikiran bebas manusia,yang berasal dari niat atau motivasi yang beragam.
    ’agama’ hasil saringan penggagas hermenetika ibarat buah yang sudah kehilangan saripatinya sehingga rasanya menjadi hambar,itu karena terlalu banyak dicampur dengan keinginan keinginan manusiawi yang bukan ingin tulus menyembah Tuhan.
    Agama akan terjaga keasliannya bila ditafsir oleh orang orang yang tulus-ikhlas yang menafsirkan agama semata karena ingin menegakkan agama Ilahi dimuka bumi,tapi bila ditafsir oleh orang yang ingin agama ditafsir dan dikendalikan oleh ‘pemikiran bebas manusia’ (?)
    Memang bisa beda jauh hasil kajian agama bila dilihat dengan kacamata agama (yang telah disediakan dalam kitab suci) dengan kacamata penggagas hermenetik,missal : bila dengan kacamata agama kita melihat dan memahami agama sebagai konsep kebenaran mutlak maka bila kita melihatnya dengan kacamata hermenetika bisa saja kebenaran agama akan nampak ‘relatif’ (jadi terbalik 180 derajat!). itu adalah suatu contoh nyata bagaimana pembalik an makna mudah terjadi hanya karena kita menggunakan kacamata yang berbeda.
    Nah berarti pada garis besarnya ada dua ‘kacamata’ untuk melihat dan memahami agama,pertama adalah kacamata Ilahi sebagaimana yang telah diajarkan oleh kitab suci,dan kedua : ‘kacamata isme’ atau kacamata sudut pandang buatan manusia,yang salah satunya adalah kacamata penggagas hermenetika.
    Kesimpulannya : bukan berarti semua yang lahir dari wacana hermenetika (yang membahas masalah agama sebagai keliru) karena hal itu kembali kepada niat si penggagas.sebab apapun yang lahir dari pemikiran manusia harus selalu kita saring (karena selalu terbagi kepada benar dan salah),tulisan ini setidaknya mengantisipasi kesalahan yang telah atau bisa atau mungkin terjadi silahkan di paralelkan dengan kenyataannya…..jadi bukan menghakimi secara saklek,hitam-putih tapi mengajak siapapun untuk berhati hati dengan ‘kacamata sudut pandang manusia’.
    Jadi bila kita ingin menafsir serta memahami agama-kitab suci agar tidak jatuh kepada ‘kesalah fahaman’ menurut penggagas hermenetik,jalan terbaik bagi kita adalah harus menguatkan niat : untuk apa kita berusaha memahaminya dan kedua membersihkan hati dari niatan niatan yang negative, dengan kata lain kita harus membersihkan hati kita se bening mungkin,karena hati lah (bukan otak) yang kelak akan menangkap essensi agama.

    ReplyDelete
  3. Sebagaimana sebuah produk elektronik hanya bisa difahami hanya bila kita membaca buku panduan yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya,begitu pula kitab suci hanya bisa difahami (secara utuh) hanya bila kita menggunakan kacamata sudut pandang Tuhan serta panduan cara memahaminya yang ada dan diajarkan dalam kitab suci tersebut.dan mohon pertimbangkan hal ini sebelum kita mencoba melihat agama dengan berbagai kacamata produk penggagas hermenetika (termasuk juga berbagai kacamata buatan manusia seperti isme isme tentunya).
    Kitab suci mengajarkan bahwa kita harus menggunakan hati nurani dan akal (yang sehat) dalam membaca dan memahami kitab suci,dan manusia tidaklah bisa menggunakan keduanya bila fikirannya dikendalikan atau didoktrin oleh pandangan pandangan tertentu yang berasal dari kacamata sudut pandang manusia yang melihat dan memperlakukan agama bukan dengan tujuan sebagaimana yang

    ReplyDelete
  4. Sebagaimana sebuah produk elektronik hanya bisa difahami hanya bila kita membaca buku panduan yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya,begitu pula kitab suci hanya bisa difahami (secara utuh) hanya bila kita menggunakan kacamata sudut pandang Tuhan serta panduan cara memahaminya yang ada dan diajarkan dalam kitab suci tersebut.dan mohon pertimbangkan hal ini sebelum kita mencoba melihat agama dengan berbagai kacamata produk penggagas hermenetika (termasuk juga berbagai kacamata buatan manusia seperti isme isme tentunya).
    Kitab suci mengajarkan bahwa kita harus menggunakan hati nurani dan akal (yang sehat) dalam membaca dan memahami kitab suci,dan manusia tidaklah bisa menggunakan keduanya bila fikirannya dikendalikan atau didoktrin oleh pandangan pandangan tertentu yang berasal dari kacamata sudut pandang manusia yang melihat dan memperlakukan agama bukan dengan tujuan sebagaimana yang diinginkan oleh Tuhan.jadi apakah memilih bebas menggunakan hati nurani dan akal atau memilih untuk didikte atau didoktrin oleh kacamata sudut pandang manusia tertentu yang memberi banyak ‘syarat’ bagi sesuatu untuk disebut ‘kebenaran’ menurut versi mereka,sedang hati nurani dan akal itu tembus ruang dan waktu artinya tidak mengenal kebenaran yang dibatasi oleh : ruang-waktu,sejarah, budaya,bahasa dlsb.yang banyak dipermasalahkan oleh penggagas hermenetika.
    Kitab suci tidak memberi syarat yang rumit dan pelik untuk memahami kitab suci,tidak mengajarkan harus mengkaji factor bahasa,sejarah,budaya,ruang-waktu dlsb.cukup dengan hati yang bersih dan akal yang sehat (cara berfikir yang tertata-sistematis tidak spekulatif).sehingga sekali lagi factor yang terpenting adalah factor jiwa (hati dan akal) sebagai alat baca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Faktor ideologi sangat berperan dalam memandang dan menempatkan sesuatu. Sehingga banyak sudut pandang berbeda hanya karena perbedaan ideologi. Dengan demikian, setiap produk pemikiran umumnya lahir dari ideologi (worldview). sarana keilmuan, seperti mata, telinga dan pikiran (hati) tidak akan mampu mencerap kebenaran manakala ideologi yang salah masih membelenggu. karena itulah, dalam surah al-Baqarah, Allah menutup hati orang-orang kafir (QS 2 : 7. Allah menutup hati mereka karena mereka sendiri menutup sarana yang telah diberikan oleh Allah untuk mengenal-Nya (kebenaran.
      pada prinsipnya, Islam tidaklah anti terhadap produk luar, tetapi islam hanya sensitip ketika nilai-nilai vitalnya harus tereleminasi oleh pendatang baru yang menyesatkan. Wallahu A'lam.

      Delete

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form