Friday, January 20, 2012

BEKAL ORANG-ORANG SABAR

                                                      Karya : Ibnu Qayyim al-Jauziyah
                                                       Alih Bahasa : Idrus Abidin

         Anas Bin Malik Radhiyallahu Anhu mengatakan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berhenti pada sebuah pepohonan lalu beliau menggerakkannya sehingga berjatuhan dedaunannya. Beliau mengatakan, "musibah dan penyakit lebih cepat menggugurkan dosa dibanding bergugurannya dedaunan pohon ini"
Ibnu Abiddunya menyebutkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dengan menisbatkannya secara marfu' kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam . Hadits tersebut berbunyi, " tidak seorang muslim pun kecuali pasti didampingi oleh dua malaikat Allah swt, keduanya tidak pernah meninggalkannya sehingga diputuskan salah satu dari dua perkara baginya, yaitu meninggal atau tetap hidup. Jika para pelayat bertanya kepadanya : bagaimana kondisismu ? lalu ia jawab, "saya bersyukur kepada Allah swt karena saya baik-baik saja". Maka kedua malaikat itu mengatakan, "bergembiralah dengan darah yang lebih baik dari darahmu dan kesehatan yang lebih baik dari kesehatanmu". Jika ia mengatakan, "saya sangat kepayahan sekali dengan penyakitku", maka kedua malaikat itu mengatakan, "bersedihlah dengan darah yang lebih jelek dari darahmu dan musibah yang lebih lama dibanding dengan musibah yang menimpamu".
Hadits ini tidaklah bertentangan dengan ungkapan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika sedang sakit, "betapa sakit kepalaku" , dan perkataan sa'ad, "wahai Rasulullah ! penyakitku makin parah padahal saya adalah seorang hartawan", juga ungkapan Aisyah, "Betapa pening kepalaku", karena semua itu hanyalah sekedar informasi dan bukan merupakan bentuk keluhan terhadap para pelayat.  Jika seorang yang sakit menyebut kebesaran Allah swt lalu menyebut penyakitnya maka itu bukanlah bentuk keluhan. Tetapi jika ia menerangkan penyakitnya dengan penuh keluh kesah maka itu termasuk bentuk keluhan. Jadi dengan satu ungkapan saja seseorang bisa mendapatkan pahala dan bisa pula menuai dosa berdasarkan niat dan tujuannya.
        Tsabit Al-Bunani mengatakan, "kami berangkat bersama Hasan untuk menjenguk Sofwan Bin Mihraz. Lalu salah seorang anaknya keluar menemui kami sambil berkata : Dia sedang sakit perut. Anda tidak bisa menemuinya. Tiba-tiba Hasan berkata, "jika ayahmu hari ini berkurang daging dan darahnya maka itu lebih baik dibanding kalau dimakan oleh tanah".
    Tsabit juga mengatakan, kami pernah mengunjugi Rabi'ah Bin Harits ketika penyakitnya sedang parah. Ketika itu, ia mengatakan, "siapapun yang mengalami seperti ini maka akhirat pasti mendominasi hatinya. Dunia terasa kecil di matanya dibanding lalat". Disebutkan pula dari Anas sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, "jika seseorang sakit selama tiga hari maka ia bersih dari dosa-dosanya seperti ia baru saja dilahirkan dari perut ibunya".  Juga sebuah hadits dari beliau, "do'a orang yang sedang sakit tidaklah tertolak hingga ia sembuh".
    Ibnu Abiddunya menyebutkan sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud, ia berkata : saya pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Tiba-tiba beliau tersenyum. Kami lalu bertanya, apa yang membuatmu tersenyum wahai Rasulullah ? beliau menjawab, " saya heran dengan penyakit yang menimpa seorang mukmin. Jika saja ia tahu apa yang ia peroleh selama sakit maka pasti ia ingin sakit selamanya hingga bertemu dengan Allah swt". Kemudian beliau tersenyum untuk kedua kalinya sambil menegadah ke langit. Kami bertanya lagi, ya Rasulallah ! kenapa engkau tersenyum sambil menegadah ke langit ? beliau menjawab, " saya heran dengan dua malaikat yang turun dari langit untuk mencari seorang mukmin yang selalu shalat berjamaah di masjid, tapi ia tidak mendapatkannya. Lalu keduanya kembali ke langit, lalu mengatakan, "wahai Tuhan ! hamba-Mu Yang mukmin selalu kami tulis amalannya siang dan malam, tapi ternayata ia sekarang sedang sakit sehingga kami tidak mencatat lagi pahalanya. Allah swt lalu berfirman, "tulislah pahala hamba-Ku seperti sebelumnya dan jangan sekali-kali menguranginya. Ia mendapatkan pahala selama ia sakit disamping pahala ibadahnya yang selalu ia lakukan ketika ia sedang sehat".
Disebutkan pula dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, " barang siapa yang sakit satu malam maka ia bersih  dari dosa-dosanya seperti layaknya baru keluar dari perut ibunya". Diantara hadits-hadits mursal Yahya Bin Katsir adalah ungkapannya bahwa  Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah kehilangan salman, lalu beliau bertanya tentang ia dan dikabarkan bahwa Salman sedang sakit. Beliau lalu mengunjunginya dan berkata, "semoga Allah menyembuhkan sakitmu, memperbanyak pahalamu, mengampuni dosamu, dan meganugrahkan kesehatan pada agama dan badanmu hingga ajalmu berakhir. Engkau akan memperoleh dari penyakitmu ini empat hal. Pertama, peringatan dari Tuhanmu. Kedua, pembersih dari dosa-dosamu sebelumnya. Ketiga, berdoalah sebanyak-banyaknya karena do'a orang sakit sangat makbul".
Ziyad Bin Rabi' berkata, saya mengatakan kepada Ubay Bin Ka'ab, ada sebuah ayat yang membuatku sedih. Ia mengatakan, ayat apa itu? Saya bilang, "firman Allah yang berbunyi : "Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu". (An-Nisaa : 123). Dia berkata, "saya pikir anda lebih paham dibanding saya. Seorang mukmin tidaklah terjatuh atau salah urat kecuali karena sebuah dosa. Hanya saja Allah swt lebih banyak mengampuni".
Aisyah pernah ditanya tentang ayat ini. Ia berkata, "belum ada yang menanyakan ayat ini kepadaku semenjak saya menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau mengatakan, "wahai Aisyah ! itu adalah bentuk balasan Allah swt terhadap hamba-Nya, berupa sakit demam, sariawan, tertusuk duri dan tali sandal yang terputus. Bahkan barang yang disimpan di sakunya lalu hilang hingga ia kebingungan karenanya. Setelah itu ia temukan dalam genggamannya. Seorang mukmin akan terbebas dari dosa-dosanya layaknya emas murni yang keluar dari ampas las.  Wahab Bin Munabbih mengatakan, "seseorang tidaklah dianggap Ahli Fiqhi hingga ia meganggap cobaan sebagai ni'mat dan menganggap sehat sebagai cobaan. Sebabnya karena orang yang tertimpa musibah mengharapkan sehat dan orang yang sehat menunggu terkena cobaan".
Pada beberapa tempat dalam kitabullah disebutkan, "Allah swt menimpakan cobaan yang tidak disukai oleh hamba-Nya. Ia sebenarnya mencintai hamba-Nya itu, hanya saja ia mau melihat bagaimana hamba-Nya tadharru' (tunduk dengan penuh keluh kesah) kepada-Nya".
Ka'ab mengatakan, "saya menemukan dalam kitab Taurat : jika saja tidak membuat hamba-Ku yang mukmin bersedih maka aku membalut kepala orang kafir dengan pembalut yang terbuat dari besi. Pembalut itu tidak akan hancur selamanya". Ma'ruf Al-Karhi berkata, "Allah swt senantiasa menguji hamba-Nya dengan berbagai penyakit agar ia mengeluh kepada teman-temanya. Lalu Allah swt mengatakan, "demi kemulian dan keagungan-Ku. Aku tidak mengujimu dengan penyakit itu kecuali aku bersihkan engkau dari dosa-dosa. Karenanya, janganlah kalian mengadukan aku kepada teman-tamanmu".
Ibnu Abiddunya menyebutkan bahwa ada seseorang yang mengatakan, "wahai Rasulullah ! apa penyakit itu ? Rasul bertanya, "apa engkau tidak pernah sakit ?". Ia jawab , "tidak pernah". Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, "pergilah, anda bukanlah orang mukmin".
Abdullah Bin Mas'ud sakit parah, lalu ia dikunjuungi oleh sahabatnya. Ketika itu istrinya berkata, "aku yang menjadi tebusanmu. Kami tidak memberimu makan dan minum" (karena sakitnya telah parah sehingga makan dan minuman tidak bisa masuk lagi-pent). Ibnu mas'ud menjawab dengan suara lirih, "pekerjaan telah sirna dan tidur terasa panjang. Demi Allah, saya tidak merasa gembira jika penyakitku berkurang walau hanya sebanyak ujung kuku".
Khalid bin walid pernah menceraikan istrinya kemudian sering-sering memujinya. Ada yang bertanya kepadanya, "Kenapa engkau menceraikan istrimu ?" ia jawab, "Saya menceraikannya bukan karena sesuatu yang membuatku ragu padanya atau sesuatu yang menyakitiku, tetapi karena ia tidak pernah mendapat cobaan  selama bersamaku". Juga disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahwa ia bersabda, "tidaklah seseorang keseleo kecauli dituliskan kebaikan untuknya dan dosanya dihapuskan serta derajatnya ditinggikan".
Semua itu tidaklah bertentangan dengan pembahasan sebelumnya bahwa musibah menghapuskan dosa-dosa, karena kebaikan yang diperoleh akibat kesabaran yang menjadi pilihannya. Itu merupakan sebuah amalan darinya. Ada seseorang dari kalangan muhajirin menjenguk temannya yang sedang sakit. Ia berkata, "orang yang sakit memiliki empat perkara yang tidak menjadi tanggungannya. Disamping itu ia memperoleh pahala seperti ketika ia sedang sehat. Penyakit akan menyisir setiap persendiaanya sehingga ia mengeluarkan dosa darinya. Jika ia panjang umur maka ia hidup dalam ampunan Allah swt. Jika ia meninggal, maka ia pun mendapatkan ampunan". Orang yang sedang sakit itu berkata, "ya Allah ! biarkan aku terbaring dalam keadaan sakit".
Dalam kitab musnad terdapat sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, "demi jiwaku yang berada dalam gengaman-Nya. Tidaklah Alah swt menetapkan suatu takdir terhadap hamba-Nya kecuali pasti baik. Jika ia mendapatkan nikmat maka ia bersyukur. Itulah yang terbaik baginya. Dan jika ia tertimpa cobaan maka ia bersabar. Dan kesabaran itu baik baginya. sikap itu tidak ditemukan kecuali pada diri kaum mu'min".

ATSAR-ATSAR DARI SAHABAT MAUPUN GENERASI SETELAH MEREKA TENTANG KESABARAN

Imam Ahmad mengatakan, "Waki' bercerita kepada kami dari Malik bin Mogol dari Safar, ia berkata, "Abu Bakar sakit lalu mereka mengunjunginya. Mereka bertanya, apa perlu kami panggilkan tabib ? ia menjawab, "saya sudah diperiksa oleh tabib" mereka bertanya, "apa saja yang ia katakan kepadamu?" Abu Bakar menjawab, "saya melakukan apa saja yang aku kehendaki".
Imam Ahmad mengatakan, "Abu Muawiyah bercerita kepada kami dari A'masy dari Mujahid, ia mengatakan, "Umar bin Khattab mengatakan, kami mendapati kehidupan yang baik ada pada kesabaran". Ia juga berkata, "sebaik-baik kehidupan yang kami dapati adalah kehidupan yang disertai kesabaran. Kalau saja kesabaaran lahir dari seorang laki-laki maka pasti ia mulia". Ali bin Abi Thalib berkata, "posisi sabar dalam keimanan seperti posisi kepala pada anggota tubuh. Jika kepala terpenggal maka jasmani akan hancur". Lalu beliau mengeraskan suaranya sambil berkata, "tiada keimanan bagi orang yang tidak memiliki kesabaran". Ia juga berkata, "kesabaran adalah kekayaan yang tak pernah habis".
Hasan berkata, "sabar adalah khazanah kebaikan yang tidak akan pernah diberikan Allah swt kecuali kepada hamba-Nya yang mulia". Umar bin Abdul Aziz mengatakan, "tidaklah ada kenikmatan yang dianugrahkan Allah swt kepada seseorang lalu dicabut kembali, kemudian diganti dengan kesabaran, kecuali penggantinya itu lebih baik dibanding yang pertama".
Maimun bin Mahran berkata, "seseorang tidak mendapati simpul kebaikan dan turunannya kecuali dengan kesabaran". Sulaiman bin Qosim berkata, "setiap amalan dapat diketahui pahalanya kecuali kesabaran". Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Hanya orang-orang yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas".( Az-Zumar : 10)  ia menjelaskan, "artinya bahwa pahala kesabaran layaknya air yang mengalir deras".
Sebagian orang-orang bijak menyimpan sejenis kartu di sakunya lalu setiap waktu mereka mengeluarkannya. Di situ tertulis, "Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami". (At-Thur : 48) Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu berkata, "jika saja kesabaran dan rasa syukur berupa sapi, maka saya tidak peduli yang mana pun aku tunggangi". Muhammad bin Syubrumah jika tertimpa musibah mengatakan, "ini hanyalah awan musim panas. Sebentar lagi pasti akan tersingkap".
Sufyan bin Uyainah mengomentari ayat yang berbunyi, " Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar" (As_Sajadah : 24) bahwa ketika mereka memegang inti persoalan, maka kami jadikan mereka sebagai pemimpin" . dikatakan kepada Ahnaf bin Qais, "apa itu sikap santun ? ia menjawab, "engkau bersabar sedikit menghadapi hal-hal yang kamu benci". Wahab berkata, "telah tertulis dalam hikmah : benteng kebodohan adalah rasa capek, benteng kebijaksanaan adalah ketenangan dan benteng kesabaran adalah kemenangan. Sedang benteng dan puncak sesuatu adalah tujuan dan buahnya".
Ia bearazam untuk memotongnya. Orang-orang lalu memotongnya dengan gergaji. Ketika  sampai ke tulangnya, ia meletakkan kepalanya di atas bantal sejenak dalam keadaan pingsan. Sejurus kemudian, ia sadar dan peluh bercucuran dari wajahnya sambil membaca tahlil dan takbir. Ia kemudian mengambil potongan kakinya lalu diciumi sambil berkata, "demi yang menyatukanku denganmu. Ia mengetahui bahwa aku tidak pernah membawamu kepada hal-hal yang diharamkan dan maksiat. Juga kepada hal-hal yang tidak diridhai oleh-Nya". Ia kemudian meminta agar dimandikan lalu dikafani dengan selembar kain kemudian dibawa ke pekuburan kaum muslimin. Setelah datang dari sisi Al- walid di madinah, keluarga dan sahabatnya menjemputnya sambil berta'ziah. Ia mengucapkan, "Sesungguhnya kita Telah merasa letih Karena perjalanan kita ini".(Al-Kahfi : 62). Ia tidak berkomentar lebih dari itu. Kemudian ia berkata, "saya tidak ke madinah lagi. Saya di sana hanya berada di antara orang yang bergembira dengan musibah yang menimpa orang lain atau orang-orang yang dengki dengan nikmat yang diperoleh". Ia lalu menuju ke benteng yang terletak di Aqiq. Ketika ia masuk ke bentengnya, Isa bin Thalhah berkata, "celakalah orang yang membencimu. Perlihatkan luka yang membuat kami berta'ziah kepadamu" ia lalu menyingkap kedua pahanya. Isa langsung berkata kepadanya, "kami tidak pernah menyiapkanmu sebagai pegulat. Allah swt masih membiarkan lebih banyak dari jasmanimu, akal, lisan, pengelihatan, kedua tangan, dan salah satu kakimu. Ia menjawab, "wahai Isa. Belum ada yang menghiburku seperti caramu menghiburku. Ketika orang-orang hendak memotong kakinya, mereka mengatakan kepadanya, "bagaimana kalau engkau minim sesuatu agar tidak merasakan sakit. Ia menjawab, "saya hanya mendapat cobaan untuk mengukur kesabaranku, apa aku menolak takdir-Nya atau tidak". Anak beliau, Hisyam pernah ditanya, bagaimana ayahmu ketika berwuhdu? Ia jawab, "ia membasuhnya".
Imam Ahmad mengatakan, "Abdusshomad menceritakan bahwa Salam berkata, "saya mendengar Qatadah berkata, " ketika Lukman ditanya oleh seseorang, hal apa yang baik ? ia jawab, "kesabaran yang tidak disertai rasa sakit". Ia ditanya lagi, "manusia bagaimana  yang baik ? ia jawab, "orang yang puas dengan apa yang ada padanya". Manusia yang mana paling berilmu ? ia jawab, "orang yang mengambil ilmu orang lain untuk digabung dengan ilmunya". Ditanya lagi, "modal apa yang paling baik, harta atau ilmu ?. ia jawab, "subahanallah ! tentu orang mukmin yang berilmu, jika mencari kebaikan padanya maka ia dapati. Jika tidak punya kebaikan maka ia menahan diri dari kejahatan. Cukuplah bagi orang mukmin jika mampu menahan diri dari perbuatan jahat". Hassan bin Abi Jibillah berkata, "siapa yang mengeluh maka bukanlah orang sabar". Juga diriwayatkan oleh ibnu abiddunya secara marfu' kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Jika benar, maka artinya mengeluh kepada manusia, bukan orang yang mengeluh kepada Allah swt. Hassan bin Abi  Jibillah juga mengatakan tentang firman Allah swt.: "Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku)" (Yusuf : 18) katanya, "tidak ada keluhan padanya". Ibnu Abiddunya meriwayatkannya secara marfu' pula.
Mujahid mengatakan, "sabar yang baik adalah yang tidak melahirkan kepanikan". Amr bin Qais berkata, "Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku)" katanya, "kerelaan menerima cobaan dan sikap menerima dengan baik". Sebagain salaf mengatakan, "Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku)" artinya tidak ada keluhan padanya". Hamam mengatakan sebuah berita dari qatadah tentang firman Allah swt : "dan kedua matanya menjadi putih Karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)".(Yusuf : 84) ia mengatakan, "ia menahan amarahnya dengan penuh kesedihan tanpa mengatakan sesuatu yang tidak baik". Yahya bin Mukhtar menyampakan inforamsi dari Hasan bahwa makna menahan amarahnya adalah bersabar".  Hamam menyampika berita dari Qatadah tentang firman Allah swt yang berbunyi : "dan kedua matanya menjadi putih Karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)".(Yusuf : 84). Artinya menahan rasa sedih. Hasan mengatakan, "tidak ada dua keberanian yang paling dicintai oleh Allah swt selain keberanian meghadapi cobaan yang menyakitkan lagi menyedihkan yang dihadapi dengan hiburan yang baik dan penuh dengan kesabaran. Juga keberanian meredam kemarahan dengan penuh rasa kelembutan".
Abdullah bin Mubarak berkata, "Abdullah bin lahi'ah menyampaikan berita dari Atha' bin Dinar bahwa Said bin Jubair mengatakan, "sabar adalah pengakuan seorang hamba terhadap Rab-nya dengan menerima cobaan dari-Nya sambil mengharap pahala. Seseorang terkadang panik, tetapi tetap bersabar. Ia tidak melihat kemungkinan lain selain kesabaran". Ungkapannya bahwa "pengakuan seorang hamba terhadap Rab-nya dengan menerima cobaan darinya" seolah tafsiran dari Firman Allah swt. "Kami hanyalah milik Allah swt" ia mengakui bahwa dirinya hanyalah milik Allah swt  yang berhak melakukkan apa saja padanya. Sedang ungkapan, " sambil mengharap pahala dari-Nya" seolah tafsiran dari firman-Nya, "dan kepadanyalah kami akan dikembalikan" (Al-Baqarah : 136) artinya kita dikembalikan kepadanya lalu pahala kesabaran diberikan kepada kita yang tidak mungkin disiasiakan oleh-Nya. Ungkapannya " Seseorang terkadang panik, tetapi tetap bersabar" artinya kesabaran bukanlah dengan berusaha bertahan, tetapi sabar adalah mencegah hati agar tidak membenci takdir dan menjauhkan lidah dari keluh kesah. Jadi siapapun yang berusaha menahan rasa sakit tetapi hatinya tetap diliputi amarah maka dia bukanlah orang yang sabar.
Yunus bin Yazid mengatakan, "saya bertanya kepada Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, apa batasan kesabaran ? ia jawab, "hari-hari ketika tertimpa musibah sama dengan hari-harinya sebelum tertimpa musibah". Qais bin Hajjaj berkata tentang firman Allah swt, "Maka Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik" (Al-Maarij : 5) bahwa orang yang terkena musibah tidaklah diketahui oleh masyaraktnya. Syamr ketika menghibur (berta'ziah) orang yang terkena musibah berkata, "sabarlah terhadap ketentuan Tuhanmu". Abu Uqail berkata, "saya menyaksikan Salim bin Abdullah bin umar membawa cambuk yang disembunyikan dengan sarung pada saat Waqid bin Abdullah meninggal. Ia tidak mendengar orang yang menangis dengan suara meraung-raung kecuali ia memukulnya".
Ibnu Abiddunya berkata, "Muhammad bin Ja'far bin Mahran bercerita kepadaku bahwa seorang perempuan dari suku Quraisy bersenandung :
Demi yang tiada kekal kecuali wajah-Nya
dan demi  yang memiliki kemuliaan yang tiada tandingannya.
Jika awal kesabaran pahit terasa
Maka orang yang mematahkannya  telah memetik buah yang manis.
Muhammad bin Ja'far juga berkata, "Amr bin Bukair bersenadung kepadaku :
Saya telah bersabar dan ternyata kesabaran adalah sebaik-baik kesudahan.
Apakah jika kepanikan menimpaku lalu aku harus panik ?
Saya berusaha menguasai derai air mata, hingga kumampu
Mengarahkannya kepada orang-orang yang melihatku.
Walaupun  mata hati tetap  saja mengucurkan air mata.
Ia juga mengatakan, "Ahmad bin Musa At-tsaqafi juga bersenandung kepadaku :
Berita khaulah kemarin adalah bahwa ia merasa panik
Dari sapaan masa (musibah)
Jaganlah panik wahai khaulah dan bersabralah !
Sungguh kemulian terbangun dari unsur kesabaran.
Ia juga berkata, "Abdullah bin Muhammad bin Ismail At-Taimi menceritakan bahwa ada seseorang yang berta'ziah kepada orang yang anaknya tertimpa musibah. Ia berkata, ……Ibnu Abi Sammak berta'ziah kepada seseorang dengan berkata, "hendaklah anda bersebar, di situlah pekerjaan orang yang mengharapkan pahala dan kepadanya pula orang-orang yang panik dikembalikan". Umar bin Abdul Aziz berkata, "ridha adalah posisi yang mulia, hanya saja Allah swt menjadikan kebaikan pada kesabaran". Ketika anak Abdul Malik meninggal, ia menshalatinya kemudian mengatakan, "semoga Allah memberimu rahmat. Engkau telah mendampingiku dan telah membantuku". Ia berkata, manusia manangis sedang kedua mata Abdul Malik tidak mengeluarkan air mata sedikit pun. Mutrif bin Abdillah terkena musibah anaknya. Lalu sekelompok orang datang berta'ziah. Ia keluar menemui mereka dengan tampilan yang baik. Ia  kemudian mengatakan, "saya sangat malu kepada Allah swt jika saya murung kerena mendapatkan musibah". Amr bin Dinar mengatakan, Ubaid bin Umair berkata, "bukanlah bentuk kepanikan ketika mata seseorang berderai air mata dan hatinya bersedih, tapi kepanikan yang sebenarnya adalah perkataan jelek dan asumsi yang salah (tentang Allah swt).
Ibnu Abiddunya berkata, Husain bin Abdul Aziz Al-Harwazi bercerita kepadaku, "telah meninggal anak yang sangat berarti bagiku. Lalu kukatakan kepada ibunya, "bertakwalah kepada Allah. Bersabarlah sambil berharap pahala dari-Nya". Tiba-tiba ia berkata, "musibah yang menimpaku lebih besar dibanding merusaknya dengan kepanikan". Ibnu Abiddunya berkata, " Umar bin Bukair mengimformaskan kepadaku tentang seorang syekh dari suku Quraisy yang berkata, "Hasan bin Husain yang merupakan ayah ubaidillah bin Hasan meninggal. Ketika itu ubaidullah adalah qadhi sekaligus amir di basrah sehingga banyak sekali yang mengunjunginya. Mereka semua membicarakan hal-hal yang menampakkan kepanikan dan kesabaran sang qadhi. Mereka sepakat bahwa dia jika meninggalkan sesuatu yang pernah dikerjakannya maka ia panik.
Khalid bin Abu Utsman Al-Qarsy berkata, "Said bin Jubair pernah berta'ziah kepadaku akibat musibah yang menimpa anakku. Ia mendapatiku sedang thawaf dekat ka'bah dengan memakai topeng. Ia melepaskan topengku lalu berkata, "lemas adalah termasuk kepanikan"

PASAL

Adapun pendapat mayoritas ulama dari kalangan kita (mazhab hanbali) dan yang senada dengannya bahwa tidak apa-apa bagi orang yang terkena musibah memakai ikat kepala sebagai tanda yang bisa dikenali. Mereka beralasan bahwa ta'ziah adalah sunnah. Sedang memakai tanda pengenal memudahkan orang-orang mengenalnya sehingga mudah untuk berta'ziah kepadanya. Pendapat ini perlu diteliti ulang. Syekh kita (ibnu taimiyyah) menolak pendapat ini. Tak diragukan lagi bahwa salaf tidak pernah melakukan hal demikian. Pendapat demikian juga tidak pernah dinukil seorang pun dari kalangan sahabat dan tabi'in. Atsar-atsar sebelumnya juga sangat jelas menolak pendapat ini. Ishak bin Rahawaih tidak membenarkan seseorang mengganti pakaian yang bisanya dipakai seelum tertimpa musibah. Bahkan beliau mengganggap hal seperti itu sebagai bagian dari kepanikan. Secara umum mereka (sahabat dan tabi'in) tidak pernah merobah tampilan mereka sebelum tertimpa musibah dan tidak meninggalkan apapun kebiasaan mereka sebelumnya. Semua prilaku demikian bertentangan dengan kesabaran. Wallahu A'lam.


HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN MUSIBAH
SEPERTI : MENANGIS, MERATAP, MEROBEK PAKAIAN DAN PERILAKU JAHILIAH LAINNYA



Di antaranya adalah menagisi orang meninggal. Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah membolehkan tangisan, baik sebelum seseorang meninggal atau pun sesudahnya. Abu Ishak As-Syirazi juga mengikuti pendapat ini. As-Syafi'i dan mayoritas sahabatnya memakruhkan tangisan setelah seseorang meninggal, tapi memberikan Rukhsa (keringan) setelah ruh meninggalkan jasad. Mereka beralasan dengan hadits Jabir bin Atik bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam  datang menjenguk Abdullah bin Tsabit dan mendapatinya sedang sekarat. Lalu beliau menegurnya dan ia tidak bisa lagi menjawabnya, hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membaca inna lillahi wa innaa ilahi rajiun dan berkata, "kami mengatasimu wahai Abu Robi'". Kaum wanita lalu histeris dan menagis, hingga Ibnu Atik berusaha mendiamkan mereka. Tapi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, "biarkan mereka menangis. Tapi jika telah pasti maka jangan biarkan seorang pun menagis"  mereka semua bertanya, "apa maksudnya "pasti" wahai rasulullah ? beliau menjawab, "mati". (HR Abu Daud dan An-Nasa'i).
Mereka mengatakan, "Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis dari Ibnu Unar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "mayit disiksa karena keluarganya menagisinya" . Hadits ini hanyalah menunjukkan  tentang orang yang telah meninggal. Adapun sebelumnya, ia belum dianggap orang mati.
Dari ibnu umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setelah datang dari menemui seseorang, lalu beliau mendengarkan wanita Bani Abdil Asyhal menangisi mayit mereka. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, "tapi Hamzah tidak ada yang menangisinya". Lalu wanita ansar datang menangisi hamzah di dekat beliau sehingga terbangun dari tidurnya. Beliau mengatakan, "celakalah mereka. Mereka datang ke sini untuk menangis hingga sekarang. Suruh mereka pulang dan jangan ada lagi seseorang yang menangisi mayit setelah hari ini"  (diriwayatkan oleh imam Ahmad). Hadits ini jelas menghapus kebolehan perkara sebelumnya.
Perbedaan antara setelah mati dan sesudahnya adalah bahwa sebelum seseoang meninggal masih ada harapan untuk sehat kembali, sementara  tangisan yang mengiringinya hanyalah bentuk rasa khawatir saja. Adapun setelah meninggal, harapan itu telah terputus dan takdir telah jelas. Tangisan tiada manfaatnya lagi ketika itu.
Orang-rang yang membolehkannya mengatakan, "Jabir bin Abdillah berkata, "pada perang uhud, ayah saya meninggal hingga saya menangis. Orang-orang melarangku menangis tapi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak melarangku. Tanteku, Fathimah ikut menangis. Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, "engkau menangis atau tidak, malaikat akan terus menaunginya hingga mereka mengangkatnya ke langit"  (HR Bukhari dan Muslim)
Juga dalam kitab Shahihain terdapat sebuah hadits dari  Ibnu Umar, ia mengatakan, "Sa'ad bin Ubadah mengeluhkan sebuah keluhan yang dialaminya. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersama Abdurrahman bin Auf, sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas'ud datang menjenguknya. Ketika mereka masuk menemuinya, ia sedang pingsan. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mwngatakan, "ia telah meninggal". Mereka serempak mengatakan, "belum wahai rasulullah" maka beliau menangis. Ketika rombongan melihatnya menangis, mereka pun ikut menangis. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, "tidakkah kalian mengetahui bahwa Allah swt tidaklah menyiksa hanya karena sekedar cucuran air mata dan tidak pula karena kesedihan hati. Tetapi Allah swt menyiksa karena ini-Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menunjuk lidahnya-dan mengasihi".
Dalam kitab shahihaini juga terdapat hadits Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menuju salah satu rumah anaknya, sedang anaknya itu memiliki anak kecil yang telah meninggal. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merangkul cucunya dengan nafas yang tesengal-sengal seperti sedang flu berat. Tiba-tiba kedua matanya mengeluarkan air mata. Sa'ad lalu berkata, "kenapa bisa begini wahai Rasulullah ? Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, "ini adalah rahmat yang dititipkan oleh Allah swt ke dalam diri hamba-hamba-Nya. Allah swt hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penuh dengan rasa kasih sayang".
Dalam musnad Imam Ahmad terdapat sebuah riwayat yang berasal dari ibnu Abbas, ia mengatakan, "Ruqayyah, Anak perempuan Rasulullah meninggal. Para wanita menangis sehingga dipukuli oleh Umar dengan cambuk. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, "biarkan saja mereka menagis wahai umar. Tapi jauhilah kalian(wahai kaum wanita) longlongan setan" kemudian beliau mengatakan, "sungguh betapa pun yang terjadi pada mata dan hati, tetapi itu berasal dari Allah swt dan merupakan bagian dari kasih sayang. Adapun yang terjadi karena tangan dan lidah maka itu karena setan" dalam musnad juga terdapat riwayat Aisyah bahwa Sa'ad bin Muaz ketika meninggal disaksikan oleh rasullah saw, Abu bakar dan Utsman. Aisyah mengatakan. "demi yang jiwaku berada dala genggamannya, saya sangat bisa membedakan  tangisan Abu Bakar dengan tangisan Umar walau pun saya berada dalam kamarku"
Dari kitab musnad pula ditemukan sebuah riwayat dari Abu Hurairah bahwa ia mengatakan, "ada jenazah yang diantar melewati nabi dengan tangisan. Ketika itu saya besama nabi dan Umar bin Khattab. Umar lalu menghardik orang-orang yang menangisinya. Rasulullah saw menegurnya, "biarkan saja wahai Ibnul Khattab, sungguh jiwanya merasa tertimpa musibah, matanya bercucuran air mata sedang batas akhir begitu dekat"
Dalam kitab jami' At-Tirmidzi terdapat sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan, "Rasulullah saw mengajak Abdurrahman bin Auf melihat anaknya, Ibrahim. Keduanya mendapati Ibrahim sedang sekarat. Rasulullah saw meletakkanya di pangkuannya sambil menangis. Maka Abdurrahman berkata "Kenapa menangis wahai rasulullah, bukannya engkau melarang tangisan ? rasulullah saw menjawab, "tidak, yang saya larang adalah suara bodoh yang jelek. Suara ketika sedang tertimpa musibah, mencakar wajah, merusak saku dan menjerit layaknya setan"  At-Tirmidzi berkata, "hadits ini baik (hasan). Telah ditemukan hadits shahih bahwa rasulullah saw mengunjungi kuburan ibunya sambil menangis, hingga orang-orang yang besamanya ikut menangis. Juga beliau pernah mencium Utsaman bin Maz'un hingga kedua matanya mengeluarkan air mata. Ia juga pernah melayat kepada Ja'far beserta kawan-kawannya sedang matanya bercucuran air mata. Abu Bakar As-Shiddik pernah menciumi nabi ketika meninggal sambil menangis.]
Inilah 12 hujjah yang menunjukkan bahwa menangis tidaklah makruh. Jadi, hadits-hadits yang melarang tangisan hanyalah yang disertai dengan ratapan. Karena itulah, sebagian lafazh hadits Umar ditemukan ungkapan seperti, "mayit diazab karena tangisan sebagian keluarganya" sebagian lagi berbunyi, "diazab karena diratapi". Bukhari mengatakan dalam kitab shahihnya, "umar mengatakan "biarkan mereka menangisi Abu Sulaiman -maksudnya Khalid Bin Walid- selama tidak memukul-mukul tanah dan bukan dengan suara yang meraung-raung".
Adapun anggapan bahwa hadits hamzah telah dinasakh, maka itu tidak benar. Karena maknanya adalah "jangan ada yang menangisi orang yang meninggal sejak hari ini, yaitu orang-orang yang terbunuh dalam  perang uhud".
Hal yang membuktikannya adalah bahwa nash-nash yang membolehkannya  kebanyakan datang setalah perang uhud. Diantaranya hadits Abu Hurairah, karena keisalaman dan keikutsertaannya bersama Nabi terjadi pada tahun ke-7 H. diantaranya pula, tangisan terhadap Ja'far dan sahabt-sahabatnya. Kesyahidan mereka terjadi pada tahun ke-9 H. Diantaranya juga, tangisan terhadap Zainab yang meninggal pada tahun ke-8 H. juga tangisan terhadap Sa'ad bin Muaz yang meninggal pada tahun ke-5 H. juga tangisan rasulullah saw di pekuburan ibundanya yang terjadi pada tahun ke-8 H saat setelah terjadinya Fathu Mekah.
Adapun perkataan mereka, "tangisan hanya dibolehkan sebelum seseorang meninggal sebagai wujud rasa khawatir dan itu berbeda jika telah meninggal" jawabannya adalah bahwa orang yang menangis sebelum seseorang meninggal tangisannya itu adalah wujud kesedihan, sementara kesedihannya setelah meninggal lebih besar, maka itu lebih utama diberikan keringanan untuk menagis dibanding kondisi yang masih ada harapan untuk hidupnya. Rasulullah saw telah mengisyaratkan hal itu dengan sabdanya, "mata bercucuran air mata dan hati sangat bersedih. Hanya saja kita tidak mengucapkan hal-hal yang membuat Allah swt marah. Sungguh kami sedih ditinggal olehmu wahai Ibrahim".    


PASAL

Adapun ratapan dan tangisan keras, imam Ahmad mengharamkannya. Ia mengatkan dalam riwayat Hambal, "tangisn keras adalah kemaksiatan". Sahabat-sahabat As-Syafi'i dan lain-lain mengatakan, "ratapan adalah haram". Ibnu Abdil Bar mengatakan, "ulama sepakat bahwa ratapan tidak boleh bagi laki-laki maupun wanita. Sebagia ulama mutaakhirin dari kalangan hambali berkata, "makruh dari segi adab". Ungkapan ini adalah lafaznya Abul Khattab dala kitab Al-Hidayah. Ia mengatakan, "dimakruhkan menangis keras, meratap, mencakar wajah dan merobek-robek saku. Yang benar adalah pendapat yang mengharamkan, berdasarkan hadits yang terdapat dalam kitab Shahihain dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa rasulullah saw mengatakan, "bukanlah golonganku orang yang suka memukul wajah, merobek-robek saku dan meneriakkan ungkapan jahiliah". Dalam kitab Shahihai juga terdapat hadits dari Abu Burdah, ia mengatkan, "Abu Musa terimpa penyakit yang menyebakannya pingsan, sedang kepalanya berada diatas pangkuan salah seorang perempuan dari keluarganya. Tiba-tiba wanita tadi berteriak keras dan ia tidak bisa mencegatnya. Setelah Abu Musa siuman, ia mengatkan "saya berlepas diri dari hal yang rasulullah saw berlepas diri darinya. Sungguh rasulullah saw berlepas diri dari orang yang berteriak keras, berkata dengan perkataan yang keji dan orang yang tidak sabar". Dalam kitab Shahihaih juga tersapat sebuah hadits dari Mughirah bin Syu'bah, Ia berkata, "saya pernah mendengar rasulullah saw bersabda, "sungguh orang yang diratapi akan diazab dengan hal yang menyebabkannya diratapi"  juga dari kitqab shahihain dari Ummu Athiyyah ia berkata, "rasulullah mengambil sumpah kami ketika sedag berbaiat agar kami tidak meratap…



 

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form