Gerhana; Dari Mitos Menuju Tauhid
(Petikan Hikmah dan Pelajaran)
By. Idrus Abidin.
Malam
ini, Rabu 14 Zulqaidah 1440 H., bertepatan dengan tanggal 17 Juli 2019;
tepatnya pukul 03.00 in syaa Allah gerhana bulan setengah akan
berlangsung. Sebuah fenomena langit yang dulunya terhitung langka.
Namun, seiring dengan usia alam semesta yang makin menua, fenomena
gerhana pun berulang kali mengisi keseharian kita. Bahkan, menurut Islam
gerhana termasuk bagian dari tanda-tanda dekatnya hari kiamat tiba.
Saat kecil dulu, ketika gerhana matahari total terjadi, seluruh
kolong-kolong rumah ditutup dengan kain atau sejenisnya. Anak-anak
hingga orang dewasa dilarang ngintip matahari yang sedang redup oleh
bulan yang sedang menghalangi cahaya itu untuk menggapai bumi. Katanya,
kalau ditatap saat puncak gerhana terjadi kalian pasti buta. Belum lagi
mitos bahwa naga raksasa sedang menelan matahari. Begitulah mitos kita
di Nusantara ini.
Nan jauh di tanah Arab sana, ketika Rasulullah
memuncaki kegiatan dakwah, gerhana pun terjadi. Kebetulan bersamaan
dengan meninggalnya putra beliau bernama Ibrahim. Maka, serta merta
muslim yang baru lepas dari era jahiliah itu meyakini bahwa gerhana
terjadi karena meninggalnya seorang tokoh atau pembesar atau semisalnya.
Termasuk meniggalnya putra Rasulullah. Maka, sesegera mungkin
Rasulullah membantah keyakinan tersebut dan menyamai pandangan yang
tepat berdasarkan perspektif Islam. Bahkan, tak jarang ada yang memberi
sesajen agar alam tak murka. Padahal, manusia adalah bos pengelolaan
yang seharusnya menundukkan alam ini. Bukan malah menjadi hamba alam
yang serba ketakutan, sehingga harus membayar sesajen demi terhindar
dari petaka. Demikianlah mitos itu turun temurun diwariskan akibat
minimnya pemahaman dan pengetahuan agama.
Langit,
tempat terjadinya gerhana adalah area yang mengandung dua jenis
argumentasi sekaligus. Pertama, argumentasi wahyu yang mengarahkan
pandangan kita secara batin (iman). Kedua, argumentasi rasional yang
mengarahkan indera kita agar memperoleh nilai-nilai keagungan Allah di
balik setiap ciptaanNya. Argumentasi wahyu mengajarkan kita bahwa Allah
adalah puncak tertinggi wujud. Di bawahNya ada Arasy, Air, Kursy, langit
ke-7 hingga langit bumi. Di samping itu, langit juga berpintu,
bertingkat tujuh dan berjarak dengan kisaran tertentu serta dihuni oleh
kalangan malaikat. Sedang secara rasional, langit ditegaskan sebagai
maha karya dan cipta Allah yang luas dan tinggi, namun tak butuh pilar
sebagai penyangga (QS ar-Ra'du : 2). Dialah yang memegang kendali langit
agar tidak runtuh menimpa bumi (QS al-Hajj : 65). Langit dan Bumi
beserta semua struktur alam semesta itu digambarkan oleh Rasulullah di
tangan Allah layaknya biji sawi yang disimpan di atas jari jemari;
digerakkan semauNya dan sekehendakNya. [Lihat : QS az-Zumar ayat 67].
(Kitab as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Vol. 2, no. 1090).
Demikian sedikit cuplikan fenomena langit secara rasional dalam
Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Selain
langit, Allah juga menginformasikan bahwa matahari bersinar (dhiyaa)
sedang bulan bercahaya (nur) dan beredar pada poros tertentu agar
manusia mengetahui jumlah hari, bulan dan perhitungan tahun. Terjadinya
gerhana matahari adalah kondisi di mana bulan sedang berada antara
matahari dan bumi sehingga cahaya matahari terhalang dari bumi. Sedang
gerhana bulan terjadi karena matahari menghalangi cahaya bulan menyinari
bumi. Keduanya adalah fenomena yang menunjukkan kehebatan dan keagungan
Allah Ta'ala. Rasulullah menegaskan,
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا
اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari sekian banyak tanda-tanda
kebesaran Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian
seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka
lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR.
Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Setidaknya ada 3 aspek yang menjadi pelajaran berharga bagi kita karena adanya fenomena gerhana matahari dan bulan :
Pertama, Aspek Akidah.
Bahwasanya
kejadian apapun yang terjadi di alam ini, mutlak atas kehendak,
ketetapan dan kekuasaan Allah. Kejadian ini adalah ketetapan dan takdir
alam (kauni) yang harus diterima dengan ikhlas dengan mengikuti
adab-adabnya berupa takbir, istigfar, shalat dll (takdir syar'i)
sehingga kita benar-benar menjadi hamba yang taat dan patuh tanpa syarat
kepada Allah sang maha hebat. Kejadian alam yang telah diatur oleh
Allah merupakan kepastian yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Karena
pada bidang ini, manusia tidak memiliki kebebasan dan opsi apa pun
layaknya takdir syar'i yang bisa ditolak oleh orang-orang kafir yang
tertutup semua akses pengetahuannya. Ini juga menegaskan perlunya kita
senantiasa tunduk, patuh penuh cinta dan full keikhlasan padaNya. Tidak
ada tempat bagi keangkuhan dan kesombongan di sini. Karena manusia
adalah makhluk kecil tanpa daya di tengah hamparan semesta yang murni
berada di bawah kekuasaan Allah Ta'ala. Artinya, bahwa gerhana bukanlah
fenomena biasa yang layak diabaikan dan berhenti sebatas tontonan tanpa
efek apapun kepada tuntunan agama Islam. Tapi lebih dari itu, gerhana
mengajarkan tentang pentingnya rasa takut terhadap otoritas dan
kekuasaan Allah yang tak terbatas. Apalagi jika dipahami bahwa
terjadinya kerusakan di daratan dan lautan, semuanya akibat dari dosa,
maksiat, keserakahan dan kesombongan manusia. Hanya karena ampunan,
kasih sayang Allah lah sehingga semuanya tetap berjalan sebagaimana
mestinya. Padahal, jika dibandingkan dengan pelanggaran itu, manusia
seharusnya sudah terkubur oleh keserakahan mereka sendiri.
Naudzubillah.
Kedua, Aspek Ibadah.
Inilah
konsekuensi dari aspek pertama. Bahwa kita seharusnya menunjukkan rasa
pengangungan atas kehebatan, kekuasaan dan keagungan Allah dengan
melaksanakan shalat, memperbanyak zikir dan do'a. Di samping itu,
menyadari sepenuhnya akan kelemahan diri. Sehingga pantas mengucap
pengakuan secara jujur, 'La Ilaha Illa anta, subhanaka, inni Kuntu
minazzhalimin." (Tiada Tuhan yang pantas disembah selain diriMu. Maha
suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang yang berlumuran dosa dan
maksiat). Atau pernyataan serupa, "Rabbana zhalamna anfusana. Wain lam
tagfirlana watarhamna lanakunanna minazzhalimin." (Ya Rabb kami, sungguh
diri ini sering dosa dan maksiat. Jika Engkau tidak mengampuni dan
menyayangi kami, pasti kami menjadi makhluk paling merugi). Bahkan,
untuk shalat, sangat dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah dengan
mengumpulkan masyarakat sekitar melalui informasi via Facebook,
Grup-grup WA dan Twitter serta IG. Bahkan kalau perlu, seperti zaman
Rasulullah, lewat pengeras suara di masjid-masjid ataupun mushalla,
warga dimobilisasi agar berkumpul dengan ucapan dan pengumuman,
"Ash-Shalatu jami'ah." (Ayo kumpul untuk shalat bareng-bareng). Karena
untuk shalat gerhana tidak ada petunjuk agar azan dan Iqamah
dikumandangkan. Walaupun bisa pula ditandai dan diumumkan dengan cara
takbiran layaknya idul Fitri atau idul Adha. Tetapi cara seperti ini,
sebelum dilakukan, perlu penjelasan kepada masyarakat sekitar agar tidak
jadi fitnah yang akan merusak keutuhan ukhuwah imaniyah.
Ketiga, Asfek Sosial dan Muamalah.
Sebagai
mana umumnya ajaran Islam, kualitas keshalehan pribadi diminta agar
berefek dan menular ke lingkup yang lebih luas. Dengan rasa syukur
sekaligus sebagai wujud rasa takut akan adanya bencana seiring dengan
terjadinya gerhana; maka membantu meringankan beban dan kebutuhan sesama
termasuk ibadah yang perlu diprioritaskan. Bahkan, pada zaman
Rasulullah, memerdekakan budak termasuk amalan sunnah yang sangat
ditegaskan oleh beliau. Padahal, pembebasan budak termasuk kegiatan
sosial yang terhitung mahal di era itu. Kini, perbudakan secara resmi
tentu sudah tidak ada. Walaupun perbudakan secara maknawi masih terjadi
di mana-mana. Seperti bekerja dengan sistem outsourcing. Bekerja dengan
gaji di bawah UMR dll. Semua itu termasuk aspek sosial yang perlu
ditangani dengan baik melalui penyadaran dan pemahaman, termasuk melalui
kegiatan shalat gerhana seperti ini. Wallahu a'lam.
Jakarta, 17 Juli 2019.
0 komentar:
Post a Comment