Monitoring Islam Liberal dari Bilik Islam Klasik.
Pengembaraan Intelektual. (Catatan Perjalanan Akademik). Bagian 2.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan).
2.
Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik. Modern
tanpa kebablasan). Berhati-hati tanpa telat berkontribusi.
3. Pengalaman real lapangan.
Masa-masa
karantina LIPIA sebagai basis akademik Islam klasik (S1 plus) sudah
sangat tepat. Versi Islam lurus, sejarah peradaban itu mengikuti alur
berikut :
A. Era tauhid.
B. Masa-masa degradasi tauhid menuju maksiat.
C. Era kesyirikan.
Versi
ini, manusia berawal dari tauhid dan hidayah sejak masa nabiyullah Adam
dan Hawa. Terjadinya kemunduran taqwa berawal dari perselisihan saudara
kandung; Qabil dan Habil atas nama pesona kecantikan wanita. Itulah
masa era tauhid menuju degradasi. Keturunan Qabil mewarisi degradasi,
sedang Habil meneruskan otoritas Tauhid. Hadir di masa setelah itu nabi
Idris alaihissalam. Nabi pertama yang terampil dalam industri jahitan
versi Ibnu Katsir dalam Qashas Anbiyaa beliau. Syirik menjadi dominan,
sehingga Allah mengutus rasul pertama; Nuh alaihissalam. Dalam penuturan
Ibnu Katsir, interval waktu antara Adam dan Nuh kisaran 9 generasi x
1000 tahun = 9.000 tahun. Karena rata-rata umur mereka per generasi
adalah 1000 tahun.
Berbeda dengan persfektif Islam lurus di atas, kalangan Islam liberal mengikuti alur peradaban versi sekuler, yaitu :
A. Era mitos.
B. Masa keagamaan.
C. Era Sains dan teknologi (positivisme).
Agama
versi Islam liberal hanya masa-masa peralihan dari era mitos. Era
makhluk pra sejarah yang umumnya mengakui teori evolusi Darwin dengan
monyet sebagai asal-usul (nenek moyang) manusia. Agama menjadi kerdil
peranan kemasyarakatannya karena (realitas) sains dan teknologi merajai
kehidupan sosial. Maka, pemisahan agama dengan dunia mutlak dilakukan
oleh mereka via proyek pembaharuan. Politik menjadi ajang bersih-bersih
dari campur tangan agama. Ruang publik disterilkan dari perspektif
agama. Agama cukup menjadi doktrin pribadi yang tak punya hak dan akses
ke ranah publik. Ilmiah versi Barat bukan sekedar ilmu yang sistematis,
tapi juga harus empiris (indrawi). Agama pun tak punya hak menyandang
status "ilmiah" sekalipun memiliki sistematika unik melampaui ilmiahnya
ilmu peradaban mana pun, seperti yang dimiliki ilmu hadits (kritik
sanad).
---------------
Selama
kami berkutat di kampus dg sejumput mata kuliah yang telah disebutkan
pada status sebelumnya, di sela-sela kuliah tahun pertama di wilayah
Salemba, Jakarta Timur, saya juga ikut taklim pekanan kurleb setahun di
masjid kompleks BRI yang terletak di bilangan jalan Pramuka menuju ke
jalan Pemuda atau ke jalan Salemba Raya. Di situlah saya mengenal
syari'at jenggot yang diajarkan taklimnya oleh Ust. Abdul Hakim Abdat
dengan Shahih Bukhari sebagai pegangan taklim resmi. Itu berlangsung
tiap Sabtu pagi di akhir pekan (weekend). Termasuk ketika itu
mengeritisi kandungan majalah Sabilii yang dianggap menyimpang oleh sang
Ustadz. Sesekali juga di hari Selasa sore ikut taklim di masjid Dewan
Dakwah (DDI Pusat) yang diampuh oleh Ustadz Yazid Jawwaz.
Riyadhusshalihin dijadikan panduan taklim rutin. Suatu ketika, saat saya
sedang asyik-asyiknya menikmati buku-buku berhaluan haraki-ikhwani,
terjadi polemik di internal -cikal bakal- Salafi Indonesia itu.
Pemantiknya adalah bagaimana menempatkan status bagi syekh Muhammad
Abduh di Mesir dengan majalah al-Urwatul Wutsqaa serta Universitas
Al-Azhar-nya di Kairo, Mesir. Versi almarhum Ust. Ja'far Umar Thalib dan
Ust. Hakim Abdat, Syaikh Muhammad Abduh termasuk bermasalah secara
manhaj (waktu itu belum ada istilah polisi manhaj apalagi cyber army
manhaj). Sedang Ust. Yazid Jawwaz terhitung positif menanggapi status
sang syekh, kala itu.
Serasa
ada titik balik pada diri ana sehingga sementara waktu lock down dari
kajian beliau berdua. Ana melanjutkan tradisi baru yang doyan melahap
buku-buku pergerakan yang juga getol menyinggung musuh intelektual kiri,
terutama polemik Islam kiri dan Islam kanan di Mesir dan di Indonesia
tercinta. Tulisan kritis Ustadz Hartono Ahmad Jaiz terhadap pembaharuan
salah kaprah itu, termasuk di antara list menu harian kami. Buku-buku
Syaikh Yusuf Qardhawi (terutama al-Ibadah Fii al-Islam dan Tsaqafatu
ad-Daiyah), Syaikh Quthub (terutama Fii Zhilal Al-Qur'an, Ma'alim Fii
at-Thariq dan Dirasat Islamiyah dll), Syaikh Sa'id Hawwa dg
Tazkiyatunnafs dan Rambu-Rambu jalan Ruhani serta buku-buku Ibnul Qayyim
al-Jauziyah seperti ringkasan kitab Madarijussalikin dan volume 1 kitab
Zaad al-Ma'ad. Kesemuanya menjadi menu spiritual yang mengiringi kuliah
normatif Islam di kampus. Buku-buku dan kitab-kitab itu layaknya pizza
huts yang menggiurkan enaknya. Setidaknya, sesuai salah satu kitab
penulis terkenal Syi'ah; Hernowo, yang diterbitkan Kaifa publishing
Bandung (salah satu imprint penerbit Mizan) sekitar tahun 2003. Walaupun
ketika LIPIA sudah pindah ke kampus baru di Buncit Raya, Jakarta
Selatan; saya dengan teman kost sesama alumni satu almamater dari pondok
pesantren al-Urwatul Wutsqaa, Sidrap, Sulawesi Selatan; masih betah
mondar mandir di sekitaran Salemba Raya. Di samping faktor lain,
keberadaan Gramedia sebagai tokoh buku unik dan lengkap; menambah gairah
untuk tetap betah di tempat lama ini.
Di
Fakultas Syari'ah, kami bahkan dipandu langsung Dr. Daud Rasyid di mata
kuliah hadits ahkam (Kitab Subulussalam). Ketika itu, beliau terhitung
doktor mudah yang dianggap kritis terhadap pemikiran Neo Muktazilah
Prof. Dr. Harun Nasution dan Dr. Nur Kholis Majid. Sejumlah buku beliau
tulis seputar itu, termasuk buku berbahasa Arab; as-Sunnah Fii
Indonesia. Di sela-sela kuliah, terkadang beliau terpancing juga
menceritakan polemik Islam kiri dan Islam kanan. Bahkan, terasa itu
adalah oase baru yang makin memacu kami menguasai kitab-kitab klasik.
Dari beliau lah kami banyak mendapat info kitab-kitab modern yang pro
Islam kanan. Seperti kitab as-Sunnah wa Makanatuha Fii at-Tasyrii
al-Islami, karya Dr. Musthafa as-Siba'i, kitab as-Sunnah Qabla at-Tadwin
karya Dr. Ujaj Al-Khatib dll. Termasuk mendengar buku-buku kiri seperti
buku Ali Abdul Razik; Al-Islam wa Ushul al-Hukm, al-Qashah al-Qur'ani
tulisan Khalafallah yang mengklaim kisah Al-Qur'an hanya sebatas rekaan
imajiner; tidak real karena hanya sebatas pembelajaran dan pendidikan.
Saat kami di fakultas syari'ah ini pula terbit majallah Islam liberal
bernama Syir'ah. Hanya 1 edisi yang sempat saya lirik. Klo tidak salah,
sempat membahas masalah budaya; tari perut yang terkenal di Mesir itu
dalam pandangan Islam (Liberal). Entah majallah itu keluaran JIL
(Jaringan Islam Liberal) yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta Timur;
dekat tempat kerja saya sekarang atau bukan.
Semua
tumpukan literatur itu berdialog tidak karuan dalam file-file memori
kami. Namun tampaknya belum cukup kuat untuk dijadikan sebuah ledakan
pemikiran. Bukan karena minimnya literatur, tapi tak lebih karena
kurangnya keahlian menulis kami. Namun sebagai "row material", bahan
baku itu cukup mumpuni untuk menemani kami dalam petualangan intelektual
berikutnya. Terutama dengan kehadiran Jurnal pemikiran dan peradaban
Islam pertama di Indonesia; ISLAMIA. Produk intelektual muda muslim
Indonesia; hasil didikan prof Dr. Naquib Al Attas di Malaysia. Jurnal
ini dikomandani oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dan Dr. Adian Husaini.
Mereka berdua tokoh INSIST Jakarta.
Pertama
kali jurnal ini dibawa oleh seorang teman sekelas yang belakangan ini
menjadi ustadz fenomenal di jejaring sosial FB; Ustadz Anshari Taslim,
Lc. Jurnal inilah yang semakin mendobrak dan membuka kesadaran ilmiah
kami; tentang bagaimana literatur klasik itu memandang dan didialogkan
dengan literatur pemikiran modern yang serba kiri. Belum lagi
sumber-sumber orientalis yang banyak dibedah pemikiran mereka di jurnal
tersebut. Pembahasan yang diangkat pun di edisi perdana langsung ke
Hermeneutika. Basis umum metodologi pemikiran yang menjadi keahlian
wajib di madrasah intelektual liberal. Kata dan istilah tafsir disamakan
dengan Hermeneutika secara total, tanpa membedakan latar belakang
budaya yang membedakan/melahirkan kedua istrilah tersebut. Hampir semua
tema-tema pemikiran kontemporer sempat dipublis dan dianalisis secara
cerdas dan kritis pada jurnal pemikiran dan peradaban Islam ini. Mulai
dari pluralisme agama, framework studi Islam orientalis, kerancuan
berpikir tokoh liberal, akar peradaban Barat dll; hadir di sini dengan
bahasa ilmiah. Masa-masa itu, terkadang saya merasa, mata pelajaran dan
rutinitas kuliah di LIPIA seolah merecoki kegemaran kami meliterasi di
bidang pemikiran dan pergerakan. Karena terkadang buku-buku pergerakan
dan pemikiran itu mengaduk-aduk semangat dan jiwa untuk berbua sesuatu.
Sedang mata kuliah berasa hampa dan tekanan "tanggungjawab"nya lumayan
tinggi. Tanpa disuruh; ayat, hadits, ijma', Qiyas, dll seolah harus
dihapal. Kalau pun tidak, tentu bingung mau nulis apa pas lembaran ujian
tiba. Namun, rasa itu kami sadari setelah lewat masa-masa karantina
LIPIA dan terjun bebas di ranah dakwah dan pengajaran di salah satu
pondok pesantren di Jawa Barat; Husnul Khatimah namanya. Anak-anak
santri putra dan putri begitu doyan ketika di luar mata pelajaran; saya
nyerempet ke cerita-cerita bernuansa pemikiran dan bersemangat dakwah.
Seperti ketika kami di kampus LIPIA dulu. Itu berjalan sekitar 1,5 tahun
lamanya. Sebelum peluang beasiswa Depag resmi di tangan untuk studi
lanjutan di ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Itulah sekelumit modal
intelektual yang coba kami terus rapikan dalam folder-folder otak; yang
nantinya menemani kami dalam kelas-kelas bebas pemikiran di
Pascasarjana.
Sekian dulu ya. Dah tengah malam. Hehehe . Maaf, terlalu serius.
Ahad, 5 April 2020. (11 Sya'ban 1441 H)
0 komentar:
Post a Comment