Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah.
(Catatan Perjalanan) 3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.
Hari Pertama.
By. Idrus Abidin.
Turki
adalah sebuah wilayah yang membelah dua benua; Asia dan Eropa.
Peradaban besar Kristen ortodoks pernah menguasai wilayah ini sekian
abad. Haga Sofia masih gagah berdiri sebagai bukti sejarah. Ornamen
bunda Maryam dg Zakaria serta nabi Isa masih tergores rapi dg tulisan
Ibrani di sini. Dulu dikenal dg sebutan Imperium Romawi Timur. Atau
Bizantium dan konstantinopel. Hingga kaum muslimin menguasainya dengan
izin Allah lewat seorang pemuda berumur 22 tahun bernama Muhammad (2)
al-Fatih; Anak dari raja Murad 2. Beliau bertahta pada khilafah
Utsmaniyah antara tahun 1451 M. hingga th 1481 M. Beliaulah ternyata
yang dimaksud dalam hadits
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
Sungguh
Konstantinopel akan ditaklukkan. Dan sebaik-baik amir ketika itu adalah
amirnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan sang amir tersebut. (HR
Ahmad)
Selasa pagi, 20
Jumadil Ula 857 H bertepatan pada tanggal 29 Mei 1453 M, serangan
terakhir terhadap benteng konstantinopel dilakukan hingga berhasil
menguasai kota ini.
Kami
tiba di Turki, di Attaturk air port sekitar jam 05.50 pagi waktu lokal.
Ternyata waktu Turki persis dan bertepatan dengan waktu Arab Saudi. Kami
ditemani oleh tour guide bernama Rehber Murpan Yuparlak yang lebih
enjoy dipanggil Marwan. Seorang Turki yang khas dg badan tegak ala
militer. Putih bersih dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.
Awalnya, tampilan sang guide kami mirip preman dg kacamata hitam. Namun,
seiring perjalanan Istambul ke Bursa yg berada di benua Asia ini,
pembahasannya seputar Istambul dan Turki secara umum; terutama seputar
Bursha, membuat saya tercengang. Beliau dalam sekali pemahamannya
seputar sejarah Turki era sebelum Islam hingga era keislaman; termasuk
Turki Modern. Beliau pernah mengunjungi Indonesia dan bertemu jodohnya
di Jakarta; yang ketika itu bekerja di sebuah perusahaan di sekitar
wilayah Kuningan. Tapi bukan wanita Indonesia. Si Marwan bisa bahasa
Indonesia, Turki, Rusia, Arab pasaran dan juga Bahasa Inggris. Asal
beliau ternyata Suriah. Namun, bapaknya pernah tinggal lama di Saudi
Arabia. Selain dia menjelaskan situs-situs Istambul dan Turki yang
bersejarah; di saat kami duduk berdua, di mobil, ruang makan hingga di
masjid, bahasa Arab lebih enjoy kami gunakan untuk komunikasi dibanding
bahasa Indonesia. Tak jarang, ketika dia menjelaskan sebuah ayat atau
hadits dalam bahasa Indonesia; saya bantu teksnya dalam bahasa Arab.
Beliau ga bisa baca huruf Arab seperti umumnya orang-orang Turki, akibat
sekularisme Turki yang sempat menghapus semua yang berbau Arab;
termasuk azan, baca Qur'an dll. Beliau hanya bisa baca huruf Arab via
tulisan latin; seperti orang Indonesia yang blm bisa baca huruf Arab.
Setiap kali ia mengisyaratkan ayat; beliau menyodorkan kepada saya
Qur'an tapi dengan hurup latin Turki. Katanya, agar saya bacakan Arabnya
dan sedikit arah maknanya (penafsiran).
Pagi-pagi
setelah shalat subuh di bandara at-Taturk, kami bertemu beliau di Bus
untuk bareng ke Bursa. Subuh waktu Turki jam 06. 03 hingga matahari
terbit jam 07.30 (syuruq). Perjalanan Istambul Bursa melewati jembatan
Utsman Gazi; penghubung benua Asia dan Eropa. Di bawahnya terbentang
selat Bosphorus yang menghubungkannya dg laut Marmara. Laut yang menjadi
pertemuan dua arus namun tak pernah bisa bersatu; seperti yang
disinggung dlm surat ar-Rahman.
Sepanjang
Istambul Bursa, hamparan pohon dan tanaman zaitun memenuhi bukit.
Berasa seperti di puncak tapi bukan dg pohon tehnya yang khas. Namun, dg
deretan pohon Zaitun yang serba rapi ; tertata apik menghiasi tiap
bukit dan pegunungan sepanjang perjalanan. Ornamen indah di setiap
sudut kota yang khas Eropa ini makin membuat hati kami makin jatuh
cinta. Bersih tertata rapi. Sebelumnya, rombongan kami yang terdiri
dari 45 orang jama'ah ini singgah sarapan di sebuah warung Nusantara dg
makanan khas Turki. Hanya tertulis market. Selainnya berbahasa Turki
yang kami sendiri tidak mengerti maknanya sedikit pun.
Munirah ; Toko Turkis Delight Shop.
Sebelum
tiba di Bursa, Marwan membawa kami ke sebuah toko khas Turki bernama
Munirah (tulisan Arab dan Latin sekaligus). Di dalamnya terdapat beragam
kue-kue khas Turki ; termasuk manisan, berjejer sangat rapi. Di sini,
kami dikenalkan dengan bunga Za'faron dg kisaran harga emas setiap
gramnya. Karena asli katanya, per gram seharga 75 lira. 1 lira senilai
Rp. 2.600. Sehingga per gramnya sekitar Rp. 195.000. Kami ditawari
minimal membeli 10 gram dg harga sekitar 1.950.000 disertai tambahan
diskon untuk pembelian per sekian gram. Beragam kemasan produk minyak
zaitun dan madu; termasuk madu kejantanan khas Turki yang sering
dikonsumsi raja-raja turki Utsmani untuk memuaskan para hareemnya.
Hareem adalah istilah untuk permaisuri raja-raja Arab; termasuk Turki
yang bukan Arab. Toko ini kelihatannya terhitung internasional. Namun,
umumnya dikunjungi oleh pengusaha-pengusaha Arab. Rata-rata penjaga toko
adalah anak-anak muda yang lancar berbahasa Arab. Mereka sebagian bisa
bahasa Inggris dan Indonesia. Sungguh, motif ekonomi membuat bahasa
dipelajari.
Teringat
Madinah yang umumnya penjual bisa bahasa Indonesia. Bahkan, bahasa Jawa
dan Sunda; termasuk bahasa Bugis. Saya terkaget ketika di pintu 25
masjid Nabawi terpampang toko Bugis dan tidak jauh dari situ terdapat
toko Makassar. Kata salah seorang penjaganya, "masempo-masempo" dalam
gaya khas tutur orang-orang Bugis. Padahal mereka adalah orang-orang
asli Arab. Saya sedikit ngintip ke dalam, umumnya pengunjung memang
orang-orang Bugis Makassar yg juga satu hotel dg kami di Hotel Al-Haram.
Yaaah....memang luar masjid adalah miniatur dunia dg deretan toko-toko
khas oleh-oleh dan hadiah haji serta umrah. Setiap kali ibadah selesai,
jama'ah keluar masjid; para penjaga toko berusaha menggaet pembeli dg
bahasa khas daerah masing-masing. Di Turki pun sama. Keluar dari Blue
Mosque Bursa, silk market; pasar sutra langsung menyapa.
Sebelum
tiba di Delight Shop ini, bang Marwan sempat mendemonstrasikan Za'faron
ini di depan kami dalam bus di perjalanan. Dg air mineral kemasan 30
ml, sedikit bulir Za'faron dimasukkan. Hanya hitungan detik, semua air
kemasan tersebut berubah jadi air dg warna keemasan. Bahkan, di Delight
Shop Muniroh kami diberikan kesempatan untuk mencoba nyicip air murni
Za'faron yg dicampur dengan madu murni Turki. Termasuk bunga mawar dan
misik (kesturi) yang wangi; sekali pun telah dicuci berkali-kali. Kata
Marwan, memang Turki ini terkenal sebagai negara pertanian dan
perkebunan. Cuaca pagi yang mirip di puncak itu; termasuk memanjakan
kami selama di berada di Bursa.
Jum'atan Unik di Masjid Biru (Blue Mosque).
Karena
bertepatan hari Jum'at, setelah menikmati belanja Za'faron, zaitun,
misik dan manisan khas Turki, kami akhirnya diantar ke masjid biru oleh
si Marwan. Salah satu masjid yang menjadi ikon utama kota Bursa. Masjid
ini dibangun sebagai monumen penghargaan terhadap raja Muhammad
al-Fatih. Makanya, mesjid ini disebut masjid Fetih. Pusara beliau
beserta saudara dan keluarganya ada di samping masjid. Untung saya
sempat mengikuti drama sejarah Turki; Abad kejayaan. Sehingga sedikit
banyak saya pernah melihat wilayah ini sekalias, walaupun hanya dalam
sinetron sejarah. Masjid Biru (Blue Mosque) memang dalamnya dipenuhi
ornamen-ornamen warna biru dg kaligrafi yang mirip masjid-masjid yang
ada di Iran. Saya masih sangat penasaran, kenapa ornamen-ornamen masjid
di Turki sangat mirip dg motif masjid-masjid di Iran. Padahal,
kaligrafer dunia memang dikenal berbangsa Turki. Bisa jadi karena Iran
pernah masuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Dalam masjid-masjid Turki,
umumnya bertingkat dan terlihat ada ruang-ruang khusus untuk berkhalwat
dan i'tikaf. Mirip kayak saung-saung kecil tanpa atap. Di tengahnya
terdapat bundaran berisi air mancur yang kadang diminum oleh pengunjung.
Di Turki, mungkin karena latar belakang Mazhab Hanafi, sebelum Jum'at;
mereka shalat duhur 4 rakaat. Jama'ah begitu ramai. Jarang sekali yang
kita lihat memakai songkok. Semuanya memakai kaos kaki. Kami saja yang
pengunjung tampak nyeker. Kata sang guide, sengaja agar karpet masjid
tidak bau. Di setiap diding masjid; deretan tempat sepatu dan sendal
siap menerima titipan. Azan berkumandang dg sangat syahdu. Seolah di
seluruh Turki hanya satu nada. Sang Khotib naik mimbar masjid khas
Madinah. Namun tinggi menjulang. Pembukaan khutbah sang imam begitu
fasih pengucapan Arabnya. Bacaan ayatnya pun ketika mimpin Jum'atan
berasa nada Sudais tapi logat Turki. Sayang khutbah berbahasa Turki;
jadinya kurang bisa saya nikmati. Terasa sekali profesionalisme sang
khatib. Ternyata, belakangan, sang guide (Marwan) ngasih bocoran, "Imam
dan khatib di Turki mendapat bayaran profesional dari pemerintah Turki."
Sehabis
Jum'atan, saya tidak mau ketinggalan menjajal pusara Khalifah Muhammad
beserta keluarganya. Hanya berada sekitar 400 meter dari masjid Blue
Mosque. Pengunjung bebas ambil gambar dan menerawang ke Abad 15, saat
kekuasaan dan kendali 3/4 dunia berada di tangan mereka.
Masjid Ulu Cami yang Tak Kalah Bersejarah.
Puas
dengan Blue Mosque, sekitar jam 14.00 siang, Marwan mengantar kami ke
masjid Ulu Jami'. Di sini, Marwan begitu bersemangat menjelaskan seputar
masjid ini. Katanya, masjid ini dibangun pada tahun 1399 M. Dibangun
selama 7 tahun. Orang-orang Turki meyakini, nabi Khaidir selalu shalat
di masjid ini. Memang, laut Marmara sangat diyakini oleh bangsa Turki
sebagai tempat bertemunya nabi Musa dan nabi Khaidir, sebagai mana
penuturan surat al-Kahfi. Masjid ini memiliki 20 menara. Di dalamnya
terdapat goresan kaligrafi yang dominan huruf wauw. Terasa sekali nuansa
tasawwuf di masjid-masjid Turki, termasuk pengaturan kaligrafi dan
seni-seninya. Kebetulan penulis juga hobi dengan kaligrafi dan mozaik
Islam. Sehingga goresan setiap kaligrafi serta makna-makna di balik itu
semua; terutama ketika Marwan menjelaskan hikmah-hikmahnya sangat kental
nuansa batin dan isyarinya. Saat duduk makan siang, saya coba
konfirmasi penjelasan beliau dikit-dikit. Eh..... ternyata benar. Beliau
kagum dg thariqat Jalaluddin Rumi dan sebelumnya Rabi'ah al-Adawiyah;
terutama pesan cinta yang terdapat pada keduanya. Sayang, mahabbah
(cinta) yg menjadi substansi tasawwuf Rabi'ah al-Adawiyah tidak
melibatkan 2 paket ibadah yang lain. Yaitu raja' (rasa penuh harap) dan
khauf (rasa penuh cemas); yg sering kami tulis di banyak status dan
tulisan kami di FB kami ini.
Hotel Crown Plaza.
Setelah
seharian menjajal Bursa, kami makan siang (sore) di sebuah restoran.
Seharian kami belum mandi karena setelah turun dari pesawat; kami
langsung menjajal daerah Asia yang bernama Bursa ini. Setelah
kunci-kunci kamar dibagikan, tampak rombongan kelelahan. Di kamar hotel,
kami lebih prioritaskan mandi-mandi bersih. Lalu rebahkan badan. Magrib
dan isya ditunda (ta'khir); termasuk jam makan malam. Di ruang makan,
tampak rombongan kami lesu. Bahkan, banyak yang tidak ikut makan malam
karena terlelap oleh indahnya kantuk dan nikmatnya suhu AC ruangan
akibat seharian kecapean. Dari Jakarta ke Istanbul butuh 12 jam
perjalanan. Plus Istambul ke Bursa sekitar 3 jam; termasuk kemacetan di
ruas-ruas perempatan. Yaaah...... demikian sedikit hikmah di balik hari
pertama kami di negeri bekas khilafah ini. Semoga sedikit ada selipan
inspirasi. Aamiin.
Pesawat Turkish Air Lines, Senin pagi waktu pesawat. 18 November 2019.
Bersama Al Haramain Wisata; Bukan Main, Luar Biasa. Tagline Resmi Kami.
Secuil Kisah dari Negeri Bekas Khilafah. 3 Hari Mendulang Hikmah dan Ibrah.
(Catatan Perjalanan)
Hari Kedua.
By. Idrus Abidin.
*Check Out dari Crowne Plaza Istambul*
Sesuai
progress, Sabtu, 9 November 2019, Jama'ah rombongan; kami bangunkan jam
05.30 agar mandi-mandi dan rapi-rapi sebelum shalat subuh, sarapan dan
check out dari hotel. Subuh waktu Turki masih jam 06. 08. Koper kami
keluarkan depan kamar masing-masing sebelum shalat subuh dan sarapan
pagi. Kami sepakat, jam 06.30 sarapan bareng di lantai R. Ternyata ada
juga rombongan lain dari grup Indonesia yang satu hotel. Persis plus 12
hari seperti kami. Jadinya, hampir tiap hari ketemu di tempat2
kunjungan. Bahkan, hingga pulang pun tetap satu pesawat di Turkish
*airlines*. Jam 07.30 matahari baru kelihatan bersemangat menatap bumi.
Kami meluncur segera biar tidak kena macet kata si Marwan. Tujuan kami
adalah Istambul kota; termasuk kediaman presiden Turki, Mr. Erdogan,
ditunjuk oleh Marwan saat kami lewat. Bukit Camlica kami daki untuk bisa
melihat view Selat Bosphorus dan Eropa dari bukit yang ada di Asia ini.
Pengunjung sudah mulai ramai. Bukit Camlica begitu unik. Di atasnya ada
taman yang indah. Banyak muda-mudi Turki asyik pacaran. Hampir semua
*tourist* dari seluruh dunia ada di sini. Dari yang hidung pesek,
termasuk dari China hingga dari benua *Eropa* seperti Rusia dll ada di
bukit ini; hingga hidung mancung seperti bangsa *Uzbekistan* dll. Sejam
lebih di pagi hari ga cukup memuaskan rombongan kami. Marwan sedikit
kesal karena orang Indonesia jam ngaretnya ga terkira katanya. Walaupun
terkadang dia lucu, tapi kalau sedang marah ketahuan juga oleh rombongan
kami. Saya bolak balik dari bus ke bukit hanya memastikan jangan sampai
masih ada rombongan terpesona dg indahnya pemandangan sampai-sampai
lupa kampung halaman. Hehehe.....terlalu.
*Sisa-sisa Bangunan Benteng Konstantinopel.*
Dari
Bukit Camlica, kami bergerak menuju toko jaket kulit internasional.
Sepanjang jalan, kami *membelah* kota Istanbul. Deretan pagar benteng
Konstantinopel membentang sekitar 20 KM. Benteng yang dibangun pada abad
ke-4 Masehi ini masih tampak gagah. Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa
Sallam lahir di abad ke-8 dan ummat Islam baru bisa menguasainya 7 abad
setelahnya. Tepatnya pada abad ke-14. Merinding saya rasanya mengingat
peristiwa sejarah yang meliputi benteng ini. Kokoh dan tebal dg batu
bata besar tampak merah merona. Tak sedikit dinding benteng yang lapuk
oleh zaman. Titik lemah yang menjadi jalur masuk kaum muslimin ditunjuk
oleh Marwan saat kami melewatinya. Saya merasa banyak jepretan seputar
benteng ini. Ternyata setelah saya otak-atik galeri, eh adanya cuman 2
biji. Gelap lagi hasilnya. Nyesel deh kurang inves di bidang kamera
sebelum ke negeri Erdogan ini. Memang prinsip saya meminimalkan
pengambilan gambar. Tapi karena daya tarik sejarah di setiap objek
terlampau menarik untuk dibiarkan berlalu, eh.....jebol juga prinsip
saya.
Sebelum ketemu
toko jaket kulit internasional, Laut Marmara tampak membentang di
hadapan toko, dihiasi dg taman indah; yang ingin sekali rasanya kami
nikmati semilir angin siangnya. Sayang, progres begitu padat. Tak ada
sela untuk itu, kecuali sekedar jepret depan-belakang. Semilir angin
pantai; memanjakan kulit, walau sudah bersua dg siang hari. Ga berasa
matahari Turki menyakiti kami. Padahal, saat itu, peralihan ke musim
dingin sedang berjalan. Jaket tebal yang kami bawa pun tak terpakai
jadinya.
*Kircil, Internasional Store.*
Jam
11an, kami diarahkan oleh Marwan ke toko jaket kulit internasional.
Ternyata Turki adalah penghasil kulit termurah di Eropa. Uni Eropa tidak
siap jika Turki bergabung karena otomatis harga-harga di Turki selevel
mahalnya dg harga ekonomi Eropa. Tentu itu tidak menguntungkan. Di sini,
jaket kulit domba sangat halus. Semua jaket kulit merk internasional
berasal dari produksi Turki. Bukan sekedar karpet saja. Terbukti, satu
jaket kulit halus hanya kisaran 14 *gram*. 3 grup anggota kami yg
rata-rata pengusaha berhasil membeli jaket di tempat ini. Kata si
Marwan, di Grand Plaza Indonesia, jaket serupa seharga 40 juta. Khawatir
kena pajak barang mewah di cukai Indonesia, tak sedikit yang ragu
membeli jaket awalnya. Namun, setelah konfirmasi pihak bea cukai kita di
Indonesia, selama bukan untuk bisnis, ga masalah katanya. Jam 12.44,
kami keluar dari perusahaan jaket internasional ini untuk makan siang di
pinggir Selat Bosphorus. Di sebuah resto yang menghadap langsung ke
tanduk emas (horn). Di sini, saya, sopir dan sang guide (Marwan) serta
semua rombongan dipuaskan dg nasi + kebab Turki campuran (masyakkal).
Daging ayam bakar khas Turki akhirnya ga habis dijajal, karena kebab
asli Turki itu jauh menggugah selera. Kata Marwan, kamu habiskan. Entah
kenapa, makanan Turki tidak berasa asing bagi saya. Mungkin karena saya
sudah mulai membatasi Karbo (nasi dan roti) dan mulai sering makan
makanan khas Eropa di hotel Pullman Zamzam Tower, Makkah.
_Walhamdulillah_.
Si
Marwan begitu cekatan di setiap tempat yang kami singgahi. Tampak
wajah-wajah kagum dari setiap pemilik tempat ketika Marwan datang
membawa rombongan. Memang beliau salah satu guide resmi terakreditasi.
Pengalamannya dg orang Indonesia yang berkunjung ke Turki sudah beragam.
Termasuk ngawal Ust *Felix Siauw* keliling Turki sebelum nulis buku
beliau tentang Muhammad al-Fatih. Itu kata beliau ke saya. Di resto ini,
salah seorang pemeran Mihrimah Sultan di abad kejayaan ditunjuk oleh si
Marwan. Sesi foto-foto pun tak dilewatkan oleh gadis-gadis di rombongan
kami.
Puas dengan kebab
Turki plus nasi mirip uduk di Jakarta, kami diarahkan naik Cruise di
Selat Bosphorus. Satu jam keliling di tanduk emas ini berasa sangat
singkat. Istambul Eropa dan Istambul Asia sangat jelas dari teluk ini.
Kisah tentang rantai panjang sekitar 800 meter hingga 1000 meter yang
pernah menghalangi kapal perang pasukan Muhammad al-Fatih, termasuk ide
digelindingkannya kapal perang tengah malam dg balok-balok besar menaiki
bukit agar bisa masuk ke selat berikutnya terbayang begitu dalam.
Refleksi tentang betapa berat usaha kaum muslimin menaklukkan imperium
Konstantinopel ini begitu hadir sangat dekat di benak saya.
1
jam bolak balik naik Cruise, dimanjakan oleh lagu Indonesia Raya. Entah
kenapa, orang-orang Turki mengerti nasionalisme orang Indonesia.
Termasuk lagu kebangsaan mereka diperdengarkan setelah Indonesia Raya
selesai beralun. Di sini, tampilan masjid khas Turki dg kubah bundarnya
yang khas, kelihatan jelas. Beberapa istana negara berderet di sisi
selat, baik yang pernah digunakan Khalifah Turki Utsmani maupun pendiri
Turki modern, *Mustafa Kemal Atatürk*. Juga tampak universitas
Galatasaray dan jembatan unik yang menghubungkan 2 benua. Di sini,
burung-burung seolah ikut berbahagia bersama kami di selat ini.
Bergantian terbang mendekat demi umpan makanan. Akrab sekali mereka dg
kami; sehingga rasa bahagia seolah mengusir lelah sepanjang 2 hari
keliling mengikuti situs-situs bersejarah.
*Berkunjung Ke Grand Bazaar.*
Pasar
senantiasa menjadi bagian dari siklus perjalanan kami. *Grand Bazaar*
di Istambul Turki ini berada di kawasan padat penduduk. Di sekitarnya
banyak masjid berderet. Ketika waktu ashar tiba, azan dari masjid-masjid
terdekat saling bersahut-sahutan. Seoalah sepakat untuk saling
bergantian dg nadanya yang khas. Seolah muazzin telah di*briefing*
dengan satu nada yang sama. Hebatnya, semua masjid ramai. Termasuk
masjid paling dekat dengan Grand Bazaar. Lupa saya nama masjidnya. Di
sini, pengunjung pasar dan masjid luar biasa padat. Ini seperti pasar
loakan. Karpet bekas hingga peralatan rumah tangga bekas dijual di sini.
Karena kurang tidur, saya tidak lagi membersamai rombongan menelusuri
kios-kios tradisional. Kata Marwan, di situ kita harus pintar nawar dan
harga terhitung tinggi. Di pelataran masjid, manusia dari semua latar
belakang agama dan budaya ada. Baik China Muslim (Uighur) maupun China
non muslim. Di sinilah uniknya Turki; pertemuan peradaban dunia. Namun,
sama-sama akur. Dari yang cadaran hingga yang berpakaian paling ketat;
sama-sama mengunjungi situs bersejarah. Muslim, non muslim; termasuk
penikmat situs bersejarah walau tak beragama. Saya lebih memilih diam di
masjid. Karena kaki dan mata susah diajak kompromi. Sambil duduk saya
berusaha ma'tsurat sore disertai kantuk yang luar biasa. Sebelum magrib,
kami diajak makan malam di sebuah resto China Muslim. Beef dan fried
chicken adalah menu utama. Setelah itu baru check In lagi ke hotel
Mercure Istanbul.
*Check In Hotel Mercure Istanbul.*
Seperti
sebelumnya, malam baru kami bisa merasakan nikmatnya istirahat. Ada 2
nenek dan satu kakek bersama kami. Ada yang sekeluarga 9 orang. Ada yg
berdelapan. Ada yang bertiga. Tapi semua lelah itu seolah terbayar oleh
situs bersejarah yang unik. Malam ini, setelah bersih2 di toilet, shalat
magrib dan isya dijamak ta'khir. Baru kumpul di room M atau R hotel
untuk makan malam. Bang Marwan kalau sudah masuk hotel pantang sekali
untuk diganggu. Padahal, saya sebagai tour leader harus bisa memberi
informasi lanjutan seputar kegiatan dan beragam aktivitas esok harinya.
Yaah....berasa klo Turki belum cukup hanya 3 hari. Semoga ini semua
bagian dari *Rihlah Imaniyah* yang mengokohkan kami dalam *Istiqamah*.
Karena, pelaku sejarah di masa lalu akhirnya terkubur dg sejumlah
prestasi mereka. Kita akan menjadi bagian dari sejarah; cepat atau
lambat. Itulah inti do'a yang kita sampaikan ke setiap pekuburan muslim.
السلام عليكم يا أهل الديار من المسلمين. وإنا إن شاء الله بكم لا حقون .
Salam sejahtera wahai kalian kaum muslimin penghuni pusara ini. Sungguh, kami pun tidak lama lagi akan ikut bersama kalian.
Pesawat Turkish Airlines Menuju Indonesia Tercinta.
Senin siang waktu pesawat. 18 November 2019.
Bersama Al Haramain Wisata; Bukan Main, Luar Biasa. Tagline Resmi Kami.
0 komentar:
Post a Comment