MANHAJ
(Metode Berpikir [Studi]; Antara Klaim, Fakta dan Norma [Ideal].
By. Idrus Abidin.
__________________
__________________
Islam bukan sekedar membawa ajaran kebenaran di tingkat
petunjuk pada setiap detil kehidupan (Masa'il). Dari hati, lisan,
perbuatan; pribadi, keluarga, lingkungan sosial makro, hingga level
negara. Tapi, Islam juga menekankan metode atau manhaj yang tepat,
moderat, profesional dan proporsional (Wasa'il). Metode inilah yang
disebut manhaj, shirat, sunnah, thariqah, Fiqih dll. Yang mana,
substansinya adalah mengetahui dan mengamalkan sesuatu dengan cepat dan
tepat (ash-Shirat al-Mustaqim). Terutama dalam hal jalan menuju surga
dan terhindar dari neraka dengan cinta Allah (mahabbah). Itulah paket
visi misi (konsep dan praktek dunia akhirat) dalam keislaman kita.
Walaupun terkadang ada orang dan atau kelompok sudah benar secara
manhaj, tapi karena ekstrim dalam klaim kebenaran (truth claim) akhirnya
menyimpang juga. Kokohiyun kiri kanan terinfeksi penyakit ini
(Takabbur), walaupun belum tentu merasa dan tersadar telah tertipu oleh
perangkat lunak iblis ini (talbis iblis). Nadzubillah.
Di tingkat teori (manhaj), memang kita bisa ideal. Tapi di
tataran praktis kita kadang gagal. Karena dalam dunia praktis, kita
terlibat secara rasa dan rasio. Intuisi dan nalar kita berduet dan
berkolaborasi, walaupun sisi rasa kadang menyeret kita menjauh dari
sikap sportif yang menjadi tuntunan akal (idealisme). Itulah manusia dan
sikap manusiawinya yang selalu rentan dengan lumpur kesalahan.
Sementara, di level teori, kita umumnya terlibat sebatas rasio dan nalar
kita. Mungkin itulah hikmah kenapa kita diminta terkadang mengambil
jarak dari realitas kehidupan praktis untuk merenungi kembali sisi
idealisme kita dengan qiyamullail, i'tikaf dll. Termasuk masa-masa lock
down karena covid-19 seperti sekarang.
Sebenarnya bukan itu inti tulisan ini. Maunya sih ngomongin
metode bayani dan burhani dalam tradisi studi Islam kita. Walaupun
orang juga kadang abai dengan metode akhlaqi, terutama jika pendekatan
diperluas ke ranah Tasawuf. Intinya, dalam eksplorasi pengetahuan Islam
telah terbentuk 3 manhaj dan metodologi ilmiah dalam sejarah intelektual
kita. Ketiganya adalah : [1]. Metode Irfani. [2]. Metode Burhani. [3]. Metode Akhlaqi.
1. Metode Irfani (Sufi).
Adalah manhaj studi keislaman yang bertumpu pada
teks-teks syari'at dengan pendekatan intuisi (rasa dan hati) yang lebih
dominan. Termasuk royal menggunakan tafsir isyari atau makna batin
teks-teks keagamaan. Sehingga mengalihkan makna tekstual kepada makna
batin tersebut lazim dilakukan dengan alasan adanya tuntunan (qarinah).
Takwil akhirnya menjadi konsekwensi yang tak terhindarkan. Baik di ranah
Akidah, Fiqih dan Tasawuf. Bahkan, Fiqih dibagi lagi dengan hakikat,
syar'iat dan thariqat. Namun, kalau di ranah Tasawuf, yang dimasukkan ke
dalam kategori ini biasanya adalah Tasawufnya Rabi'ah al-Adawiyah yang
bertumpu pada keikhlasan (cinta/mahabbah). Walaupun abai terhadap 2
paket lainnya; sisi harapan (raja') dan rasa takut (khauf) [wa'ad dan
waid]. Maka tidak heran, demi menegaskan fokus mazhab ini kepada
keikhlasan, keluarlah statement bermasalah di mata Ahlu Sunnah
(thariqah mu'tabarah). Yaitu, prinsip internal mereka yang berbunyi,
"Siapa yang menyembah Allah karena berharap surga atau karena takut
neraka, maka ia tergolong musyrik." Akhirnya, kalangan sahabat, tabi'in
dll ikut dianggap syirik hanya dengan prinsip ekstrim seperti ini.
Padahal, paket Tazkiyatunnafs [Tasawuf] yang lurus manhajnya
mengakomodir cinta Allah, penuh harap dan rasa takut dalam lingkup
keikhlasan. Itulah manhaj yang tepat. Disebut oleh intelektual belakang
dg istilah Neo Tasawuf yang banyak dijelaskan prinsip-prinsipnya oleh
Ibnul Qayyim al-Jauziyah dg merujuk jalan rohani yang telah ditunjukkan
oleh guru spiritual beliau ; Ibnu Taimiyah rahimahullah.
2. Metode Burhani (Falsafi).
Adalah sebuah metode studi Islam yang mengandalkan kekuatan
rasio dalam mencerap ilmu pengetahuan. Keunggulannya adalah kemampuan
menghasilkan pengetahuan konseptual (kata yang berfungsi sebagai
istilah) dan pemahaman preposisi (kalimat yang berwujud pengertian).
Sehingga kata meja dijadikan simbol benda yang berkaki empat yang
berfungsi sebagai sarana belajar, alat makan dan hiasan di ruang tamu.
Demikian pula manusia, yang dilihat oleh akal bukan personalnya per
item; Zaid, Umar, Utsman, tapi sisi kemanusiaannya. Ini contoh
pengetahuan konseptual yang menjadi tumpuan metode Burhani. Sedang
pengetahuan preposisi adalah ilmu tentang sesuatu melalui kalimat
sempurna. Seperti manusia itu bagus atau manusia itu jelek. Bagus jelek
dalam kalimat ini adalah predikat yang disandangkan kepada subyek
(manusia dalam contoh ini). Pengetahuan konseptual disebut tashawwur
dalam logika Arab. Sedang pengetahuan preposisi disebut tashdiq dalam
filsafat Arab.
Umumnya filosof muslim mengandalkan metode ini dg beragam
kecenderungan mereka. Sehingga mereka menjadi pelanjut Platonisme atau
Aristotelianisme dalam peradaban Islam. Sehingga ilmu filsafat dianggap
ilmu hikmah agar tidak mudah dicurigai oleh intelektual muslim yang
beraliran lain; terutama aliran Akhlaqi. Dialektik antara imam Ghazali
dg Tahafut al-Falasifahnya dengan imam Ibnu Rusyd dengan Tahafut
at-tahafutnya di masa lalu mencerminkan permasalahan internal di
kalangan pecintah hikmah model ini. Bahkan di ranah Akidah, metode ini
telah melahirkan polarisasi mendalam dg munculnya aliran menyimpang;
Khawarij, Syi'ah, Jahmiyah, Muktazilah dll. Semuanya berlindung di balik
istilah takwil yaitu menundukkan persfektif Wahyu di bawah pengarahan
rasio yang terbatas. Akhirnya, mereka mereduksi Tuhan dg beragam cara;
walaupun dg maksud mensucikanNya dari kelemahan. Ada yang menafikan
semua sifat-sifatNya. Ada yang menafikan sifat informatif (khabariyah)
saja. Adapula yang menganggap sifat-sifat Allah itu sama dan persis dg
sifat-sifat makhluk dll. Alasan mereka semua sama; mensucikan Allah dari
keserupaan dan kemiripan dengan makhluk (tanzih). Tapi karena lalai
dari metode Al-Qur'an dan Sunnah, akhirnya akal dan rasio yang dianggap
memproduksi bukti-bukti burhani itu malah menghasilkan perdebatan dan
pertentangan luar biasa. Itu di bidang akidah.
Di bidang Tasawuf, metode ini menghasilkan Mazhab Falsafi
yang menjadi cikal bakal wahdatul wujud dan wahdatus Syuhud. Sehingga
Tuhan bukan lagi yang ada dalam keimanan kita. Tapi Tuhan ahli wahdatul
wujud itu sudah bereinkarnasi dalam tubuh para diri setiap wali.
Pandangan yang melebihi jeleknya keyakinan Kristen yang menyatakan,
Tuhan bereinkarnasi secara khusus pada diri Yesus.
3. Metode Akhlaqi.
Yaitu metode yang fokus dengan makna-makna yang terkandung
dalam lahiriah teks dengan menghindari sikap boros dalam pemberdayaan
takwil. Harapannya, menghindari sikap berlebihan dalam pemberdayaan
rasio dan rasa bahkan dalam penggunaan teks-teks syari'at sehingga
keluar dari rel moderat dan sikap profesional serta harapan untuk tetap
konsisten pada jalur profesional (Ihsan/itqan). Mereka tidak anti
terhadap intuisi yang dibangun kelompok Bayani dg rasa dan hati mereka.
Mereka juga tidak memusuhi rasio dan Burhan yang dikembangkan oleh
filosof. Tapi mereka hanya kritis terhadap sikap ekstrim kelompok Bayani
dalam pemberdayaan intuisi serta rasa mereka. Sebagaimana mereka
kritis pula dengan gaya ekstrim pendapuk Burhan nalar dan logika. Yang
mana, menurut Mazhab Akhlaqi ini, rasio, rasa, intuisi dan logika itu
telah mereduksi wahyu. Akibatnya, akal dan rasa dimutlakkan, sedang
Wahyu dinisbikan (relatif). Karena bagi kelompok Akhlaqi ini, apabila
teks Wahyu benar tidak mungkin kontradiksi dengan apapun. Baik itu Wahyu
di internal sendiri (Qur'an dengan Qur'an. Hadits dg Qur'an. Hadits dg
hadits), rasio (ilmu pengetahuan, realitas [sejarah], Maslahat) dan rasa
(hakikat, thariqat, ilham, kasyf, karamah). Kalau pun terasa masih ada
kontradiksi, paling pemahaman akal harus diperiksa; benarkah atau
terjadi kegagalan dalam memahami maksud teks-teks syari'at. Kalau
terbukti makna teks itu pasti, maka akurasi dan penyelarasan (jam'u)
mutlak dilakukan. Kalau masih bermasalah, maka tarjih dg memilih yang
dianggap paling kokoh sebagai yang terpilih (bisa versi Wahyu, bisa juga
versi rasio) harus dilakukan ; tentunya dengan memastikan kronologis
sejarah sehingga yang terakhir akan megabrogasi (nasikh) makna pertama.
Artinya, metode Akhlaqi ini berusaha mengakomodasi dan
menyelaraskan semua sarana keilmuan (berita [Wahyu], Indra, rasio, dan
rasa tanpa menihilkan makna berita valid yang dibawa oleh syari'at.
Sehingga qath'i dan zhanni proporsional. Agar bayani dan burhani
berkolaborasi. Semua itu adalah upaya agar mutlaq muqayyad, aam khas,
dan syari'at hakikat dll; bekerja sama secara moderat dalam manhaj
keislaman kita; teoretis maupun praktisnya. Inilah yang kami upayakan
dalam beragam kegiatan dakwah; lisan, tulisan dan pengajaran. Satu lagi,
dalam dunia debat, seringkali metode Bayani itu disamakan dg metode
agitasi (khithabiyah) yang satu arah, sehingga dianggap lemah ketika
berhadapan dengan metode Burhani. Padahal, metode Burhani Al-Qur'an dan
Sunnah jauh melebihi kemampuan manusia yang dianggap paling cerdas di
alam ini. Karena ini merupakan perbandingan antara Allah dan hambaNya
(Qiyas ma'al Fariq). Akhirnya, telinga, akal dan rasa dan semua Indra
harus patuh pada Qur'an dan Sunnah. Sehingga telinga, akal, rasa dan
Indra cukup sebagai sarana pengetahuan. Jangan sampai menjadi referensi
yang menyaingi apalagi menentukan pemaknaan Qur'an dan Sunnah. Dalam
kondisi terakhir, Qur'an dan Sunnah jadi makmum, sedang telinga, akal,
rasa dan Indra menjadi imam. Nauzubillah. Hanya perpecahan ujungnya.
Padahal segala sesuatu, pemutusi adalah Qur'an dan Sunnah serta ijma'
ulama al-ummah. Sekian. Maaf, rada-rada serius dan relijius . Mugi-mugi bawa arti dan inspirasi ; walaupun hanya lewat literasi dan panduan narasi. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Post a Comment