Kehendak Tuhan (Iradah Rabbaniyah).
By. Idrus Abidin.
Salah
satu bentuk sikap moderat Ahlu Sunnah Atsariyah adalah persfektif
mereka yang sangat utuh (konfrehensif) terhadap kehendak Allah. Mereka
membagi kehendak Allah menjadi dua bagian utama :
Pertama :
Kehendak
yang bersifat alami dan pasti (Iradah Kauniyah Qadariah). Kehendak ini
searah dg istilah lain dalam Al-Qur'an berupa masyi'ah. Banyak ayat di
Qur'an seputar kehendak Allah yang berkategori seperti ini. Contoh, QS
al-Israa ayat 16, QS ar-Ra'ad ayat 11, QS al-An'am ayat 125.
Kedua :
Kehendak
bersifat keagamaan dan syar'i (Iradah Diniyah Syar'iyyah). Kehendak
jenis ini sepadan dengan kecintaan Allah terhadap sesuatu (mahabbah).
Contohnya pun bertebaran dalam Al-Qur'an. Seperti QS an-Nisaa ayat 27,
QS al-Maidah ayat 6, QS al-Ahzab ayat 33.
Perbedaan Antara Kedua Kehendak Allah Tersebut di Atas :
1.
Kehendak Allah yang bersifat alami dan pasti (kauniyah qadariah) bisa
jadi dicintai oleh Allah atau tidak. Sementara kehendak Allah yang
bersifat keagamaan dan berwujud syari'at pasti dicintai olehNya. Maksiat
misalnya. Allah membiarkannya terjadi secara alami dan merupakan
kepastian bagi manusia. Sekalipun Allah sendiri tidak senang dan tidak
meridhainya.
2. Kehendak
Allah yang bersifat alami dan pasti dibiarkan terjadi karena adanya
hikmah dan kepentingan lain. Seperti penciptaan Iblis dan semua
keburukan serta dosa dan maksiat. Tujuannya agar di balik itu semua
terwujud kesungguhan, penyesalan (taubat), permohonan ampun (istighfar)
dan hal-hal lain yang dicintai dan diridhai Allah. Sedang kehendak Allah
yang berkategori keagamaan dan berwujud syari'at diadakan demi
kemaslahatan murni secara langsung. Seperti ketaatan; Allah
menginginkanya terjadi secara real dan bersifat keagamaan sekaligus
legal (syar'i). Allah pun menyukai dan meridhainya dengan baik.
3.
Kehendak Allah yang bersifat alami pasti terjadi; Allah senang atau pun
tidak. Ujian manusia terkait dengan kehendak seperti ini adalah
bersyukur apabila baik dan bersabar apabila buruk. Inilah makna keimanan
kita kepada qadha dan qadar; yang bersifat baik maupun yang berkategori
buruk. Sementara kehendak Allah yang bersifat keagamaan dan berwujud
syari'at belum pasti terjadi. Itu semua tergantung keimanan manusia yang
mengarahkan mereka berniat melakukan kebaikan lalu diberikan Taufik
oleh Allah sehingga mereka bisa mewujudkannya di alam nyata. Demikian
pula keburukan; dihindari oleh manusia dengan harapan dapat meraih
ridha dan cintaNya. Karena letak ujian ketaatan itu ada pada ketetapan
syari'at seperti ini.
Catatan :
1.
Bagi orang-orang beriman dan amal shaleh secara tulus kepada Allah;
mereka mampu menyatukan 2 kehendak Allah sekaligus; kehendak agama dan
kehendak alam. Sedang pelaku maksiat hanya fokus kepada kehendak Allah
yang bersifat alam.
2.
Kelompok akidah yang tidak mengakui kedua bentuk kehendak Allah tersebut
dipastikan masuk dalam kategori kelompok menyimpang (ekstrim). Seperti
kelompok Jabariah dan Qadariah. Kelompok Jabariah hanya mengakui
kehendak Allah yang bersifat alami. Sementara kelompok Qadariah hanya
mengakui kehendak Allah yang bersifat keagamaan dan berwujud syari'at
semata. Kelompok Jabariah menganggap manusia tak memiliki kebebasan
berkehendak sehingga mereka menganggap segalanya telah
ditakdirkan/dipaksakan oleh Allah; termasuk dosa dan maksiat. Karena
itulah mereka disebut Jabariah (terpaksa). Sementara itu, kelompok
Qadariah menolak takdir dan menganggap manusia bebas sepenuhnya. Pada
akhirnya mereka menolak takdir. Ujungnya mereka disebut kelompok anti
takdir (Qadariah). Keduanya tentu bertolak belakang dan mereka semua
termasuk kelompok ekstrim. Di lain pihak, kalangan Asy'ariyah menyamakan
kehendak Allah dengan cinta dan keridhaanNya. Sehingga mereka menolak
hikmah-hikmah di balik kehendak Allah yang bersifat alami (kauni
qadari). Masalah ini telah kami bahas pada perbedaan antara Atsariyah,
Asy'ariyah, Maturidiyah dan Muktazilah. Terutama terkait perbedaan
mereka seputar konsep baik buruk rasional (Tahsin dan Taqbih Aqliyain)
pada status FB ini beberapa bulan yang lalu. Wallahu a'lam.
Jakarta, Selasa, 10 Maret 2020.
0 komentar:
Post a Comment