Oleh : Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah (STIS) Al-Manar Jakarta
Di antara bentuk kasih sayang, pemaaf dan pengampunan Allah adalah
sifat-Nya yang Maha Penyabar, yang dikenal dengan nama ash-Shabur. Kata ash-Shabur
merupakan bentuk kata yang menunjukkan tingginya nilai kesabaran yang dimiliki
Allah, Sang Maha Penyabar. Kata ini merupakan bentuk tertinggi (sigah
mubalagah) dari kata shabir dan shabbar. Kata shabur
dan maknannya ini terdapat dalam sebuah hadits yang berkualitas shahih. Sekali
pun dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata shabur secara tekstual, namun
makna sifat shabur dalam al-Qur’an sangat banyak, seperti yang akan kita
telaah bersama nanti. Karena alasan inilah, sebagaian ulama ada yang mengingkari sifat ash-Shabur sebagai
bagian dari perbuatan Allah Swt. Padahal, tidak selamanya sifat dan perbuatan
Allah tidak tertulis secara tekstual dalam al-Qur’an lalu sifat dan perbuatan
itu dianggap bukan bagian dari sifat dan perbuatan Allah Swt. Yang jelas,
tentang kemahasabaran Allah ini, dijelaskan oleh Rasulullah Saw.dalam sabdanya,
مَا
أَحَدٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَه مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَدَّعُونَ لَهُ
وَلَداً وَهُوَ يُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan)
yang didengarnya melebihi Allah Swt. Sungguh orang-orang (kafir) telah menyekutukan-Nya
dan mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, tapi bersamaan dengan itu Dia tetap
menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”. [1]
Hadits ini memberikan gambaran utuh betapa Allah Maha Penyabar (as-Shabur).
Kesabaran Allah berbeda dengan mahluk sesuai dengan perbedaan antara Pencipta
dengan semua ciptaan-Nya. Kesabaran Allah ini berwujud pada penundaan siksaan
dan pemaafan-Nya kepada mukallaf, sekali pun mereka berhak mendapatkan siksaan.
Dari sisi ini, ada kemiripan makna dengan sifat-Nya al-‘Afuww, al-Ghaffar
dan al-Ghafur yang pernah kita telaah pada entri sebelumnya. Perbedaan
kesabaran Allah dan mahluk-Nya bisa dilihat dari beberapa segi:
A.
Allah
Maha Sabar dengan segenap kekuasaan dan kehebatan-Nya. Sedang kesabaraan
manusia kadang karena kelemahannya menghadapi sesuatu atau ketika takut
terhadap seseorang.
B.
Allah
Maha Sabar sekali pun kesabaran Allah tidak akan memberi peluang adanya ancaman
bahaya dan rasa sakit terhadap diri-Nya, sebagaimana rasa sedih dan adanya
kelemahan yang terjadi pada mahluk secara umum. Karena kesabaran mereka
terkadang disebabkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Sehingga mereka harus
menaggung rasa sakit, duka dan nestapa. Hal demikian tidak pantas terjadi pada
Allah sekali pun Dia Maha Penyabar.
Kesabaran Allah terkait dengan kekafiran, kesyirikan, penghinaan
dan segala kekurangan dan sikap berlebihan hamba-Nya. Namun, semua bentuk
pelanggaran itu tidak mengusik Allah sehingga Dia menyegerakan azab-Nya. Tapi
Allah senantiasa sabar, memberikan jeda waktu, mengarahkan mereka agar
bertaubat, dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Sehingga ketika tidak ada
lagi jalan untuk memperbaiki mereka, karena hati mereka telah tertutup rapat
oleh balutan dosa dan kungkungan maksiat; mereka tidak lagi memahami makna
perbaikan, kelembutan, pengampunan dan segala jenis kasih sayang. Mereka tidak
lagi sadar akan semua nikmat dan kebaikan Allah yang mereka gunakan, tidak lagi
tersadar oleh beragam ujian dan cobaan, maka Allah akan menurunkan azab-Nya
kepada mereka setelah semua jenis peringatan dan segala macam cara dilakukan.
Inilah makna firman Allah berikut:
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ
بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَمْلَيْتُ لِلَّذِينَ كَفَرُوا ثُمَّ أَخَذْتُهُمْ
فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ
Dan sesungguhnya telah diperolok-olokkan beberapa rasul
sebelum kamu, maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu kemudian Aku
binasakan mereka. Alangkah hebatnya siksaan-Ku itu!
(QS ar-Ra’du [13]: 32).
Setelah pemaafan yang tidak terkira lagi jenis dan banyaknya,
beragam nasehat yang disampaikan, segala ajakan agar kembali kepada-Nya telah
dilakukan, barulah siksaan itu datang. Semua ini merupakan bentuk kesabaran
Allah Swt. yang sebenarnya bersumber dan merupakan konsekwensi dari sifat
kebijaksanaan dan kelembutan-Nya yang dikenal dengan sebutan al-halim,
yang sangat hebat. Sifat al-halim ini adalah sifat zat Alllah Swt. yang
tidak pernah lepas dari-Nya sama-sekali; di mana pun dan kapan pun. Karena
sifat ini masuk dalam kategori sifat Zat-Nya, sementara kesabaran Allah
merupakan bentuk perbuatan Allah yang bisa saja berubah sesuai dengan perubahan
kebijakan dan pertimbangan yang melatarinya. Sebagaimana perbuatan Allah
lainnya yang terkait dengan hikmah dan alasan-alasan serta pertimbangan
tertentu.
Allah berbuat sabar dengan menunda siksaan karena itu merupakan
ketetapan azali yang menjadi kebijakan-Nya. Ini bermaksud agar supaya manusia
bisa berkembang biak dan memiliki kebebasan berbuat sesuai dengan hak yang
telah diberikan oleh Allah Swt., sekaligus Allah tetap memberikan peluang
taubat dan kembali kepada kebenaran. Sungguh Allah menciptakan mahluk agar
supaya Allah menyampaikan kasih saying-Nya kepada mereka semua. Tujuan kasih
sayang ini adalah supaya mereka mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan yang
sempurna. Sehingga mereka merasakan kenikmatan dan kebahagiaan. Karena kalau
ketetapan berjalan sesuai dengan keadilan-Nya maka tidak akan ada mahluk mukallaf
yang bisa mermperoleh semua nuansa kasih sayang itu. Bahkan mereka tidak akan
bisa memiliki hak hidup lebih lama. Padahal, kehidupan ini memang terjadi
karena kasih sayang, pemaafan, pengampunan dan kebijakan serta semua kandungan nama
dan sifat serta perbuatan yang menunjukkan kesempurnaan Allah Swt.
وَلَوْ يُؤَاخِذُ
اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ
وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ
أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan
kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka,
niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang
melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang
tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya” (QS Faathir: 45).
Penangguhan siksaan pada ayat di atas merupakan konsekwensi dari
kalimat Allah yang tercantum pada hadits Abu Hurairah
r.a., ia berkata, Rasulullah Saw. besabda,
(( لَمَّا خَلَقَ الله الخَلْقَ كَتَبَ في كِتَابٍ
، فَهُوَ عِنْدَهُ فَوقَ العَرْشِ : إنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبي ))
“Tatkala Allah menciptakan mahluk, Ia menulis (kalimat/ketetapan)
pada salah satu kitab yang Ia simpan di sisi-Nya di ‘Arasy (yang berbunyi),
“Sungguh rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” [2]
Kalimat dan ketetapan yang dimaksud pada hadits
tersebut di atas dipertegas dengan firman-Nya yang berbunyi
وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ
لَكَانَ لِزَاماً وَأَجَلٌ مُسَمًّى
Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang
telah terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (azab itu)
menimpa mereka. (QS Thahaa [20]: 129)
Hikmah penundaan beragam azab di tengah rajinnya
orang-orang kafir berbuat dosa dan maksiat ini sangat beragam, sekalipun mereka
sudah pantas mendapatkan siksaan, jika masalah ini ditinjau berdasarkan pada
keadilan Allah dan bukan karena kasih sayang-Nya. Di antara hikmah di balik
kemahasabaran Allah yang dapat kita pahami adalah:
§ Sebagai wujud kasih sayang, pemaafan, kebijakan dan
pengampunan Allah Swt.
§ Sebagai wujud pemberian kebebasan memilih bagi manusia.
Yang mana, tanpa kebebasan seperti ini, maka hakikat ibadah berupa kebebasan
dan keikhlasan menyembah Allah di saat adanya peluang untuk kufur dan syirik,
tidak akan pernah terjwujud.
§ Jika siksaan disegerahkan setelah dosa terjadi maka
manusia akan taat dalam keterpaksaan. Padahal ketaatan yang dikhehedaki Allah
adalah ketaatan yang lahir dari akumulasi keikhlasan kepada-Nya
§ Allah sengaja membiarkan manusia dalam dosa dan maksiat
agar manusia mendapatkan keinginan dan hak-hak mereka selama di dunia.
﴿
كُلّاً نُمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ
رَبِّكَ مَحْظُوراً ﴾
Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan
itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak
dapat dihalangi. (QS al-Israa’ [17]: 20)
Baik hak mereka berupa
kenikmatan atau pun siksaan. Namun siksaan dan azab ini berlaku setelah adanya
beragam kebijaksanaan dan pengarahan serta pemaafan.
§ Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk berkata dan
berdalih bahwa kemaksiatan mereka dan semua pelanggaran yang dilakukan karena
merupakan takdir (pemaksaan) Allah yang tidak terelakkan. Tidak boleh ada yang berdalih dengan takdir
(terpaksa) dalam kemaksiatan, sekali pun boleh dalam hal-hal yang tidak ada
pilihan bagi manusia di dalamnya. Bahkan ketika hal itu terjadi, Allah sendiri
telah memberikan kelonggaran kepada hamba-Nya sebagai wujud kasih sayang.
Seperti halalnya daging babi jika tidak menemukan makanan lain yang bisa
menjaga keberlangusangan hidup manusia. Dengan demikian, dikenallah dalam Ushul
Fikih sebuah prinsip, “Hukum berlaku ketat ketika dalam kelapangan, kelonggaran
dan pilihan. Namun meluas dan melonggar jika terjadi keterbatasan dan
keterpaksaan (Idza Dhaqa al-Amru Ittasa’a Waidza Itttasa’a Dhaqa).
Inilah bentuk lain dari fleksibilitas hukum Allah Swt.
§ Allah Swt. membiarkan dan memberi jeda sekali pun Allah
tidak lalai. Allah Swt. sengaja membiarkan mahluk dalam dosa dan maksiat mereka
sekali pun tidak ada yang luput dari pantauan-Nya. Sehingga semua kejadian di
alam ini diizinkan Allah, sekali pun tidak diridhai oleh-Nya, karena adanya
hikmah yang agung di balik itu semua.
﴿
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُونَ ﴾
Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka
akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat
melemahkan (Allah)
(QS al-Anfal [8]: 59)
Ini berarti, segala tipu daya dan
makar orang-orang kafir senantiasa dimonitor oleh Allah dengan kesabaran-Nya.
Namun, kesabaran itu pun berarti Allah juga menyiapkan makar dan tipu daya
lebih berupa istidraj dan penundaan hingga jika keingkaran mereka
terbukti; sekalipun waktu dan pemaafan telah diberikan maka berakhirlah mereka dalam
lautan siksaan.
Perbedaan antara ash-Shabur dan al-Halim.
Bisa
jadi kita bertanya-tanya, apa perbedaan antara ash-Shabur (Allah Maha
Sabar) dengan al-Halim (Allah Maha Bijak dan Maha Lembut). Jawabannya
adalah bahwa ash-shabur mengandung makna penundaan siksaan semata. Jika
masanya telah tiba, siksaan yang dijanjikan tetap akan terjadi dan menimpa para
pendosa. Karena pemberian siksaan tetap harus disertai dengan kehati-hatian dan
jedah waktu yang ada. Bukankah dalam kedokteran pun dikenal amputasi bagi
penderita diabetes, supaya penyakit gula tersebut tidak merambat kepada area
yang lebih luas. Merupakan sebuah ketidakbijakan kalau seandainya Allah membiarkan
terus menerus kesalahan tanpa adanya penyiksaan. Penyiksaan yang terjadi juga
merupakan bagian dari kasih sayang, kebijakan, pengampunan, anugerah dan
kesamahasabaran Allah.[3]
Dan, di sinilah makna ash-shabur berlaku, namun tetap disertai dengan penundaan
waktu dan jeda yang lama berdasarkan pada kebijakan Allah Swt.
Sedang al-Halim mengandung makna lebih dalam karena mengindikasikan
penundaan yang bisa saja disertai dengan pemaafan (al-‘Afw). Sehingga al-Halim
mengandung potensi dan cakupan makna yang lebih luas dan lebih dalam. Karena
itulah, keberadaan sifat bijak dan kelembutan Allah (al-Halim)
bertebaran dalam al-Qur’an. Bahkan keluasan sikap bijak ini dirangkaikan dengan
sifat Maha Mengetahui (‘Alim) Allah
yang tak terbatas.
وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS
an-Nisaa’ [4]: 12)
Bahkan
disebutkan dalam sebuah atsar dari Harun bin Ri’ab, yang dikutip Imam
al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’ab al-Iman:
إِنَّ حَمَلَةَ الْعَرْشِ أَرْبَعَةٌ: اثْنَانِ يَقُولانِ : سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لَكَ الْحَمْدُ عَلَى حِلْمِكَ بَعْدَ عِلْمِكَ . وَاثْنَانِ
يَقُولانِ : سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لَكَ الحَمْدُ عَلَى عَفْوِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ.
“Sungguh
(malaikat) pembawa Arasy Allah terdiri dari empat malaikat. Dua di antara
mereka berkata, “Maha suci Engkau atas segala kesempurnaan dan keagungan-Mu.
Segala puji bagi-Mu atas kebijakan/kelembutan-Mu setelah pengetahuan-Mu (yang
tak terbatas). Dua lagi berkata, “Maha suci Engkau atas segala kesempurnaan dan
keagungan-Mu. Segala puji bagi-Mu atas pemaafan-Mu, sekali pun Engkau Maha
Kuasa (untuk menyiksa mereka)”. [4]
Terkadang
mahluk bijak karena ketidaktahuan dan memaafkan karena lemah. Sedang Allah Swt.
memaafkan pada saat segala kekuasaan dan segala kemampuan berada dalam
genggaman-Nya. Sungguh, tidak ada perpaduan yang sangat sempurna dibanding
perpaduan antara kebijaksanaan/kelembutan yang disertai dengan pengetahuan yang
luas. Dan, perpaduan antara pemaafan yang disertai dengan kemampuan dan
kekuasaan. Karena itulah, dalam do’a untuk orang yang sedang berduka, Allah
disebutkan sebagai Yang Maha Bijak dengan keagungan-Nya.
Pengetahuan
Rasulullah tentang kesabaran Allah Swt. sesuai dengan pemahan beliau tentang
keluasan rahmat dan kemaafan-Nya, yang menutupi kesalahan hamba. Padahal,
kesabaran itu bersamaan dengan kesempurnaan pengetahuan(‘Alim),
kemampuan (Qadir), keagungan dan kehebatan (‘Azhim) Allah
Swt. Itu merupakan kesabaran yang
mencapai tingkat maksimal. Sungguh membalas Sang Pembesar dari segala penguasa
dan raja di raja, serta Sang Maha Mulia dengan semua kebaikan-Nya yang melebihi
segala kebaikan yang ada; dengan segala keburukan mahluk dan semua keberutalan
mereka; dengan menisbatkan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah dan menciderai
kesempurnaan nama dan sifat-sifat-Nya,
dan menyimpan dari ayat-ayat-Nya serta mengingkari para rasul-Nya;
memperlakukan mereka dengan beragam penghinaan dan banyak keburukan, membakar
para wali-Nya, menghinakan dan membunuh mereka; semua itu tak akan tertahankan
kecuali oleh Allah Yang Maha Sabar. Yang mana, tidak ada satu pun mahluk yang
melebihi kesabaran-Nya. Bahkan, semua jenis kesabaran mahluk; dari semenjak
awal kehidupan hingga akhirnya, semua
itu berasal dari kesabaran Allah Swt. [5]
Jika tingkat kesabaran Allah ini hendak dipahami dan dilihat lebih
jauh lagi, mari kita baca firman Allah berikut:
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ
تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ
كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap;
dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan
keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun. (QS Fathir [35]: 41)
Pada kutipan ayat tersebut di atas, Allah
menginformasikan bahwa kebijakan (al-Hilm) dan ampunan-Nya (al-Ghafur)
mencegah kehancuran langit dan bumi. Sehingga kebijaksanaan Allah (al-Hilm);
dengan memegang keduanya agar tidak hancur, merupakan hakikat kesabaran Allah
Swt. Dengan kesabaran itulah Allah tidak mengazab mereka dengan segera. Bahkan
pada ayat-ayat di atas terdapat indikasi kuat bahwa langit dan bumi ingin
sekali dan meminta izin untuk dapat lebur dan hancur karena hebatnya
pelanggaran hamba. Namun Allah menahan langit dan bumi dengan kebijakan dan
kesabaran-Nya. Sikap menahan ini
merupakan sifat bijak Allah swt. (al-Hilm) dan merupakan intisari
kesabara-Nya.
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah riwayat yang
disandarkan secara marfu kepada Rasulullah Saw.,
مَا مِنْ يَوْمٍ إِلاَّ وَالبَحْرُ يَسْتَأْذِنُ رَبَّهُ أَنْ
يُغْرِقَ بَنِي آدَمَ
“Tidak sehari pun kecuali lautan
senantiasa meminta izin untuk meneggelamkan anak Adam” [6]
Hal ini tentu merupakan bentuk
kegusaran dan tabiat alam, karena seperti diketahui bahwa garis pantai dan
lautan melebihi luasnya garis dan area daratan. Namun Allah menahan dengan
kekuasan, kebijakan serta kebesaran-Nya. Tsunami yang pernah melanda negeri ini
dan beberapa kawasan Asia tenggara serta Asia Selatan merupakan indikasi kuat
dari kegusaran alam akibat pelangggaran dan kekafiran manusia. Walau pun bagi
selain mereka dari kalangan orang-orang kafir (orang-orang beriman) tetap saja peristiwa
ini hanya berfungsi sebagai ujian dan peningkatan derajat keiamanan semata.
Lalu bagaimana kelak ketika akhir zaman tiba, laut menyatu dan menenggalamkan
daratan?1 ditambah lagi dengan jilatan api yang semuanya bersumber dari isi
lautan? Naudzubillah.
Demikian
pula keadaan di mana langit hampir pecah, bumi hendak terbelah, pegunugan mau
runtuh mana kala orang-orang kafir dari kalangan Kristen menisbatkan anak
kepada Allah Yang Maha Rahman
وَقَالُوا اتَّخَذَ
الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ
الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا
أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا
Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak”. 89. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara
yang sangat mungkar, 90. hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi
terbelah, dan gunung-gunung runtuh, 91. karena mereka mendakwa Allah Yang Maha
Pemurah mempunyai anak. (QS Fathir [19]: 88)
Sungguh
semua itu tidak terjadi karena Allah mencegahnya dengan kesabaran dan kebijakan
serta kelembutan-Nya. Padahal, dosa-dosa orang kafir itu sangat pantas membuat
semua fasilitas langit dan bumi itu hancur lebur. Demikian makna firman-Nya berikut:
ُ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ
Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar
padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar
mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. (QS
Ibrahim [14]: 46)
Untung saja rintihan kaum beriman dengan istigfar
dan tilawah mereka, sedekah dan semua amal shaleh mereka, masih menjadi pertimbangan
yang membuat Allah senang. Bahkan Allah sangat bergembira dengan taubatnya
seorang hamba dibanding kegembiraan seseorang yang tertidur di tengah padang
sahara yang luas. Padahal, kendaraan, semua makanan dan minumannya serta
pakaian yang dibawahnya ada di kendaraan yang terparkir di dekatnya sebelum dia
tertidur. Namun, ketika terbangun, kendaraan dan semua muatannya itu hilang tak
berbekas. Dia mencarinya dengan penuh kepayahan. Hingga ketika bertemu, orang
tersebut salah ucap karena kegembiraannya. Dia berkata dengan penuh
kebahagiaan, “Segala puji bagi Allah. Sungguh Engkau adalah hambaku sedang aku
adalah tuhanmu”. Sungguh Allah lebih bahagia
dengan taubatnya hamba melebihi kegembiraan orang itu ketika menemukan barang
miliknya.
Sikap
sabar Allah ini merupakan bentuk kasih sayang yang mengungguli dan membatasi
kemarahan-Nya. Sehingga rahmat Allah senatiasa meliputi kemarahan-Nya itu, sesuai
ketetapan yang telah disebutkan pada zaman azali untuk menjadi bagian dari
kebijakan-Nya. Dengan pemahaman seperti inilah sehingga kita mendapati
Rasulullah berlindung kepada keridhaan Allah dari kemarahan-Nya, berharap
perlindungan kepada pemaafan-Nya dari siksa-Nya, sebagaimana riwayat berikut:
أَعُوذُ بِرِضَاكَ
مِنْ سَخَطِكَ، وَأَعُوذُ بِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ
“Aku
berlindung kepada keridhaan-Mu dari
kemarahan-Mu dan berlindung kepada pemaafan-Mu dari beratnya siksaan-Mu. Sungguh
aku berlindung kepada-Mu dari-Mu”. (HR Muslim dari Aisyah)
Sungguh,
hal-hal yang kita minta perlindungan kepada-Nya juga lahir dari kehendak dan
ciptaan-Nya, sesuai izin dan ketetapan-Nya. Dialah yang mengizinkan terjadinya
sebab yang kita hindari dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Dari-Nyalah
bersumber semua sebab dan semua fungsinya. Dialah yang menggerakkan jiwa dan
raga dan memberikannya potensi dan fungsinya masing-masing. Dia pula yang
menciptakan, menyiapkan, memberikan apa-apa yang mendukung fungsinya serta
menundukkannya sesuai kehendak-Nya. Dia pulalah yang menahannya jika Dia
menghendaki. Dia pula yang bisa mencegah fungsi dan potensinya jika Dia berkehendak.
Perhatikanlah
ungkapan Rasulullah, “Sungguh aku berlindung kepada-Mu dari-Mu” yang
mangandung makna tauhid yang begitu kokoh dan memangkas semua peluang yang
memungkinkan seseorang beralih kepada selain Allah demi tercapainya kesempurnaan
tawakkal dan mengungkapkan perlindungan hanya kepada-Nya semata; dengan
mengesakan Allah dalam segala harapan dan semua jenis cita-cita, demi
menghilangkan ancaman bahaya, dalam rangka menggapai semua peluang kebaikan.
Dialah yang mendatangkan bahaya dengan kehendak-Nya. Dia pula yang
menghilangkannya dengan kehendak-Nya. Dialah yang menjadi tempat mengadu dan
memohon perlindungan dari kehendak-Nya kepada kehendak-Nya. Dialah yang
melindungi dari kehendak-Nya dengan kehedak-Nya. Dialah yang menciptakan
dosa-dosa dan pelanggaran hamba-Nya, yang harus Dia tanggung sendiri beratnya
dengan penuh kesabaran. Dia pula yang menciptakan amal shaleh yang membuat-Nya
bergembira ketika dilakukan oleh hamba-Nya. Jika kemaksiatan hamba membuat-Nya
marah dengan banyaknya kesyiirkan, kekafiran dan kezhaliman mereka, maka Dia
bergembira penuh keridha’an dengan tasbih malaikat dan semua kaum mukminin
kepada-Nya, serta pujian dan ketaatan mereka semua. Sehingga keridhaan-Nya
menghindarkan dari kemarahan-Nya.
Abdullah
bin Mas’ud r.a. menerangkan tentang bagaimana siklus kemarahan Allah yang
berganti dengan rahmat-Nya dengan mengatakan, “Tidak ada istilah siang dan
malam di sisi Tuhanmu. Sungguh, cahaya langit dan bumi berasal dari wajah-Nya.
Nilai sehari dalam perhitungan kalian di sisi Allah terhitung sebanyak 12 jam.
Amal-amal kalian kemarin disampaikan kepada-Nya di awal siang hari ini. Dia
melihat laporan amalan itu selama tiga jam sehingga mendapati hal-hal yang
membuat-Nya marah. Yang pertama mengetahui kemarahan-Nya adalah para malaikat
yang membawa Arasy. Mereka merasakan begitu beratnya Arasy Allah. Lalu para malaikat
pembawa Arasy dan semua mahluk yang ada di sekitarnya semua semua malaikat
terdekat bertasbih kepada-Nya, hingga Jibril a.s. meniup terompet,
sampai-sampai semua mahluk mendengarnya. Mereka semua pun memahasucikan Allah
sebanyak tiga jam hingga Allah yang Maha
Rahman kembali kepada Sikap rahmat-Nya. Semua itu berjumlah enam jam,” Lalu
beliau melanjutkan lagi, “Didatangkanlah rahim lalu Allah melihatnya selama
tiga jam. Itulah makna beberapa firman Allah berikut:
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana
dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS Ali Imran [3]: 6)
يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ
الذُّكُورَ
أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا
وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا
Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang
Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki,
50. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa
yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. (QS
asy-Syuraa [42]: 49-50)
Itulah Sembilan jam. Lalu didatangkanlah
rezeki, kemudian Allah menatapnya selama tiga jam. Itulah firman Allah:
يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya (QS ar-Ra’du
[13]: 26)
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Setiap waktu Dia senantiasa dalam kesibukan. (QS
ar-Rahman [55]: 29)
Kata beliau, “Hanya itulah
batas waktu antara kalian dan Tuhan kalian”.
Setelah
Allah menyebutkan musuh-Nya pada surat al-An’am dengan kekufuran, kesyirikan, dan
pendusataan mereka kepada rasul-rasul-Nya, Allah menyebutkan tentang nabi
Ibrahim dengan segala yang diperlihatkan kepadanya dari kerjaan langit dan
bumi, serta argument-argumen yang digunakan untuk menjinakkan kaumnya dalam
rangka untuk memenangkan agama Allah dan menegaskan makna tauhid kepada-Nya.
Lalu Allah menyebutkan para nabi dan keturunan mereka dengan penegasan bahwa
Dialah Yang memberikan mereka hidayah, bekal kitab suci, pemahaman hikmah serta
nikmat kenabian. Lalu Allah berfirman:
فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا
قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ
Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang
tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang
sekali-kali tidak akan mengingkarinya. (QS al-An’am [6]: 89)
Di sini Allah menginformasikan bahwa sebagaimana di bumi ini ada orang-orang
yang mengingkari tauhid-Nya dan mengingkari rasul-rasul-Nya, Allah juga
menjadikan padanya hamba-hamba yang beriman kepada semua yang dingkari oleh
orang-orang kafir itu dan membenarkan apa pun yang mereka ingkari. Orang-orang
yang senantiasa menjaga autran-aturan-Nya yang disepelekan dan diterlantarkan
oleh orang-orang kafir.
Dengan begini terjalinlah kesatuan dan perpaduan antara alam yang
tinggi dengan alam rendah. Kalau tidak, jika seandainya kebenaran harus
mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir maka langit dan bumi pasti hancur
beserta semua yang ada di dalamnya. Alam ini pasti akan rubuh. Karena itulah
Allah menjadikan salah satu faktor kehancuran alam, dengan mengangkat sebab-sebab
yang bisa menahan bumi ini. Yaitu berupa ayat-ayat suci-Nya, masjid-masjid-Nya
dan orang-orang yang menjaga itu semua. Sehingga tidak ada lagi yang bisa
mencegah kehancuran alam; seperti
faktor-faktor dan sebab-sebab yang bisa menahan dan mencegahnya.
Karena nama al-Halim lebih dalam cakupan kandungannya dalam
mensifati Allah, sedang nama as-Shabur lebih kokoh dalam hal perbuatan
Allah, maka diketahuilah bahwa kebijaksanaan dan kelembutan (al-Hilm)
merupakan sumber kesabaran. Maka, tidak perlu lagi menyebutkannya di dalam
al-Qur’an dengan nama ash-Shabur.
[7]
Penundaan
siksaan yang merupakan konsekwensi dari sifat sabar Allah (ash-Shabur)
yang bersumber dari kebijaksanaan-Nya (al-halim). Sedang kebijaksanaan
ini semakna dengan pemaafan-Nya (al-‘Afuww). Yang mana, semua
sifat-sifat ini merupakan bagian dari sifat rahman dan rahim
Allah Swt. yang mencakup segala sesuatu. Sehingga terkadang ada orang atau pun
sekelompok orang dalam suatu kerajaan atau pun Negara, ketika dikarunia
kekayaan, kesenangan duniawi, pangkat dan status sosial, kekuasaan dan kelapangan,
berbuat semena-mena. Seolah-olah mereka adalah tuhan penguasa alam semesta,
seperti yang perrnah dilakukan oleh Fir’aun. Mereka lupa bahwa itu hanyalah
penundaan, yang jika tidak disertai dan diiringi taubat maka ujungnya hanyalah
siksaan yang luar biasa.
Mari
kita lihat peringatan Allah kepada para tiran yang menggunakan segala fasilitas
duniawi mereka demi menghancurkan Islam, seperti Amerika dan sekutunya, Israel
hari ini. Allah mengingatkan mereka, sebagaimana telah mengingatkan semua tiran
dari semenjak zaman nabi Adam hingga zaman Rasulullah dan setelahnya:
وَلَا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا
نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan
janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami
kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh
kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka
azab yang menghinakan. (QS Ali ‘Imran [3]: 178).
Jika
dosa itu makin menumpuk hingga tiba masa berakhirnya kasih sayang (kehidupan
duniawi) dan mereka hadir di akhirat, maka terbuktilah segala ancaman dan
penyiksaan yang tidak berujung dan tidak berpangkal.
وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلاً
عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ
الأَبْصَارُ مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي
رُؤُوسِهِمْ لاَ يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاء
Dan
janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang
diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh
kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. mereka
datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang
mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong. (QS Ibrahim [14]:
42-43).
Apa
yang kita saksikan hari ini berupa kesewenang-wenangan orang-orang kafir
terhadap kebenaran Islam, juga kekayaan mereka yang melimpah, sekali pun itu
juga merupakan bukti kelemahan kita sebagai muslim, namun sesungguhnya Allah
tidak pernah lengah dan lupa, walau pun tetap memberi jedah dengan
kesabaran-Nya. Sehingga Allah menghibur kaum muslimin yang terzhalimi dengan
perintah bersabar dan diarahkan agar senantiasa menunggu waktu yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk mengazab mereka.
لَا يَغُرَّنَّكَ
تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ
قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan
orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara,
kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam; dan Jahanam itu adalah tempat
yang seburuk-buruknya. QS Ali Imran [3]: 196-197)
Janji Allah ini dibuktikan dengan penekanan pada ayat lainnya
وَكَأَيِّنْ
مِنْ قَرْيَةٍ أَمْلَيْتُ لَهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ ثُمَّ أَخَذْتُهَا وَإِلَيَّ
الْمَصِيرُ
Dan
berapalah banyaknya kota (dalam sebuah Negara) yang Aku tangguhkan (azab-Ku)
kepadanyapadahal penduduknya berbuat lalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya
kepada-Ku lah kembalinya (segala sesuatu). (QS al-Hajj [22]: 48)
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ
ذُو الرَّحْمَةِ لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوا لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ
بَلْ لَهُمْ مَوْعِدٌ لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ مَوْئِلاً
Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun, lagi mempunyai
rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan
menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu
(untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat
berlindung daripadanya. (QS al-Kahfi [18]: 58)
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا
بِآَيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ وَأُمْلِي لَهُمْ
إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti
Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan
cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka.
Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS al-A’raf [7:] 182-183).
فَلَمَّا نَسُوا
مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا
بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan
yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu
kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang
telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka
ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS al-An’am [6]: 44)
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا رَأَيْتَ
اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا
هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ». ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (فَلَمَّا
نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا
فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ )
Dari Uqbah bin Amir, dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Jika
engkau melihat Allah memberikan kenikmatan duniawi yang diiginkan dan dicita-citakannya
kepada seseorang dengan kemaksiatannya, maka ketahuilah bahwa itu hanyalah
jebakan (istidraj).” Lalu Rasulullah membaca firman Allah yang berbunyi,
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah
diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk
mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu
mereka terdiam berputus asa.” (QS al-An’am [6]: 44) [8]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari Surat
al-An’am di atas dengan mengatakan, “[Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah
diberikan kepada mereka], yakni, mereka
cuek kepada jaran Allah (Islam), berpura-pura melupakan dan menjadikannya
sebagai urusan sampingan dan menyepelekannya (wara’a zuhurihim), maka [Kami-pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka], yakni: maka kami
bukan pintu rezeki untuknya agar segala harapan dan cita-citanya gterpenuhi.
Padahal ini hanyalah jebakan (istidraj) dan penangguhan Allah yang
bersifat sementara (imla’) kepada mereka. Semoga kita semua dilindungi
oleh Allah dari segala keburukan. Karena itulah, Allah menegaskan [sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka],
yakni: harta, anak-anak yang cerdas dan sehat dan beragam rezeki. [Kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong,], yakni; dalam kondisi lalai dari
Allah dan ajaran-ajaranNya. [maka ketika itu mereka terdiam berputus
asa], yakni: mereka kehilangan harapan terhadap segala kebaikan (kaarena
begitu hebatnya siksaan).” [9]
Hasan Bashri rahimahullah berkata, “Siapa pun
yang diberikan keluasan rezeki, lalu dia tidak sadar bahwa itu bagian dari
makar dan ujian maka orang itu tidak waras pikirannya. Dan barang siapa yang
diberikan kenikmatan lalu dia tidak merasa bahwa itu adalah peluang untuk
beramal shaleh dan taubat dari segala dosa, maka orang itu tidak waras
pikirannya.” Lalu beliau membaca Surat al-An’am ayat 44 tersebut di atas.”
Beliau juga menegaskan, “Makar yang Allah timpakan kepada sekelompok orang wujudnya
berupa pemberian segala yang mereka harapkan, lalu mereka disiksa habis-habisan
setelah itu.” (HR Ibnu Abi Hatim).
Qatadah berkata, “Ada sekelompok orang yang cuek
terhadap agama Allah. Sungguh Allah tidak menyiksa sekelompok orang kecuali
jika mereka sedang lalai, terpedaya dan ketika berada di atas puncak
kenikmatan. Maka kalian jangan terpedaya oleh nikmat Allah. Sungguh, tidak ada
yang terpedaya oleh karunia Allah kecuali orang-orang fasik. (HR. Ibnu Abi
Hatim).
Sikap senantiasa mawas diri terhadap segala pemberian
dari Allah dan tidak terpedaya oleh limpahan kenikmatan, yang menjadi ciri
muslim sejati, kita temukan pada diri Abdul Rahman bin Auf r.a. Sebagaimana
penuturan beliau sendiri bahwasanya, suatu ketika, saat dia disuguhi makanan,
padahal dia sedang puasa. (Sedangkan orang yang berpuasa biasanya sangat
mengharapkan makanan. Tetapi beliau teringat dengan saat-saat yang dilewatiya
bersama para sahabat utama yang telah syahid lebih dulu. Dengan menganggap
remeh dirinya dibanding mereka, beliau mengatakan,) ”Mush'ab bin Umair telah
terbunuh, padahal ia lebih baik dariku”. Ketika dia meninggal, kain kapan saja
susah didapatkan untuk mengapaninya. Hanya sebuah kain burdah yang digunakan
untuk itu. Jika kain itu ditarik untuk menutupi kepalanya, maka kakinya akan
tersingkap. Tapi ketika kakinya ditutup dengan kain tersebut, maka kelihatanlah
kepalanya. Lalu dunia ini (dengan segala kenikmatannya) dibukakan kuncinya,
atau dengan redaksi lain, ia mengatakan, ”dunia ini telah diserahkan kepada
kami (untuk dikuasai secara politis). Namun Saya khawatir kalau semua
kenikmatan ini adalah kebaikan kami yang disegarahkan balasannya di dunia ini”.
Lalu beliau menangis sejadi-jadinya hingga makanan tidak lagi disentuh
olehnya”. [10] [11]
[1]
HR al-Bukhari, no. 5748 dan Muslim, no. 2804 dari Abu Musa
al-Asy’ari .
[2] HR. Al-Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751.
[3]
Dalam al-Qur’an, terkadang Allah menyebutkan perbuatan-Nya dengan menggunakan
kata kami dan kata saya. Ketika menggunakan kata kami, itu menujukkan bahwa
Allah sedang berbicara tentang perbuatan dan sifat-Nya yang beragam. Semenatara
ketika menggunakan kata saya dan aku berarti menunjuk Zat-Nya Yang Esa.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat
Aku. (QS Thaha [20]: 14)
Perhatikan ayat yang menggunakan kata kami berikut:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
(QS al-Hijr [15]: 9)
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا
وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan
Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauhmahfuz).
(QS Yasin [36]: 12)
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran. (QS al-Qomar [54]: 49)
Ada juga sebagian ulama berpendapat, kata kami yang
digunakan Allah menunjukkan adanya keterlibatan hamba-Nya dalam suatu
perbuatan. Contohnya, dalam penurunan al-Qur’an, sekali pun Allah yang
menurunkan, namun Jibril a.s. juga ikut terlibat. Termasuk dalam penjagaan
kitab suci tersebut keterlibatan kaum muslimin dengan catatan dan hafalan
mereka juga disinyalir sebagai bagian dari penjagaan Allah terhadap al-Qur’an.
Tentu kedua pandangan ini bisa disatukan, namun pada hal-hal yang mungkin
mahluk bisa terlibat. Namunm, untuk hal-hal yang menjadi kekhususan Allah,
sekali pun menggunakan kata kami, tentu hanya makna pertama yang berlaku (kata
kami yang menunjukkan keterlibatan beragam perbuatan dan sifat Allah Swt.).
Contohnya, dalam hal menghidupkan orang mati sebagaimana pada surat Yasin ayat
12, tentu mahluk tidak bisa terlibat, walau pun dalam pencatatan perbutan
manusia, malaikat dan pengawas dari kalangan manusia tetap bisa terlibat.
Wallahu A’lam.
[4]Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, demikian pula Ibnu Qayyim dalam kitab ar-Ruh. Harun bin Ri’ab adalah
sorang ahli ibadah yang terpercaya dan termasuk seorang imam dari kalangan tabi’in.
Sekali pun demikian, atsar ini hanya dinisbatkan (mauquf) kepada beliau
dan tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa penisbatan riawayat ini sampai (marfu’)
kepada Rasulullah Saw.
[5]
Uddatu as-Shabirin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
[6]
HR Ahmad, no. 305
berdasarkan pada riwayat Umar bin Khattahab r.a. hadits ini didhaifkan oleh
Syaikh al-Albani dalam silsilah hadits dhaif.. Tapi beliau mengaagap maknanya
benar sebagaimana Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim banyak mengutip banyak faedah
dan menjelaskan maknanya dalam beragam karya beliau.
[7]
Uddatu ash-Shabirin wa Zukhratu asy-Syikirin, Ibnu Qayyim al-Jauziah, hal. 276-280.
[8]
HR. Ahmad, no. 17774.
[9]
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir
[10]
HR. Bukhari.
[11]
Bagian manusia dari sikap sabar Allah
yang terdapat pada entri ini akan kita bahas secara luas pada bab 3 buku ini.
Karena bab 3 memang dikhususkan untuk membahas seputar kesabaran sebagai sarana
menggapai kebahagiaan hakiki dalam Islam.
subhanallah...trims atas artikelnya yang bagus dan bermanfaat. Barokallah fiik
ReplyDeletewafikum barakallah
Delete