Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
(STIS) Al-Manar Jakarta
Sumber: Tingkatan Kaum Beriman dan Bertakwa
(Karya Ust. Idrus. Sedang dalam Proses Terbit)
Manusia memiliki sebuah perangkat, jika perangkat itu baik maka
semua prangkat lainnya akan ikut baik karenanya. Itulah hati. Demikianlah titah
Rasulullah Saw. Benar sekali. Hati memang berperan besar dalam segala aktivitas
manusia. Dari sejak berpikir dan menghayalkan keinginan-keinginan serta
menggerakkan fisik untuk melakukan sesuatu, jika semuanya dilandasi oleh iman
dan takwa, akan menghasilkan nilai yang berlipat dan pahala yang besar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ
حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ
ضِعْفٍ وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ
فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً.
Dari Abu Hurairah, r.a., dari Rasulullah Saw., beliau menegaskan, “Jika terbetik dalam diri seorang
hamba-Ku keinginan untuk berbuat baik maka malaikat mencatat sebuah kebaikan
dan pahala untuknya. Lalu jika ia melakukan keingin baik itu dan mewujudkannya
dalam dunia nyata maka akan ditetapkan sepuluh pahala kebaikan lagi baginya. Hingga
kebaikan itu dilipatgandakan mencapai 700 kali lipat. Namun, jika terbetik
dalam benaknya pikiran negatif maka Aku membiarkan. Jika ia melakukannya
barulah Aku mencatatnya sebagai sebuah kesalahan.” [1]
Tidak sekedar demikian, bahkan setelah keburukan itu pun mencederai
keimanan dan fisik orang-orang beriman, malaikat pencatat keburukan masih
memberikan jeda waktu untuk bertaubat. Jika mereka menyesal, malaikat akan membiarkannya
begitu saja tanpa melakukan pencatatan. Nanti malaikat pencatat keburukan
benar-benar menetapkannya sebagai laporan kepada Allah, jika dia tidak menyesal
dengan hatinya, bersitigfar dengan lisannya dan meninggalkan keburukan itu
dengan fisiknya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ :
إِنَّ
صَاحِبَ الشِّمَالِ لِيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ
الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ أَوِ الْمُسِيء ِ، فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللَّهَ
مِنْهَا أَلْقَاهَا، وَإِلا كُتِبَتْ وَاحِدَةً.
Dari
Abu Umamah, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sungguh malaikat yang berada di
sebelah kiri akan mengangkat pena pencatat keburukan dari seorang Muslim yang
berdosa. Jika ia menyesal lalu beristigfar maka malaikat itu akan membuang
catatan keburukan itu. Namun jika tidak, maka malaikat akan menuliskannya satu
keburukan. [2]
Itulah rahmat Allah yang Mahaluas. Bagaimana mungkin kebaikan bisa
tercatat, seseorang bisa mendulang pahala banyak, hanya sekedar memikirkan kebaikan
dan kebenaran?! Alasannya, orang-orang yang berpikir positif, dengan semangat
keimanan dan ketakwaan, tentulah orang-orang yang terang jiwanya oleh Allah
yang dicintai-Nya, Rasulullah sebagai panutan yang diikutinya, al-Qur’an sebagai
navigasi sikap dalam realitas kesehariannya. Dengan alasan itu saja mereka sudah tercatat
sebagai pelaku kebaikan dan pionir pada setiap amal islami.
Jika kesalahan terlanjur terjadi, lalu hati menyesali, lidah ikut istigfar
sebagai bentuk partisifasi, kemudian fisik ikut mengejawentahkan apa yang ada
di hati dengan perbaikan, ketika itulah telaga kesalahan tadi menjadi lautan
kebaikan dan pahala yang membahagiakan. Dengan demikian, manusia menjadi lebih
baik dan meningkat secara psikis (keimanan) dan secara fisik (keislaman). Peningkatan
ini berawal dari keislaman secara lahiriah, lalu meningkat terus menerus
sehingga memiliki identitas sebagai orang beriman. Akhirnya, jika tetap
meningkat secara kualitas keilmuan dan kuantitas amal, maka tidak mustahil
untuk sampai ke tingkat paling bergengsi dalam piramida keimanan dan ketakwaan.
Yaitu, tingkat ihsan.
Tingkat pertama adalah Islam secara lahiriah. Tingkat ini disebut
sebagai tingkat orang-orang zhalim. Karena orang beriman yang berada pada
tingkatan ini masih banyak pelanggaran dan sikap menyelisihi Islam. Artinya,
fisik mereka yang shalat, puasa, haji dll. belum disertai dengan keyakinan yang
mendalam, yang dapat membuatnya komitmen dengan Islam layaknya tingkat kedua. Sehingga
shalatnya belum berfungsi menceganya dari perbuatan keji dan mungkar,
sebagaimana salah satu fungsi shalat dalam al-Qur’an. Shalat, zakat, puasa,
haji, qurban dan ibadah lainnya, yang
disyari’atkan sebagai sarana untuk mengasah ketakwaan belum berfungsi dengan
maksimal pada tingkatan atau kelompok ini.
Tingkat kedua adalah tingkat iman yang disebut sebagai muqtashid.
Yaitu tingkat kesesuaian antara rutinitas keislaman secara lahiriah dengan
tingkat keimanan secara batiniah. Dalam bahasa popular dikenal dengan
istiqamah. Yaitu sikap keberagamaan yang merefleksikan komitmen dan konsistensi
secara lahir dan bathin dalam lingkup keimanan dan keislaman, yang mengantar
seseorang menuju tangga pertama ketakwaan. Tingkat ketiga disebut tingkat ihsan
yang disebut sebagai tingkat orang-orang yang senantiasa berlomba-lomba
melakukan kebaikan (sabiq bi al-khairat) dengan tingkat profesionalisme
tinggi. Profesionalisme yang lahir dari perpaduan antara ilmu yang mapan dan
semangat yang senantiasa konsisten dalam jalur keimanan dan ketakwaan hingga
berakhirnya jatah hidup di dunia ini. tingkatan ini adalah tingkatan tertinggi
keimanan dan tingkatan paling bergengsi dalam piramida ketakwaan. Itulah makna
ayat ke- 32 surah Fathir yang segera hadir berikut ini:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ
اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ
مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ
الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32)
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang zhalim (menganiaya
diri mereka sendiri dengan banyaknya pelanggaran) dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Fathir
[35]: 32)
Ayat di atas memetakan hamba-hamba
pilihan Allah yang dikenal dengan orang-orang yang beriman dan bertakwa atau
pun dengan istilah berbeda, waliyullah. Orang-orang beriman dan bertakwa ini
terbagi menjadi:
A.
Orang-orang
beriman yang berkategoridan bertife zhalim. Yaitu mereka-mereka yang
banyak melanggar ketentuan Islam secara lahiriah maupun secara batiniah.
Sehingga, berdasarkan kategori ini, kelompok atau tingkatan zhlim ini dianggap
masih jauh dari ketentuan Islam sejati atau Islam ideal. Dengan demikian,
istilah zhalim pantas dikatakan sebagai kategori orang-orang yang banyak
berbuaat dosa besar maupun dosa kecil. Sekali pu mereka ini tidak menyadari hal
tersebut. Kesadaran tetang perbuatan dosa dan maksiat memang bersifat fitrawi
dan tertanam dalam lubuk hati yang dalam. Namun, untuk memahami secara detail
dan medalam, dibutuhakn upaya untuk mengenal Islam dengan lebih baik dari
sumber-sumber otritatif; baik berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah maupun sumber-sumber
yang menjelaskan kedua hal itu berdasarkan pada pemahaman kaum muslimin di
zaman keemasan Islam (salaf).
B.
Orang-beriman
dan bertakwa yang disebut muqtashid. Yaitu orang yang menegah iman dan
amalnya. Orang-orang yang searah keimanan hatinya dan fisiknya yang beriman
sehingga menjadi orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam lahir dan batin
(istiqamah).
C.
Orang
beriman dan bertakwa yang mencapai tingkat keimanan maksimal dan amalan yang
profesional. Mereka dikenal sebagai orang-orang pionir dalam ilmu dan amal (sabiq
bi al-Khaerat). [3]
Ketiga tingkatan ini searah dengan hadits Jibril yang membagi Islam
menjadi tiga kategori/tingkatan dengan istilah berbeda.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى
الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ
الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ
يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم
فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ
وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ
أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ
الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ
سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ،
قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ
بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ
بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ:
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ
تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ
مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ:
أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ
رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ
مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ:
اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ
أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
Dari Umar bin al-Khatthab r.a., dia berkata, ketika kami tengah berada di majelis bersama
Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut
sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan
tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di
hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan
meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah. Selanjutnya ia berkata, ”Hai
Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!" Rasulullah menjawab, “Islam
itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika
engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata, “Engkau benar.” kami pun heran, ia bertanya lalu
membenarkannya sendiri. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan
kepadaku tentang Iman.” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada
hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata,
“Engkau benar.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan!”
Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat!” Rasulullah
menjawab, “Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya
orang itu berkata lagi, ”Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Rasulullah menjawab, “Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan
puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak
berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.”
Kemudian orang itu perg sedang aku tetap tinggal beberapa lama bersama
Rasulullah. Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau
siapa yang bertanya tadi?” Saya menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah berkata, “Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang ajaran agama Islam kepadamu.” [4]
Pada hadits ini, kategori zhalim
disebut dengan istilah Islam (aspek
lahiriah). Kategori muqtashid diistilahkan dengan iman (sisi bathiniyah). Sedang kategori profesional
dikenal dengan istilah ihsan (perpaduan antara Islam dan Iman yang terangkum
secara proporsional). Selain istilah tersebut, kita juga mendapati istilah lain
untuk untuk ketiga kalangan ini pada surah al-Waqi’ah yang mengandung jannji-janji
pahala dan ancaman untuk masing-masing kelompok. Berikut penuturan surah
al-Waqi’ah tentang ketiga kelompok tersebut:
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجاً
ثَلَاثَةً (7) فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (8)
وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ (9) وَالسَّابِقُونَ
السَّابِقُونَ (10) أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (11
Dan
kamu menjadi tiga golongan.8. Yaitu golongan kanan (ashabul yamin).
Alangkah mulianya golongan kanan itu.9. Dan golongan kiri (ashabul
masy’amah). Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.10. Dan orang-orang
yang paling dahulu beriman (as-sabiqun), merekalah yang paling
dulu (masuk surga). 11. Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah) (muqarrabun).
(QS al-Waqi’ah [56]: 7-11).
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menukil pendapat Ibnu Juraij yang menyampaikan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna
firman Allah Swt. [Dan kamu menjadi tiga golongan.] adalah ketiga kelompok yang disebutkan di akhir
surah ini dan ketiga kelompok yang disebutkan dalam surah al-Malaikah.” [5]
Yang dimaksud Ibnu Abbas r.a. sebagai kelompok yang disebutkan di
akhir ayat adalah firman Allah yang berbunyi, ”Adapun
jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah) (muqarrabun),
89. maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan. 90. Dan
adapun jika dia termasuk golongan kanan (ashabul yamin), 91. maka
keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. 92. Dan adapun jika dia
termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat (mukazzibin
dan dhallin), 93. maka dia mendapat hidangan air yang mendidih,
94. dan dibakar di dalam neraka. (QS al-Waqi’ah [56]: 88-94).
Sedang surah al-Malaikah yang dimaksud Ibnu Abbas r.a. adalah surah
Fathir yang telah disebutkan sebelumnya, yang berbunyi, “Kemudian Kitab itu
Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
lalu di antara mereka ada yang suka menganiaya diri mereka sendiri dengan
banyaknya pelanggaran terhadap aturan al-Qur’an (zhalim) dan di
antara mereka ada yang pertengahan (muqtashid) dan di antara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiq bil khairat)
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS
Fathir [35]: 32)
Pada surah al-Waqi’ah yang sedang kita bahas tadi, ketiga
kelompok sebelumnya juga disebutkan
dengan istilah berbeda. Untuk kalangan zhalim disebut sebagai ashabul
masy’amah. Walaupun ashabul masy’amah ini juga mencakup orang kafir
dan munafik, selain orang-orang zhalim dari kalangan kaum muslimin. Kalangan muqtashid
disebut sebagai ashabul yamin dan kalangan profesional disebut sebagai as-sabiqun
dan al-muqarrabun.
Jika ketakwaan seperti yang dimaknai oleh Sayyid Quthb rahimahullah
sebagai sensitifitas hati yang senantiasa sadar dan terjaga, perasaan yang
sangat sensitif, khusyu’ secara bekelanjutan, senantiasa menggerakkan
fisik untuk maju maupun mundur, senantiasa semangat namun tetap berhati-hati
dan waspada, dan senantiasa berhati-hati terhadap duri yang merintangi
perjalanan,[6] maka
ketika itulah segala kebiasaan, seperti mandi, berpakaian dan makan, menjadi sumber
pahala yang tak terbatas. Bukankah prinsip Islam mengatakan bahwa niat yang
tulus dan ikhlas dapat merubah kebiasaan menjadi ibadah? Sebaliknya, bukankah
kita tidak khawatir jika ibadah murni (mahdah) kita seperti shalat,
tilawah dan haji hanya menjadi kebiasaan, gara-gara tidak dilandasi oleh niat
dan ketulusan hati?! Lalu kenapa kita tidak memperhatikan hati yang menjadi
sumber segala kebaikan, jika dioptimaslisasi dengan iman dan takwa?! Allah
telah mengisyaratkan:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّـهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّـهَا
Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, 9.
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, 10. dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams [91]: 8).
Sensitifitas hati tebangun karena ia telah melakukan pengembaraan spiritual
yang mendalam nan jauh hingga terkadang berliku. Kesimpulan perjalanan spiritualnya
menegaskan bahwa kebahagian hanya bisa dicerap, kenikmatan hakiki bisa terasa
dan kepuasaan bisa didapat jika dia memahami bahwa yang dicintai satu-satu-Nya hanyalah
Allah Swt. Allah Swt. dicintai bukan karena murni keimanan dan doktrin spiritualitas
semata, tapi karena kesadaran bahwa Dia-lah Dzat yang dengan rahmat-Nya kita
senantiasa berharap lebih baik dan karena azab-Nya kita perlu berlidung karena
merasa takut dari-Nya.
Ketiga hal ini; cinta yang mendalam kepada-Nya, harapan besar
kepada-Nya karena rahmat-Nya Yang Mahaluas dan azab yang ditakuti karena tak
terbatas, itulah yang membentuk hakikat dan sendi-sendi ketakwaan dan keimanan.
Betul bahwa takwa memprovokasi dan memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan
dan mencegahnya dari keburukan. Namun, itu hanyalah efek dari rasa cinta, harap
dan takut kepada Yang Mahabesar itu. Benar bahwa iman adalah sikap menerima dan
membenarkan pilar-pilar keimanan, mengucapkannya melalui lisan dengan syahadat
yang tulus serta mempraktikkannya dalam keseharian dengan seluruh anggota
tubuh. Namun, sekali lagi, itu semua adalah efek dari kesatuan tiga unsur utama
ketakwaan dan keimanan yang telah kami jelaskan dan kami paparkan secara
singkat sebelumnya.
[1] HR. Muslim, Tirmidzi dan al-Baihaqi.
[2] HR Thabrani. Al-Albani menghasankannya dalam
kitab Shahih al-Jami’ ash-Shagir, no. 2097.
[3] Lihat: Qawa’id wa Fawaid min al-Arbain
an_nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, (Riyaadh: Dar al-Hijrah Linnasyr wa
at-Tauzi’), cet. 6, th. 2000 M./1421H. hal. 334. Lihat pula kitab: Halawah
al-Iman, Karya: Abu Raihanah (Muhammad bin Sayyid ‘Abd al-‘Azhim al-Janzuri), cet.1, th. 2006 M./1427 H. hal.
17
[5] Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir,
(Riyadh: Dar as-Salam Linnasyr wa at-Tauzi’), cet. 1, th. 2000 M. /1421 H., hal. 1331.
[6] Surah al-Hujurat; Dirasah Tahlilyah wa
Maudhu’iyyah, Dr. Nashir bin Sulaiman al-‘Umar, (Dar al-Wathan: Riyadh), cet.
2, th. 1414. H., hal. 227.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete