Istilah fiksi lagi ramai karena dijadikan delik aduan untuk melaporkan Rocky Gerung karena menganggap kitab suci sebagai fiksi. Hal ini dianggap penodaan agama oleh pihak tertentu. Sehingga mereka berusaha menggiring nalar publik untuk minimal membenci bahkan kalau perlu memenjarakan yang bersangkutan.
Bagaimana pemikiran Islam melihat fiksi dan imajinasi ini?
Fiksi Pasti Imajinasi.
Fiktif sudah jelas kebohongan. Artinya, sebuah khayalan yang tak ada wujudnya di dunia nyata. Memang salah satu fungsi dan daya akal adalah kemampuannya berimajinasi (berkhayal). Maksudnya, akal mampu membayangkan sesuatu secara rasional walaupun tidak ada dalam dunia nyata. Contoh, dalam imajinasi akal, gunung emas itu sangat rasional. Namun, dalam kenyataannya tidak ada gunung yang benar-benar emas murni.
Di sinilah imajinasi akal dianggap fiktif (bohong). Walaupun tidak semua fiksi itu tidak ada realitasnya. Karena fiksi artinya imajinasi yang berkembang dalam akal atau rasio manusia sehingga termotivasi dan terinspirasi untuk berusaha mewujudkannya dalam dunia nyata di masa depan. Semua kenyataan dalam hidup kita awalnya hanyalah imajinasi. Namun, seiring dengan waktu imajinasi itu terwujud sedikit demi sedikit. Sehingga kita sekarang adalah hasil dari dari sekian banyak imajinasi masa lalu kita di masa lampau. Intinya, manusia banyak digerakkan oleh imajinasi yang berkembang di sekitarnya; baik yang sifatnya rekaan (fiktif) maupun kisah-kisah nyata di masa lalu.
Qur'an dan Sunnah pun seringkali menggambarkan surga secara imajiner. Seperti adanya aliran sungai yang dikelilingi taman-taman indah. Taman yang berisi tanaman yang berbuah lebat dan dekat sehingga mudah diambil dan dipetik oleh penduduk surga. Bahkan dideskripsikan seolah remote kontrol semua kenikmatan surga ada pada pikiran dan keinginan penduduk Surga itu sendiri. Jika mereka ingin buah tertentu misalnya, maka buah itu yang mendekat kepada penduduk surga dst. Maksudnya, agar manusia tertarik untuk berislam, beriman dan bertakwa, mereka diberikan informasi seputar akhirat yang akan membuat mereka berimajinasi. Sehingga imajinasi itu benar-benar mereka miliki ketika tiba masa kiamat kelak. Bahkan imajinasi seputar kenikmatan surga jika dibanding dengan nikmat duniawi hanya 99 berbanding 1. Hal ini seperti bunyi hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ، مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ، فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا، وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allâh mempunyai seratus rahmat. Yang Dia turunkan ke bumi ini baru satu rahmat yang (dibagi) di antara kalangan jin dan manusia serta semua binatang. Maka dengan satu rahmat itulah mereka saling mengasihani dan berkasih sayang, dan dengan sebabnya pula binatang buas mengasihi anaknya. Dan Allâh menunda sembilan puluh sembilan rahmat lagi supaya digunakan untuk berkasih sayang oleh para hamba-hamba-Nya pada hari kiamat”. (HR. Muslim)
Tidak semua Imajinasi Itu Fiksi.
Masalah kisah-kisah dalam Al-Qur'an dan Sunnah termasuk imajinasi tetapi bukan fiksi. Karena kisah itu pernah terjadi secara real di masa lalu. Kisah diceritakan kembali untuk memberikan imajinasi kepada pendengar dan pembacanya tentang nilai-nilai kebaikan untuk ditiru dan gambaran tentang keburukan agar ditinggalkan. Sementara fiksi, jika terkait kisah dalam Al-Qur'an dan Sunnah memang berisi imajinasi tetapi bukaan rekaan imajiner semata tanpa ada kenyataan real di masa lalu, sebagai mana yang dipahami dalam dunia sastra hari ini
Kitab Suci Itu Fiksi?
Kalau dikaitkan dengan Al-Qur'an, yang banyak memberikan imajinasi seputar akhirat yang sangat membahagiakan bagi ahli ibadah dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap amanah kekhalifahan maka itu benar adanya. Dan, gambaran imajiner tersebut akan terwujud di masa depan melebihi imajinasi manusia saat di dunia. Namun, jika dikatakan bahwa kisah dalam Al-Qur'an atau pun dalam Sunnah termasuk fiksi, maka tidak bisa dibenarkan. Walaupun nilai kisah-kisah tersebut memang bersifat imajinatif (fiksi) dalam dunia pembelajaran.
Memang, di Qur'an nanti ada banyak model imajinasi. Ada perumpamaan (dharbul amtsal) dengan beragam analogi (qiyas), baik sifatnya analogi kesempurnaan (qiyas syumul) ataupun analogi percontohan (qiyas tamtsil), kisah-kisah, kesemuanya menggambarkan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang real karena adanya kesamaan alasan (illat, manath, dll) atau adanya konsekwensi logis dari sebuah pernyataan logis. Semua itu terangkum secara singkat dan padat dalam Al-Qur'an. Jika dikaitkan dg sastra maka disebut imajinasi. Tapi kalau hubungannya dengan debat atau penalaran rasional, maka disebut Rasionalitas Al-Qur'an.
Pelajaran Penting :
Dari sisi tampilnya rocking Gerung menjelaskan fenomena kenegaraan dengan hal-hal yang bersinggungan dengan suara mayoritas Islam, maka pelajaran yang bisa diambil adalah :
1. Bahwa kecerdasan tanpa arahan Wahyu belum tentu menghasilkan hidayah.
2. Terkadang Islam itu dibela oleh non muslim. Demikian pun sebaliknya. Kadang Islam dilawan oleh ummatnya sendiri yang tidak mengerti banyak hal seputar Islam.
3. Ummat Islam lebih berpeluang cerdas tanpa kehilangan hidayah dibandingkan kelompok lain. Karena Wahyu dalam Islam menjelaskan hal-hal yang membingungkan akal, bukan hal-hal yang mustahil bagi akal.
Demikian sedikit pemahaman ana seputar masalah ini. Wallahu a'lam. Semoga sidang pembaca bisa memberikan arahan agar masalah ini lebih jelas dalam timbangan keislaman kita. Aamiin.
Depok Baru, 6 Februari 2019.
Bagaimana pemikiran Islam melihat fiksi dan imajinasi ini?
Fiksi Pasti Imajinasi.
Fiktif sudah jelas kebohongan. Artinya, sebuah khayalan yang tak ada wujudnya di dunia nyata. Memang salah satu fungsi dan daya akal adalah kemampuannya berimajinasi (berkhayal). Maksudnya, akal mampu membayangkan sesuatu secara rasional walaupun tidak ada dalam dunia nyata. Contoh, dalam imajinasi akal, gunung emas itu sangat rasional. Namun, dalam kenyataannya tidak ada gunung yang benar-benar emas murni.
Di sinilah imajinasi akal dianggap fiktif (bohong). Walaupun tidak semua fiksi itu tidak ada realitasnya. Karena fiksi artinya imajinasi yang berkembang dalam akal atau rasio manusia sehingga termotivasi dan terinspirasi untuk berusaha mewujudkannya dalam dunia nyata di masa depan. Semua kenyataan dalam hidup kita awalnya hanyalah imajinasi. Namun, seiring dengan waktu imajinasi itu terwujud sedikit demi sedikit. Sehingga kita sekarang adalah hasil dari dari sekian banyak imajinasi masa lalu kita di masa lampau. Intinya, manusia banyak digerakkan oleh imajinasi yang berkembang di sekitarnya; baik yang sifatnya rekaan (fiktif) maupun kisah-kisah nyata di masa lalu.
Qur'an dan Sunnah pun seringkali menggambarkan surga secara imajiner. Seperti adanya aliran sungai yang dikelilingi taman-taman indah. Taman yang berisi tanaman yang berbuah lebat dan dekat sehingga mudah diambil dan dipetik oleh penduduk surga. Bahkan dideskripsikan seolah remote kontrol semua kenikmatan surga ada pada pikiran dan keinginan penduduk Surga itu sendiri. Jika mereka ingin buah tertentu misalnya, maka buah itu yang mendekat kepada penduduk surga dst. Maksudnya, agar manusia tertarik untuk berislam, beriman dan bertakwa, mereka diberikan informasi seputar akhirat yang akan membuat mereka berimajinasi. Sehingga imajinasi itu benar-benar mereka miliki ketika tiba masa kiamat kelak. Bahkan imajinasi seputar kenikmatan surga jika dibanding dengan nikmat duniawi hanya 99 berbanding 1. Hal ini seperti bunyi hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ، مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ، فَبِهَا يَتَعَاطَفُوْنَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُوْنَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا، وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allâh mempunyai seratus rahmat. Yang Dia turunkan ke bumi ini baru satu rahmat yang (dibagi) di antara kalangan jin dan manusia serta semua binatang. Maka dengan satu rahmat itulah mereka saling mengasihani dan berkasih sayang, dan dengan sebabnya pula binatang buas mengasihi anaknya. Dan Allâh menunda sembilan puluh sembilan rahmat lagi supaya digunakan untuk berkasih sayang oleh para hamba-hamba-Nya pada hari kiamat”. (HR. Muslim)
Tidak semua Imajinasi Itu Fiksi.
Masalah kisah-kisah dalam Al-Qur'an dan Sunnah termasuk imajinasi tetapi bukan fiksi. Karena kisah itu pernah terjadi secara real di masa lalu. Kisah diceritakan kembali untuk memberikan imajinasi kepada pendengar dan pembacanya tentang nilai-nilai kebaikan untuk ditiru dan gambaran tentang keburukan agar ditinggalkan. Sementara fiksi, jika terkait kisah dalam Al-Qur'an dan Sunnah memang berisi imajinasi tetapi bukaan rekaan imajiner semata tanpa ada kenyataan real di masa lalu, sebagai mana yang dipahami dalam dunia sastra hari ini
Kitab Suci Itu Fiksi?
Kalau dikaitkan dengan Al-Qur'an, yang banyak memberikan imajinasi seputar akhirat yang sangat membahagiakan bagi ahli ibadah dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap amanah kekhalifahan maka itu benar adanya. Dan, gambaran imajiner tersebut akan terwujud di masa depan melebihi imajinasi manusia saat di dunia. Namun, jika dikatakan bahwa kisah dalam Al-Qur'an atau pun dalam Sunnah termasuk fiksi, maka tidak bisa dibenarkan. Walaupun nilai kisah-kisah tersebut memang bersifat imajinatif (fiksi) dalam dunia pembelajaran.
Memang, di Qur'an nanti ada banyak model imajinasi. Ada perumpamaan (dharbul amtsal) dengan beragam analogi (qiyas), baik sifatnya analogi kesempurnaan (qiyas syumul) ataupun analogi percontohan (qiyas tamtsil), kisah-kisah, kesemuanya menggambarkan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang real karena adanya kesamaan alasan (illat, manath, dll) atau adanya konsekwensi logis dari sebuah pernyataan logis. Semua itu terangkum secara singkat dan padat dalam Al-Qur'an. Jika dikaitkan dg sastra maka disebut imajinasi. Tapi kalau hubungannya dengan debat atau penalaran rasional, maka disebut Rasionalitas Al-Qur'an.
Pelajaran Penting :
Dari sisi tampilnya rocking Gerung menjelaskan fenomena kenegaraan dengan hal-hal yang bersinggungan dengan suara mayoritas Islam, maka pelajaran yang bisa diambil adalah :
1. Bahwa kecerdasan tanpa arahan Wahyu belum tentu menghasilkan hidayah.
2. Terkadang Islam itu dibela oleh non muslim. Demikian pun sebaliknya. Kadang Islam dilawan oleh ummatnya sendiri yang tidak mengerti banyak hal seputar Islam.
3. Ummat Islam lebih berpeluang cerdas tanpa kehilangan hidayah dibandingkan kelompok lain. Karena Wahyu dalam Islam menjelaskan hal-hal yang membingungkan akal, bukan hal-hal yang mustahil bagi akal.
Demikian sedikit pemahaman ana seputar masalah ini. Wallahu a'lam. Semoga sidang pembaca bisa memberikan arahan agar masalah ini lebih jelas dalam timbangan keislaman kita. Aamiin.
Depok Baru, 6 Februari 2019.
0 komentar:
Post a Comment