الاثنين، 6 يوليو 2020

Metode Argumentasi Rasional (Masalik al-Istidlal al-'Aqli) Ahlu Sunnah Atsariyah.

By. Idrus Abidin.

Demi menegaskan pemberdayaan rasionalitas Islam dalam ranah intelektual, penalaran (istidlal) dan debat (jadal), Ahlu Sunnah Atsariyah mengembangkan dan mengandalkan metode penalaran rasional yang diturunkan langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah. Beberapa di antaranya seperti berikut :

1. Analogi Keutamaan (Qiyas Aulawi).

Seperti pengingkaran orang kafir terhadap adanya hari kiamat dengan alasan, tulang-tulang mereka telah hancur lebur. Lalu dijawab oleh Allah dengan menggunakan argumentasi analogi keutamaan (Qiyas Aulawi). Bahwa kalau engkau tanpa tulang saja diciptakan dari tiada menjadi ada. Tentu lebih utama (lebih mudah) kalian dihidupkan kembali sekali pun hanya dari lapukan tulang. Ringkasnya, copy paste jauh lebih mudah (utama) dibanding membuat sesuatu dari awal (mencipta). Lihat QS Yasin 78-79. 

Jadinya, analogi keutamaan (Qiyas Aulawi) adalah memberikan perbandingan argumen yang lebih mendasar (lebih utama) dari argumen yang dipahami oleh lawan diskusi. Analogi Keutamaan (Qiyas Aulawi) ini lebih banyak digunakan oleh kalangan ulama Salaf dalam menegaskan sifat/karakteristik Allah ta'alaa; baik sifat pribadi (sifat dzatiyah) maupun karakteristik perbuatanNya (sifat fi'liyah). Seperti, tidak ada keutamaan yang pantas dimiliki makhluk kecuali Allah jauh lebih pantas (utama) untuk menyandangnya. Demikian pula segala kelemahan yang dihindari makhluk, tentu Allah lebih pantas (utama) dijauhkan darinya. Karena Allah adalah simbol tertinggi dan standar utama kesempurnaan (al-Matsal al-'A'laa). Lihat QS an-Nahl : 60. Termasuk digunakan oleh Allah untuk menegaskan adanya kiamat dan sisi-sisi keunikan, keesaan serta keistimewaanNya sendiri.

2. Standar Timbangan Rasional Qur'ani (al-Mizan Al-Qur'ani)

Yaitu standar yang menjadi ukuran rasional untuk mengetahui hal-hal yang serupa sehingga disatukan dalam sebuah rumus/kaedah/prinsip/teori kesamaan. Ini disebut analogi kesamaan (Qiyas at-Thard). Demikian pula standar rasional yang digunakan untuk mengukur hal-hal yang berbeda sehingga dibedakan secara total. Ini disebut analogi sebaliknya (Qiyas al-'Aks). Contohnya seperti, umat-umat terdahulu yang dihancurkan oleh Allah karena kesombongan mereka maka dipastikan ummat masa sekarang  atau ummatNya yang akan datang pun terancam dengan hal yang sama jika mereka melakukan kesombongan serupa. Inilah contoh analogi kesamaan (Qiyas at-Thard). Sebaliknya, ummat-ummat yang menghindari kesombongan dengan bersifat tawadhu dan menerima perintah Allah dan rasulNya tentu akan aman dari azab Allah. Inilah salah satu contoh analogi sebaliknya (Qiyas al-'Aks). 

Contoh lain, ketika kita memahami alasan Allah mengharamkan minuman keras karena menghalangi dari ketaatan kepadaNya dan menyebabkan pertengkaran internal. Lalu kita menemukan alasan yang sama pada minuman Bir dan sejenisnya di zaman modern, tentu kita hukumi dengan status keharaman serupa. Di situ terdapat prinsip atau alasan umum yang disebut illat atau titik kesamaan/titik temu (Had atau qadr musytarak). Inilah yang disebut standar rasional yang digunakan untuk mengukur titik-titik kesamaan atau batas-batas perbedaan segala sesuatu. 

Contoh lain. Seperti hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang menyinggung masalah hubungan seksual dengan pasangan resmi. Beliau menyatakan bahwa hal tersebut termasuk shadaqah dengan sabdanya, "Wa fii budh'i ahadikum shadaqah." Ketika ditanya, "Koq hubungan suami istri dianggap sedeqah ya Rasulullah?!". Maka Rasulullah mencoba membalik keadaan dengan bertanya balik, "Kira-kira kalau dia melakukannya dengan wanita lain yang bukan istrinya, apakah dia berdosa?!," Karena itulah, kalau dia melakukannya dengan pasangan yang sah, tentu dia berpahala (sedekah)." (HR Muslim). 

3. Klasifikasi Semua Alasan yang memungkinkan (Taqsim), lalu menguji dan menyeleksi alasan yang lebih logis/rasional (Sabr).

Ini termasuk argumentasi rasional syar'i yang banyak digunakan Wahyu dan kalangan Salaf. Terdiri dari dua langkah :

A. Mengumpulkan semua hal yang mungkin termasuk sebagai alasan logis-rasional terhadap sesuatu objek. Ini disebut proses Taqsim.

B. Menguji secara logis dan rasional semua hal yang sudah dilist, lalu membuang semua yang tidak pantas. Maka, tinggallah alasan yang lebih logis. Ini disebut proses Sabr.

Contohnya dalam Al-Qur'an adalah firman Allah yang berbunyi, "Apakah mereka tercipta sendiri (tanpa pencipta)  atau mereka kah yang menciptakan diri mereka sendiri?!". (QS ath-Thur : 35).

Di sini, ayat memasukkan tiga kemungkinan terhadap penciptaan manusia :
A. Mereka tercipta dengan sendirinya tanpa pencipta;
B. Mereka menciptakan diri mereka sendiri;
C. Mereka tercipta melalui peran pencipta (Allah).

Tentu dengan analisa sederhana, A dan B mustahil dan salah dengan sendirinya. Maka, C menjadi alasan yang paling benar (logis-rasional). Karena alasan penciptaan inilah Allah mewajibkan diriNya pantas disembah. 

Metode rasional-logis syar'i inilah yang pernah dimanfaatkan oleh imam Abdul Aziz al-Kinani ketika berdebat dengan tokoh Muktazilah, Bisyr al-Mirrisy seputar kemahlukan Al Qur'an. Beliau menegaskan kepada Bisyr al-Mirrisy, "Silahkan pilih satu dari tiga kemungkinan. Pertama, apakah Allah menciptakan Al-Qur'an pada diriNya. Kedua, atau Dia menciptakan Al-Qur'an di luar diriNya. Ketiga, atau Dia menciptakan Al-Qur'an yang senantiasa eksis pada diriNya?. Silahkan tentukan pilihanmu !!!. Lalu beliau menjelaskan kesalahan dari ketiga kategori itu untuk membuktikan secara logis-rasional kesalahan pendapat seputar penciptaan Al-Qur'an. Sehingga yang benar adalah bahwa Al Qur'an itu firman Allah, bukan ciptaanNya. 

Sebenarnya masih banyak metode argumentasi rasional yang diberdayakan Ahlu Sunnah Atsariyah, namun kali ini cukup beberapa sampel tersebut yang disampaikan. 

Kesimpulan :

Berdasarkan paparan di atas, bisa ditegaskan bahwa dalil syar'i telah dibuktikan oleh rasio urgensi pemberdayaannya  berdasarkan dua sisi pertimbangan :

1. Dalil syar'i mengandung dalil logis rasional secara langsung. Seperti pembuktian rasional seputar keesaan Allah dalam hal hakNya untuk disembah, "Inilah realitas ciptaan Allah. Maka, tunjukkan padaKu apa saja yang telah diciptakan oleh pihak yang disembah selain diriKu?!." (QS Luqman : 11). Ketika selain Allah tidak mempunyai kemampuan dan bukti jelas telah mencipta, maka terbuktilah kepalsuan mereka sebagai tuhan. Sedang Allah dengan makhlukNya yang bertebaran di seluruh penjuru dan kolong semesta; membuktikan diri sebagai Tuhan asli yang wajib disembah.

2. Jika dalil syar'i tidak mengandung argumentasi rasional secara langsung maka tetap dianggap Dalil Rasional syar'i dengan pertimbangan bahwa hal-hal yang terdapat dalam Wahyu tidak keluar dari dua kemungkinan :

A. Bisa dipahami oleh rasio logis manusia secara umum. Tentu dalam kategori seperti ini rasio tetap dianggap sebagai argumentasi rasional syar'i yang legal dan sah.

B. Atau tidak dimengerti oleh rasio, maka otomatis rasio tidak mungkin menciderai legalitas Dalil syar'i tersebut. Karena menciderai dalil Wahyu  saat rasio tidak mampu mencerap maknanya berarti merusak citra rasio sendiri yang telah berperan serta mengokohkannya. Dalam kondisi seperti ini, yang harus dilakukan adalah menerima kandungan dalil Wahyu tersebut secara utuh (Taslim). Inilah yang selama ini sering dipromosikan oleh pendukung Ahlu Sunnah Atsariyah, bahwa Wahyu membawa jawaban terhadap hal-hal yang membingungkan rasio (muharat al-'Uqul); sama sekali tidak mendatangkan hal-hal yang mustahil baginya. 

Jika realitas Ahlu Sunnah Atsariyah sangat rasional, lalu kenapa mereka menolak ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, logika (manthiq), teologi (Kalam) dan perdebatan (jadal)? Bahkan selama ini mereka dituduh mereduksi rasio atas nama Wahyu. Jawaban untuk pertanyaan ini in syaa Allah akan dianalisis pada status berikutnya. 

Diadaptasi dari :

  • A. Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al- Muashir Min an-Nash asy-Syar'i, karya Dr. Sa'ad bin Bajjad al-Utaibi.
  • B. al-Adillah al-Aqliyah an-Naqliyah'ala Ushul al-I'tiqad karya Dr. Suud al-Arifi.
  • C. Ma'rakatu an-Nash, Dr. Fahd Shaleh al-'Ajlan.
  • D. Ar-Ra'yu wa Atsaruhu fii Madrasah al-Madinah, Dr. Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa. 

Depok,  Rabu, 25 Maret 2020.

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال