الثلاثاء، 2 سبتمبر 2014

Allah Swt.: Sang Maha Penyabar.



 Oleh : Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah (STIS) Al-Manar Jakarta
Di antara bentuk kasih sayang, pemaaf dan pengampunan Allah adalah sifat-Nya yang Maha Penyabar, yang dikenal dengan nama ash-Shabur. Kata ash-Shabur merupakan bentuk kata yang menunjukkan tingginya nilai kesabaran yang dimiliki Allah, Sang Maha Penyabar. Kata ini merupakan bentuk tertinggi (sigah mubalagah) dari kata shabir dan shabbar. Kata shabur dan maknannya ini terdapat dalam sebuah hadits yang berkualitas shahih. Sekali pun dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata shabur secara tekstual, namun makna sifat shabur dalam al-Qur’an sangat banyak, seperti yang akan kita telaah bersama nanti. Karena alasan inilah, sebagaian ulama  ada yang mengingkari sifat ash-Shabur sebagai bagian dari perbuatan Allah Swt. Padahal, tidak selamanya sifat dan perbuatan Allah tidak tertulis secara tekstual dalam al-Qur’an lalu sifat dan perbuatan itu dianggap bukan bagian dari sifat dan perbuatan Allah Swt. Yang jelas, tentang kemahasabaran Allah ini, dijelaskan oleh Rasulullah Saw.dalam sabdanya,
مَا أَحَدٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَه مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَدَّعُونَ لَهُ وَلَداً وَهُوَ يُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang didengarnya melebihi Allah Swt. Sungguh orang-orang (kafir) telah menyekutukan-Nya dan mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, tapi bersamaan dengan itu Dia tetap menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”. [1] 
Hadits ini memberikan gambaran utuh betapa Allah Maha Penyabar (as-Shabur). Kesabaran Allah berbeda dengan mahluk sesuai dengan perbedaan antara Pencipta dengan semua ciptaan-Nya. Kesabaran Allah ini berwujud pada penundaan siksaan dan pemaafan-Nya kepada mukallaf, sekali pun mereka berhak mendapatkan siksaan. Dari sisi ini, ada kemiripan makna dengan sifat-Nya al-‘Afuww, al-Ghaffar dan al-Ghafur yang pernah kita telaah pada entri sebelumnya. Perbedaan kesabaran Allah dan mahluk-Nya bisa dilihat dari beberapa segi:
A.      Allah Maha Sabar dengan segenap kekuasaan dan kehebatan-Nya. Sedang kesabaraan manusia kadang karena kelemahannya menghadapi sesuatu atau ketika takut terhadap seseorang.
B.       Allah Maha Sabar sekali pun kesabaran Allah tidak akan memberi peluang adanya ancaman bahaya dan rasa sakit terhadap diri-Nya, sebagaimana rasa sedih dan adanya kelemahan yang terjadi pada mahluk secara umum. Karena kesabaran mereka terkadang disebabkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Sehingga mereka harus menaggung rasa sakit, duka dan nestapa. Hal demikian tidak pantas terjadi pada Allah sekali pun Dia Maha Penyabar.
Kesabaran Allah terkait dengan kekafiran, kesyirikan, penghinaan dan segala kekurangan dan sikap berlebihan hamba-Nya. Namun, semua bentuk pelanggaran itu tidak mengusik Allah sehingga Dia menyegerakan azab-Nya. Tapi Allah senantiasa sabar, memberikan jeda waktu, mengarahkan mereka agar bertaubat, dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Sehingga ketika tidak ada lagi jalan untuk memperbaiki mereka, karena hati mereka telah tertutup rapat oleh balutan dosa dan kungkungan maksiat; mereka tidak lagi memahami makna perbaikan, kelembutan, pengampunan dan segala jenis kasih sayang. Mereka tidak lagi sadar akan semua nikmat dan kebaikan Allah yang mereka gunakan, tidak lagi tersadar oleh beragam ujian dan cobaan, maka Allah akan menurunkan azab-Nya kepada mereka setelah semua jenis peringatan dan segala macam cara dilakukan. Inilah makna firman Allah berikut:
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَمْلَيْتُ لِلَّذِينَ كَفَرُوا ثُمَّ أَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ
Dan sesungguhnya telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka Aku beri tangguh kepada orang-orang kafir itu kemudian Aku binasakan mereka. Alangkah hebatnya siksaan-Ku itu! 
(QS ar-Ra’du [13]: 32).
Setelah pemaafan yang tidak terkira lagi jenis dan banyaknya, beragam nasehat yang disampaikan, segala ajakan agar kembali kepada-Nya telah dilakukan, barulah siksaan itu datang. Semua ini merupakan bentuk kesabaran Allah Swt. yang sebenarnya bersumber dan merupakan konsekwensi dari sifat kebijaksanaan dan kelembutan-Nya yang dikenal dengan sebutan al-halim, yang sangat hebat. Sifat al-halim ini adalah sifat zat Alllah Swt. yang tidak pernah lepas dari-Nya sama-sekali; di mana pun dan kapan pun. Karena sifat ini masuk dalam kategori sifat Zat-Nya, sementara kesabaran Allah merupakan bentuk perbuatan Allah yang bisa saja berubah sesuai dengan perubahan kebijakan dan pertimbangan yang melatarinya. Sebagaimana perbuatan Allah lainnya yang terkait dengan hikmah dan alasan-alasan serta pertimbangan tertentu.
Allah berbuat sabar dengan menunda siksaan karena itu merupakan ketetapan azali yang menjadi kebijakan-Nya. Ini bermaksud agar supaya manusia bisa berkembang biak dan memiliki kebebasan berbuat sesuai dengan hak yang telah diberikan oleh Allah Swt., sekaligus Allah tetap memberikan peluang taubat dan kembali kepada kebenaran. Sungguh Allah menciptakan mahluk agar supaya Allah menyampaikan kasih saying-Nya kepada mereka semua. Tujuan kasih sayang ini adalah supaya mereka mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan yang sempurna. Sehingga mereka merasakan kenikmatan dan kebahagiaan. Karena kalau ketetapan berjalan sesuai dengan keadilan-Nya maka tidak akan ada mahluk mukallaf yang bisa mermperoleh semua nuansa kasih sayang itu. Bahkan mereka tidak akan bisa memiliki hak hidup lebih lama. Padahal, kehidupan ini memang terjadi karena kasih sayang, pemaafan, pengampunan dan kebijakan serta semua kandungan nama dan sifat serta perbuatan yang menunjukkan kesempurnaan Allah Swt.
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya” (QS Faathir: 45).
Penangguhan siksaan pada ayat di atas merupakan konsekwensi dari kalimat Allah yang tercantum pada hadits Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Saw. besabda,
 (( لَمَّا خَلَقَ الله الخَلْقَ كَتَبَ في كِتَابٍ ، فَهُوَ عِنْدَهُ فَوقَ العَرْشِ : إنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبي ))
“Tatkala Allah menciptakan mahluk, Ia menulis (kalimat/ketetapan) pada salah satu kitab yang Ia simpan di sisi-Nya di ‘Arasy (yang berbunyi), “Sungguh rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” [2]
Kalimat dan ketetapan yang dimaksud pada hadits tersebut di atas dipertegas dengan firman-Nya yang berbunyi
وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَكَانَ لِزَاماً وَأَجَلٌ مُسَمًّى
Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (azab itu) menimpa mereka. (QS Thahaa [20]: 129)

Hikmah penundaan beragam azab di tengah rajinnya orang-orang kafir berbuat dosa dan maksiat ini sangat beragam, sekalipun mereka sudah pantas mendapatkan siksaan, jika masalah ini ditinjau berdasarkan pada keadilan Allah dan bukan karena kasih sayang-Nya. Di antara hikmah di balik kemahasabaran Allah yang dapat kita pahami adalah:
§   Sebagai wujud kasih sayang, pemaafan, kebijakan dan pengampunan Allah Swt.
§   Sebagai wujud pemberian kebebasan memilih bagi manusia. Yang mana, tanpa kebebasan seperti ini, maka hakikat ibadah berupa kebebasan dan keikhlasan menyembah  Allah  di saat adanya peluang untuk kufur dan syirik, tidak akan pernah terjwujud.
§   Jika siksaan disegerahkan setelah dosa terjadi maka manusia akan taat dalam keterpaksaan. Padahal ketaatan yang dikhehedaki Allah adalah ketaatan yang lahir dari akumulasi keikhlasan kepada-Nya
§   Allah sengaja membiarkan manusia dalam dosa dan maksiat agar manusia mendapatkan keinginan dan hak-hak mereka selama di dunia.
﴿ كُلّاً نُمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُوراً ﴾
Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS al-Israa’ [17]: 20)
Baik hak mereka berupa kenikmatan atau pun siksaan. Namun siksaan dan azab ini berlaku setelah adanya beragam kebijaksanaan dan pengarahan serta pemaafan.
§   Supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk berkata dan berdalih bahwa kemaksiatan mereka dan semua pelanggaran yang dilakukan karena merupakan takdir (pemaksaan) Allah yang tidak terelakkan.  Tidak boleh ada yang berdalih dengan takdir (terpaksa) dalam kemaksiatan, sekali pun boleh dalam hal-hal yang tidak ada pilihan bagi manusia di dalamnya. Bahkan ketika hal itu terjadi, Allah sendiri telah memberikan kelonggaran kepada hamba-Nya sebagai wujud kasih sayang. Seperti halalnya daging babi jika tidak menemukan makanan lain yang bisa menjaga keberlangusangan hidup manusia. Dengan demikian, dikenallah dalam Ushul Fikih sebuah prinsip, “Hukum berlaku ketat ketika dalam kelapangan, kelonggaran dan pilihan. Namun meluas dan melonggar jika terjadi keterbatasan dan keterpaksaan (Idza Dhaqa al-Amru Ittasa’a Waidza Itttasa’a Dhaqa). Inilah bentuk lain dari fleksibilitas hukum Allah Swt.
§   Allah Swt. membiarkan dan memberi jeda sekali pun Allah tidak lalai. Allah Swt. sengaja membiarkan mahluk dalam dosa dan maksiat mereka sekali pun tidak ada yang luput dari pantauan-Nya. Sehingga semua kejadian di alam ini diizinkan Allah, sekali pun tidak diridhai oleh-Nya, karena adanya hikmah yang agung di balik itu semua.
﴿ وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُونَ ﴾
Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah)
(QS al-Anfal [8]: 59)
Ini berarti, segala tipu daya dan makar orang-orang kafir senantiasa dimonitor oleh Allah dengan kesabaran-Nya. Namun, kesabaran itu pun berarti Allah juga menyiapkan makar dan tipu daya lebih berupa istidraj dan penundaan hingga jika keingkaran mereka terbukti; sekalipun waktu dan pemaafan telah diberikan maka berakhirlah mereka dalam lautan siksaan.

Perbedaan antara ash-Shabur dan al-Halim.
Bisa jadi kita bertanya-tanya, apa perbedaan antara ash-Shabur (Allah Maha Sabar) dengan al-Halim (Allah Maha Bijak dan Maha Lembut). Jawabannya adalah bahwa ash-shabur mengandung makna penundaan siksaan semata. Jika masanya telah tiba, siksaan yang dijanjikan tetap akan terjadi dan menimpa para pendosa. Karena pemberian siksaan tetap harus disertai dengan kehati-hatian dan jedah waktu yang ada. Bukankah dalam kedokteran pun dikenal amputasi bagi penderita diabetes, supaya penyakit gula tersebut tidak merambat kepada area yang lebih luas. Merupakan sebuah ketidakbijakan kalau seandainya Allah membiarkan terus menerus kesalahan tanpa adanya penyiksaan. Penyiksaan yang terjadi juga merupakan bagian dari kasih sayang, kebijakan, pengampunan, anugerah dan kesamahasabaran Allah.[3] Dan, di sinilah makna ash-shabur berlaku, namun tetap disertai dengan penundaan waktu dan jeda yang lama berdasarkan pada kebijakan Allah Swt.
Sedang al-Halim mengandung makna lebih dalam karena mengindikasikan penundaan yang bisa saja disertai dengan pemaafan (al-‘Afw). Sehingga al-Halim mengandung potensi dan cakupan makna yang lebih luas dan lebih dalam. Karena itulah, keberadaan sifat bijak dan kelembutan Allah (al-Halim) bertebaran dalam al-Qur’an. Bahkan keluasan sikap bijak ini dirangkaikan dengan sifat Maha Mengetahui  (‘Alim) Allah yang tak terbatas.
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS an-Nisaa’ [4]: 12)
Bahkan disebutkan dalam sebuah atsar dari Harun bin Ri’ab, yang dikutip Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’ab al-Iman:
إِنَّ حَمَلَةَ الْعَرْشِ أَرْبَعَةٌ: اثْنَانِ يَقُولانِ : سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لَكَ الْحَمْدُ عَلَى حِلْمِكَ بَعْدَ عِلْمِكَ . وَاثْنَانِ يَقُولانِ : سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لَكَ الحَمْدُ عَلَى عَفْوِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ.
“Sungguh (malaikat) pembawa Arasy Allah terdiri dari empat malaikat. Dua di antara mereka berkata, “Maha suci Engkau atas segala kesempurnaan dan keagungan-Mu. Segala puji bagi-Mu atas kebijakan/kelembutan-Mu setelah pengetahuan-Mu (yang tak terbatas). Dua lagi berkata, “Maha suci Engkau atas segala kesempurnaan dan keagungan-Mu. Segala puji bagi-Mu atas pemaafan-Mu, sekali pun Engkau Maha Kuasa (untuk  menyiksa mereka)”. [4]
Terkadang mahluk bijak karena ketidaktahuan dan memaafkan karena lemah. Sedang Allah Swt. memaafkan pada saat segala kekuasaan dan segala kemampuan berada dalam genggaman-Nya. Sungguh, tidak ada perpaduan yang sangat sempurna dibanding perpaduan antara kebijaksanaan/kelembutan yang disertai dengan pengetahuan yang luas. Dan, perpaduan antara pemaafan yang disertai dengan kemampuan dan kekuasaan. Karena itulah, dalam do’a untuk orang yang sedang berduka, Allah disebutkan sebagai Yang Maha Bijak dengan keagungan-Nya.
Pengetahuan Rasulullah tentang kesabaran Allah Swt. sesuai dengan pemahan beliau tentang keluasan rahmat dan kemaafan-Nya, yang menutupi kesalahan hamba. Padahal, kesabaran itu bersamaan dengan kesempurnaan pengetahuan(‘Alim), kemampuan (Qadir), keagungan dan kehebatan (‘Azhim) Allah Swt.  Itu merupakan kesabaran yang mencapai tingkat maksimal. Sungguh membalas Sang Pembesar dari segala penguasa dan raja di raja, serta Sang Maha Mulia dengan semua kebaikan-Nya yang melebihi segala kebaikan yang ada; dengan segala keburukan mahluk dan semua keberutalan mereka; dengan menisbatkan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah dan menciderai kesempurnaan  nama dan sifat-sifat-Nya, dan menyimpan dari ayat-ayat-Nya serta mengingkari para rasul-Nya; memperlakukan mereka dengan beragam penghinaan dan banyak keburukan, membakar para wali-Nya, menghinakan dan membunuh mereka; semua itu tak akan tertahankan kecuali oleh Allah Yang Maha Sabar. Yang mana, tidak ada satu pun mahluk yang melebihi kesabaran-Nya. Bahkan, semua jenis kesabaran mahluk; dari semenjak awal kehidupan hingga akhirnya, semua  itu berasal dari kesabaran Allah Swt. [5]
Jika tingkat kesabaran Allah ini hendak dipahami dan dilihat lebih jauh lagi, mari kita baca firman Allah berikut:
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Fathir [35]: 41)
Pada kutipan ayat tersebut di atas, Allah menginformasikan bahwa kebijakan (al-Hilm) dan ampunan-Nya (al-Ghafur) mencegah kehancuran langit dan bumi. Sehingga kebijaksanaan Allah (al-Hilm); dengan memegang keduanya agar tidak hancur, merupakan hakikat kesabaran Allah Swt. Dengan kesabaran itulah Allah tidak mengazab mereka dengan segera. Bahkan pada ayat-ayat di atas terdapat indikasi kuat bahwa langit dan bumi ingin sekali dan meminta izin untuk dapat lebur dan hancur karena hebatnya pelanggaran hamba. Namun Allah menahan langit dan bumi dengan kebijakan dan kesabaran-Nya.  Sikap menahan ini merupakan sifat bijak Allah swt. (al-Hilm) dan merupakan intisari kesabara-Nya.
Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan sebuah riwayat yang disandarkan secara marfu kepada Rasulullah Saw.,
مَا مِنْ يَوْمٍ إِلاَّ وَالبَحْرُ يَسْتَأْذِنُ رَبَّهُ أَنْ يُغْرِقَ بَنِي آدَمَ
“Tidak sehari pun kecuali lautan senantiasa meminta izin untuk meneggelamkan anak Adam” [6]
Hal ini tentu merupakan bentuk kegusaran dan tabiat alam, karena seperti diketahui bahwa garis pantai dan lautan melebihi luasnya garis dan area daratan. Namun Allah menahan dengan kekuasan, kebijakan serta kebesaran-Nya. Tsunami yang pernah melanda negeri ini dan beberapa kawasan Asia tenggara serta Asia Selatan merupakan indikasi kuat dari kegusaran alam akibat pelangggaran dan kekafiran manusia. Walau pun bagi selain mereka dari kalangan orang-orang kafir (orang-orang beriman) tetap saja peristiwa ini hanya berfungsi sebagai ujian dan peningkatan derajat keiamanan semata. Lalu bagaimana kelak ketika akhir zaman tiba, laut menyatu dan menenggalamkan daratan?1 ditambah lagi dengan jilatan api yang semuanya bersumber dari isi lautan? Naudzubillah.
Demikian pula keadaan di mana langit hampir pecah, bumi hendak terbelah, pegunugan mau runtuh mana kala orang-orang kafir dari kalangan Kristen menisbatkan anak kepada Allah Yang Maha Rahman
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا  تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا  أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا
Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. 89. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, 90. hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, 91. karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (QS Fathir [19]: 88)
Sungguh semua itu tidak terjadi karena Allah mencegahnya dengan kesabaran dan kebijakan serta kelembutan-Nya. Padahal, dosa-dosa orang kafir itu sangat pantas membuat semua fasilitas langit dan bumi itu hancur lebur. Demikian makna firman-Nya berikut:
ُ   وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ
Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. (QS Ibrahim [14]: 46)
Untung  saja rintihan kaum beriman dengan istigfar dan tilawah mereka, sedekah dan semua amal shaleh mereka, masih menjadi pertimbangan yang membuat Allah senang. Bahkan Allah sangat bergembira dengan taubatnya seorang hamba dibanding kegembiraan seseorang yang tertidur di tengah padang sahara yang luas. Padahal, kendaraan, semua makanan dan minumannya serta pakaian yang dibawahnya ada di kendaraan yang terparkir di dekatnya sebelum dia tertidur. Namun, ketika terbangun, kendaraan dan semua muatannya itu hilang tak berbekas. Dia mencarinya dengan penuh kepayahan. Hingga ketika bertemu, orang tersebut salah ucap karena kegembiraannya. Dia berkata dengan penuh kebahagiaan, “Segala puji bagi Allah. Sungguh Engkau adalah hambaku sedang aku adalah tuhanmu”.  Sungguh Allah lebih bahagia dengan taubatnya hamba melebihi kegembiraan orang itu ketika menemukan barang miliknya.
Sikap sabar Allah ini merupakan bentuk kasih sayang yang mengungguli dan membatasi kemarahan-Nya. Sehingga rahmat Allah senatiasa meliputi kemarahan-Nya itu, sesuai ketetapan yang telah disebutkan pada zaman azali untuk menjadi bagian dari kebijakan-Nya. Dengan pemahaman seperti inilah sehingga kita mendapati Rasulullah berlindung kepada keridhaan Allah dari kemarahan-Nya, berharap perlindungan kepada pemaafan-Nya dari siksa-Nya, sebagaimana riwayat berikut:
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَأَعُوذُ بِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ
“Aku berlindung  kepada keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu dan berlindung kepada pemaafan-Mu dari beratnya siksaan-Mu. Sungguh aku berlindung kepada-Mu dari-Mu”. (HR Muslim dari Aisyah)
Sungguh, hal-hal yang kita minta perlindungan kepada-Nya juga lahir dari kehendak dan ciptaan-Nya, sesuai izin dan ketetapan-Nya. Dialah yang mengizinkan terjadinya sebab yang kita hindari dengan memohon perlindungan kepada-Nya. Dari-Nyalah bersumber semua sebab dan semua fungsinya. Dialah yang menggerakkan jiwa dan raga dan memberikannya potensi dan fungsinya masing-masing. Dia pula yang menciptakan, menyiapkan, memberikan apa-apa yang mendukung fungsinya serta menundukkannya sesuai kehendak-Nya. Dia pulalah yang menahannya jika Dia menghendaki. Dia pula yang bisa mencegah fungsi dan potensinya jika Dia berkehendak.
Perhatikanlah ungkapan Rasulullah, “Sungguh aku berlindung kepada-Mu dari-Mu” yang mangandung makna tauhid yang begitu kokoh dan memangkas semua peluang yang memungkinkan seseorang beralih kepada selain Allah demi tercapainya kesempurnaan tawakkal dan mengungkapkan perlindungan hanya kepada-Nya semata; dengan mengesakan Allah dalam segala harapan dan semua jenis cita-cita, demi menghilangkan ancaman bahaya, dalam rangka menggapai semua peluang kebaikan. Dialah yang mendatangkan bahaya dengan kehendak-Nya. Dia pula yang menghilangkannya dengan kehendak-Nya. Dialah yang menjadi tempat mengadu dan memohon perlindungan dari kehendak-Nya kepada kehendak-Nya. Dialah yang melindungi dari kehendak-Nya dengan kehedak-Nya. Dialah yang menciptakan dosa-dosa dan pelanggaran hamba-Nya, yang harus Dia tanggung sendiri beratnya dengan penuh kesabaran. Dia pula yang menciptakan amal shaleh yang membuat-Nya bergembira ketika dilakukan oleh hamba-Nya. Jika kemaksiatan hamba membuat-Nya marah dengan banyaknya kesyiirkan, kekafiran dan kezhaliman mereka, maka Dia bergembira penuh keridha’an dengan tasbih malaikat dan semua kaum mukminin kepada-Nya, serta pujian dan ketaatan mereka semua. Sehingga keridhaan-Nya menghindarkan dari kemarahan-Nya.
Abdullah bin Mas’ud r.a. menerangkan tentang bagaimana siklus kemarahan Allah yang berganti dengan rahmat-Nya dengan mengatakan, “Tidak ada istilah siang dan malam di sisi Tuhanmu. Sungguh, cahaya langit dan bumi berasal dari wajah-Nya. Nilai sehari dalam perhitungan kalian di sisi Allah terhitung sebanyak 12 jam. Amal-amal kalian kemarin disampaikan kepada-Nya di awal siang hari ini. Dia melihat laporan amalan itu selama tiga jam sehingga mendapati hal-hal yang membuat-Nya marah. Yang pertama mengetahui kemarahan-Nya adalah para malaikat yang membawa Arasy. Mereka merasakan begitu beratnya Arasy Allah. Lalu para malaikat pembawa Arasy dan semua mahluk yang ada di sekitarnya semua semua malaikat terdekat bertasbih kepada-Nya, hingga Jibril a.s. meniup terompet, sampai-sampai semua mahluk mendengarnya. Mereka semua pun memahasucikan Allah sebanyak tiga jam hingga Allah yang  Maha Rahman kembali kepada Sikap rahmat-Nya. Semua itu berjumlah enam jam,” Lalu beliau melanjutkan lagi, “Didatangkanlah rahim lalu Allah melihatnya selama tiga jam. Itulah makna beberapa firman Allah berikut:
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ
Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS Ali Imran [3]: 6)
يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا
Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, 50. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. (QS asy-Syuraa [42]: 49-50)
Itulah Sembilan jam. Lalu didatangkanlah rezeki, kemudian Allah menatapnya selama tiga jam. Itulah firman Allah:
يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya (QS ar-Ra’du [13]: 26)
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Setiap waktu Dia senantiasa dalam kesibukan. (QS ar-Rahman [55]: 29)
Kata beliau, “Hanya itulah batas waktu antara kalian dan Tuhan kalian”.
Setelah Allah menyebutkan musuh-Nya pada surat al-An’am dengan kekufuran, kesyirikan, dan pendusataan mereka kepada rasul-rasul-Nya, Allah menyebutkan tentang nabi Ibrahim dengan segala yang diperlihatkan kepadanya dari kerjaan langit dan bumi, serta argument-argumen yang digunakan untuk menjinakkan kaumnya dalam rangka untuk memenangkan agama Allah dan menegaskan makna tauhid kepada-Nya. Lalu Allah menyebutkan para nabi dan keturunan mereka dengan penegasan bahwa Dialah Yang memberikan mereka hidayah, bekal kitab suci, pemahaman hikmah serta nikmat kenabian. Lalu Allah berfirman:
فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ
Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.  (QS al-An’am [6]: 89)
Di sini Allah menginformasikan bahwa sebagaimana di bumi ini ada orang-orang yang mengingkari tauhid-Nya dan mengingkari rasul-rasul-Nya, Allah juga menjadikan padanya hamba-hamba yang beriman kepada semua yang dingkari oleh orang-orang kafir itu dan membenarkan apa pun yang mereka ingkari. Orang-orang yang senantiasa menjaga autran-aturan-Nya yang disepelekan dan diterlantarkan oleh orang-orang kafir. 
Dengan begini terjalinlah kesatuan dan perpaduan antara alam yang tinggi dengan alam rendah. Kalau tidak, jika seandainya kebenaran harus mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir maka langit dan bumi pasti hancur beserta semua yang ada di dalamnya. Alam ini pasti akan rubuh. Karena itulah Allah menjadikan salah satu faktor kehancuran alam, dengan mengangkat sebab-sebab yang bisa menahan bumi ini. Yaitu berupa ayat-ayat suci-Nya, masjid-masjid-Nya dan orang-orang yang menjaga itu semua. Sehingga tidak ada lagi yang bisa mencegah kehancuran alam; seperti  faktor-faktor dan sebab-sebab yang bisa menahan dan mencegahnya.
Karena nama al-Halim lebih dalam cakupan kandungannya dalam mensifati Allah, sedang nama as-Shabur lebih kokoh dalam hal perbuatan Allah, maka diketahuilah bahwa kebijaksanaan dan kelembutan (al-Hilm) merupakan sumber kesabaran. Maka, tidak perlu lagi menyebutkannya di dalam al-Qur’an dengan nama ash-Shabur.  [7]
Penundaan siksaan yang merupakan konsekwensi dari sifat sabar Allah (ash-Shabur) yang bersumber dari kebijaksanaan-Nya (al-halim). Sedang kebijaksanaan ini semakna dengan pemaafan-Nya (al-‘Afuww). Yang mana, semua sifat-sifat ini merupakan bagian dari sifat rahman dan rahim Allah Swt. yang mencakup segala sesuatu. Sehingga terkadang ada orang atau pun sekelompok orang dalam suatu kerajaan atau pun Negara, ketika dikarunia kekayaan, kesenangan duniawi, pangkat dan status sosial, kekuasaan dan kelapangan, berbuat semena-mena. Seolah-olah mereka adalah tuhan penguasa alam semesta, seperti yang perrnah dilakukan oleh Fir’aun. Mereka lupa bahwa itu hanyalah penundaan, yang jika tidak disertai dan diiringi taubat maka ujungnya hanyalah siksaan yang luar biasa.
Mari kita lihat peringatan Allah kepada para tiran yang menggunakan segala fasilitas duniawi mereka demi menghancurkan Islam, seperti Amerika dan sekutunya, Israel hari ini. Allah mengingatkan mereka, sebagaimana telah mengingatkan semua tiran dari semenjak zaman nabi Adam hingga zaman Rasulullah dan setelahnya:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS Ali ‘Imran [3]: 178).
Jika dosa itu makin menumpuk hingga tiba masa berakhirnya kasih sayang (kehidupan duniawi) dan mereka hadir di akhirat, maka terbuktilah segala ancaman dan penyiksaan yang tidak berujung dan tidak berpangkal.
وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأَبْصَارُ  مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُؤُوسِهِمْ لاَ يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاء
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong. (QS Ibrahim [14]: 42-43).
Apa yang kita saksikan hari ini berupa kesewenang-wenangan orang-orang kafir terhadap kebenaran Islam, juga kekayaan mereka yang melimpah, sekali pun itu juga merupakan bukti kelemahan kita sebagai muslim, namun sesungguhnya Allah tidak pernah lengah dan lupa, walau pun tetap memberi jedah dengan kesabaran-Nya. Sehingga Allah menghibur kaum muslimin yang terzhalimi dengan perintah bersabar dan diarahkan agar senantiasa menunggu waktu yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mengazab mereka.
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ  مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam; dan Jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. QS Ali Imran [3]: 196-197)
Janji Allah ini dibuktikan dengan penekanan pada ayat lainnya
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَمْلَيْتُ لَهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ ثُمَّ أَخَذْتُهَا وَإِلَيَّ الْمَصِيرُ
 Dan berapalah banyaknya kota (dalam sebuah Negara) yang Aku tangguhkan (azab-Ku) kepadanyapadahal penduduknya berbuat lalim, kemudian Aku azab mereka, dan hanya kepada-Ku lah kembalinya (segala sesuatu). (QS al-Hajj [22]: 48)          
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ لَوْ يُؤَاخِذُهُمْ بِمَا كَسَبُوا لَعَجَّلَ لَهُمُ الْعَذَابَ بَلْ لَهُمْ مَوْعِدٌ لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ مَوْئِلاً
Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung daripadanya. (QS al-Kahfi [18]: 58)
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS al-A’raf [7:] 182-183).
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS al-An’am [6]: 44)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ». ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ )
Dari Uqbah bin Amir, dari Rasulullah Saw., beliau bersabda, “Jika engkau melihat Allah memberikan kenikmatan duniawi yang diiginkan dan dicita-citakannya kepada seseorang dengan kemaksiatannya, maka ketahuilah bahwa itu hanyalah jebakan (istidraj).” Lalu Rasulullah membaca firman Allah yang berbunyi, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS al-An’am [6]: 44) [8]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari Surat al-An’am di atas dengan mengatakan, “[Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka], yakni, mereka cuek kepada jaran Allah (Islam), berpura-pura melupakan dan menjadikannya sebagai urusan sampingan dan menyepelekannya (wara’a zuhurihim), maka [Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka], yakni: maka kami bukan pintu rezeki untuknya agar segala harapan dan cita-citanya gterpenuhi. Padahal ini hanyalah jebakan (istidraj) dan penangguhan Allah yang bersifat sementara (imla’) kepada mereka. Semoga kita semua dilindungi oleh Allah dari segala keburukan. Karena itulah, Allah menegaskan [sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka], yakni: harta, anak-anak yang cerdas dan sehat dan beragam rezeki. [Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,], yakni; dalam kondisi lalai dari Allah dan ajaran-ajaranNya. [maka ketika itu mereka terdiam berputus asa], yakni: mereka kehilangan harapan terhadap segala kebaikan (kaarena begitu hebatnya siksaan).” [9]
Hasan Bashri rahimahullah berkata, “Siapa pun yang diberikan keluasan rezeki, lalu dia tidak sadar bahwa itu bagian dari makar dan ujian maka orang itu tidak waras pikirannya. Dan barang siapa yang diberikan kenikmatan lalu dia tidak merasa bahwa itu adalah peluang untuk beramal shaleh dan taubat dari segala dosa, maka orang itu tidak waras pikirannya.” Lalu beliau membaca Surat al-An’am ayat 44 tersebut di atas.” Beliau juga menegaskan, “Makar yang Allah timpakan kepada sekelompok orang wujudnya berupa pemberian segala yang mereka harapkan, lalu mereka disiksa habis-habisan setelah itu.” (HR Ibnu Abi Hatim).
Qatadah berkata, “Ada sekelompok orang yang cuek terhadap agama Allah. Sungguh Allah tidak menyiksa sekelompok orang kecuali jika mereka sedang lalai, terpedaya dan ketika berada di atas puncak kenikmatan. Maka kalian jangan terpedaya oleh nikmat Allah. Sungguh, tidak ada yang terpedaya oleh karunia Allah kecuali orang-orang fasik. (HR. Ibnu Abi Hatim).
Sikap senantiasa mawas diri terhadap segala pemberian dari Allah dan tidak terpedaya oleh limpahan kenikmatan, yang menjadi ciri muslim sejati, kita temukan pada diri Abdul Rahman bin Auf r.a. Sebagaimana penuturan beliau sendiri bahwasanya, suatu ketika, saat dia disuguhi makanan, padahal dia sedang puasa. (Sedangkan orang yang berpuasa biasanya sangat mengharapkan makanan. Tetapi beliau teringat dengan saat-saat yang dilewatiya bersama para sahabat utama yang telah syahid lebih dulu. Dengan menganggap remeh dirinya dibanding mereka, beliau mengatakan,) ”Mush'ab bin Umair telah terbunuh, padahal ia lebih baik dariku”. Ketika dia meninggal, kain kapan saja susah didapatkan untuk mengapaninya. Hanya sebuah kain burdah yang digunakan untuk itu. Jika kain itu ditarik untuk menutupi kepalanya, maka kakinya akan tersingkap. Tapi ketika kakinya ditutup dengan kain tersebut, maka kelihatanlah kepalanya. Lalu dunia ini (dengan segala kenikmatannya) dibukakan kuncinya, atau dengan redaksi lain, ia mengatakan, ”dunia ini telah diserahkan kepada kami (untuk dikuasai secara politis). Namun Saya khawatir kalau semua kenikmatan ini adalah kebaikan kami yang disegarahkan balasannya di dunia ini”. Lalu beliau menangis sejadi-jadinya hingga makanan tidak lagi disentuh olehnya”. [10]   [11]


[1] HR al-Bukhari, no. 5748 dan Muslim, no. 2804 dari Abu Musa al-Asy’ari .
[2] HR. Al-Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751.
[3] Dalam al-Qur’an, terkadang Allah menyebutkan perbuatan-Nya dengan menggunakan kata kami dan kata saya. Ketika menggunakan kata kami, itu menujukkan bahwa Allah sedang berbicara tentang perbuatan dan sifat-Nya yang beragam. Semenatara ketika menggunakan kata saya dan aku berarti menunjuk Zat-Nya Yang Esa.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (QS Thaha [20]: 14)
Perhatikan ayat yang menggunakan kata kami berikut:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
(QS al-Hijr [15]: 9)
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauhmahfuz). (QS Yasin [36]: 12)
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.  (QS al-Qomar [54]: 49)
Ada juga sebagian ulama berpendapat, kata kami yang digunakan Allah menunjukkan adanya keterlibatan hamba-Nya dalam suatu perbuatan. Contohnya, dalam penurunan al-Qur’an, sekali pun Allah yang menurunkan, namun Jibril a.s. juga ikut terlibat. Termasuk dalam penjagaan kitab suci tersebut keterlibatan kaum muslimin dengan catatan dan hafalan mereka juga disinyalir sebagai bagian dari penjagaan Allah terhadap al-Qur’an. Tentu kedua pandangan ini bisa disatukan, namun pada hal-hal yang mungkin mahluk bisa terlibat. Namunm, untuk hal-hal yang menjadi kekhususan Allah, sekali pun menggunakan kata kami, tentu hanya makna pertama yang berlaku (kata kami yang menunjukkan keterlibatan beragam perbuatan dan sifat Allah Swt.). Contohnya, dalam hal menghidupkan orang mati sebagaimana pada surat Yasin ayat 12, tentu mahluk tidak bisa terlibat, walau pun dalam pencatatan perbutan manusia, malaikat dan pengawas dari kalangan manusia tetap bisa terlibat. Wallahu A’lam.
[4]Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, demikian pula Ibnu Qayyim dalam kitab ar-Ruh. Harun bin Ri’ab adalah sorang ahli ibadah yang terpercaya dan termasuk seorang imam dari kalangan tabi’in. Sekali pun demikian, atsar ini hanya dinisbatkan (mauquf) kepada beliau dan tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa penisbatan riawayat ini sampai (marfu’) kepada Rasulullah Saw.
[5] Uddatu as-Shabirin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
[6] HR Ahmad, no. 305 berdasarkan pada riwayat Umar bin Khattahab r.a. hadits ini didhaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam silsilah hadits dhaif.. Tapi beliau mengaagap maknanya benar sebagaimana Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim banyak mengutip banyak faedah dan menjelaskan maknanya dalam beragam karya beliau.

[7] Uddatu ash-Shabirin wa Zukhratu asy-Syikirin, Ibnu Qayyim al-Jauziah,  hal. 276-280.
[8] HR. Ahmad, no. 17774.
[9] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir
[10] HR. Bukhari.
[11] Bagian manusia dari sikap sabar Allah yang terdapat pada entri ini akan kita bahas secara luas pada bab 3 buku ini. Karena bab 3 memang dikhususkan untuk membahas seputar kesabaran sebagai sarana menggapai kebahagiaan hakiki dalam Islam.

2 komentar:

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال