Wednesday, December 27, 2017

BAHAYA DOSA DAN MAKSIAT

Dosa dan maksiat adalah benalu yang menghalangi manusia untuk mendapatkan kesucian fitrahnya. Padahal, kebahagiaan tidak pernah bisa dirasakan kecuali melalui fitrah suci dan ketaatan kepada Allah. Karena itulah, manusia perlu mengenal dampak buruk dosa dan maksiat terhadap pribadi, masyarakat dan seluruh penduduk bumi ini. Beberapa diantaranya adalah :
1.      Dosa Menghalangi Ilmu dan Pemahaman.
Kebaikan manusia berawal dari ilmu dan pemahaman yang benar terhadap diri dan hal-hal yang ada di sekitarnya. Hal-hal tersebut seperti pemahaman tentang Allâh, manusia, kehidupan, akhirat dan hakikat-hakikat besar lainnya. Ketika manusia terlumuri oleh noda dosa, maka semua hakikat tersebut di atas pasti luput dari dirinya. Ia senantiasa lalai hingga tahap melupakan dan tidak mengenal dirinya sendiri. Umur terbuang begitu saja tanpa ada tujuan hidup yang jelas. Kebahagiaan yang dicari tak kunjung tiba di depan mata, apalagi terasa di hati.
Bahkan terkadang banyak ilmu pengetahuan yang secara pikiran telah dimiliki, namun terkadang tidak memberikan efek penyadaran yang berarti. Itu juga bentuk lain dari pengaruh dosa dan maksiat. Pemahaman terkadang lebih dalam dari sekedar pengetahuan. Karena pemahaman terkait dengan hati yang akan menghasilkan perubahan dan perasaan khusyu’ (rasa takut yang disertai dengan pengagungan kepada Allâh Swt.) pada diri manusia. Sehingga mereka senantiasa merasakan kekerdilan dirinya di hadapan Allâh sekaligus makin memperdalam keagungan Allâh pada jiwanya. Yang terjadi adalah dirinya senantiasa berusaha lebih baik dalam banyak hal dibanding hari-hari sebelumnya. Inilah inti taubat dalam Islam. Yaitu perasaan menyesal terus menerus akibat kelalainnya dari memahami keagungan Allâh dan menyadari kekerdilan dirinya.
2.      Dosa Menggelapkan Hati.
Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan bisa menghalangi, mereduksi dan memadamkan cahaya tersebut. Karena itu, ketika Imam Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Imam Malik untuk belajar, beliau sangat kagum terhadap kecerdasan dan daya hafal Syafi’i muda ini hingga beliau bertutur, “Aku melihat Allâh telah menitipkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.” Suatu hari, ketika Syafi’i muda merasakan kebuntuan hafalan dan pemahamannya, ia menyampaikan keluhannya kepada sang guru besar lain bernama Imam Waki’. Imam Syafi’i bertutur dalam sebuah gubahan sya’ir, “Aku mengadu kepada Waki’ tentang hafalanku yang buruk. Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan kemaksiatan seraya berkata, ‘Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allâh tidak diberikan kepada pelaku dosa dan penggemar kemaksiatan’
3.      Dosa Melemahkan Hati dan Badan.
Hati adalah keaslian manusia. Disanalah prinsip hidup tertanam dalam-dalam. Disana pula terdapat keinginan dan kehendak, bahkan perasaan sekaligus. Ilmu sebagai cahaya akan menghidupakan hati, memunculkan kehendak dan angan-angan untuk lebih baik dan melakukan perbaikan. Namun dosa, berfungsi sebaliknya. Ia akan memporak-porandakan prinsip hidup, membasmi kebaikan hati dan mendominasinya dengan beragam keburukan. Ujungnya, semangat untuk memperbaiki kualitas hidup dan upaya untuk maksimal dalam dunia kebaikan melemah hingga titik terendah. Ibnu Abbas r.a berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan pencerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengandung ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di kubur dan di hati, kelemahan badan, susutnya rezeki, dan kebencian makhluk.”
4.      Maksiat Memperkeruh Hubungan dengan Allâh.
Kedekatan manusia dengan Allâh tergantung pada hati yang bersinar dengan tauhid dan kepatuhan kepada Allâh. Jika manusia banyak melakukan pelanggaran maka akan terjadi kegersangan dan keterasingan dari Allâh. Sehingga hidupnya terasa sempit. Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang mengeluh kepada seorang yang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang Arif berpesan, “Jika kegersangan hatimu akibat dosa-dosa, maka tinggalkanlah. Dalam hati, tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas dosa.”
5.      Dosa Menghilangkan Kedekatan dengan Orang-Orang Shaleh.
Jika dosa dan maksiat dapat mempengaruhi kedekatan manusia dengan Allâh maka tentu dipastikan  pula bahwa dosa akan mendatangkan rasa gersang dan keterasingan dari teman-teman yang baik. Hati yang baik akan senantiasa mencari jiwa-jiwa yang sesuai dengan arah dan kecenderungan-kecenderungannya. Sehingga ada orang bijak mengatakan, “Burung pun akan senantiasa bertengger dengan teman-temannya dan tidak akan mau bergabung dengan burung lain yang tidak sama jenisnya.”
Pada zaman Rasulullah Saw., kita mendapati persaudaraan yang terjaling kuat antara para penentang da’wah, baik dari kalangan orang-orang munafik maupun dari kalangan orang-orang kafir Quraisy. Orang-orang munafik di zaman itu bahkan berusaha membuat masjid Dirar yang dijadikan sebagai sarana untuk membelokkan arah dakwah. Mereka berkumpul di sana untuk menyatukan langkah demi merongrong persatuan kaum muslimin. Mereka bahkan saling berkumpul dalam majlis Rasulullah untuk membuat kegaduhan dan merecoki kegiatan ta’lim. Bahkan ketika mereka pun ikut perang, mereka senantiasa bersama-sama seolah satu tubuh yang tak terpisahkan. Ketika datang orang-orang munafik dari beragam penjuru, baik dari wilayah Bahrain atau wilayah Hijr mereka pasti bertandang ke rumah Abdullah bin Ubay bin Salul; sang gembong munafik di Madinah. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda, “Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda (berpisah).” [1]
6.      Maksiat Memperpendek Umur.
Kemaksiatan dipastikan akan memangkas umur manusia sehingga bisa jadi banyak secara kuantitas namun pendek secara kualitas. Bahasa sederhananya adalah hilangnya keberkahan hidup karena waktu yang diberikan habis pada hal-hal yang berada di luar tugas utama sebagai hamba. Kata umur secara kebahasan berarti ramai. Maksudnya, Islam memandang umur dari sisi fungsinya dalam menegaskan ketaatan dan pengabdian kepada Allâh dengan mengisi dan meramaikannya dengan beragam kebaikan. Umur memang menjadi ukuran waktu, tetapi Islam tidak membatasinya pada sisi durasi umur secara biologis. Islam bahkan memandang umur sesuai porsi ketakwaan, keimanan dan segala jenis ketaatan yang dilakukan.
Selain umur bermakna demikian, hidup pun juga dipahami sama. Hakikat hidup sangat tergantung dengan hati. Jika hati hidup dengan keimanan, tauhid, ketakwaan, dan beragam identitas Islam lainnya maka ketika itulah hidup menjadi benar-benar dianggap kehidupan. Sebaliknya, kematian tidak hanya terbatas pada berpisahnya ruh dan jasad. Tetapi lebih dari itu; terkuburnya hati dalam fisik manusia. Itulah kematian sebenarnya, “Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.” (QS an-Nahl [16]: 21)
Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allâh Swt., menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya.
7.   Maksiat Menghalangi Rezeki.
Rezeki adalah semua karunia Allâh kepada manusia yang juga merupakan bentuk rububiyah-Nya kepada seluruh mahluk; terutama manusia. Rezeki paling utama adalah penciptaan mahluk dan pemberian hak hidup; karena tidak ada yang mampu melakukan hal tersebut kecuali Allâh. Sebagai pelengkap rezeki-Nya, Allâh juga memberikan petunjuk tata cara hidup dan mengelola kehidupan di planet bumi ini berupa al-Qur’an dan contoh teladan sebaik Rasulullah Saw. Itulah beragam nikmat yang dikaruniakan oleh Allâh. Belum termasuk hidayah taufik yang diberikan kepada mereka yang beriman dan bertakwa sehingga banyak amalan-amalam keislaman yang bisa mereka kerjakan secara baik. Setelah itu, ada juga karunia berupa biaya hidup dan segala sarana kehidupan yang terhampar luas di muka bumi ini.
Persoalan rezeki sangat terkait dengan Allâh Swt. Artinya, kesadaran bahwa semua rezeki berasal dari rububiyah Allâh adalah merupakan rezeki yang juga tidak kalah berharganya. Karena dengan demikian, manusia menjadi orang beriman yang memahami arti penting bersyukur dan berterimakasih kepada Sang Maha Pemberi tersebut (Allâh). Ini yang menjadi alasan kenapa Allâh Swt dalam banyak ayat-Nya dalam al-Qur’an senantiasa menyuruh kita bertakwa, beriman istiqamah, berahlak dengan ahlak mulia dan beragam seruan kebaikan lainnya. Karena dengan itu semua rezeki berupa kesadaran iman, ketakwaan, istiqamah, kedudukan sosial, harta yang penuh berkah, anak-anak yang shaleh, serta beragam nikmat lainnya bisa diperoleh.
Imam Abu Hanifah rahimahullah, manakala menjumpai suatu problem dalam menyelesaikan masalah, dia berujar kepada santri-santrinya, “Hal ini tidak terjadi kecuali karena dosa yang baru saja aku lakukan.” Beliau lalu beristighfar, dan kadang langsung beranjak shalat, maka tersingkaplah masalah yang menjadi problem baginya itu, seraya berkata, “Mudah-mudahan taubatku diterima.” Cerita ini kemudian sampai kepada Fudhail bin Iyadh. Ketika mendengar cerita itu, Fudhail bin Iyadh menangis keras-keras kemudian berkata, “Itu dilakukan Abu Hanifah padahal dosanya  lebih sedikit, adapun selain Abu Hanifah tidaklah memperhatikan perkara ini.”
MUTIARA HIKMAH
Abdullah bin Abbas radiyallahu anhu berkata, “Sungguh amal kebajikan memiliki cahaya di dalam dada, keceriaan pada wajah, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, dan kecintaan di hati para makhluk. Sedang perbuatan dosa memiliki kegelapan di dalam hati, keburukan di wajah, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati para makhluk.” (Risalatul Mustarsyidin, Al-Muhasibi: 218)
MUTIARA DO’A
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
 “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan banyak kezhaliman, sedangkan tidak ada yang mengampuni kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan-Mu dan kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha pemberi rahmat).” [HR Bukhari, no 834 dan Muslim, no 2705]


Penulis : Ust. Idrus Abidin, Lc., M.A


[1] HR al-Bukhâri, no. 3336 secara mu’allaq dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha. dan Muslim,  no. 6708

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form