NUANSA BAHAGIA
DALAM DEKAPAN DAN NAUNGAN CINTA ILAHI
Oleh : Idrus Abidin, Lc., M.A
A.
Makna Bahagia.
Bahagia dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan sa’adah.
Kata ini terbentuk dari kata saida, yas’adu, sa’dan dan
sa’adah. Sa’adah ini artinya bahagia yang merupakan lawan dari
kata syaqawah (sengsara). Sedang kata sa’ada, yusa’idu,
musa’dah mengandung makna membantu dan membahagiakan. Yakni, membantu
seseorang dengan sesuatu yang bisa membuatnya bahagia. Sehingga tak
mengherankan jika lengang dan sayap disebut sa’id dalam bahasa Arab. Karena
dengan lengang (sa’id), manusia terbantu dan dimudahkan dalam bekerja. Dan,
dengan adanya sayap (sa’id), burung
terbantu untuk terbang.
Dari analisis kebahasaan ini tampak makna sa’adah adalah
kebaikan, keridhaan, keberkahan, kepuasan dan pertumbuhan. Juga mengandung
makna bantuan, kerja keras dan kerjasama. Berdasarkan makna ke-2 ini, penulis
al-Mu’jam al-Wasith menganalisa bahwa sa’adah adalah, “Bantuan Allâh
kepada manusia untuk mendapatkan kebaikan. Dan, lawannya adalah syaqawah.”[1]
Beberapa kamus al-Qur’an (Mu’jam al-Alfazh al-Qur’an) pun memberikan
pengertian bahwa sa’adah adalah bantuan Allâh kepada manusia untuk
mendapatkan kebaikan. Dari sinilah firman Allâh yang berbunyi, “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam
surga.” (QS Hud [11]: 108). Dan firman-Nya, “Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia.” (QS
Hud [11]:105). [2] Dengan demikian, bahagia secara kebahasaan bisa diartikan sebagai
perwujudan kenikmatan dan kebaikan dengan cara bekerja lebih efektif disertai
kerja sama yang kreatif.
Bahagia yang diartikan sebagai wujudnya perasaan senang dan tenang
akibat adanya bantuan Allâh ini menjadi poros pemaknaan ulama terhadap istilah
bahagia menurut Islam. Rahifah Musa Qudurah Ibrahim misalnya menyimpulkan
pendapat mayoritas mufassir tentang pengertian bahagia dalam tesisnya yang
berjudul “as-Sa’adah fi al-Qur’an: Dirasah Maudhuiyyah.” Yaitu bahwa
kebahagiaan duniawi ada pada wujudnya bantuan Allâh kepada manusia untuk
memperoleh kebaikan, kenikmatan dan keluasan rezeki; dalam kondisi keimanan
mereka kepada Allâh dan sikap mereka dalam mengikuti ajaran Rasululullah Saw. Kebahagiaan
duniawi seperti inilah yang akan mengarahkan kepada kebahagiaan ukhrawi yang
hakiki, yang berwujud pada peluang untuk kekal di dalam sorga sesuai dengan
ketetapan takdir yang sejalan dengan makna hadits, “Berbuatlah, karena semua
orang akan dimudahkan sesuai dengan tujuannya diciptakan.” [3]
Bantuan Allâh ini bisa diperoleh dengan keimanan, sehingga
kebahagiaan versi Islam sangat melekat dan terkait secara utuh dengan tingginya
tingkat keimanan seseorang atau sekelompok orang. Khawajah Aniq Ahmad menulis
hubungan antara kebahagiaan dengan keimanan yang bisa mendatangkan ketenangan
jiwa di kala senang dan susah dengan menegaskan, “Kebahagiaan sebenarnya adalah
rasa (tentram dan ketenangan) yang dititipkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya
yang shaleh; yang dijadikan karunia bagi mereka, yang menjadi sarana untuk
menenangkan jiwa; sekali pun mereka sedang berada dalam kesempitan, kesusahan,
keletihan dan kecapean. Setiap kali kehidupan dunia terasa sempit bagi mereka
dan masalah sedang menghimpit, namun mereka senantiasa bertambah kuat, semakin kokoh
dan merasa tenang. Mereka adalah manusia yang paling lapang dadanya, paling
nikmat jiwanya, paling baik hidupnya. Semua itu mereka dapatkan akibat dari
keimanan mereka kepada Allâh dan keridhaan mereka terhadap ketentuan (qada’)
dan ketetapan (qadar) Allâh Swt.
Jika seseorang beriman dengan ketetapan Tuhannya maka hilanglah
dukanya dan mencairlah rasa sakit dan keluhannya, sehingga ia merasakan ketenangan
jiwa. Hatinya menjadi lapang sekali pun sibuk dengan setumpuk problem, yang
bisa jadi termasuk yang tidak ia senangi dan membuatnya marah. Semua itu bisa
terjadi karena kesadaran dan keimanannya bahwa masalah itu masih menyimpan
misteri; apakah ia megandung potensi baik ataukah potensi buruk; dan apa-apa
yang akan terjadi setelahnya berupa harapan ataukah kesedihah. Juga karena
kesadarannya bahwa itu semua berada di tangan Allâh yang Maha Hebat dan Maha
Bijak. Semua itu sama sekali tidak berada di bawah kendali manusia. Sehingga ia
bertawakkal kepada Tuhannya dan merasa tenang dengan-Nya. Akhirnya, keadaannya
makin baik dan lebih bagus. Juga hilang pula kesedihan dan kekhawatirannya.
Keimanannya medatangnkan keceriaan, kebahagiaan, kegembiraan, kehidupan yang
baik dan kepuasan batin. [4]
Syaikh
Dr. Abdul Rahman bin Mualla al-Luwaihiq menegaskan, “Bahagia adalah perasaan
internal yang dirasakan manusia pada kedalaman hatinya, yang bewujud pada
ketenangan jiwa, kepuasan batin, keluasan hati, ketentraman rasa; sebagai hasil
dari istiqamah secara lahiriah dan bathiniah yang didorong oleh kekuatan iman.
Bukti-bukti pendukungnya adalah al-Qur;an dan Sunnah. Firman Allâh,
﴿ مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ﴾
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik (QS an-Nahl [16]: 97). Juga firman-Nya:
﴿ فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى * وَمَنْ
أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا ﴾
Maka
jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, (QS Thaha [20]: 123-124).
Juga
hadits Rasulullah yang berbunyi, “Kekayaan itu bukanlah pada banyaknya harta,
tetapi kekayaan itu ada pada kekayaan jiwa.” [5]
Keimanan
akan menghasilkan ketakwaan. Sebagaimana telah dijelaskan pada buku kami,
“Jalan Takwa” bahwa semua orang bertakwa pasti beriman. Namun tidak semua orang
beriman pantas disebut orang bertakwa. Maka, keimanan dan ketakwaan juga
menentukan adanya bantuan Allâh sehingga hati manusia bisa merasakan kebahagiaan
lebih utuh.
Syaikh Dr. Sulaiman ar-Ruhaili mengaitkan keimanan dan ketakwaan
ini dalam menggapai kebahagiaan. Beliau menulis, “Sungguh kebahagiaan itu
ada di dalam hati orang-orang bertakwa
dan amal shaleh yang murni. Siapa pun yang berikan oleh Allâh taufik untuk
bertakwa maka Allâh akan memberikannya hati yang bertakwa, yang dengannya ia
bisa berhenti pada batas-batas yang diharamkan Allâh sehingga ia tidak
melanggarnya. Ia juga bersikap dengan ketakwaan dalam kewajibannya sehingga ia
tidak melampaui batas; dan diberikan amal shaleh maka sungguh ia telah
dikaruniai kebahagiaan. Hal demikian karena kebahagiaan –wahai ikhwah sekalian-
merupakan ketenagna jiwa. Sedang hati berada di antara jari jemari Allâh yang
dibolak-balikkan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Jadi, kebahagiaan merupakan
karunia dari Allâh yang diberikan kepada hamba-Nya yang shaleh. Sedang hamba
yang beriman akan hidup penuh kebahagiaan.
Namun apakah ini berarti mereka tidak diuji?! Tidak tentunya.
Mereka akan diuji sesuai kadar keimanan mereka. “Orang yang paling tinggi
ujiannya adalah para nabi; lalu yang mirip dengan mereka; seseorang diuji sesui
kadar keimanannya.” Tetapi ujian itu lebih baik menurut mereka sehingga
mereka merasa tenang. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Sungguh
mengagumkan kondisi orang-orang beriman. Semua keadaannya baik. Jika mereka
ditimpa kebaikan maka merka bersyukur. Namun jika ditimpa masalah, mereka
bersabar. Itulah yang terbaik menurut mereka. Tidak ada kondisi demikian
kecuali hanya pada orang-orang beriman.”
La ilaha illallâh. Bagaiman Anda hidup? Bisa dalam kondisi baik maupun
dalam keadaan susah. Bagi orang mukmin, semua itu baik bagi mereka sehingga
mereka senantiasa dalam kebahagiaan. Orang mukmin bahgia di dunia ini karena Allâh
Swt memberikan mereka ketenangan dan rasa cukup. Rasulullah Saw bersabda: [6]
مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ
اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا
وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ
بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا
إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai
akhirat, maka Allâh akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan
menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan
tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia,
maka Allâh akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai
beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah
ditetapkan baginya.” [7]
Jadi, terdapat semi kesepakatan di kalangan ulama bahwa kebahagiaan
itu merupakan pemberian Allâh sehingga harus dicari kepada pemiliknya dengan
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini ditegaskan
oleh ayat berikut:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ
إِيمَٰنا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيما
Dialah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allâh-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS al-Fath
[48]: 4)
B.
Bahagia sebagai Manifestasi Iman dan Takwa; Merupakan Buah Ibadah.
Iman dan takwa tidak diragukan lagi menjadi basis utama dan sarana
mendasar dalam rangka menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena dengan
hal itu bantuan dan perkenaan Allâh sehingga rasa tentram, nyaman, tenang dan
damai serta segala turunan kebahagiaan bisa terasa dalam jiwa manusia. Wujud
dari keimanan dan ketakwaan ini tampak dengan jelas pada ibadah yang menjadi
hak mutlak Allâh Swt. Karena demikian adanya, maka tepat kiranya kalau ibadah
ini menjadi awal dan standar analisa untuk memetakan koridor kebahagiaan.
Ibadah adalah
kesatuan antara 3 pilar utama Islam;
- Cinta Allâh Swt. (mahabbatullah)
- Mengharap rahmat-Nya (raja’)
- Takut azab-Nya (khauf)
Sedang
bahagia juga merupakan buah (hasil) dari kesatuan dari ke-3 pilar utama ibadah
tersebut di atas, yaitu:
- Ketentraman jiwa dan ketenangan rasa terhadap Allâh (mahabbatullah);
- Karena menyadari dan mengharap keluasan rahmat-Nya (raja’);
- Dan, karena merasa takut dan cemas dari murka dan siksaan-Nya (khauf), serta berharap terhindar darinya.
Jadi, Ibadah adalah proses dan wujud kecintaan manusia yang berpadu
dengan kepatuhan kepada Allâh. Sedang bahagia adalah hasil sekaligus buah dari
ibadah itu sendiri. Dengan demikian, dipastikan bahwa hanya Ahli ibadah saja yang
bisa merasakan nikmatnya kebahagiaan abadi dan lezatnya kenikmatan hakiki.
Abdullah bin Mubarak pernah berkata, “Penduduk bumi keluar dari
kolong dunia ini padahal mereka belum pernah merasakan kenikmatan terbaik yang
ada padanya.” Lalu ada yang bertanya kepada beliau, ‘memang kenikmatan terbaik
apa yang ada padanya?, kata beliau, “Mengenal Allâh (ma’rifatullah)
dengan baik.” (Hilyatul Auliyaa/hal. 167, jilid. 8)
Seorang shaleh dan ahli ibadah pernah sesumbar, “Jika kenikmatan
penduduk surga seperti yang kurasa saat (beribadah) ini, pasti mereka mahluk
paling bahagia.” Itulah makna pernyataan Ibnu Taimiyah rahimahullah yang
berbunyi, “Di dunia ini ada surga, jika belum dirasakan oleh seseorang, saya
khawatir surga sesungguhnya takkan pernah berada di pelupuk matanya.” Bahkan pada
kesempatan lain beliau pernah berkata, “Jika para tiran dari kalangan raja dan
penguasa; penikmat kelezatan duniawi itu mengetahui nilai kebahagiaan yang ada di
hati kami, seperti yang mereka cari selama ini, tentu mereka akan membunuh kami
agar kenikmatan itu bisa direnggut dan dirampas dari hati kami ini.”
Bahagia yang diinginkan dan diangankan Islam adalah kebahagiaan
yang berbalut kecintaan dan kasih sayang Allâh Swt. Bisa jadi sesuatu itu dipandang
baik dan diyakini membahagiakan oleh banyak orang. Namun jika diukur
berdasarkan ketentuan dan kecintaan kepada Allâh, hal tersebut ternyata berpotensi
mengancam bahkan menghilangkan nilai kenikmatan itu sendiri. Misalnya, seperti
pandangan orang-orang Barat dan non Muslim, ketika melihat wanita muslimah
bercadar atau berjilbab atau berkerudung, mereka menganggap pakaian mereka itu
mengekang kebebasan dan menggerahkan perasaan. Padahal, bagi seorang muslim dan
muslimah, yang memendam cinta dan ketaatan kepada Allâh, justru mereka melihat
kebahagiaan itu ada pada fakta sebaliknya. Mereka meyakini bahwa tampilan para
wanita bule yang merasa cukup dengan sekedar kain tipis (baju you can see),
yang mereka kenakan untuk menutupi aurat utama mereka itulah yang pantas
merusak kebahagiaan, yang dicari dan kenikmatan jiwa yang diharapkan oleh
kalangan ahli ibadah dan pecinta Allâh, seperti mereka.
Dengan contoh sederhana ini saja tampak bahwa kebahagiaan yang diangankan
dan dinginkan oleh banyak orang tidaklah seragam definisinya dan belum tentu
bisa disepakati bersama pemaknaannya. Yang jelas, faktor utama
kebahagiaan ternyata banyak dipengaruhi oleh nila-nilai keyakinan dan
persfektif yang menjadi acuan atau kacamata seseorang dalam memandang dan menetapkan
kriteria kebahagiaan. Sejauh mana tingkat akurasi dan kebenaran acuan
dan kacamata yang menjadi sarana meneropong kebahagiaan tersebut maka se-real
itu pula kebahagiaan ditemukan dalam diri masing-masing kelompok.
Islam sebagai agama kebahagiaan tidak rela jika manusia mencari kebahagiaan
selain pada dirinya sendiri (Islam). Menduakan Islam dengan ideologi lain dalam
hal yang bersifat prinsipil (akidah), sama saja menduakan Allâh dalam hal yang
sama. Padahal Allâh sudah mengajarkan kita dengan prinsip pasti; lakum dinukum
waliyadiin (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Bagaimana mungkin
kebahagiaan bisa terasa jika yang dipinta tidak memilikinya?! Sementara pemilik
hakikat kebahagiaan tidak digubris sama sekali, karena pencari kebahagiaan itu
tertutupi mata, telinga, hati, rasio dan semua sarana pengetahuannya dari sumber
utama kebahagiaan (Allâh). Itulah rekayasa setan dalam memperbudak pecinta hawa
nafsu dan pencuri kebahagiaan.
Perbedaan sisi pandang dalam memaknai kebahagiaan antara
masing-masing orang, masyarakat, bangsa, Negara dan ideolagi (agama) ini
membuat prioritas dan pensikapan terhadap hal-hal yang dipandang membahagiakan
menjadi beragam dan berbeda pula. Contoh, bagi yang memandang wanita yang berpakaian
tipis sebagai bagian dari kebahagiaan, mereka berpendapat bahwa tipisnya
pakaian merupakan bukti gerahnya suasana dan panasnya cuaca. Sehingga
berpakaian tipis bagi masyarakat Eropa dan sebagian besar wanita penduduk
Amerika dan Asia yang masih kafir, bertujuan agar tidak menimbulkan rasa panas
dan gerah. Ketika mereka menghindari pakaian tebal di saat suasana sedang panas
dan cuaca terasa menyengat dianggap sebagai kebahagiaan itu sendiri bagi mereka.
Padahal, bagi kaum muslimin yang meyakini kewajiban menutup aurat dengan
cadar (orang-orang beriman), jilbab atau pun kerudung, memandang bahwa panas
secara fisik itu tidaklah bermasalah selama tidak melanggar ketentuan syari’at
dan membuat mereka dibakar oleh sengat panasnya neraka pada hari kiamat kelak.
Di samping itu, persfektif muslim juga menganalisa dan melihat bahwa pakaian
tipis yang tidak menutupi semua bagian aurat, malahan berpotensi memancing
syahwat para lelaki hidung belang. Sehingga wanita yang berpakaian demikian
merasa was-was dan tidak pernah merasa nyaman karena merasa risih dengan
pandangan orang-orang bernafsu kepadanya. Walau pun hal seperti ini juga
dipengaruhi oleh faktor dan konstruk budaya dan kebiasaan warga sekitar.
Di wilayah non muslim, seperti di Eropa, Amerika, dan Sebagian
wilayah Asia, tentu berpakaian minim sudah menjadi tradisi. Sehingga lelaki pun
tidak terlalu merasa tertarik dengan aurat yang dipertontonkan.[8]
Karena bagi mereka, hal demikian serasa biasa dan lumrah, serta bukan lagi
sesuatu yang luar biasa. Bahkan, ketika mereka menemukan wanita dengan ciri
khas kemuslimahan; dengan pakaian tertutup dan tebal di wilayah mereka, mereka segera
berkesimpulan: wanita-wanita itu terpenjara dan tidak memiliki akses kebebasan apa
pun sama sekali. Terpenjara dengan pakaian tebal dan tidak adanya kebebasan
berpakaian minim sebagaimana non muslim, berarti bukti hilangnya kebahagiaan.
Padahal, wanita muslimah memakai pakain itu justru merasa bebas dan merasa
bahagia luar biasa. Itulah fungsi
idealisme (agama/akidah) dalam memandang sesuatu.
Contoh lain adalah, adanya dua ibu rumah tangga yang berbincang tentang
karirnya sebagai profesional di perkantoran dengan temannya, seorang ibu yang
menjadikan profesi utamanya mengasuh anak, mengurus rumah dan suami.
Profesional kantoran : Jadi sekarang ente ga kerja? Kok bisa sih? Ga
bosan?
Profesional
rumah tangga: Kerja kan tidak harus tiap
hari ke kantor! Gue masih bisa kerja di rumah sambil ngurus anak, rumah dan
suami.
Profesional kantoran :
Nah….langsung aja deh! Sayang aja sih, lulusan UI cuman ngurus anak.
Profesional rumah tangga: Justru hebat dong. Anak saya diurus ama
lulusan UI. Bandingkan anak ente yang diasuh lulusan SD.
Profesional kantoran : * Senyum kecut. *
Yaaah…sungguh menggelikan. Sebuah budaya kerja yang telah mapan dan
menjadi standar kebenaran dan kemapanan, tapi harus bertekuk lutut di hadapan
profesi yang dianggap “rendahan” sekali pun pelakunya adalah orang kuliahan.
Contoh lain yang menghibur dan membuat kita tertawa geli seperti berikut.
Di pesawat ada Pastur dan Pak Kyai duduk sebaris, Lalu datang pramugari.
Pramugari : “Hallo tuan-tuan, ada yang mau
sampanye?”
Pastur :
“Iya, terima kasih nona. Tolong 2 gelas ya... Ayo Pak Kyai, kita rayakan
pertemuan ini dengan
minum sampanye!!”
Kyai :
“Saya teh hangat saja!!”
Pastur :
"Waaah... Pak Kyai jangan sungkan-sungkan! Jarang-jarang lho kita
minum sampanye bareng-bareng”
Kyai :
“Maaf Pak Pastur, agama saya melarang minum alkohol!!”
Pastur terdiam sambil
menenggak sampanye.
Pastur :
“Waaah sayang sekali Pak Kyai, barang enak begini tidak suka...”
Pak Kyai hanya menghela nafas.
Pak Kyai hanya menghela nafas.
Sampai di
Bandara, mereka berjalan ke tempat penjemputan. Dari kejauhan datang 4 wanita
cantik dan muda, sambil memanggil Pak Kyai.
Wanita : “Abah.. Abah.. Selamat
datang...... “ *Muach... muach..... sambil cium
tangan*
Pastur :
“Putri nya cantik-cantik ya... kuliah semua?"
Kyai :
“Ooooh.. Mereka istri-istri saya, kenalkan Pak Pastur….Lho... Pak Pastur
tidak ada istri yang
jemput?”
Pastur :
“Hmmm... Saya tidak punya istri. Agama saya melarang saya menikah..
“ *sambil menghela
nafas*
Kyai :
“Waah...sayang sekali, enaaaakk begini, kok Pak Pastur tidak suka.. “
Dengan sedikit perbandingan antara dua persfektif dalam memandang
kebahagiaan dan kesenangan ini saja tersingkap dengan jelas bahwa ada sesuatu
yang kelihatan memberatkan, tapi ternyata orang-orang yang melakukannya dengan
pertimbangan idealisme tinggi malah merasa bahagia karenanya. Sedang tampak
pula ada sesuatu yang dianggap membahagiakan hanya karena dianggap simpel, tapi
ternyata itulah musibah yang sesungguhnya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Siapa dari kedua pihak tersebut di atas yang benar-benar
pantas bahagia di dunia ini, apalagi di akhirat kelak? Jawaban singkatnya; kedua
belah pihak berhak dan pantas bahagia. Walau pun orang yang berbahagia karena
nilai-nilai ideal dan keyakinan yang mereka perjuangkan akan lebih kekal
kebahagiaanya. Karena dia melakukannya dengan pertimbangan tanggung jawab yang
tinggi dengan kandungan ibadah yang tidak perlu diragukan lagi. Itulah
idealisme yang menjadi pilar kebahagiaan hakiki. Di sinilah kita lihat jauhnya
jangkauan kebahagiaan dalam Islam, sejauh jangkauan tabiat agama Islam itu
sendiri yang mencakup dunia dan akhirat, lahir dan batin, ibadah dan kerja
serta material dan spiritual dalam satu kesatuan yang utuh.
[1]
Al-Mu’jam al-Wasith, Ibrahim Musthafa, Ahmad Hasan az-Zayyat, Hamid Abdul Qadir
dan Muhammad Ali an-Najjar, (al-Maktabah al-Islamiyah: Turki), vol. 1-2, tth,
hal. 430
[2] Lihat:
Mufradat al-Fazh al-Qur’an, ar-Ragib al-Asfahani, hal. 410-411.
[3]
As-Sa’adah fi al-Qur’an, Rahifah Musa Qudurah Ibrahim, hal. 12 (Tesis dalam
bentuk PDF: al-Jami’ah al-Islamiyah Gazzah, Filestin) diajukan kepada Fakultas
Usuluddin, bagian Tafsir dan Ulum al-Qur’an.
[4] http://www.alukah.net/sharia/0/95983/#ixzz3uUqOJZqh, Khawajah Aniq Ahmad, Atsar al-Iman bi Allah fi Tahqiq as-Sa’adah.
[5] Mafhum
as-Sa’adah fi al-Islam, Dr. Abdul Rahman Mualla al-Luwaihiq, al-Alukah.net.
[7] HR.
Tirmidzi no. 2465. Musnad Ahmad, no. 21590. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini dha’if dan syawahid-nya atau penguatnya pun dha’if.
Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam kitab Silsilah ash-Shahihah, 2/670.
Syaikh al-Arnauth pun menshahihkan hadits ini.
[8] Menurut
kami, dengan adanya kebebasan berpakaian secara total seperti yang disebutkan
maka muncullah banyak penyimpangan seksual di Negara-negara non Muslim. Seperti
gay, lesbi dan penyimpangan seksual serupa. Alasannya, karena kaum lelaki
merasa tidak tertarik lagi dengan betis, paha dan dada yang terbuka dari
kalangan wanita. Justru yang membuat mereka tertarik adalah bagian tubuh sesama
lelaki yang jarang terlihat akibat terbungkus oleh pakain tebal dan serba tertutup. Sementara kaum wanita mereka pun bosan dengan
lelaki karena terlalu sering bergonta-ganti pasangan. Ujuangya, mereka mencari
sensasi seksual tak biasa dari sesamanya, kaum wanita. Naudzubillah.
Semoga kita terjaga dari penyimpangan seksual dan seluruh efek negatifnya. Amin
0 komentar:
Post a Comment