Friday, September 26, 2014

Tingkatan Kaum Beriman dan Bertakwa.

Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Al-Manar Jakarta
Sumber: Tingkatan Kaum Beriman dan Bertakwa 
(Karya Ust. Idrus. Sedang dalam Proses Terbit)



Manusia memiliki sebuah perangkat, jika perangkat itu baik maka semua prangkat lainnya akan ikut baik karenanya. Itulah hati. Demikianlah titah Rasulullah Saw. Benar sekali. Hati memang berperan besar dalam segala aktivitas manusia. Dari sejak berpikir dan menghayalkan keinginan-keinginan serta menggerakkan fisik untuk melakukan sesuatu, jika semuanya dilandasi oleh iman dan takwa, akan menghasilkan nilai yang berlipat dan pahala yang besar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً.
Dari Abu Hurairah, r.a., dari Rasulullah Saw., beliau  menegaskan, “Jika terbetik dalam diri seorang hamba-Ku keinginan untuk berbuat baik maka malaikat mencatat sebuah kebaikan dan pahala untuknya. Lalu jika ia melakukan keingin baik itu dan mewujudkannya dalam dunia nyata maka akan ditetapkan sepuluh pahala kebaikan lagi baginya. Hingga kebaikan itu dilipatgandakan mencapai 700 kali lipat. Namun, jika terbetik dalam benaknya pikiran negatif maka Aku membiarkan. Jika ia melakukannya barulah Aku mencatatnya sebagai sebuah kesalahan.” [1]
Tidak sekedar demikian, bahkan setelah keburukan itu pun mencederai keimanan dan fisik orang-orang beriman, malaikat pencatat keburukan masih memberikan jeda waktu untuk bertaubat. Jika mereka menyesal, malaikat akan membiarkannya begitu saja tanpa melakukan pencatatan. Nanti malaikat pencatat keburukan benar-benar menetapkannya sebagai laporan kepada Allah, jika dia tidak menyesal dengan hatinya, bersitigfar dengan lisannya dan meninggalkan keburukan itu dengan fisiknya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : إِنَّ صَاحِبَ الشِّمَالِ لِيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ أَوِ الْمُسِيء ِ، فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللَّهَ مِنْهَا أَلْقَاهَا، وَإِلا كُتِبَتْ وَاحِدَةً.
Dari Abu Umamah, dari Rasulullah saw, beliau  bersabda, “Sungguh malaikat yang berada di sebelah kiri akan mengangkat pena pencatat keburukan dari seorang Muslim yang berdosa. Jika ia menyesal lalu beristigfar maka malaikat itu akan membuang catatan keburukan itu. Namun jika tidak, maka malaikat akan menuliskannya satu keburukan. [2]
Itulah rahmat Allah yang Mahaluas. Bagaimana mungkin kebaikan bisa tercatat, seseorang bisa mendulang pahala banyak, hanya sekedar memikirkan kebaikan dan kebenaran?! Alasannya, orang-orang yang berpikir positif, dengan semangat keimanan dan ketakwaan, tentulah orang-orang yang terang jiwanya oleh Allah yang dicintai-Nya, Rasulullah sebagai panutan yang diikutinya, al-Qur’an sebagai navigasi sikap dalam realitas kesehariannya.  Dengan alasan itu saja mereka sudah tercatat sebagai pelaku kebaikan dan pionir pada setiap amal islami.
Jika kesalahan terlanjur terjadi, lalu hati menyesali, lidah ikut istigfar sebagai bentuk partisifasi, kemudian fisik ikut mengejawentahkan apa yang ada di hati dengan perbaikan, ketika itulah telaga kesalahan tadi menjadi lautan kebaikan dan pahala yang membahagiakan. Dengan demikian, manusia menjadi lebih baik dan meningkat secara psikis (keimanan) dan secara fisik (keislaman). Peningkatan ini berawal dari keislaman secara lahiriah, lalu meningkat terus menerus sehingga memiliki identitas sebagai orang beriman. Akhirnya, jika tetap meningkat secara kualitas keilmuan dan kuantitas amal, maka tidak mustahil untuk sampai ke tingkat paling bergengsi dalam piramida keimanan dan ketakwaan. Yaitu, tingkat ihsan.
Tingkat pertama adalah Islam secara lahiriah. Tingkat ini disebut sebagai tingkat orang-orang zhalim. Karena orang beriman yang berada pada tingkatan ini masih banyak pelanggaran dan sikap menyelisihi Islam. Artinya, fisik mereka yang shalat, puasa, haji dll. belum disertai dengan keyakinan yang mendalam, yang dapat membuatnya komitmen dengan Islam layaknya tingkat kedua. Sehingga shalatnya belum berfungsi menceganya dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana salah satu fungsi shalat dalam al-Qur’an. Shalat, zakat, puasa, haji, qurban dan  ibadah lainnya, yang disyari’atkan sebagai sarana untuk mengasah ketakwaan belum berfungsi dengan maksimal pada tingkatan atau kelompok ini.
Tingkat kedua adalah tingkat iman yang disebut sebagai muqtashid. Yaitu tingkat kesesuaian antara rutinitas keislaman secara lahiriah dengan tingkat keimanan secara batiniah. Dalam bahasa popular dikenal dengan istiqamah. Yaitu sikap keberagamaan yang merefleksikan komitmen dan konsistensi secara lahir dan bathin dalam lingkup keimanan dan keislaman, yang mengantar seseorang menuju tangga pertama ketakwaan. Tingkat ketiga disebut tingkat ihsan yang disebut sebagai tingkat orang-orang yang senantiasa berlomba-lomba melakukan kebaikan (sabiq bi al-khairat) dengan tingkat profesionalisme tinggi. Profesionalisme yang lahir dari perpaduan antara ilmu yang mapan dan semangat yang senantiasa konsisten dalam jalur keimanan dan ketakwaan hingga berakhirnya jatah hidup di dunia ini. tingkatan ini adalah tingkatan tertinggi keimanan dan tingkatan paling bergengsi dalam piramida ketakwaan. Itulah makna ayat ke- 32 surah Fathir yang segera hadir berikut ini:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32)
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang zhalim (menganiaya diri mereka sendiri dengan banyaknya pelanggaran) dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Fathir [35]: 32)
Ayat di atas memetakan hamba-hamba pilihan Allah yang dikenal dengan orang-orang yang beriman dan bertakwa atau pun dengan istilah berbeda, waliyullah. Orang-orang beriman dan bertakwa ini terbagi menjadi:
A.    Orang-orang beriman yang berkategoridan bertife zhalim. Yaitu mereka-mereka yang banyak melanggar ketentuan Islam secara lahiriah maupun secara batiniah. Sehingga, berdasarkan kategori ini, kelompok atau tingkatan zhlim ini dianggap masih jauh dari ketentuan Islam sejati atau Islam ideal. Dengan demikian, istilah zhalim pantas dikatakan sebagai kategori orang-orang yang banyak berbuaat dosa besar maupun dosa kecil. Sekali pu mereka ini tidak menyadari hal tersebut. Kesadaran tetang perbuatan dosa dan maksiat memang bersifat fitrawi dan tertanam dalam lubuk hati yang dalam. Namun, untuk memahami secara detail dan medalam, dibutuhakn upaya untuk mengenal Islam dengan lebih baik dari sumber-sumber otritatif; baik berdasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah maupun sumber-sumber yang menjelaskan kedua hal itu berdasarkan pada pemahaman kaum muslimin di zaman keemasan Islam (salaf).
B.     Orang-beriman dan bertakwa yang disebut muqtashid. Yaitu orang yang menegah iman dan amalnya. Orang-orang yang searah keimanan hatinya dan fisiknya yang beriman sehingga menjadi orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam lahir dan batin (istiqamah).
C.     Orang beriman dan bertakwa yang mencapai tingkat keimanan maksimal dan amalan yang profesional. Mereka dikenal sebagai orang-orang pionir dalam ilmu dan amal (sabiq bi al-Khaerat). [3]
Ketiga tingkatan ini searah dengan hadits Jibril yang membagi Islam menjadi tiga kategori/tingkatan dengan istilah berbeda.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً  قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ:  أَنْ تُؤْمِنَ بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ  قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ:  أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ  قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ:  مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ  قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ:  أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ  ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ:  يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟  قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَفَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
Dari Umar bin al-Khatthab r.a., dia berkata, ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak di hadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah. Selanjutnya ia berkata, ”Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!" Rasulullah menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata, Engkau benar.” kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya sendiri. Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan!” Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat!” Rasulullah menjawab, “Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Selanjutnya orang itu berkata lagi, ”Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Rasulullah menjawab, “Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu perg sedang aku tetap tinggal beberapa lama bersama Rasulullah. Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?” Saya menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah berkata,Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang ajaran agama Islam kepadamu. [4]
Pada hadits ini, kategori zhalim disebut dengan istilah Islam (aspek lahiriah). Kategori muqtashid diistilahkan dengan iman (sisi bathiniyah). Sedang kategori profesional dikenal dengan istilah ihsan (perpaduan antara Islam dan Iman yang terangkum secara proporsional). Selain istilah tersebut, kita juga mendapati istilah lain untuk untuk ketiga kalangan ini pada surah al-Waqi’ah yang mengandung jannji-janji pahala dan ancaman untuk masing-masing kelompok. Berikut penuturan surah al-Waqi’ah tentang ketiga kelompok tersebut:
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجاً ثَلَاثَةً (7) فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (8) وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ (9) وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ (10) أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (11
Dan kamu menjadi tiga golongan.8. Yaitu golongan kanan (ashabul yamin). Alangkah mulianya golongan kanan itu.9. Dan golongan kiri (ashabul masy’amah). Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.10. Dan orang-orang yang paling dahulu beriman (as-sabiqun), merekalah yang paling dulu (masuk surga). 11. Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah) (muqarrabun). (QS al-Waqi’ah [56]: 7-11).
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil pendapat Ibnu Juraij yang menyampaikan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna firman Allah Swt. [Dan kamu menjadi tiga golongan.] adalah ketiga kelompok yang disebutkan di akhir surah ini dan ketiga kelompok yang disebutkan dalam surah al-Malaikah.” [5]
Yang dimaksud Ibnu Abbas r.a. sebagai kelompok yang disebutkan di akhir ayat adalah firman Allah yang berbunyi, ”Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah) (muqarrabun), 89. maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan. 90. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan (ashabul yamin), 91. maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. 92. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat (mukazzibin dan dhallin), 93. maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, 94. dan dibakar di dalam neraka. (QS al-Waqi’ah [56]: 88-94).
Sedang surah al-Malaikah yang dimaksud Ibnu Abbas r.a. adalah surah Fathir yang telah disebutkan sebelumnya, yang berbunyi, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang suka menganiaya diri mereka sendiri dengan banyaknya pelanggaran terhadap aturan al-Qur’an (zhalim) dan di antara mereka ada yang pertengahan (muqtashid) dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan (sabiq bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS Fathir [35]: 32)
Pada surah al-Waqi’ah yang sedang kita bahas tadi, ketiga kelompok  sebelumnya juga disebutkan dengan istilah berbeda. Untuk kalangan zhalim disebut sebagai ashabul masy’amah. Walaupun ashabul masy’amah ini juga mencakup orang kafir dan munafik, selain orang-orang zhalim dari kalangan kaum muslimin. Kalangan muqtashid disebut sebagai ashabul yamin dan kalangan profesional disebut sebagai as-sabiqun dan al-muqarrabun.
Jika ketakwaan seperti yang dimaknai oleh Sayyid Quthb rahimahullah sebagai sensitifitas hati yang senantiasa sadar dan terjaga, perasaan yang sangat sensitif, khusyu’ secara bekelanjutan, senantiasa menggerakkan fisik untuk maju maupun mundur, senantiasa semangat namun tetap berhati-hati dan waspada, dan senantiasa berhati-hati terhadap duri yang merintangi perjalanan,[6] maka ketika itulah segala kebiasaan, seperti mandi, berpakaian dan makan, menjadi sumber pahala yang tak terbatas. Bukankah prinsip Islam mengatakan bahwa niat yang tulus dan ikhlas dapat merubah kebiasaan menjadi ibadah? Sebaliknya, bukankah kita tidak khawatir jika ibadah murni (mahdah) kita seperti shalat, tilawah dan haji hanya menjadi kebiasaan, gara-gara tidak dilandasi oleh niat dan ketulusan hati?! Lalu kenapa kita tidak memperhatikan hati yang menjadi sumber segala kebaikan, jika dioptimaslisasi dengan iman dan takwa?! Allah telah mengisyaratkan:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّـهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّـهَا
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, 9. sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, 10. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams [91]: 8).
Sensitifitas hati tebangun karena ia telah melakukan pengembaraan spiritual yang mendalam nan jauh hingga terkadang berliku. Kesimpulan perjalanan spiritualnya menegaskan bahwa kebahagian hanya bisa dicerap, kenikmatan hakiki bisa terasa dan kepuasaan bisa didapat jika dia memahami bahwa yang dicintai satu-satu-Nya hanyalah Allah Swt. Allah Swt. dicintai bukan karena murni keimanan dan doktrin spiritualitas semata, tapi karena kesadaran bahwa Dia-lah Dzat yang dengan rahmat-Nya kita senantiasa berharap lebih baik dan karena azab-Nya kita perlu berlidung karena merasa takut dari-Nya.
Ketiga hal ini; cinta yang mendalam kepada-Nya, harapan besar kepada-Nya karena rahmat-Nya Yang Mahaluas dan azab yang ditakuti karena tak terbatas, itulah yang membentuk hakikat dan sendi-sendi ketakwaan dan keimanan. Betul bahwa takwa memprovokasi dan memotivasi seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari keburukan. Namun, itu hanyalah efek dari rasa cinta, harap dan takut kepada Yang Mahabesar itu. Benar bahwa iman adalah sikap menerima dan membenarkan pilar-pilar keimanan, mengucapkannya melalui lisan dengan syahadat yang tulus serta mempraktikkannya dalam keseharian dengan seluruh anggota tubuh. Namun, sekali lagi, itu semua adalah efek dari kesatuan tiga unsur utama ketakwaan dan keimanan yang telah kami jelaskan dan kami paparkan secara singkat sebelumnya.


[1] HR. Muslim, Tirmidzi dan al-Baihaqi.
[2] HR Thabrani. Al-Albani menghasankannya dalam kitab Shahih al-Jami’ ash-Shagir, no. 2097.

[3] Lihat: Qawa’id wa Fawaid min al-Arbain an_nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, (Riyaadh: Dar al-Hijrah Linnasyr wa at-Tauzi’), cet. 6, th. 2000 M./1421H. hal. 334. Lihat pula kitab: Halawah al-Iman, Karya: Abu Raihanah (Muhammad bin Sayyid ‘Abd al-‘Azhim  al-Janzuri), cet.1, th. 2006 M./1427 H. hal. 17
[4] HR. Muslim,  no. 8
[5] Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir, (Riyadh: Dar as-Salam Linnasyr wa at-Tauzi’), cet. 1, th. 2000  M. /1421 H., hal. 1331.
[6] Surah al-Hujurat; Dirasah Tahlilyah wa Maudhu’iyyah, Dr. Nashir bin Sulaiman al-‘Umar, (Dar al-Wathan: Riyadh), cet. 2, th. 1414. H., hal. 227.

1 komentar:

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form