Idrus Abidin, Lc., M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
(STIS) Al-Manar Jakarta
Hakikat
Kehidupan
Kutemukan bahwa hakikat hidup ada pada hidupnya hati. Bahkan
hidupku terasa penuh makna ketika hatiku betul-betul hidup. Shalatku menjadi
khusyu, perasaan dan pikiranku terasa bahagia, jiwaku terasa optimis. bahkan
rutinitas harianku terasa ibadah bagiku. Karena kusadar dengan penuh
pertimbangan kalau aku melakukannya hanya karena Allah. Tetapi aku harus tetap
dan senatiasa berhati-hati serta terus menerus mawas diri agar jangan terpedaya
oleh nikmat-nikmat-Nya. Karena bahagia berlebihan itu salah demikian pula
kesedihan yang berlebihan. Nikmatnya keseimbangan (tawazun) tampak nyata dalam
diri orang-orang shaleh. Kekayaannya bukan pada miliknya secara lahiriah, tapi
hakikat kekayaannya ada pada kepuasannya secara batiniah. Siapa pun merasa
cukup (kaya) dengan Allah maka hatinya akan benar-benar merasakan kecukapan (kekayaan
dan kepuasan hati) yang sebenarnya. Kemiskinan bukan karena kurangnya harta
tapi karena kurangnya iman dan takwa.
Sumber
Kehidupan Hati
Kurasakan bahwa sumber utama kehidupan hati adalah Allah Yang Maha
hidup. Dari-Nyalah kudapatkan kehidupan secara fisik bahkan kehidupan hatiku;
hakikat diriku. Kuyakini dengan
pasti, jika aku melupakan-Nya maka aku pun akan melupakan diriku (Lihat QS
al-Hasyr ayat 19). Karena diriku kukenal karena Dia mengenalkannya padaku.
Untung saja, sekali pun aku lalai dari-Nya, tetap saja Dia tidak lalai dariku.
Aku masih ingat makan, minum, menikah, megurus anak, dll. Itulah karunian-Nya
yang lupa aku syukuri. Walau pun
sebetulnya saya lupa diriku ketika aku lalai dari shalat; terlambat
melaksanakannya dan ketika melaksankannya pun tetap saja aku cuman ingat
kepentinganku dan lalai dari-Nya. Betapa zhalimnya diriku dan betapa bodohnya
daku. Sampai seperti kacang lupa kulitnya.
Bagaimana jadinya kalau Allah biarkan aku lupa diriku lebih dari
sekarang. Hingga kulupa makan, kulupa minum hingga kulupa istri dan anak-anakku
dan semua orang dan semua apa-apa yang ada di sekitarku. Bukankah itu kegilaan sempurna
buatku?! Bagiku itu azab dunia yang sangat hebat, walau pun itu sebenarnya lebih
baik dan lebih pantas untukku. Karena, jika aku gila berarti aku tidak berdosa
saat aku tidak shalat, tidak puasa, tidak haji, dll.
Musibah: Bagian
dari Teguran dan Kasih Sayang Allah.
Kalau aku terus lalai dan melupakan-Nya, padahal; rasioku sehat,
badanku bugar, perasaanku kekar, telingaku aktif dan mataku berfungsi, maka
argo dosa dan maksiat tak akan pernah berhenti, walau sejenak. Kusadari atau
tidak, pasti argo itu bekerja dan terus bekerja, merekam jejak kelalaian dan
kealpaanku dari-Nya. Bisa jadi aku mendapatkan musibah akibat kelalaianku itu.
Tapi aku harus tetap yakin, Allah tidak membenciku dengan kiriman musibah itu. Karena
aku diciptakan dengan kasih sayang-Nya dan aku tidak diciptakan oleh-Nya untuk
disiksa dan diazab. Tapi Ia menciptakanku agar rahmat-Nya sampai kepadaku.
Karena itu, kurasakan kalau musibah yang menimpaku adalah peringatan
dan kasihsayang-Nya padaku. Agar aku tidak terus melupakan-Nya dan lalai
berkepanjangan dari-Nya. Sehingga ibadahku tidak seperti musim kemarau yang
kering dari air kekhusyu’an dan siraman keimanan serta sepi dari belaian
spiritual yang mengenyangkan. Aku khawatir jika teguran dan kasih sayang itu tidak
kurespon dengan baik, aku akan mendapatkan musibah lebih besar lagi. Yaitu
kelalaian yang bertumpuk-tumpuk hingga hatiku gelap gulita; tak tembus cahaya
hidayah. Padahal cahaya hidayah itu senatiasa melingkupiku setiap waktu, tapi
aku sendirilah yang menolaknya setiap kali aku bertemu. Aku terkadang bagaikan
ikan dalam air (kehidupan), mengimpikan air (kehidupan) di luar sana. Padahal
di luar sana tidak ada air (kehidupan) lebih baik dari airku (hidupku) saat
ini. Itulah bentuk kelalaianku. Ampuni hamba-Mu, berikan petunjuk-Mu, karena
kesesatan senantiasa menjadi pilihanku, padahal cahaya hidayah terang benderang
di hadapanku, Wahai Rab-Ku. Amin.
Proses Hidupnya Hati.
Kudapatkan bahwa proses hidupnya hati bermula dari bacaanku tentang
diri-Nya dalam kitab tauhid dan akidah serta fikih dan ahlak. Kulihat bahwa itu semua dan seluruh hakikat
kehidupan; dunia maupun akhirat ada dalam kitab pusaka bernama al-Qur’an dan
manual pendukung utama disebut Sunnah Nabi. Kutelusuri setiap saat karena
kusadar, apa yang kucari dan kubutuhkan semuanya ada pada-Nya. Bahkan
kebutuhanku pada-Nya melebihi kebutuhanku kepada makan dan minum, bahkan
menikah dan memasayarakat. Karena makanku, sekali pun hanya sebatas 3x sehari,
namun jika lebih dari itu bisa jadi aku tertidur atau bahkan makin tersungkur
(lalai). Di saat shalatku, yang wajib saja minimal 5x dalam sehari dan semalam.
Apalagi kalau kutambahkan dengan, sunnah muakkadah, seperti dhuhaa dan
tahajjud. Godaan setan untuk makan dan minum masih bisa kutahan, dibanding
godaannya agar aku bermakasiat kepada Tuhanku. Kusadar, kalau makanan rohaniku
tidak sekencang godaan setan, kuyakin dialah yang akan menggodaku, sedang aku
tak mampu menggodanya masuk Islam; terutama setan manusia. Kebutuhanku
kepada-Nya melebihi kebutuhanku kepada diriku sendiri sekali pun. Karena Dialah
aku ada dan sebab Dia aku mengerti siapa dan apa diriku sesungguhnya, termasuk
segala jenis kebutuhanku untuk kembali kepada-Nya. Kucari dan kupinta semua itu
dari-Nya. Bahkan Dia telah memberiku sebelum aku meminta, memberiku lebih baik dari
yang kuharap, memberiku lebih cepat dari yang kukira. Dia menerima dariku
kebaikan kecil lalu memberiku kenikmatan besar. Sedang aku terkadang mengingkari
dan melupakan kebaikan besar-Nya dan besarnya keburukanku senantiasa
kutunjukkan pada-Nya, setiap saat di banyak tempat.
Makin kukenal diri-Nya makin kerdil aku rasanya. Makin kutahu
tentang-Nya makin malu daku pada-Nya. Sungguh kurasakan betapa tak tahudirinya
aku dan betapa lancangnya aku pada-Nya selama ini. Dunia kadang lebih besar di
mataku dibanding kebesaran-Nya dalam hatiku. Padahal dunia ini diamanahkan
kepadaku agar aku memakmurkannya dengan cahaya keimanan dan semangat kehidupan;
dari hatiku yang bercahaya oleh terang-Nya dan jiwaku yang hidup dari kehidupan-Nya.
Tapi yang kulakukan malah memenuhi fisik dan rumahku dengan kenikmatan fisik
dengan beragam merek dan bermcam-macam model terkini. Sedang hatiku kulapa
mengisinya dengan beragam ilmu akidah dan tauhid serta fikih dan ahlak, dengan
bermacam-macam model buku terkini. Akhirnya, isi hatiku adalah perabot rumahku
dan istri dan anak-anakku. Sehingga hatiku dipenuhi oleh berhala duniawi yang
kubikin sendiri dengan segenap jiwa, seluruh usaha dan semua hidupku.
Nadzubillah. Bahkan, terkadang aku sendiri menjadi berhalanya; denga meminta
orang lain tunduk padaku padahal milikku hanya sebatas fisikku semata. Mereka
suka kekayaan fisikku, sedang mereka lupa kalau akulah orang termiskin hatinya
di kolong dunia ini. Pantas saja mereka begitu cepat melupakanku saat aku
bangkrut. Karena hakikat harapannya ada pada milikku, bukan pada diriku.
Akhirnya, kucemburu kepada ulama dan orang-orang shaleh. Mereka
minim harta terkadang, tetapi orang-orang senantiasa mengejarnya dan patuh
kepadanya. Dia tidak mengenal bangkrut seperti diriku karena ilmunya ada dalam
jiwanya dan kebahagiaannya bukan pada hartanya. Wajah mereka bercahaya padahal
mereka tidak pakai pemutih seperti aku. Mereka bahagia padahal tidak sekaya
diriku. Ketika sakit, betapa banyak yang mengunjunginya dan betapa banyak orang
yang ikut sakit karenanya. Dia dicnitai karena Allah dan dia mencintai mereka
karena-Nya. Ketika meninggal, orang-orang menangis hatinya seperti tangisan
matanya. Lidah mereka seolah tak pernah keluh medoakan ampunan dan keselamatan
untuknya. Padahal, dia sendiri ketika hidupnya, habis-habisan dalam da’a
mengharap ampunan dan keselamatan dari-Nya. Padahal modalnya menghadap Allah
dengan iman dan amal shalehnya; jelas terpampang di mataku. Sedang aku, tak
didoakan ampunan dan keselamatan oleh banyak temanku karena diriku saja malas
meminta ampunan dan kesalamatan kepada-Nya. Padahal, modalku menghadapi
kematian baru berupa rumah, mobil, istri dan anak-anak yang terkesan mewah.
Amalku? Tak begitu jumawa. Itulah salah
satu kerugianku. Anehnya, terkadang aku belum bisa menyesali apalagi bertaubat
sebelum mati.
Tak Mempan
Nasehat, Tanda Matinya Hati.
Kutemukan, matinya hati karena lalai dari al-Qur’an. Diantara fungsi
al-Qur’an, menghidupkan hati yang telah lama mati. Layaknya hujan yang
membasahi bumi hingga tanaman tumbuh kembali. Hatiku rasanya telah mati,
menganggap seruan al-Qur’an tak mempan lagi. Karena di hatiku ada selubung (kekafiran)
yang tidak kumengerti sama sekali. Sedang telingaku, saluran ilmuku, terasa ada
yang menutupi (setan). Orang-orang yang mengeja al-Qur’an padaku kuanggap
berjarak jauh dariku. Kukira ada didinding yang membatasi kami. Kumerasa tidak
akrab dengan mereka, karena kami beda energi. Aku api panas menyengat sedang mereka
air sejuk menyegarkan. Betapa takutnya aku dari mereka; seperti takutnya api
dari air.
Akhirnya, aku mengalah dan tak punya asa. Karena merasa tertekan
dan tak berdaya. Sedang hatiku masih tak menerima. Aku pun menyerahkan segala
hidupku kepada kata terserah. “Silahkan azab aku saja,” kataku. “Aku
sungguh tak tahan mendengar petuahmu wahai pembawa al-Qur’an. Silahkan engkau
urus sendiri dirimu dan tinggalkan aku”, demikian titahku. kutak tahan rusanya mendengar ancaman
kekafiran dan tidak tertarik pula diriku mengharap ridha dan ampunan dari Rab-ku.
Al-Qur’an kembali berseru padaku; pemilik hati yang mati. “Apakah
engkau mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa?! Lalu engkau
jadikan tandingan dan sekutu untuk-Nya. (tunduk patuh kepada selain-Nya dalam
syubhat dan syahwat) Padahal engkau pun sangat menyakini dalam fitrahmu yang
terdalam, bahwa Dialah Pencipta dan Penguasa seluruh alam semesta!” Dia pulalah
yang menegakkan gunung-gunung, sehingga bumi tidak bergetar; melemparkan engkau
tanpa sadar, ke mana pun ia bergoyang; saat menari dan berdansa. Dia pula yang
menumbuhkan tanaman dan buah-buahan di atas bumi itu sebagai makanan pokok yang
mengenyangkan engkau dan memberkatinya sehingga tumbuh berkembang, tanpa pernah
berpantang. Sehingga engkau merasa cukup dengan kebutuhan gizimu”. Setelah itu,
Dia pula yang berkata kepada langit dan bumi; milik-Nya sendiri “Patuhi
perintah-Ku, kalian mau atau tidak!”Tidak ada opsi lain bagi langit dan
bumi, sementara aku diberikan pilihan. Tinggal aku amanah atau khianat,
bersyukur atau kufur. Bumi dan langit lalu dihiasai oleh Allah dengan
perabotnya; bintang gemintang diantaranya. Agar langit tampak indah dan setan
kalau macam-macam dilempar dan dibakar dengannya.
Namun, aku tak bergeming oleh hujjah dan argumen rasional. Petuah
yang mencoba mengguah rasio dan fitrahku, yang tertimbun di balik gumpalan syubhat
dan syahwatku. Hatiku masih mati sehingga terkubur oleh fisikku sendiri. Kini,
al-Qur’an memggunakan bahasa ancaman dan peringatan padaku. “Jika memang
engkau masih ngeyel, ingatlah petir yang telah meyambar kaum ‘Ad dan kaum
Tsamud. Ketika datang kepada mereka nabi-nabi utasan Allah agar mereka jangan
pernah tunduk patuh dan menyembah kecuali kepada yang berhak: Allah ta’ala”.
Namun, aku menolak keras. Bahkan, aku
meminta nabi yang datang itu agar mengikutsertakan malaikat yang akan menegaskan
pengakuannya. Sungguh, permintaan yang tidak akan pernah tercetus kecuali dariku
yang berhati mati. Demikianlah kaum ‘Ad. Mereka benar-benar kafir dan
menyombongkan diri tanpa bukti sama sekali; kecuali argumen klise tanpa
prestise, “Emang siapa yang lebih hebat dari kami?!”(sehingga kami
diancam dan ditakut-takuti). Enatah kenapa, aku juga terkadang merasa, “Siapa yang
lebih hebat dariku!?,” karena kesombonganku. Aku berani nantang. Padahal Allah
yang kuhadapi. Betapa lancangnya aku…..
Allah menjawab perasaanku, dengan jawaban serupa kepada mereka yang
dulu mati hatinya seperti aku, “Bukankah Allah, Sang Pencipta mereka, jauh
lebih kuat!?” Akhirnya, angin kencang nan naas itu berhembus beberapa hari,
sebagai azab agar mereka tau rasa. Padahal, siksaan akhirat jauh lebih membara..
Sama saja dengan kaum Tsamud. Mereka juga sama ngeyelnya. Hidayah diberikan
tapi mereka milih kekufuran. Hidayah mereka tukar dengan kesesatan, sebagaimana
ampunan mereka tukar guling dengan azab. Jadilah mereka sengsara, dalam
penderitaan tiada tara. Sunggub keder
juga aku akhirnya. Naudzubillah. Jauhkan
daku dari mereka dan azab yang menimpa mereka ya Allah. Kini kusadar, telah
lama lalai dari-Mu. Sehingga hatiku sepi dari hidayah dan kakiku berat
melangkah, menuju sorga; ampunan-Mu yang tiada tara.
nice artikel, mantap..
ReplyDelete