Sunday, October 19, 2025

MERAWAT DAN MEMBINA KONSISTENSI (ISTIQOMAH) DI JALAN ALLAH

MERAWAT DAN MEMBINA KONSISTENSI (ISTIQOMAH) DI JALAN ALLAH

Ust. H. Idrus Abidin, Lc., M.A

1.   Pengertian:

§  Ibnu Rajab al-Hambali, “Istiqomah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu Islam, dengan tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Istiqomah mencakup semua ketaatan yang lahir dan yang batin dan meninggalkan semua perkara yang dilarang.[1]

§  Idrus Abidin, “Menetapi jalan yang diridhai dan dicintai oleh Allah, yang mencakup ucapan dan perbuatan; lahir dan batin dengan penuh kejujuran (sidq) dan sikap teguh memenuhi segala janji setia (wafa’ bil ahdi) kepada Allah.

2.   Ragam Istiqomah:

§  Hati

§  Lisan

§  fisik



Rectangle: Rounded Corners: Dari Anas bin Mâlik, dari Nabi Saw., beliau bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. [HR Ahmad, no. 12636]
 

Sumber istiqomah adalah hati yang telah istiqomah kepada Allah, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, menjadikan-Nya tujuan, tumpuan harapan, objek do’a, tawakkal kepada-Nya dan berpaling dari yang selain-Nya. Rasulullah Saw. bersabda: "Ketahuilah, bahwa di dalam badan terdapat segumpal darah. Jika ia baik, maka semua aggota badan akan baik. Jika ia rusak, maka semua anggota badan akan rusak. Segumpal darah tersebut adalah hati" [H.R. Ibnu Majah].[2]

Disebutkan dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id al-Khudri secara marfuu’ dan mauqûf:

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: “Takwalah kepada Allâh di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. [HR Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin 3/17,[3]

3.   Basis Argumen

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka istiqomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. [Hûd/11:112].

وَّاَنْ لَّوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَاَسْقَيْنٰهُمْ مَّاۤءً غَدَقًاۙ

Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup. (QS. al-Jin: 16)

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ

Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku sebuah penejelasan dalam Islam yang tidak akan aku tanyakan lagi kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqomahlah”. [HR Muslim, no. 38].

4.   Keutamaan Istiqomah:

§  Mendapatkan dukungan dan kemudahan dari malaikat [Fush-shilat/41:30] (QS. Al Ahqaaf [46]: 13-14)

§  Mendapatkan kabar gembira saat sakaratul maut

§  Ketenagan hidup sekalipun dengan beragam tantangan pribadi, keluarga, sosial, politik dan dakwah.

5.   Tata-cara meraih istiqomah:

§  Pertama, Meluruskan Niat dan Tujuan. Ketika menjalankan ibadah, hal yang paling utama dilaksanakan adalah niat. Meskipun Anda baru hanya berniat untuk melakukan ibadah tertentu ataupun hal kebaikan lainnya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghitung itu sebagai sebuah kebaikan. Seperti yang tertulis pada hadits yang disabdakan Saw.: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)[4]

§  Kedua, memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (QS. Ibrahim [14]: 27). Makna “ucapan yang teguh” adalah dua kalimat syahadat. Sehingga, Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat;

§  Ketiga, membaca al-Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya. Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Quran itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. An Nahl [16]:102);

§  Keempat, berkumpul dan bergaul di lingkungan orang-orang saleh. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hal yang sangat membantu meneguhkan keimanan para sahabat adalah keberadaan Rasulullah Saw, Allah berfirman yang artinya, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rosul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran [3]:101);

§  Kelima, berdoa kepada Allah ta’ala agar Dia senantiasa memberikan kepada kita istiqomah hingga akhir hayat. Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah Saw. adalah doa, “Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik ” artinya “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz Dzahabi, lihat pula Shahihul Jami’)[5]

§  Keenam, membaca kisah Rasulullah, para sahabat dan para ulama terdahulu untuk mengambil teladan dari mereka., “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud [11]: 120);

§  Ketujuh, Mencintai dan membenci sesuatu karena Allâh;

§  Kedelapan, Saling berwasiat dengan al-haq, kesabaran, dan kasih-sayang;

§  Kesembilan, Meyakini masa depan sebagai dominasi dan milik Islam dan kaum mslimin.[6]

6.   Ciri-Ciri Orang-orang Istiqomah:

§  Rajin belajar Islam (QS. Muhammad: 19);

§  Beriman kepada yang ghaib (rukun Iman) dan mengamalkan rukun Islam (QS al-Baqarah: 1-5);

§  Ahli kebaikan (QS. al-Baqarah:177)

§  Rajin bertaubat & sesegera mungkin meniggalkan maksiat (QS.Ali Imran: 133-136);

§  Berharap Penuh terhadap kebaikan dengan lantunan DO’a (QS Ali Imran: 15-17);

§  Lulus dalam ujian dan tantangan Kehidupan (QS. al-Ankabut: 1-3);

§  Sukses secara duniawi dan akhirat (QS. al-Mukminun: 1-11);

§  Terbebas dari ancaman azab kubur;

§  Meninggal dengan husnul khotimah;

§  Mendapatkan nikmat kubur;

§  Potensi sorga yang menawan.[7]




[1] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, juz 1, hlm. 510, karya Imam Ibnu Rojab, dengan penelitian Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bajis, Penerbit ar-Risalah, Cet. 5, th. 1414 H/ 1994 M. Referensi : https://almanhaj.or.id/4197-istiqomah.html

[5] https://muslim.or.id/507-meniti-jalan-istiqomah.html

[6] https://almanhaj.or.id/4197-istiqomah.html

[7] Idrus Abidin, Jalan Takwa, Amzah, Jakarta, cet. 2, th. 2019, hlm. 132-194.


SEMANGAT MEMBINA DIRI DALAM BERISLAM (MUJAHADAH)

 

SEMANGAT MEMBINA DIRI DALAM BERISLAM (MUJAHADAH)

Penyusun: Idrus Abidin, Lc., M.A

1.      Pengertian.

a)      Istilah mujahadah berasal dari kata jahada-yujahidu-mujahadah-jihad yang berarti mencurahkan segala kemampuan (badzlu al-wus’i). Dalam konteks akhlaq, mujahadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT, baik hambatan yang bersifat internal maupun eksternal.[1]

b)      Mujahadah merujuk pada perjuangan spiritual yang dilakukan seorang Muslim untuk mengendalikan hawa nafsu dan memperbaiki diri agar senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah SWT. Secara lebih spesifik, mujahadah dapat diartikan sebagai upaya sungguh-sungguh untuk melawan godaan-godaan yang dapat menjauhkan seseorang dari ketaatan kepada Allah. Ini mencakup perjuangan melawan hawa nafsu, godaan setan, serta berbagai bentuk keburukan baik yang bersifat internal maupun eksternal.[2]

c)      Mujahadah juga dapat diartikan sebagai perjuangan melawan diri sendiri, yaitu melawan kekuatan pengaruh hawa nafsu yang menghalangi seseorang untuk sampai kepada martabat utama puncak ketakwaan kepada Allah SWT.[3]

d)      Dalam pengertian yang lebih luas, mujahadah juga dapat dipahami sebagai proses pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) yang melibatkan berbagai aspek kehidupan seorang Muslim. Ini termasuk upaya untuk meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki akhlak, serta mengembangkan potensi diri sesuai dengan ajaran Islam.[4]

2.      Konsep Dasar Mujahadah

Untuk memahami arti mujahadah secara lebih mendalam, penting untuk mengetahui konsep-konsep dasar yang melandasi praktik spiritual ini. Berikut adalah beberapa konsep kunci dalam memahami mujahadah:

a)      Perjuangan Melawan Nafsu (Jihad an-Nafs): Ini merupakan inti dari mujahadah. Seorang Muslim dituntut untuk senantiasa melawan keinginan-keinginan nafsu yang dapat menjerumuskan ke dalam dosa dan kemaksiatan.

b)      Pembersihan Jiwa (Tazkiyatun Nafs): Mujahadah erat kaitannya dengan proses pembersihan dan penyucian jiwa dari berbagai penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, dan riya'.

c)      Konsistensi dalam Ibadah (Istiqamah): Mujahadah menuntut konsistensi dalam menjalankan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnah, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

d)      Introspeksi Diri (Muhasabah): Praktik mujahadah melibatkan proses evaluasi diri secara terus-menerus untuk mengidentifikasi kelemahan dan area perbaikan dalam diri.

e)      Pengendalian Diri (Self-Control): Mujahadah mengajarkan pentingnya pengendalian diri dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan dalam menghadapi berbagai godaan duniawi.[5]

3.      Tujuan Mujahadah

a)      Mendekatkan Diri kepada Allah Swt: Tujuan utama mujahadah adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT melalui peningkatan kualitas ibadah dan ketaatan.

b)      Mencapai Kesucian Jiwa: Mujahadah bertujuan untuk membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela.

c)      Meningkatkan Kualitas Keimanan: Melalui mujahadah, seorang Muslim berupaya untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas keimanannya.

d)      Mencapai Keseimbangan Hidup: Mujahadah bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.

e)      Membentuk Karakter Islami: Praktik mujahadah membantu dalam pembentukan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.[6]

4.      Manfaat Mujahadah

a)      Ketenangan Jiwa: Mujahadah membantu mencapai ketenangan jiwa melalui proses pengendalian diri dan penyucian hati.

b)      Peningkatan Kualitas Ibadah: Praktik mujahadah secara konsisten dapat meningkatkan kualitas dan kekhusyukan dalam beribadah.

c)      Perbaikan Akhlak: Mujahadah membantu dalam memperbaiki akhlak dan perilaku sehari-hari.

d)      Penguatan Mental: Melalui mujahadah, seseorang dapat membangun ketahanan mental dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.

e)      Peningkatan Produktivitas: Disiplin yang dibangun melalui mujahadah dapat meningkatkan produktivitas dalam berbagai aspek kehidupan.

f)       Harmonisasi Hubungan Sosial: Mujahadah membantu dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan sesama manusia.

g)      Pencapaian Ridha Allah: Ultimatnya, mujahadah membantu seorang Muslim dalam mencapai ridha Allah SWT.[7]

5.      Objek Mujahadah

Secara terperinci, obyek mujahadah ada enam:

a)      Jiwa yang selalu mendorong sseseorang untuk melakukan kedurhakaan atau dalam istilah Al-qur’an fujur’.

Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa jalan kefasikan dan ketaqwaan.

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

“Dan jiwa serta penyempurnaanya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesunggunya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams 91:7-10)

Jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan kejahatan itulah yang dalam Al-Qur’an disebut dengan nafsu amarah bi as-sui’ (QS.Yusuf 12:53). Jiwa inilah yang mendorong kepada keinginan-keinginan rendah yang menjurus kepada hal-hal negatif.

b)      Hawa nafsu yang tidak terkendali, menyebabkan manusia melakukan apa saja untuk memenuhinya tanpa memperdulikan larangan-larangan Allah SWT. Juga tanpa memperhatikan kemudharatan bagi diri sendiri dan orang lain.

Manusia memang memerlukan hawa nafsu, karena manusia tidak dapat bertahan hidup jika tidak mempunyai nafsu. Tapi memperturutkan hawa nafsu (nafsu makan, minum, seks, mengumpulkan harta, berkuasa dan lain sebagainya) tanpa kendali akan merusak dirinya. Al-Qur’an memperingatkan jangan sampai kita mempertuhankan hawa nafsu.

اَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُۗ اَفَاَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكِيْلًا ۙ اَمْ تَحْسَبُ اَنَّ اَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ اَوْ يَعْقِلُوْنَۗ اِنْ هُمْ اِلَّا كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ سَبِيْلًا

“terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya(dari binatang ternak itu).” (QS.Al-Furqan 25:43-44)

Untuk mengendalikan hawa nafsu diperlukan perjuangan yang tidak pernah mengenal lelah. Karena perang melawan hawa nafsu sendiri jauh lebih berat dari perang menghadapi musuh dari luar.

c)      Syaithan yang selalu menggoda umat manusia untuk memperturutkan hawa nafsu sehingga mereka lupa kepada Allah SWT dan lupa pada diri mereka sendiri.

Tentang ini Allah SWT mengingatkan:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah dia musuhmu, karena syaithan-syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir 35:6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ  إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaithan. Sesunggunya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2:208)

d)      Kecintaan terhadap dunia yang berlebihan sehingga mengalahkan kecintaan kepada akhirat. Padahal keberadaan manusia di dunia hanya bersifat sementara. Secara individual sampai ajal menjemput, dan secara umum sampai kiamat datang. Kehidupan yang abadi adalah alam akhirat.

Kecintaan yang berlebihan kepada dunia menyebabkan orang takut mati, dan selanjutnya tidak berani terjun ke medan jihad berperang melawan musuh. Allah bderfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ  أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ  فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah”, kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dun ia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah 9:38)

e)      Orang-orang kafir dan munafik tidak akan berpuas hati sebelum orang-orang beriman kembali menjadi kufur, Allah SWT menyatakan:

وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ  فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sebagian besar Ahlul Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul)dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-baqarah 2: 109)

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ  قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ  وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…” (QS.Al-Baqarah 2: 120)

f)       Para pelaku kemaksiatan dan kemunkaran tidak hanya merugikan mereka sendiri, tapi juga merugikan masyarakat. Perbuatannya dapat mengganggu dan menghambat orang lain melakuklan ibadah dan amal kebajikan. Untuk itulah orang-orang yang beriman diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.Ali ‘Imran 3: 104) [8]

6.      Cara Mujahadah

Secara garis besar ada tiga cara mujahadah. Yang pertama, sebagai landasan teoritis, berusaha sungguh-sungguh:

a)      Memahami hakikat jiwa dan bagaimana pengaruh kebaikan dan keburukan yang dilakukan terhadap kesucian jiwa. Kemudian mengenal dan mencintai Tuhan Sang Pencipta Jiwa, terutama dengan mensyukuri segala kenikmatan yang dikaruniakan-Nya;

b)      Menyadari bahwa hawa nafsu harus dikelola dengan baik, sehingga akan berakibat positif untuk kebaikan diri. Tapi jika dibiarkan tak terkendali akan merusak;

c)      Menyadari dan mengingat selalu bahwa syaithan tidak akan pernah berhenti menjerumuskan umat manusia dengan segala macam cara;

d)      Menyadari segala kenikmatan hidup dunia belum ada artinya dibandingkan dengan nikmat di surga. Oleh sebab itu janganlah mengorbankan lebih banyak untuk mencari yang sedikit dan jangan meninggalkan yang abadi untuk hal fana;

e)      Menyadari bahwa sebagian orang kafir dan munafik tidak berdiam diri manakala orang beriman belum mengikuti pandangan dan sikap hidup mereka, maka diperlukan sikap tolong-menolong dalam menghadapinya

f)       Menyadari bahwa kemaksiatan dan kemungkaran kalau dibiarkan akan dapat merusak masyarakat dan menghancurkan segala kebaikan yang sudah susah payah dibangun.

Kedua, melakukan amal ibadah praktis yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW untuk memperkuat mental spiritual dan meningkatkan semangat juang untuk menghadapi tantangan di atas. Amalan-amalan praktis itu antara lain adalah:

a)      Sering mendirikan shalat malam atau Qiyam al-Lail karena shalat malam sangan efektif untuk meningkatkan semangat juang dan ketahanan mental spiritual (QS.Al-Muzzammil 73:1-5; Al-isra’ 17:19);

b)       Mengerjakan puasa sunnah Senin, Kamis atau Puasa Nabi Dawud, juga puasa sunnah lainnya (Hadist);

c)      Membaca Al-Qur’an secara rutin dan diikuti dengan pemahaman dan perenungan isinya (QS.Yunus 10:57; Muhammad 47:24);

d)      Berzikir dan berdo’a, terutama mohon perlindungan Allah SWT dari godaan syaithan (QS.Al-Anfal 8:45; Al-Mukmin 40:60; Al-A’raf 7:55; An-Nas 114: 1-6)

Ketiga, untuk menghadapi hambatan dari luar adalah dengan jihad, mulai dengan jihad dengan harta benda, ilmu pengetahuan, tenaga, sampai kepada jihad dengan nyawa (perang fi sabilillah) (QS.Ash-Shaf 61:10-13).

Demikianlah, barangsiapa yang bermujahadah pada jalan Allah SWT, maka Allah akan memberikan hidayah kepadanya (QS. al-‘Ankabut 29:69)

وَمَن جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ 

“Dan barangsiapa yang bermujahadah, maka sesungguhnya mujahadah itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [9]

7.      Praktik Mujahadah dalam Kehidupan Sehari-hari

Berikut adalah beberapa cara praktis untuk mengintegrasikan mujahadah ke dalam rutinitas harian:

  1. Bangun Pagi untuk Tahajud: Membiasakan diri bangun sebelum subuh untuk melaksanakan shalat tahajud sebagai bentuk mujahadah dalam ibadah.
  2. Membaca Al-Quran Setiap Hari: Menetapkan target membaca Al-Quran setiap hari, meskipun hanya beberapa ayat.
  3. Puasa Sunnah: Melaksanakan puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Daud sebagai bentuk pengendalian nafsu.
  4. Zikir dan Doa: Membiasakan diri untuk berzikir dan berdoa di waktu-waktu tertentu sepanjang hari.
  5. Kontrol Emosi: Berusaha mengendalikan emosi negatif seperti marah, iri, atau dengki ketika berinteraksi dengan orang lain.
  6. Sedekah Rutin: Menyisihkan sebagian penghasilan untuk bersedekah secara rutin.
  7. Menjaga Lisan: Berhati-hati dalam berbicara, menghindari ghibah, fitnah, atau perkataan yang tidak bermanfaat.
  8. Manajemen Waktu: Mengatur waktu dengan baik untuk memastikan ada keseimbangan antara ibadah, pekerjaan, dan istirahat.
  9. Belajar Ilmu Agama: Menyediakan waktu untuk mempelajari ilmu agama, baik melalui kajian, membaca buku, atau mendengarkan ceramah.
  10. Introspeksi Harian: Melakukan muhasabah atau evaluasi diri setiap malam sebelum tidur.[10]

Dengan menerapkan mujahadah dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim dapat secara bertahap meningkatkan kualitas spiritualnya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.



[3] Makna Mujahadah untuk Membangun Spiritualitas Manusia" selengkapnya https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7308093/makna-mujahadah-untuk-membangun-spiritualitas-manusia.

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form