الثلاثاء، 25 يونيو 2019

Sejarah Puasa Lintas Peradaban Samawi.



By. Idrus Abidin.

Puasa adalah paket ibadah langit (samawi) yang telah ada sejak zaman dahulu. Persis seperti shalat, zakat, qurban, haji dll. (QS al-Maidah : 48 dan Al-Baqarah : 183). Fungsinya secara vertikal menguatkan sensitivitas ketakwaan dan rasa syukur atas karunia dan nikmat ilahi.  Secara sosial kemasyarakatan, puasa berperan sebagai daya rekat yang menghubungkan tali kekeluargaan antara muslim dengan keluarganya secara nasab dan mengokohkan ikatan keislamannya dengan sesama muslim dalam ikatan ukhuwah dan persaudaraan. Karena demikian adanya, puasa memiliki latar belakang sejarah dalam lintas peradaban agama samawi. Yahudi dan Nasrani adalah kalangan ahli kitab yang tentunya akrab dengan tradisi ini, seandainya mereka tidak menyimpang dari jalur shiratal Mustaqim. Berdasarkan sejarahnya, puasa melalui 4 tahapan sebelum kita mengenal tradisi puasa sebagai mana yang kita praktekkan hari ini. 

1. Puasa hari-hari putih (ayyamul bidh) dan 10 Muharram (Asyuraa'). 

Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau beserta kalangan sahabat membiasakan diri puasa 3 hari berturut-turut setiap bulan hijriah; hari ke-13, 14 dan 15. Rutinitas ini diiringi dengan puasa Asyuraa' yang telah menjadi budaya dalam internal kaum Yahudi di kota Madinah di sekitar wilayah Khaibar. Puasa yang mereka lakukan sebagai wujud rasa syukur terhadap bebasnya nabiyullah Musa beserta kaum muslimin di zamannya dari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya. Puasa hari-hari putih sendiri, berdasarkan informasi valid yang dituturkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, sudah ada sejak nabiyullah Nuh alaihissalam. 

2. Puasa Secara Opsional.

Memasuki tahun ke-2 hijriah di Madinah, beberapa bulan setelah pengalihan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah di kota Makkah, perintah puasa; tepatnya di bulan sya'ban turun agar kaum muslimin memulai tradisi baru di bulan Ramadhan. Maka dengan suka rela mereka berpuasa pada tahun tersebut sesuai puasa kalangan ahli kitab; jika magrib tiba, mereka berbuka dengan riang gembira. Namun, jika mereka tidur atau ketiduran, baik sebelum atau setelah waktu isya maka mereka terhitung mulai imsak (puasa) hingga magrib berikutnya. Namun, model puasa seperti ini masih bersifat opsional. Karena siapa pun yang merasa tidak sanggup, boleh membatalkan puasanya dengan melakukan fidyah sebagai ganti puasa. Maka tidak heran, ketika perang Badar terjadi; ketika itu bertepatan dengan tahun ke-2 hijriah saat awal puasa ramadhan diperintahkan, ada sebagian sahabat yang fidyah puasa dan ada juga tetap puasa. Sekalipun fidyah dijadikan solusi opsional, tetap saja Allah mengutamakan puasa dibanding fidyah ini (QS Al-Baqarah : 184). Terutama kalangan muda yang masih segar dan jiwa masih kokoh. Tapi apa pun alasannya, tahapan ini memberikan penegasan betapa Allah memberlakukan setiap aturan syariat baru melalui serangkaian tahapan agar memudahkan hambaNya (at-tadarruj fit tasyri').

3. Puasa Secara Mutlak Tanpa Sahur. 

Setelah jama'ah kaum muslimin baru tersebut melaksanakan tradisi puasa di bulan mulia, sejumlah masalah terjadi. Ada yang kadang masih makan dan minum padahal sudah tidur. Ada juga yang masih berhubungan intim dengan pasangan sahnya setelah tidur di malam hari. Umar bin Khattab radhiyallahu anhu termasuk yang melanggar larangan bermesraan dengan pasangan di malam hari ramadhan setelah salah satu dari suami istri tertidur. Maka, di pagi hari, Umar langsung menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melaporkan kesalahannya dengan penuh penyesalan sekaligus menanyakan solusinya. Namun, ketika itu langit belum memberikan solusi dan jawaban tertentu. 

Salah seorang muslim bersuku Anshar bernama Shirmah al-Anshari pulang dari kebunnya. Di rumah, ia menunggu waktu berbuka dan istrinya sedang mencari makanan untuk berbuka. Ternyata, karena kecapekan sehari bekerja, ia tertidur hingga lewat waktu Magrib. Saat istrinya datang, makanan tidak bisa lagi dinikmati. Maka, ia melanjutkan puasa hingga hari berikutnya. Tampak kepayahan menyeruak di wajahnya karena puasa 2 hari berturut-turut tanpa makan dan minum (seperti puasa wishal).  Dengan beragam kejadian ini, dengan Rahmat dan kasih sayangNya, Allah memberikan keringanan (rukhsah). Kaum muslimin diizinkan makan minum dan juga berhubungan suami istri di malam hari hingga waktu azan subuh berkumandang. Bahkan, sahur pun dianjurkan dengan janji berkah bagi yang melakukannya demi kemudahan puasa. Keringanan ini bisa dibaca di surat Al-Baqarah ayat 187. Bahkan, Allah menyebutkan bahwa mereka yang mengkhianati diri sendiri dengan makan dan minum serta berhubungan suami istri padahal sudah tidur di malam hari ; diketahui oleh Allah. Namun, Allah mengampuni (tawwab) mereka sekalipun hanya dengan penyesalan hati dan mencari solusi seperti Umar. Juga Allah memaafkan mereka ('afaa anhum) tanpa syarat, tapi murni karena kelembutan dan kebijakan Allah Ta'ala. 

4. Puasa Sesuai Yang Berlaku Sekarang. 

Dengan adanya keringanan ini, hanya kaum muslimin yang memiliki tradisi sahur dan tidak berpuasa di malam hari. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, tidak mendapatkan karunia dan keberkahan sahur sebagai mana yang dinikmati kaum muslimin sejak era Rasulullah hingga akhir zaman. Itulah salah satu makna dari kemudahan dan kekhususan ajaran Islam dibanding agama serumpun ; Yahudi dan Nasrani. Selain kemudahan puasa, muslim juga mendapatkan perlakuan khusus seperti dihalalkannya shalat di seluruh penjuru bumi (bukan hanya di tempat ibadah saja seperti ahli kitab), dibolehkannya tayammum sebagai pengganti wudhu dalam kondisi tertentu, dihalalkannya harta rampasan perang (ganimah) dll. Semoga kemudahan ini juga bagian dari kemudahan kita terhindar dari neraka dan kemudahan masuk surgaNya. Aamiin. 

Stasiun Citayam, 5 Mei 2019. 

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :
1. FB : Idrus Abidin
3. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Telegram Channel : Gemah Fikroh.

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال