الثلاثاء، 25 يونيو 2019

Antara Maksiat dan Rahmat Allah (Lupa Diri dan Istidraj)



By. Idrus Abidin.

Hidup di dunia ini memang ujian. Ujian kesadaran dan kesabaran. Sadar mengikuti kebenaran dan saling menguatkan di atas konsistensi dengan berbekal lautan kesabaran. Karena pelaku maksiat pun membela diri dengan beragam kekuatan; ilmu, kedudukan dan kekayaan.  Merasa diri sedang membela kebenaran dan harga diri. Yakin sedang melakukan kebaikan dan perbaikan. Percaya diri sebagai reformis sejati tanpa cacat hati dan trac record keberutalan. Justru yang mereka yakini sedang merusak dan propokator adalah pihak sebelah. Bukan mereka. Demikianlah perasaan orang Munafik di zaman Rasulullah Saw. Tidak bisa dilarang ketika menebar kerusakan dengan nifaknya. (QS Al-Baqarah 11) Tidak menerima disuruh beriman secara total tanpa kepalsuan dan pencitraan semata. Beriman layaknya Rasulullah dan para sahabatnya dianggap kebodohan. (QS Al-Baqarah 13) Sementara mereka merasa pintar; tak mungkin mudah beriman dengan celotehan Rasulullah, layaknya sahabat yang kurang akal itu, menurut mereka. Orang munafik tidak pernah merasa bersalah, apalagi menyesal. Jangan pernah tunggu mereka bertaubat. Karena hal itu mustahil dalam kamus kemunafikan. Mereka mudah menuduh pihak lain sebagai perusak. Lihatlah Fir'aun. Dia menuduh nabi Musa sebagai perusak dan pengacau negara. Bahkan, menuduh beliau gila beneran dan gila ketenaran. Mereka semua itu jebolan terbaik universitas Iblis dengan keahlian suka menuduh pihak lain bersalah dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan mereka sendiri. Jangankan nabi dan para pengikutnya, bahkan Allah saja mereka tuduh bersalah karena telah menyesatkan mereka. Hanya pernyataan terakhir ini yang mengandung sedikit kejujuran (merasa tersesat), tapi itupun hanya umpan untuk menyalahkan Allah. Betul sekali firman Allah yang berbunyi, 'Maukah kalian mengetahui orang paling buruk perbuatannya?! Orang yang sikapnya salah dalam dunia ini, namun mereka yakin sepenuhnya sedang melakukan kebaikan". (QS al-Kahfi: 103-104)

Rahmat Allah Melenakan dan Melalaikan Pelaku Maksiat.
Apapun di dunia ini pasti Rahmat Allah. Allah memang sangat pengasih dan maha penyayang. Bahkan, dosa dan maksiat seperti kufur, nifaq, pencurian, zina, riba, sombong, syirik juga terjadi karena rahmat Allah. Rahmat dalam artian diizinkan terjadi dan diulur hingga waktu tertentu, tanpa azab, teguran dan sanksi berarti. Itulah bagian dan bentuk rahmat Allah di dunia ini. Sehingga tak sedikit pelaku dosa merasa Allah tidak ada. Bahkan mereka kadang menantang, kalau Allah betul ada, tunjukkan siksaanNya sekarang juga. Mereka lupa, hidup ini ujian. Dengan rahmatNya, Allah menunda azab selama ujian ini masih berlangsung. Seperti kita ketika ujian, walaupun salah tidak langsung diberi balasan. Sekalipun lupa tidak langsung sanksi diberlakukan. Itulah makna ujian dan rahmat Allah di dunia ini. 

Dibiarkan Tak Berarti Diridhai. 

Terjadinya maksiat dan dibiarkannya para pelaku dosa tanpa disegerakan azab oleh Allah tak berarti Allah ridha dan lupa serta tidak mengetahui semua kejahatan itu. Allah dengan hikmahNya memilih agar ketaatan dan kepatuhan kepadaNya tidak sekedar karena rasa takut yang ditebar kepada para pelaku maksiat dengan azabNya. Allah ingin agar ibadah manusia murni karena kecintaan kepadaNya, karena penuh harap kepada rahmatNya dan ditambah rasa takut kepada azabNya (ikhlas). Itulah tiga paket ibadah resmi di dunia ini. Dan itu pula makna ujian dan tujuan hidup kita sebagai hamba. Menunjukkan rasa cinta, membuktikan rasa butuh terhadap rahmatNya dan menampakkan rasa takut terhadap azabNya. Itulah keikhlasan yang menjadi syarat utama dan pertama ibadah kita, selain mengikuti Rasulullah secara utuh.

Jika para pelaku dosa diazab dengan segera ketika mereka bermaksiat, saat mereka kafir dan munafik maka hidup ini tidak akan berlangsung lama. Karena mereka semua segera mati oleh dosa dan maksiatnya sebelum sempat menikah dan berkembang biak (QS Fathir : 45) Hidup ini tidak lagi berfungsi sebagai lahan ujian, tapi berubah jadi surga semata. Bahkan ibadah dari orang-orang yang tulus cintanya kepada Allah, murni harapannya kepadaNya dan total rasa takutnya; hanyalah teori semata. Akhirnya, ibadah manusia hanya karena takut azab saja. Hikmah dan tujuan  hidup ini hanya penyiksaan; tidak ada lagi kasihsayang Allah. Allah tidak lagi maha lembut (latif) dan tidak pula maha halus (rauf) kepada hambaNya. Allah hanya sebagai tukang bantai (muntaqim) dan penuh kesombongan (mutakkabbir). Subhanallah. Sungguh Allah maha suci dari semua kegilaan seperti ini. 

Rahmat Allah di Dunia, Istidraj Bagi  Orang-Orang Lalai. 

Ketika para pelaku maksiat mengamuk dengan beragam pelanggaran mereka, gembok jiwa makin kokoh menutupi setiap celah-celah hidayah yang ada di hati. Akhirnya, hidup mereka diliputi oleh kesombongan dan lupa diri. Mereka tidak merasa takut sedikit pun kepada Allah. Tak ada rasa butuh dan keinginan sedikit pun untuk mengharap rahmatNya. Harga diri mereka hanya sebatas materi; kekayaan dibanggakan dan diandalkan. Kedudukan dianggap gengsi yang melambungkan citra diri. Kekuatan dianggap terus menerus terjamin tanpa pernah terancam oleh kelemahan dan kematian. Akhirnya egoisme menjadi sikap resmi. Mereka menjadi makhluk yang dibenci Allah karena tersesat jalan dan tak memiliki orientasi hidup selain bumi ini (materi). Langit sebagai kiblat kebenaran (spiritual) tak lagi berarti. Akhirnya, mereka tidak lagi ditegur oleh Allah dengan sayangNya berupa musibah dan bencana yang umumnya menyadarkan manusia yang masih ada secercah iman pada kedalaman hatinya. Tapi mereka dibiarkan dalam gelapnya lorong kelalaian yang berkepanjangan. Bahkan, terkadang mereka terus diberi umpan kenikmatan yang mereka tidak sadari sebagai jebakan setan menuju lorong-lorong neraka jahanam. Mereka merasa bahagia dan bangga dalam dosa dan maksiat. Akhirnya, mereka mati dalam kekafiran dan kemusyrikan. Naudzubillah. 

Allah Tidak Lupa dan Tak Mungkin Lalai.

Orang-Orang lalai dan lupa diri ini mengira Allah tidak ada. Padahal, Allah menunda mereka murni karena bentuk ujian sehingga terbukti trac record mereka sebagai pecinta dan pengasong keburukan (QS Muhammad : 31). Allah membiarkan mereka agar dosa dan maksiatnya memenuhi catatan sehingga alasan untuk menyiksa mereka dalam neraka pun tak lagi bisa diragukan (QS Ali Imran : 178). Allah membiarkan mereka dalam jeratan dan perangkap dosa agar mereka mendapatkan siksa di akhirat yang membelalakkan mata akibat ngerinya yang luar biasa (QS Ibrahim : 42).

Setan Mengelabui, Menipu dan Mengibuli Manusia (Musang Berbulu Domba).

Makin lalai manusia dari Allah semakin mudah mereka terperangkap dalam jebakan dan tipu daya setan. Mereka akan terus dikibuli dengan beragam gengsi dan harga diri sehingga tidak mau menerima nasehat. Segala tindak tanduknya dianggap sebagai kebenaran dan ditujukan untuk ketenaran. Setan tampil sebagai teman setia yang seolah tulus agar manusia mendapatkan harapan dan keinginan duniawi mereka. Seperti ketika berusaha Mengibuli Adam dan Hawa dengan nasehat rasional penuh jebakan. Bahwa pohon itu sengaja diblacklist Allah dari menu makanan agar mereka tidak menjadi malaikat yang kekal menghuni surga. Namun, ketika larangan  itu dilabrak Adam dan Hawa; justru mereka dengan segera disuruh meninggalkan surga. Demikianlah musang yang berbulu domba berusaha menjebak buruannya yang kehilangan pegangan, prinsip dan keyakinan (iman).

Orang-Orang Ikhlas Tak Akan Terperangkap dalam Jebakan Setan. 

Orang-orang ikhlas adalah mereka yang hatinya sensitif dan merasakan nikmat dan segala yang dimilikinya sebagai bentuk cinta dan kasih sayang Allah kepadanya. Mereka itulah yang senantiasa menyebut-nyebut nama kekasihnya (Allah) pada setiap tempat dan dalam beragam kondisi dan keadaan. Ketika berdiri, saat duduk dan bahkan ketika berbaring sekali pun (QS Ali Imran : 190-191). Mereka itulah orang-orang yang disebut ulul albab dan ulul Abshar; melek hati dan matanya. Telinganya rindu nasehat. Nalarnya mudah menangkap rasionalitas Islam yang berbalut dengan fitrah suci manusia. Orang-orang seperti ini, setan tidak merasa punya nyali dan kehilangan kepercayaan diri untuk bisa merecokinya. Sekalipun bisa memperlambatnya dari ketaatan sesekali, namun penyesalan dan istighfarnya kembali menutupi keterlambatan tersebut di catatan malaikat. Bisa jadi terkadang jatuh dalam kubangan dosa. Tapi tiba-tiba kesadarannya kembali membuatnya taubat dan istighfar. Maka, dosa itu berganti dengan kebaikan yang memenuhi catatan (QS al-Furqan : 79). Di saat makan, bismillah diucapkan. Setannya jadi kelaparan. Saat tidur, bismika allahumma ahya wa amut, dibaca. Setan tak lagi punya akses untuk mengganggunya. Demikianlah seterusnya. Akhirnya orang-orang ikhlas menjadi manusia merdeka dari tekanan dan penyesatan Iblis dan setan serta semua konco-konconya. Mereka hanya tunduk dan patuh penuh cinta, penuh harap akan rahmatNya dan sangat merasa ngeri karena takut akan bahaya siksaNya. Semoga kita termasuk orang-orang ikhlas yang membuat geram setan karena ketulusan cintanya kepada zat ilahi Rabbi. Allahumma amiiiin. 

Jakarta, 31 Mei 2019 (26 Ramadhan)

🌷🌷🌷🌵🌵🌵🍄🍄🍄

Ikuti update status nasehat dari kami via :

1. Telegram Channel : Gemah Fikroh.
2. YouTube Channel : Gema Fikroh.
4. Facebook Sudah Full Pertemanan.

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال