Thursday, January 10, 2019

Pujian (Tahmid), Permohonan Ampunan (Istighfar) dan Do'a.


Hidup ini sudah jamak dipahami sebagai ujian. Bentuknya berupa ibadah ketika terkait dengan Allah. Tanggung jawab bila itu berkenaan dengan Akhirat. Ujian jika itu mengenai kehidupan. Adil dan Ihsan saat berhubungan dengan makhluk, terutama manusia sebagai khalifah. Eksplorasi tanpa henti demi wujudnya kemudahan ibadah, tanggung jawab, ujian, adil dan ihsan; jika ia berkaitan dengan alam semesta. 

Ketaatan Berbalut Cinta.

Karena puncaknya adalah ibadah, maka turunannya pun sama. Atas dasar inilah semua bentuk hubungan itu berlangsung. Dulu, kini dan nanti. Ibadah yang isinya adalah kepatuhan terhadap perintah dan larangan. Namun, bukan itu saja. Tapi harus ditemani oleh cinta sebagai tuas penggerak. Namanya ikhlas. Cinta tanpa kepatuhan hanyalah  hoaks. Karena cinta itu selalu butuh pengorbanan (tadhiyah).

Siapa yang mencinta, dia pasti berkorban. Allah sangat cinta hambaNya. PengorbananNya begitu melimpah. Hanya mereka yang berfitrah suci memahami cinta Allah dan pengorbananNya ini dengan pasti. Maka, ia memujiNya dengan tahmid dan tasbih. Itulah ibadahnya. Shalat, puasa, zakat dll itulah syukurnya; wujud kepatuhan dan bukti kecintaan.

Pujian dan Memahasucikan.

Allah dipuji karena ZatNya disebut tahmid. Sedang pujian karena nikmat-NikmatNya dinamai syukur. Begitulah keduanya berbeda, meskipun bersatu dan searah pada objeknya (berterima kasih pada Allah). Poros ibadah memang ada pada pujian atas segala kesempurnaan Allah. Bisa dengan tahmid maupun dengan menyebut nama dan sifat-sifatNya. Serta bisa pula dengan semua ibadah yang dibebankan Allah kepada seluruh makhlukNya.

Di al-Fatihah saja, Allah dipuji karena Dia Tuhan semesta Alam (rabbul 'alamin). Sang maha pengasih dan penyayang (rahman dan rahim). Sang penguasa hari kebangkitan (Maliki yaumiddin). Hamdalah puncak rasa cinta, rahman rahim mewakili harapan hamba atas kasih sayang Allah. Sedang mulkiyahNya terhadap hari kiamat menghasilkan rasa takut pada jiwa. Menyatulah 3 unsur ibadah sekaligus: (1). Cinta Allah, (2), berharap rahmatNya, (3), takut azabNya. Maka jangan heran jika setelah ayat ini, hanya ada pernyataan  tauhid dalam ibadah dan tauhid dalam do'a; murni untuk Allah semata. Itulah iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in.

Selain pujian dengan tahmid, Allah juga diagungkan dengan meniadakan kemungkinan hal-hal negatif dan segala kekurangan yang mungkin terbetik pada diri makhuk terhadap zat Allah yang maha sempurna. Disebut dengan tasbih, taslim (as-Salam), taqdis (al-Quddus). Maka, kadang dalam satu surah saja, pujian dan penyucian Allah menyatu dengan sempurna. Surat Al-Ikhlaslah contohnya. Ketika kita mengucapkan huwallahu Ahad (Dialah Allah yang maha esa) maka itu adalah pujian atas ketuhanan dan kesaanNya. Allahus Shamad (Allah tempat bergantung segala sesuatu) maka kita memuji kekuasaan, kekayaan dan kehebatanNya, sekaligus menegaskan ketergantungan dan kebutuhan makhluk secara zat kepadaNya setiap waktu, setiap detak jantung dan detik pergantian waktu; dalam siklus kehidupan seluruh makhluk . 

Saat kita mengatakan lam yalid walam yulad (Allah tidak beranak dan tidak pula diperankan), saat itu kita sedang memahasucikanNya dari kebutuhan terhadap anak, istri teman dll. Padahal Allah maha kaya dan serba bisa. Tidak butuh makhlukNya sedikit pun; sebagai istri, anak atau apapun selamaNya. Bahkan, ketika ada yang mengatakan Allah punya anak, perempuan lagi (pula); langit beserta semua struktur bumi ini hampir-hampir runtuh seketika, seandainya Allah dengan kasih sayangNya tidak menyetop bumi dan langit. Demikianlah Ampunan Allah kepada makhluk, sekali pun mereka berhak mendapatkan azab karena kelancangan dan keberanian mereka kepada penguasa alam semesta. 

Manakala kita membaca walam yakun lahu kufuwan Ahad (sungguh tidak ada yang setara, selevel dan sepadan dengan Allah), maka kita benar-benar sedang menegaskan kesaanNya dalam segala hal. Dialah yang maha unik pada setiap aspekNya. Tidak ada kesempurnaan bagi makhuk kecuali Allah jauh lebih sempurna dan lebih layak menyandang kesempurnaan tersebut. Tidak ada keagungan bagi siapapun kecuali Allah memuncakinya. Tidak ada keunggulan kecuali Allahlah sang pemiliknya. Dialah identitas kesempurnaan dan zat paling ideal di alam ini (al-Matsal al-A'laa). Inilah yang disebut dalam ilmu tauhid sebagai analogi kesempurnaan dan keutamaan (qiyas aulawi). Karena Allah tidak mungkin dianalogikan dalam bentuk kesetaraan (tasybih dan tamtsil) dengan apa pun dan dengan siapa pun di dunia ini dan di akhirat nanti.

Keagungan Allah, Kekerdilan Manusia.

Beribu dan bertubi-tubi ayat yang mendorong agar kita memuji dan memahasucikan Allah. Ada yang berbunyi, agungkanlah Tuhanmu yang maha tinggi (Sabihisma rabbikal a'laa). Mahasucikanlah Allah setiap saat (sabbihuhu bukratan wa ashila) dan ayat-ayat serupa. Bahkan dalam shalat, sebagai identitas pokok keislaman kita, umumnya hanya pengagungan terhadap kebesaran Allah. Mulai dari takbir, iftitah, potongan pertama al-Fatihah hingga takbir di setiap perpindahan gerakan shalat, tasbih pada saat ruku' dan sujud, tasmi' (samiallahu liman hamidah) saat kita bangkit dari ruku', tahiyyat ; semuanya untuk keagungan dan kebesaran Allah. 

Bagian kita hanya paruh kedua al-Fatihah, doa saat duduk, Allahumma igfirli Warhamni wa'afini wa'fu 'anni (Ya Allah, ampuni, kasihanilah, selamatkan dan maafkan hambaMu), do'a sesaat sebelum salam, seperti ungkapan do'a, "Allahumma inni audzu bika min azabi jahannam wa min azabil qabri wa min fitnatil masihid Dajjal" (Ya Allah, aku berlindung dari ancaman siksa neraka, azab kubur, ancaman fitnah hidup dan kematian serta bahaya laten Dajjal)

Ungkapan Cinta dalam Do'a.

Do'a dan zikir, serta permohonan ampunan juga selalu diawali atau diakhiri dengan lantunan pujian, selaksa pengangungan dan cerminan penyucian. Semua itu adalah pernyataan cinta dan sayang kepada zat yang maha sempurna dalam segala hal. Setelah itu, barulah sang hamba merasa berhak mengemis rahmat, meminta kucuran kasih sayang dan memohon secuil kekayaanNya. Maka do'a adalah ibadah. Karena ia menyatukan keagungan Allah dengan kekerdilan makhluk sekaligus.

Siapa pun malas berdo'a dan ogah menunjukkan kebutuhannya  kepada otoritas yang maha segalanya, maka seolah dia makhluk sempurna dan tidak butuh kepada Allah. Padahal, seluruh total hidupnya hanyalah karunia Allah. Di hadapanNya, manusia hanyalah makhluk yang penuh kelemahan, beribu kekurangan, berjuta kehinaan. Tanpa kelebihan, tiada kuasa, tanpa daya dan tidak memiliki identitas apa pun selain kehampaan dan kehambaan. Itulah hakikat asli manusia sebagai hamba yang selalu butuh Allah seutuhnya dan selamanya. Dan, itu pula yang akan memuliakan dirinya di hadapan manusia. Kelak di akhirat dia akan bangga sebagai manusia bertakwa dengan beragam kemuliaan dan sejuta penghargaan. Bukankah Allah sudah menegaskan, "Makhluk termulia adalah yang paling bertakwa?!". (Inna akramakum 'indallahi atqakum)

Berserah Diri Seutuhnya Kepada Otoritas Mutlak (Tawakkal).

Akhirnya, manusia hanya bisa berserah diri sepenuh hati kepada penciptanya, setiap saat pada semua tempat. Tidak ada peluang kemerdekaan, celah kebebasan dan kesempatan menjauh apalagi melarikan diri dari Allah. Kecuali mereka yang tak tau diri, tak punya hati, buta, tuli dan bebal.  Semuanya akan pasti kembali kepadaNya; mau atau tidak, senang atau terpaksa. Tidak ada rujukan lain, tiada poros pertemuan dan tidak mungkin ada tempat berlindung dan wilayah persembunyian yang tidak diliput oleh ilmu, pandangan, pendengaran, pengelihatan dan kekuasaan Allah. 

Manusia hanya pantas bertawakal, mengandalkan Allah pada setiap gerak nafas, detak jantung, ayunan langkah, betik pikiran dan seluruh lintasan harapan. Dia tidak pantas mengandalkan ilmu, keahlian, kekuasaan, kehebatan, kekuatan dan kelebihan apa pun kecuali setelah menyerahkan diri sepenuhnya serta mengakui kekerdilannya di hadapan Allah SWT, yang maha hebat.

Bahasa resmi orang-orang bertakwa dalam konteks ini adalah la Haula wala quwwata illabillah (tidak ada daya dan tidak ada upaya selain kuasa Allah). Itulah tugas pokok kita sebagai hamba; ibadah dan tawakkal. Semoga kita amanah dan jauh dari khianat. Amiiiin.

By. Idrus Abidin.
Jakarta, Jum'at, 04 Januari 2019

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form