Oleh : Agus Shalahuddin.
Mahasiswa STIDA al-Manar Jakarta.
A. Pendahuluan.
Penerapan tawakkal dari ungkapan kata menjadi realitas kongkrit memang sangat sedikit, ini dikarenakan sedikitnya pemahaman atas makna tawakkal. Padahal tawakkal sendiri sering diucapkan dalam banyak moment. Walaupun demikian kita tetap berusaha untuk mengetahui makna tawakkal ini, Insya-Allah.
Tawakkal kepada Allah merupakan kesempurnaan dan tanda iman, karena Allah I berfirman:
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)
Oleh sebab itu iman tidak bisa dipisahkan dengan tawakkal. Artinya bila seseorang beriman kepada Allah I pasti akan bertawakkal kepada Allah I.[1]
B. Definisi Tawakkal.
Secara bahasa Tawakkal merupakan asal dari kata وكالة (perwakilan). Dikatakan:
وَكَّلَ فُلاَنٌ أَمْرَهُ إِلَى فُلاَنِ.
yakni ‘Fulan menyerahkan urusannya kepada Fulan dan bersandar kepadanya dalam urusan itu.’ Dan menurut istilah tawakkal adalah ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang diwakilkan.[2]
Sedangkan makna Tawakkal disini adalah kita melimpahkan urusan kita kepada Allah U. Tawakkal juga berarti percaya kepada Allah I, beriman kepada kemampuan, kekuatan dan ilmu-Nya. Jadi, tawakkal ialah bersandar secara total kepada Allah I dan hasilnya ialah beriman secara nyata kepada nama dan sifat-Nya.[3] Sehingga kita dituntut untuk berusaha dahulu, baru berserah kepada Allah I.
Ibnu al-Qayyim mengatakan,” Tawakkal merupakan separuh agama dan separuhnya lagi adalah inabah (taubat). Agama itu terdiri dari isti’anah (memohon pertolongan dan ibadah). Tawakkal merupakan isti’anah sedangkan inabah adalah ibadah.[4]
Tawakal yang paling baik adalah tawakkal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan agama. Ini merupakan tawakkalnya para Nabi dalam menegakkan agama Allah I dan menghentikan kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Diantara mereka ada yang bertawakkal kepada Allah I untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan sesuap nasi. Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada Allah I untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah I, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah I, maka apa yang diperolehnya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan ke-maslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakkalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya.[5]
Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “Tawakkal itu ada tiga derajat, pertama tawakkal itu sendiri, kedua berserah diri, dan yang ketiga adalah pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah I, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah I dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya. Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orang-orang mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali, dan pasrah merupakan sifat muwahhidîn[6]. Tawakkal merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad b.”[7]
C. Hakekat dan Keutamaan Tawakkal.
1. Hakekat Tawakkal.[8]
Pada hakekatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakekatnya itu tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Perkara-perkara pada hakekat tersebut adalah :
Pertama, Mengetahui Allah I, sifat, kekuasaan, kecukupan, ke-sendirian, dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki seorang hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal.
Kedua, Menetapkan sebab dan akibat. Tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Siapa yang mengingkari sebab, berarti tawakkalnya tidak benar. Namun tawakkal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata dan memutuskan hubungan hati dengan Allah swt.
Ketiga, Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakkal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakekat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal.
Keempat, Menyandarkan hati kepada Allah I dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga didalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya. Tandanya, ia tidak perduli saat menghadapi sebab itu atau saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disuka dan menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah I dan ketenangannya bergantung kepada-Nya, telah melindungi dirinya dari ketakutan.
Kelima, Berbaik sangka kepada Allah I. Seberapa jauh baik prasangka kita terhadap Allah I, maka sejauh itu pula tawakkal kita kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakkal dengan baik sangka terhadap Allah I. Yang benar, baik sangka ini mengajak kepada tawakkal. Sebab tawakkal tidak bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah I atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.
Keenam, Ketundukkan dan kepasrahan hati kepada Allah I serta memotong seluruh perintangnya. Karena itu ada yang menafsiri tawakkal ini dengan berkata, “hendaknya seorang hamba dihadapan Allah I seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, yang membolak balikan jasadnya menurut kehendaknya, dan tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur.
Ketujuh, Pasrah. Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakekatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah I , tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan karena dipaksa atau terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah I seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan melindunginya.
2. Keutamaan Tawakkal.
Banyak keutamaan/keistimewaan tawakkal yang di kisahkan dalam Al-Qur`an, diantaranya kekaguman kita dengan firman Allah I di surat Maryam, yaitu:
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Maryam: 25)
Bagaimana mungkin Maryam dalam kondisi nifas,[9] lelah, capek setelah melahirkan, tapi mampu menggoyang pohon kurma? Padahal kita tahu pohon kurma amat kokoh, namun ia lakukan. Inilah bentuk ketawakkalan Maryam kepada Allah I.
Bagaimana peran Allah I dalam kemenangan di salah satu peperangan terjadi, ketika Nabi Muhammad b mengambil segenggam debu dan melemparkannya ke wajah orang-orang kafir sehingga mengenai seluruh mata orang kafir.[10] Allah I jelaskan dalam Al-Qur`an:
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (al-Anfal: 17)
Allah I tidak memperhitungkan ataupun menganggap lemparan Rasulullah b, hanya saja Allah I menghendaki usaha tersebut pada Rasulullah b. inilah bentuk ketawakkalan Rasulullah b. Hal yang sama juga terjadi pada tongkat Nabi Musa a.
Al-Hafidz dalam al-Fath menyampaikan dari ath-Thaibi dalam bentuk redaksi yang bijak, yaitu melarang kita meninggalkan usaha dan memerintahkan kita untuk melakukan ibadah yang diwajibkan atas seorang hamba, serta memperingatkan kita terhadap perkara-perkara ghaib, agar kita tidak menjadikan kepasrahan itu sebagai ibadah dan meninggalkan pelaksanaan.[11] Inilah yang dipahami oleh para shahabat dalam sebuah hadis Nabi b dari Ali d:
عَنْ عَلِيٍّ d قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا مَعَ النَّبِيِّ b وَمَعَهُ عُودٌ يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ، وَقَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ أَوْ مِنْ الْجَنَّةِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ: أَلَا نَتَّكِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: لاَ، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ. ثُمَّ قَرَأَ: ]فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى [(الليا: 5) الْآيَةَ.
dari Ali d mengatakan: kami duduk-duduk bersama Nabi b yang ketika itu beliau membawa tongkat yang beliau gunakan untuk memukul-mukul di tanah, kemudian beliau bersabda: “Tidaklah salah seorang diantara kalian selain telah ditentukan tempat tinggalnya di neraka atau di surga.” Berkata seorang laki-laki diantara kaum itu: ‘Kalau begitu, kita pasrah saja ya Rasulullah?’ beliau bersabda: “Jangan, beramallah kalian, sebab semua orang telah dimudahkan,” Kemudian beliau membaca ayat: “Adapun orang yang memberikan hartanya lantas bertaqwa.” (al-Lail: 5).[12]
Setelah disampaikan ayat (al-Lail: 5) ini, lalu para sahabat saling berkata satu sama lain “Kalau begitu, harus bersungguh-sungguh.”[13]
Allah I berfirman:
“Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” ( Ali Imran: 122)
Dan berfirman:
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (At-Thalaq: 3)
Dalam sebuah hadis, Nabi b menyebutkan bahwa diantara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Beliau bersabda:
هُمْ الَّذِينَ لاَ يَسْتــَرْقُونَ، وَلاَ يَتــَطَيَّرُونَ وَلاَ يَكْتــَوُوْنَ وَعَلَى رَبــِّهِمْ يَتــَوَكَّلُونَ.
“Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah minta untuk di ruqyah, tidak pernah bertathayur (menganggap sial pada binatang) dan tidak pula melakukan terapi dengan kay (terapi dengan menempelkan besi panas pada daerah yang sakit), sedangkan kepada Rabb mereka bertawakkal.”[14] (HR. Bukhari)
Dan hadis dari Umar bin Khaththab dalam ash-Shahih:
حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ ابْنِ هُبَيْرَةَ، عَنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ b يَقُولُ: لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا.
Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Lahi’ah, dari Ibnu Hubairah, dari Abu Tamim Al Jaisyani dia berkata: Saya mendengar Umar berkata: “Saya mendengar Rasulullah b bersabda: “Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rizki terhadap burung, ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.”[15] (HR. Ibnu Majah)
Dari sinilah tentunya kebahagaian hakiki akan didapat ketika tawakkal diterapkan diseluruh aspek kehidupan, karena ada berbagai keutamaan atau kistimewaan didalamnya dan kabar gembira untuk yang menerapkan.
Berikut ini beberapa keutamaan tawakkal, yaitu:[16]
Pertama, ia punya kans besar masuk ke kelompok tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab.
Kedua, pengenalannya kepada Allah I meningkat ketika kita merealisir nama dan sifat Allah I, seperti Al-Qadir (Mahakuasa), Al-Razzaq (Pemberi rizki), Al-Muhyi (Dzat yang menghidupkan), dan lain-lain.
Ketiga, tidak melakukan syirik, karena yang utama adalah Allah I.
Keempat, semakin ridha dengan taqdir Allah I. ini adalah kepasrahan total hati kepada-Nya.
Kelima, hatinya tidak lagi takut kepada makhluk.
Allah I berfirman:
“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali Imran: 173)
Keenam, semakin mendapatkan petunjuk, dilindungi dari hal-hal buruk, dan seluruh kebutuhannya dicukupi. Rasulullah b bersabda:
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ: بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ. قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ
“Jika seorang laki-laki keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah’.” Beliau bersabda: “Maka pada saat itu akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan dan mendapat penjagaan’, hingga setan-setan menjauh darinya. Lalu setan yang lainnya berkata, ‘Bagaimana (engkau akan mengoda) seorang laki-laki yang telah mendapat petunjuk, kecukupan dan penjagaan.”[17] (HR. Abu Dawud)
Itulah ketentuan Allah I dalam mencurahkan tenaga, agar makna hakiki tawakkal terealisir dengan manis.
D. Fenomena Tawakkal.
Harus dipahami, bahwa fenomena tawakkal itu bukan kepasrahan pasif, pasrah tanpa ikhtiar. Tetapi adalah kepasrahan aktif, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada ketulusan Allah I setelah melakukan usaha sekuat tenaga.
Fenomena tawakkal akan berpengaruh besar terhadap seorang hamba, sehingga aktifitas seorang hamba yang bertawakkal tidak lepas dari empat fenomena berikut ini:[18]
1. Mendatangkan manfaat. Yaitu dengan melakukan aktifitas dan usaha dengan penuh kepastian, keyakinan, dan perencanaan yang terukur. Seperti, mengulurkan tangan ketika hendak makan, membawa bekal ketika hendak bepergian dan melakukan perencanaan ketika hendak usaha.
2. Mempertimbangkan sebab dengan mempersiapkan kebutuhan. Terlebih jika mempunyai tanggungan orang yang harus diberi nafkah. Seperti, menyimpan bahan pokok.
3. Mencari sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat. Melakukan hal-hal agar tidak membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Seperti, tidak boleh tidur di sarang binatang buas.
4. Usaha menyingkirkan mudharat. Dengan menjaga diri ataupun orang lain. Seperti, kepastian air minum yang dapat menghilangkan dahaga, dianjurkannya untuk berobat dan tidak melakukan pengobatan yang tidak syar’i.
E. Macam-macam Tawakkal.
Harap diketahui bahwa tawakkal itu ada beberapa macam:[19]
a. Tawakkal kepada Allah I. Ini merupakan kesempurnaan iman dan salah satu ciri kebenaran. Hukumnya wajib dan iman tidak sempurna kecuali dengannya.
b. Tawakkal terselubung. Yaitu seseorang menggantungkan diri kepada mayit dalam mendatangkan manfaat dan menangkal madharat, apakah mayit tersebut seorang nabi, wali, atau thaghut musuh Allah I. Ini merupakan syirik akbar.
c. Tawakkal dengan menggantungkan kepada oarang lain dalam hal yang bisa dilakukan oleh orang itu, diiringi dengan perasaan akan tingginya derajat seseorang dibanding dirinya. Ini merupakan bentuk syirik asghar.
d. Mewakilkan orang lain dalam hal perkara yang memang boleh diwakilkan. Tindakan ini tidak berdosa. Berdasarkan firman Allah I:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya…” (Yûsuf: 87)
F. Cara Menggapai Tawakkal.
Cara menggapi tawakkal harus di bangun diatas nilai-nilai tauhid. Dan tauhid memiliki tingkatan yang berbeda[20], yaitu:
Tingkatan yang pertama, hati harus membenarkan sifat wahdaniyah Allah I, kemudian diaplikasikan melalui kata-kata:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرِ.
“Tiada ilah selain Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujian. Dia (Allah) berkehendak atas segala sesuatu.” Lalu membenarkan lafadz ini, meski tidak mengetahui dalilnya.
Tingkatan yang kedua, hendaknya melihat hal yang berbeda-beda, berasal dari satu sumber. Ini maqam orang-orang yang ingin dekat kepada Allah (al-mutaqarrabûn).
Tingkatan yang ketiga, hendaknya seseorang ketika melihat sesuatu dengan mata hatinya, lalu meyakinkan pada diri, bahwa semua hanya dari-Nya, dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut, kepada-Nya dia berharap dan kepada-Nya dia bertawakkal. Sebab hanya Allah-lah yang pada hakekatnya bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya, semua tunduk kepada-Nya.
Semua makhluk didalam kekuasaan sang Khaliq. Maha Suci Engkau, wahai Yang Menciptakan segala sebab dan berkuasa berbuat apapun menurut kehendak-Nya.
G. Tawakkal Bagi Aktifis Dakwah.
Tawakkal dalam urusan dakwah berbeda dengan tawakkal pada Allah I dalam masalah rizki, pernikahan, dan kebutuhan dunia. Tawakkal dalam urusan dakwah kali ini adalah menyampaikan amanah yang gagal diemban langit, bumi, dan gunung. Tawakkal disini ialah bersandar kepada-Nya saat para pembela kebathilan berkonspirasi untuk melarang para pembela kebenaran menyampaikan dakwah. Ya, bersandar dan melimpahkan segala urusan kepada Dzat paling kuat, Dzat yang berfirman kepada sesuatu “jadilah,” maka sesuatu itu menjadi ada, Dzat yang punya kekuasaan yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia cabut dari siapa saja yang Dia kehendaki, Dzat yang tidak dilemahkan oleh sesuatu apapun yang ada di bumi dan langit, dan Dzat yang melihat da’i-da’i-Nya saat mereka menghadap kepada-Nya dan mendekat kepada-Nya di sujud mereka guna berdoa kepada-Nya agar Dia menolong mereka dan menyokong mereka dalam menyampaikan dakwah.[21]
Allah I berfirman kepada Nabi b:
“Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan’. Dan bertawakkal-lah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat). dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(Asy-Syuara’: 216-220)
Di dalam Fidzilal Sayyid Quthb mengatakan, “Jangan gubris pembangkangan mereka, sembari menyatakan lepas tangan dari amal perbuatan mereka, menghadap kepada Rabb-mu, bersandar kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam semua ini. Allah menyifati diri-Nya dengan dua sifat yang dia ulang-ulang disurat ini, yaitu Maha Perkasa dan Maha Penyayang. Hati Rasulullah b pun merasa tenang dan dekat dengan-Nya. Sebab, Dia melihat beliau saat saat beliau berdiri untuk shalat, di barisan jama’ah yang sujud, saat sendirian, dan berada di jama’ah shalat berguna mengatur mereka, mengimami mereka, dan pergi dari mereka”.[22]
Wallahu a’lam.
[1] Al-Bilali, Abdul Hamid, Taujih Ruhiyah Jilid 1. Penerjemah Fadhli Bahri (Jakarta: An-Nadwah, 2008), h. 27. Lihat juga, Ismail, Anshary, Jalan Islam Transformasi Akidah Dalam Kehidupan. (Jakarta: An-Nur Books Publishing, 2008), h. 270.
[2] Al Maqdisy, Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (Menggapai Kebahagiaan Hidup Dunia dan Akhirat). Penerjemah Irfanuddin Rafi’uddin, Lc.(Jakarta: Pustaka as-Sunnah 2008) h. 585. Dalam redaksi yang sama lihat juga, Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa. Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. (Jakarta: Rabbani Press, 2008), h. 331.
[3] Al-Bilali, Abdul Hamid, Taujih Ruhiyah Jilid 1. h. 27. Lihat juga, Ismail, Anshary, Jalan Islam Transformasi Akidah Dalam Kehidupan. h. 270.
[4] Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Madarijus Salikin. Penerjemah Kathur Suhardi. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 240.
[5] Ibid, h. 241.
[6] الموحّدين ; orang-orang yang meyakini atas keesaan Allah. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), h. 1543.
[8] Ibid, h. 243-246. Lihat juga, Abdul Hamid, Al-Bilali, Taujih Ruhiyah Jilid 2. Penerjemah Fadhli Bahri (Jakarta: An-Nadwah, 2003), h. 248-252.
[9] ‘Amr bin Maimun berkata: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih baik bagi orang-orang yang nifas kecuali kurma kering dan kurma basah.’ Kemudia dia membaca ayat yang mulia ini. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5. Penerjemah M. Abdul Goffar E.M., dkk. (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2003), h. 325.
[10] Ketika perang Badar , saat beliau keluar dari ‘arisy (tenda) setelah beliau dengan khusyu’ memanjatkan do’a, permohonan dan kepasrahannya kepada Allah I, lalu beliau lemparkan segenggam debu itu kepada orang-orang kafir sambil bersabda: “Buruk sekali muka-muka kalian.” Kemudian Rasulullah b memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan penyerangan setelah itu dengan sebenar-benarnya, lalu mereka melakukannya, maka Allah I pun menyampaikan lemparan itu ke mata orang-orang musyrik, sehingga tidak seorangpun dari mereka kecuali terkena lemparan debu itu, sehingga mereka sibuk mengurusi matanya, lupa terhadap keadaannya. Karena inilah Allah I berfirman dalam surat al-Anfal, ayat: 17. Maksudnya, Allah I yang menjadikan debu itu sampai kepada mereka dan Allah I juga yang menyibukkan mereka dengan debu itu, bukan kamu. Ibid, Jilid 4. h. 23.
[11] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Bâri Syarah Shahih Bukhari jilid 32. Penerjemah Amir Hamzah. (Jakarta: PustakaAzzam, 2009), h. 72.
[16] Taujih Ruhiyah Jilid 1. h. 31-32.
[18] Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, h. 588-593.
[19] Hawin Murtadlo dan Salafuddin Abu Sayyid, Syarah Tsalatsatul Ushul: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerjemah Muhammad Albani (Solo: Al-Qowam, 2005), h. 82-83.
[21] Taujih Ruhiyah Jilid 2, h. 57-58.
[22] Quthb, Sayyid, Tafsir Fi-Zhilalil Qur`an. Penerjemah M. Misbah dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. (Jakarta: Robbani Press, 2009), h. 242. Lihat juga Taujih Ruhiyah Jilid 2, h. 57-59.
0 komentar:
Post a Comment