الأربعاء، 22 فبراير 2012

ASPEK MUNASABAH DAN KESATUAN TEMA DALAM AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN SARJANA AHLI





             Oleh : Idrus Abidin, LC., MA

       
         Al-Qur’an bagi ummat Islam merupakan sumber utama dalam melihat berbagai fenomena kehidupan. Berdasarkan sejarah turunnya,  al-Qur’an membutuhkan waktu selama kurang lebih 23 tahun. Turunnya alqur’an dengan rentan waktu demikian telah menimbulkan protes orang-orang kafir. Karena dalam tradisi kenabian yang mereka kenal selama ini, wahyu selalu diturunkan kepada nabi pilihan dengan sekali waktu. Sedangkan dalam internal ummat Islam, hal itu dipandang sebagai alasan bahwa upaya untuk menelusuri kesatuan tema  merupaka upaya pemaksaan teks dan karenanya, upaya demikian hanyalah sia-sia. Sebagai anti tesis terhadap pandangan mayoritas sarjana , Izzat Darwaza berusaha mendekati pemaknaan  dengan pendekatan tafsir berdasarkan  pada ururtan turunnya ayat. Upaya ini sesungguhya dibangun berdasarkan asumsi bahwa mendekati makna  berdasarkan urutan turunnya akan memberikan kesatuan antara runtutan pembahasan dan latar belakang sebuah kejadian. Dari sisi ini, tentu upaya demikian akan memberikan gambaran utuh tentang tahapan proses pendidikan yang diarahkan langsung oleh Allah swt. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Allah sendiri dengan hikmah-Nya menghendaki susunan  berdasarkan pada sumbernya di lauh al-Mahfudz.
Setidaknya, ada dua kelompok besar para sarjana  terkait dengan kesatuan tema al-Qur'an. Kelompok pertama adalah mereka-mereka yang memandang tidak adanya kesatuan tema dalam al-Qur'an. Sedang kelompok kedua adalah mereka yang memandang bahwa kesatuan tema dalam al-Qur'an sangatlah nyata keberadaannya.
Berdasarkan sejarah, Fakhruddin al-Razi adalah ahli tafsir pertama yang memiliki perhatian besar dalam hal ini.[1] Al-Razi berusaha membuktikan kepada halayak pembaca bahwa  memiliki keterkaitan antara ayat-ayatnya dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Hal demikian, dalam anggapanya, memberikan singnifikansi kuat tentang aspek kemukjizatan  itu sendiri.[2] Setelah itu, al-Syatibi juga termasuk seorang ahli yang memiliki perhatian besar dalam hal ini. Ia beranggapan, waluapun ayat-ayat  al-Qur’an memuat beragam permasalahan dalam satu surat tetapi tetap saja memiliki satu tema utama yang menyatukan berbagai permasalahan yang ada. Selain itu ia juga menyinggung ragam surat terkait dengan kesatuan tema ini. Menurutnya, terdapat ayat  yang hanya memiliki satu topik pembahasan dan ada pula yang mencakup beragam permasalahan. Namun demikian, tetap ia darangkum dalam satu tema besar yang melingkupi semua cabang-cabangnya. Bagi al-Syatibi, turunnya sebuah surat secara lengkap atau pun runtun dalam interval waktu yang lama tidaklah merupakan sebuah permasalahan.[3]
Al-Biqa’I juga termasuk ahli yang dikenal memiliki perhatian besar terhadap aspek munasabah dalam al-Qur’an. Leawat karyanya, Nazm al-Durar Fi Tanasub al-Aiy wa al-Suar ia berusaha menampilkan pola hubungan antara ayat dalam satu surah dan antara surah dengan surah lainnya. Menurutnya, aspek terpenting dalam mengemukakan korelasi antara ayat adalah kajian yang berusaha mengungkap sebab-sebab, faktor-faktor yang menentukan tata letak suatu kata dalam sebuah ayat dan posisi ayat dalam suatu surah. Kajian seperti ini, dalam pandangan al-Biqa’I, akan memberikan gambaran utama tentang posisi sebuah ayat dengan ayat-ayat lainnya, baik setelah maupun sesudahnya.[4] Dalam elaborasi tafsirnya, al-Biqai mengawali langkahnya dengan mengutarakan tema utama sebuah surah. Setelah itu, ia berusaha membagi ayat-ayat yang ada dalam lingkup surah menajadi beberapa bagian dengan berusaha merumuskan hubungan antara masing-masing bagian dalam sebuah kesatuan yang utuh.[5]
Pada zaman modern, kajian tentang relevansi ayat dan surah dengan ayat dan surah lainnya juga mendapatkan porsi besar dalam kajian kequr’anan. Dalam hal ini, Muhammad Abduh dianggap sebagai pionir yang berusaha meyoroti berbagai hubungan antara tema utama sebuah surat dan hubungannya dengan kandungan berbagai ayat. Keterlibatan Abduh dalam hal ini dibangun berdasarkan asumsi pokok bahwa ayat-ayat  tentu saling menafsirkan. Selain itu, Abduh juga memliki keyakinan bahwa  indikasi utama yang menunjukkan makna suatu kata adalah ; pertama, adanya keterkaitan/kesesuaian  dengan ayat sebelumnya. Kedua, adanya kesesuaian dengan kumpulan makana yang ada. Sedang ketiga adalah kesamaan dengan tema sentral yang diusung oleh  suatu surah secara umum. [6]
Sebagai anti tesis terhadap pandangan para pendukung kesatuan tema al-Qur’an, sejumlah ahli mengemukakan beberapa alasan dibalik ketidaksetujuan mereka terhadap upaya menyatukan tema-tema al-Qur’an. Dalam hal ini, mereka beralasan bahwa ayat-ayat  meruapakan sesuatu yang berdiri sendiri. Di samping itu, ayat-ayat  yang tergabung dalam sebuah surat banyak yang turun dalam interval waktu yang relatif berjauhan. Demikian pula halnya masing-masing surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Tidaklah ada kemestian wujudnya kesesuaian dan korelasi antar masing-masing surah. Bahkan usaha untuk menemukan sejumlah indikasi yang menguatkan hubungan antara masing-masing bagian yang disebutkan di atas hanyalah merupakan tindakan pemaksaaan terhadap ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an.[7]
Di antara ahli yang ditengarai memiliki kecendrungan seperti ini adalah Syamsuddin al-Sakhawi. Hal ini adalah akibat dari penentangan al-Sakhawi terhadap upaya yang dilakukan oleh al-Biqa’I dalam menemukan aspek munasabah dalam berbagai surah dan ayat al-Qur’an. Bahkan dalam penilaiannya, langkah demikian merupakan upaya konyol, nekat dan hanya mengandalkan nalar dalam menginterpretasi al-Qur’an.[8] Selain al-Sakhawi, Izzuddin Abdissalam juga dipandang tidak memiliki ketertarikan terhadap upaya menemukan kesatuan tema al-Qur’an. Hal ini berdasarkabn pada asumsinya bahwa mencari kesatuan tema  secara menyeluruh hanyalah upaya sia-sia dan membebani diri dengan sesuatu yang berada di luar kemampuan. Meski demikian, Izzuddin tidaklah mengingkari adanya kesesuaian antara ayat dengan ayat lainnya. Ia hanya memandang bahwa kesatuan tema yang berusaha dilacak pada semua surah-surah  al-Qur’an merupakan pemaksaan. Dalam asumsi Izzuddin, turunnya ayat dengan jarak waktu yang berbeda jauh, ditambah lagi dengan aspek hukum yang berbeda dan dengan latar belakang yang berbeda pula merupakan bukti kuat bahwa tidaklah mesti ada hubungan antara masing-masing ayat dan surah yang terdapat dalam al-Qur’an.[9]
Selain tokoh di atas yang kontra terhadap unitisasi tema-tema al-Qur’an, al-Syaukai juga tampaknya spendapat dengan mereka. Dalam penafsirannya terhadap ayat 40 dari surah al-Baqarah terdapat beberapa indikasi yang membuktikan sikap al-Syaukani ini :
1.         Syaukani memandang bahwa kesatuan tema dalam  tidalah memliki signifikansi apa-apa.
2.         Fihak-fihak yang telah berusaha keras untuk menunjukkan eksistensi kesatuan tema  telah terjebak dalam pemaksaan teks  agar sesui dengan tema-tema tertentu yang dimaksud. Sikap demikian merupakan kezhaliman teradap teks dan merupakan uapaya kontraproduktif. Atas dasar inilah, ia tidak setuju terhadap langkah al-Biqa’I dalam hal ini.
3.         Turunnya  al-Qur’an dengan rentang waktu yang relative berjauhan dan pada kondisi yang berbeda pula. Hal ini menunjukka bahwa pembahsan masing-masing kelompok ayat tentu berbeda pula.
4.         Keberadaan ayat-ayat  dalam sebuah surah tidaklah menunjukkan adanya rangakaian tema tertentu, tetapi relaitas memnunjukkkan bahwa dalam setiap surah terdapat pembahasan yang variatif, seperti masalah ibadah, muamalah, akhlak dan bahwa sekedar pengarahan.
5.         Uapay harmonisasi antara ayat dan surah dengan surah lainya bisa menimbulkan ekses negatif bagi kalangan yang lemah keimanannya.[10]
Tidak jauh berbeda dengan pendapat ini, sarjana non muslim umumnya juga memandang  sebagai tidak runtut dan cenderung melelehkan. Sebut saja misalanya pandangan Thomas Carlyle, sebagaimana kutipan H.A.R Gibb, yang melihat bahwa  melelahkan, menjemukan dan cendrung campur aduk dan tidak memliki fleksibilitas dengan berbagai ruang dan waktu.[11]
Ignaz goldziher juga memiliki pandangan yang sama. Baginya, selama periode Abu Bakar dan Utsman, periode di mana  mulai dibukukan, para penulis  yang ditugasi untuk mengumpulkan berbagai ayat yang berserakan mulai langkahnya dengan uapaya yang sangat ganjil. Hanya ayat-ayat makkiyah yang tertualah, yang menjadi landasan peribadatan Rasulullah sebulum hijarahnya ke kota madinah,  yang lepas dari keganjilan ini. Sebabnya adalah surah-surahnya yang pendek dan merupakan bagian yang berdiri sendiri. Hal yang menyebabkan minimnya kesalahan dan keganjilan tersebut. Adapun sura-surah madaniah, maka tampaknya pada beberapa ayat-ayat tertentu sring ditemukan ketidakselarasan dan tidak adanya harmonisasi antar masing-masing ayat. Kondisi demikian banyak menyisahkan kesulitan bagi ahli tafsir yag datng kemudian, terutama mereka yang meyakini adanya kesatuan tema dalam . Bagian-abgian kitab suci ini, terutama kelompok surah-surah madaniyah sering tidak memperliharkan adanya koherensi dan keterkaitan.[12]
Salah saeorang guru besar Universitas Sarbon Prancis bernama Regis Blacer mengangap  al-Qur’an sebagai kitab yang paling banyak menimbulkan kekacauan pikiran bagi para pembacanya.[13] Blacer juga mengklaim bahwa  al-Qur’an adalah kitab yang mengadung beragam tema. Dan ditemukan kesulitan untuk menemukan relasi antara berbagai tema yang variatif terebut. Contoh yang diangkat Blacer untuk mendukung pendapatnya tersebut adalah surah an-Nur. Yaitu surah yang memiliki beberapa tema utama, pertama tema perzinahan, kedua hubungan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, ketiga tema tentang pancaran cahaya yang berssumber dari Allah, dan keempat adalah pembahasan tentang kekuasaan Allah swt. menurut asumsi Blacer antara ayat 34 hingga ayat 56 tidak bisa ditemukan hubungan sama sekali.[14]
 Wallahu a'lam.






[1] Rif’at fauzi abd al-Muththalib, al-wahdah al-maudhuiyyah li as-Suwar al-Qur’aniyah, hal.12.
[2] Fakhruddin al-razi, Mafatih al-Ghaib, (Bairut : Dar al-Fikr), Th.1991, juz 27, h.139.
[3] Abu Bakar Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Tahqiq : Abdullah Dirraz, ( Haiah al-Misriah al-A’mmah), th.2006, vol.3,hal. 350-352.
[4] Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’I, Nazm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa al-Suar, (Kairo : Dar al-Kitab al-Islami), tth. Vol.1, hal.5-6.
[5] Ziyad Khalil al-Damagani, al-Tafsir al-Maudhu’I wa manhajiyyat al-Bahtsi Fihi, (Oman : Dar al-Ammar), th.2007, hal.217.
[6] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-manar, (Kairo : Dar al-manar), th.1954, cet.1, vol.1, hal.22
[7] Muhammad Ahmad Said al-Athras, al-Wahdah al-Maudhuiyyah fi  al-karim wa al-Surah al-Qur’an iyyah, (Iskandaria : Dar al-Qimmah), th.2008, hal.293.
[8] Mahmud Taufiq Muhammad Sa’ad, al-imam al-Biqa’I wa Minhajuhu Fi ta’wil balaghati , (kairo : Maktabah Wahbah), th.1424, hal.66-67.
[9] Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum , vol.1, hal.63.
[10] Muhammad bin ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir : al-Jami’ Baina Fannae al-Riwayah wa al-Dirayah Min Ilm al-Tafsir, (Kairo : Maktabah Musthafa al-Babae al-Halabi), th.1964, vol.1, hal.72-73.
[11] H.R Gibb, Mohammadenism, (Osford University Press : Inggris), th.1971, hal.25.
[12] Ignas Goldziher, Teologi dan Hukum Islam, (diterjemakan oleh Hersri Setiawan dari kitab aslinya berjudul Vorselungen Uber Den Islam), (Jakarta : INIS), th.1991, hal.26-27.
[13] Regis Blacer,  al-qu’an : Nuzuluhu, tadwinuh, wa ta’tsiruhu (Terj. Ridha Sa’adah), (Bairut : Dar al-Kitab al-Lubnani), th.1974, hal.26.
[14] Regis Blacer, al-Qur’an : Nuzuluhu, tadwinuh, ta ta’tsiruhu (Terj. Ridha Sa’adah), hal.69.

5 komentar:

  1. terimaksih atas infomya,,
    moga banyak manfaat dari tulisan ini,,
    amienzzz

    ردحذف
  2. أزال المؤلف هذا التعليق.

    ردحذف
  3. ya Alloh..berilah hambaMU yang dloif ini petunjuk dan maafkanlah aku atas ketidakmampuanku...amiin

    ردحذف
  4. ya Alloh..berilah hambaMU yang dloif ini petunjuk dan maafkanlah aku atas ketidakmampuanku...amiin

    ردحذف
  5. ya Alloh..berilah dloif ini petunjuk dan maafkanlah aku atas ketidakmampuanku...amiin

    ردحذف

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال