الجمعة، 17 فبراير 2012

MAKRUHNYA MENGGUNAKAN SATU SANDAL ATAU ATAU SATU SEPATU TANPA ADANYA UZUR. DAN MAKRUHNYA MEMAKAI SENDAL DAN SEPATU SAMBIL BERDIRI.

Alih Bahasa : Idrus Abidin
Sumber : Syarah Riyadhu Shalihin, Syekh Sholeh al-Utsaimin

 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "لاَ يَمْشِي أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، لِيَنْعَلْهُمَا جَمِيْعًا أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيْعًا". وفي رواية : "أَوْ لِيُحْفِهِمَا جَمِيْعًا". متفق عليه.

1658 – Dari Abu Huraiah radiyallahu anhu, bahwasnya Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Janganlah seseorang diantara kalian berjalan denga satu sAndal. Hendaknya kedua kakinya memakai sAndal atau sekaligus membuka semua sAndalnya". Pada riwayat lain dikatakan : "Hendaknya kedua kakinya menggunakan sepatu,"  (HR.Bukhari dan  Muslim).

 وَعَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى للهُ عَلََيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : "إِذَاانْقَطَعَ شَسْعَ نَعْلِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْشِي فِي اْلأُخْرَى حَتَّى يًُصْلِحَهَا". رواه مسلم.

1659 – Dan darinya pula, ia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Jika tali sAndal seseorang di antara kalian terputus maka janganlah meneruskan perjalanan sebelum ia memperbaiki sebelahnya,"  (HR.Muslim).
 وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَنْتَعِلَ الرَّجُلَ قَائِمًا. رواه أبوداود بإسناد حسن.

1660 – Dari Jabir radiyallahu anhu, ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang seseorang memakai sepatu sambil berdiri,"  (HR.Abu Daud dengan sanad yang hasan).

PENJELASAN.
Inilah bebarapa hadits tentang sandal, dan makruhnya seseorang memakai sAndal hanya sebelah, atau menggunakan satu sepatu. Tetapi hendaknya ia melepaskan semuanya. Maksudnya, kedua kakinya tidak menggunakannya, atau sekaligus menggunakan kedua-duannya.
Hendaklah diketahui bahwa memakai sAndal adalah sunnah dan melepaskan keduanya juga termasuk sunnah. Karena itulah Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang kita untuk hidup berlebihan dan memerintahkan sekali-kali bertelanjang kaki. Jadi diantara sunnah adalah seseorang bejalan menggunakan sAndal. Tetapi sekali-kali ia seharusnya berjalan di tengah masyarakat dengan telanjang kaki untuk menampakkan sunnah ini –yang mana sebagian orang menentangnya-. Jika mereka melihat orang lain berjalan sambil bertalanjang kaki maka mereka mangatakan : Ada apa ini ?! Ini termasuk perbuatan bodoh.
Ini adalah sikap berlebihan, karena Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang seseorang hidup berlebihan dan memerintahkan untuk bertelanjang kaki kadang-kadang. Ketika Anda memakai sAndal maka mulailah dengan kaki kanan dan ketika melepaskannya mulailah dengan kaki kiri. Demikian pula jika Anda menggunakan sandal, lalu Anda hendak masuk ke masjid dengan menggunakan kedua sAndal Anda maka periksalah baik-baik. Jika terdapat kotoran padanya maka gosokkanlah ke tanah hingga kotoran itu hilang lalu gunakanlah shalat. Itu termasuk sunnah. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda, "Berbedalah kalian dengan orang-orang yahudi. Shalatlah dengan menggunakan sAndal," karena orang yahudi beribadah tidak meggunakan sAndal.
Jadi yang termasuk sunnah adalah seseorang shalat dengan menggunakan kedua sAndalnya sebagaimana banyak orang shalat dengan menggunakan sepatunya. Sepatu tidaklah ada perbedaannya dengan sAndal. Hanya saja masyarakat banyak menentang tata cara shalat dengan sepatu, karena itu adalah sunnah yang telah mati. Hal demikian jika masjid lantainya masih seperti lantai-lantai masjid zaman dahulu, yang mana, lantainya terdiri dari kerikil atau pasir atau yang sejenisnya dan tidak ada kotoran pada sAndalnya. Adapun sekarang, mesjid telah dialasi dengan lantai keramik. Jika orang-orang memasukinya dengan menggunakan sAndal atau sepatu maka pasti mereka mengotorinya dengan kotoran yang luar biasa. Karena masyarakat terkadang tidak peduli jika sendalnya atau sepatunya dipenuhi dengan kotoran.
Karena itulah, ulama sekarang melihat bahwa jangan ada seseorang yang masuk mesjid dengan menggunakan sAndalnya. Dengan alasan bahwa lantai masjid akan kotor jika mereka memasukinya dengan menggunakan sAndal. Jika ada seseorang yang hendak melaksanakan sunnah ini maka silahkan shalat tahajjud atau shalat sunnah rawatib atau shalat serupa di rumahnya dengan menggunakan sAndal. Dengan demikian ia telah memperaktikkan perintah Rasulullah shallahu alaihi wasallam dalam sabdanya, "Sungguh orang-orang yahudi tidak beribadah dengan sAndal mereka". 
Kemudian Hadits Abu Hurairah melarang seseorang untuk menggunakan sAndal sebelah. Maksudnya, ia memakai sendal pada kedua kakinya atau memakai satu dan membiarkan yang laainnya. Inilah yang terlarang. Alasan larangan itu –wallahu a'lam- bahwa agama ini mengusung ajaran keadilan, bahkan sampai pada masalah berpakaian. Janganlah sebelah kaki memakai sAndal sedang lainnya dibiarkan tanpa sAndal. Karena hal demikian mengandung kezhaliman terhadap kaki lainya yang tidak menggunakan sAndal. Karena itulah, Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang kita berjalan dengan satu sAndal. Ulama mengatakan "Walaupun untuk memperbaiki sAndal lainnya." Karena itulah, Hadits Abu Hurairah yang kedua menerangkan, "Jika tali sAndal seseorang di antara kalian terputus maka janganlah meneruskan perjalanan sebelum ia memperbaiki sebelahnya."
Adapun Hadits Jabir radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang seorang memakai sAndal sambil berdiri. Larangan ini ditujukan pada sAndal yang membutuhkan tenaga khusus ketika hendak memakainya. Karena orang, jika memaka sAndal sambil berdiri, padahal sAndalnya membutuhkan tenaga estra, mungkin saja terjatuh jika mengangkat kakinya untuk memperbaikinya. Adapun sAndal yang kita kenal sehari-hari sekarang maka seseorang tidak apa-apa jika memakainya sambil berdiri dan itu tidak termasuk larangan. Karena sAndal kita yang ada sekarang mudah sekali untuk dilepas dan dipakai. Wallahu al-muwaffiq.
 LARANGAN MEMBIARKAN NYALA API DI RUMAH KETIKA HENDAK TIDUR ATAU SEMISALNYA, BAIK API YANG ADA PADA LAMPU LENTERA ATAU SELAINNYA.
 وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "لاَ تَتْرُكُوا النَّارَ فِي بُيُوْتِكُمْ حِيُنَ تَنَامُوْنَ". متفق عليه.

1661 – Dari Ibnu Umar radiyallahu anhuma, dari Rasulullah shallahu alaihi wasallam, beliau berkata, "Jangan biarkan api menyela di rumah kalian ketika Anda sedang tidur,"  (HR.Bukhari dan Muslim).
 وَعَنْ َأَبِي مُوْسَى اْلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : اِحْتَرََقَ بَيْتٌ بِالْمَدِيْنَةِ عَلَى أَهْلِهِ مِنَ الَليْلِ. فَلَمَّا حُدِّثَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَأْنِهِمْ قَالَ : "إِنَّ هذِهِ النَّارَعَدُوٌّلَكُمْ فَإِذَانِمْتُمْ فَأَطْفِؤُوهَا". متفق عليه.

1662 – Dari Abu Musa Al-Asy'ari radiyallahu anhu, ia berkata, "Ada sebuah rumah yang terbakar di kota Madinah pada suatu malam dan menimpa keluarga yang bersangkutan. Setelah Rasulullah shallahu alaihi wasallam diceritakan tentang kejadian itu, beliau berkata "Sungguh api adalah musuh kalian. Jika kalian hendak tidur maka matikanlah,"  (HR.Bukhari dan Muslim).

 وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "غُطُّوا الإِنَاءَ، وَأَوْكَئُوا السِّقَاءَ، وَاغْلِقُوا اْلبَابَ، وَاطْفَئُوا السِّرَاجَ. فَإِنَّ  الشَّيْطَانَ لاَ يُحِلُّ سِقَاءً، وَلاَ يَفْتَحْ بَاْبًا، وَلاَ يَكْشِفُ إِنَاءً. فَإِن لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلاَّ أَنْ يَعْرِضَ عَلََى إِنَائِهِ عُوْدًا وَيَذْكُرُاسْمَ اللهِ عَلَيْهِ فَلْيِفْعَلْ، فَإِنَّ أَهْلَ الْفُوَيْسِقَةِ تَضْرِمُ عَلَي أَهْلِ اْلبَيْتِ بَيْتَهُمْ". رواه مسلم.

1663 – Dari Jabir radiyallahu anhu dari Rasulullah shallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, "Tutuplah bejana, ikatlah tempat air, tutuplah pintu dan padamkanlah lampu, karena sesungguhnya setan tidak bisa melepaskan ikatan, tidak bisa membuka pintu dan tidak bisa membuka bejana. SeAndainya seseorang di antara kamu tidak bisa mendapatkan sesuatu untuk menutupinya kecuali hanya meletakkan lidi di atas bejana itu maka lakukanlah sambil menyebutkan nama Allah. Karena sesungguhnya tikus itu bisa menyebabkan terjadinya kebakaran di rumah, "  (HR.Muslim).


PENJELASAN.
Penulis rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Riyadhu Ash-Shalihin, "Bab tentang larangan membiarkan api menyala dan semisalnya di rumah ketika sedang tidur". Hal itu karena api, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam pada hadits di atas adalah musuh manusia. Jika seseorang membiarkannya lalu pergi tidur maka bisa jadi ada tikus yang datang lalu menyenggolnya sehingga ia menyala, sebagaiman zaman dulu. Lampu yang terbuat dari api dinyalakan dengan cara mengesekkannya. Lalu minyak digunakan dan semisalnya. Kemudian api dinyalakan dengan gas.
Semua itu adalah benda cair. Jika tikus datang lalu mempermainkannya lalu gas yang terdapat dalam lampu itu tumpah ke lantai kemudian api menyala maka terjadilah kebakaran. Karena itulah, Rasulullah shallahu alaihi wasallam menyuruh kita mematikan api ketika hendak tidur agar tidak terjadi kebakaran. Tetapi pada zaman sekarang, api dinyalakan tidak lagi seperti zaman dulu. Pada hari ini, listrik memiliki nilai positif dan negatif. Misalnya menyebabkan lampu listrik menyala. Jika seseorang tertidur, sedang di rumahnya terdapat lampu yang menyala yang sering mereka sebut sebaga lampu begadang maka tidaklah bermasalah. Karena alasan yang menyebabkan Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang membiarkan api menyala ketika hendak tidur tidaklah ada pada lampu listrik pada saat ini. Betul, ia memiliki hal-hal yang menyerupai api seperti ad-difayah. Ini tidak diragukan lagi memiliki bahaya. Terutama jika seseorang menyimpannya di dekat tempat tidurnya, maka bisa saja ia menindihnya atau bisa jadi ia menyentuh apinya. Karenanya, benda ini dilarang untuk membiarkannya menyala kecuali pada tempat yang aman, jauh dari tempat tidur agar tidak terjadi kebakaran.
Demikian juga jika seseorang hendak tidur, seharusnya menutup pintu rapat-rapat. Demikian pula ketika hendak tidur agar ia menutup semua bejana walaupun hanya meletakkan lidi di atasnya. Karena hal itu memberikan perlindungan padanya dari setan. Wallahu al-Muwaffiq.

LARANGAN MEMAKSAKAN DIRI, YAITU PERBUATAN DAN PERKATAAN YANG TIDAK MEMILIKI MASLAHAT.

    Allah subahana wata'ala berfirman (QS.Shaad : 86)
.
 وَعَنِ ابْنِ عمُرَ ِرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : نُهِيْنَا عَنِ التَّكََلُّفِ.  رواه البخاري.

1664 – Dari Ibnu Umar radiyallahu anhuma, ia berkata, "Kita dilarang untuk memaksakan diri,"  (HR.Bukhari).

 وَعَنْ مَسْرُوْقٍ قَالَ : دَخَلْنَا عَلَى عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ : يَاأَيُهَا النَّاس، مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَقُلْ بِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ : اَللهُ أَعْلَمُ. فَإِنَّ مِنَ اْلعِلْمِ أَنْ تَقُوْلَ لِمَا لاَ تَعْلَمُ : اَللهُ أَعْلَمُ. قَالَ اللهُ تََعَالَى لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ مِنْ أَجْرٍوَمَا أَنَا مِنَ اْلمُتَكَلِّفِيْنَ. رواه البخاري.

1665 – Dari Masruk, ia berkata, "Kami masuk menemui Abdullah bin Mas'ud radiyaallahu anhu, ia mengtakan, "Wahai sekalian manusia. Siapa yang mengetahi sesuatu maka silahkan menyampaikannya. Dan barang siapa yang tidak mengetahui maka hendaklah ia mengatakan : Allahu A'lam. Karena termasuk ilmu jika Anda tidak mengetahui lalu Anda mengatakan ; Wallahu A'lam. Allah subhana wata'ala mengatakan kepada Nabi-Nya : "Katakanlah : "Aku tidak minta upah kepadamu atas da'wahku dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang memaksakan diri,"  (HR.Bukhari).

PENJELASAN.
Penulis rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Riyadhu Ash-Shalihin, "Bab tentang larangan memkasakan diri." Memaksakan diri artinya memaksakan sesuatu dan berusaha mengetahuinya serta upaya seseorang untuk menampakkan bahwa ia seorang alim, padahal sebenarnya ia tidaklah demikian. Kemudian penulis menyebutkan firman Allah subahana wata'ala yang berbunyi, "Aku tidak minta upah kepadamu atas da'wahku". Maksudnya, saya tidak meminta upah dari wahyu yang aku terima agar engkau menyerahkannya kepadaku. Saya hanya menunjukimu jalan kebaikan dan mengajakmu menuju Allah subahana wata'ala. Demikianlah para Rasul alaihimussalam. Mereka semua mengatakan kepada sahabat-sahabatnya, "Aku tidak minta upah kepadamu atas da'wahku dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang memaksakan diri". Maksudnya, memaksakan diri atau mengatakan sesuatu tanpa lAndasan ilmu. Bahkan Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengatakan sesuatu lalu Allah subahana wata'ala menguatkan perkataannya dan menegaskannya.
Kemudian hadits Abdullah bin Umar berbunyi, "Kita dilarang memaksakan diri," yang melarang adalah Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Jika salah seorang sahabat mengatakan, "Kami dilarang", maka hukumnya marfu'. Maksudnya, seolah-olah ia mengatakan, "Rasulullah shallahu alaihi wasallam melarang kami. Karena itulah, yang melarang adalah Rasulullah. "Kami dilarang memkasakan diri". Seseorang memaksakan dirinya dalam hal yang ia tidak kuasai ilmunya lalu berusaha tampil sebagai orang alim yang arif. Padahal ia tidaklah demikian.
Kemudian beiau menyebutkan hadits Abdullah bin Mas'ud bahwa seseorang jika ditanya tentang sesuatu yang ia tidak ketahui maka hendaknya ia diam dan seharusnya tidak berusaha menjawab dengan jawaban yang ia sendiri tidak mengetahi apa benar atau salah ?. Ia hendaknya menjawab sesui pengetahuannya. Jika ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak ketahui maka hendaknya ia mengatakan : Allahu A'lam. Karena termasuk ilmu jika seseorang mengatakan terhadap hal yang ia tidak ketahui : Allahu a'lam. Abdullah bin Mas'ud menggambarkan sikap demikian sebagai bentuk keilmuan. Karena orang yang mengatakan : Saya tidak tahu dan memang benar ia tidak tahu maka dialah orang yang alim sesungguhnya . Dialah yang mengetahui kadar kemampuan dirinya. Sadar terhadap keadaannya bahwa ia tidak tahu sehingga ia mengatakan terhadap hal yang tidak diketahumya : Allahu A'lam.
Kemudian jika seseorang mengatakan Allahu a'lam terhadap hal-hal yang tidak ia ketahui dan tidak mengelaurkan fatwa maka masyarakat akan mempercayainya. Mereka akan menyadari bahwa beliau mengeluarkan fatwa pada hal-hal yang ia ketahui. Adapun hal-hal yang  tidak diketahuinya ia menahn diri.
Jika seseorang mengtakan : Allahu a'lam pada hal-hal yang tidak diketahuinya berarti ia sedang mebiasakan dirinya untuk tunduk kepada kebenaran dan tidak tergesa-gesa mengeluarkan fatwa. Sikap demikian bertantangan dengan sikap sebagian orang pada saat ini.  Anda akan mendapati mereka seolah-olah melihat bahwa mengeluarkan fatwa berarti menuai keuntungan dagangan, sehingga ia berfatwa dengan ilmu atau pun tidak. Ia terkadang berfatwa dengan lAndasan ilmu setengah-setengah. Kerena itulah, Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitabnya "Al-Fatawaa Al-Hamawiyah" : Orang-oang dulu sering mengatakan, "Tidak ada yang merusak agama maupun dunia kecuali empat jenis orang, yaitu : Teolog setengah-setangah, ahli fiqhi setengah-setengah, linguis setengah-setengah dan dokter setengah-setengah."
Adapun teolog setengah-setangah maka ia akan menghacurkan agama dan keyakinan, karena orang yang berbicara padahal baru menyentuh sedikit masalah-masalah ketuhanan dan belumlah sampai kepada puncaknya maka mereka akan terkecoh karenanya. Tetapi bagi teolog yang telah sampai ke puncak maka mereka itu talah sampai ke inti permasalahan dan kembali kepada kebenaran.
Ahli fiqhi setengah-setengah : Ia akan merusak negara karena ia memutuskan masalah tanpa diseratai kebenaran sehingga hancurlah negara. Ia memberikan hak si anu kepada orang lain dan hak orang lain kepada si anu.
Linguis setengah-setengah : Ia merusak lidah masayarakat karena ia mengira telah menguasai Kaedah Bahasa Arab sehingga ia menghasilkan lahn yang menyebabkan rusaknya lidah pemilik bahasa.
Dokter setengah-setengah akan merusak jasmani masyarakat karena ia tidak mengetahui ilmunya. Bisa jadi ia meracik obat yang sebenarnya menjadi racun. Atau ia tidak meraciknya sehingga pasien meninggal dunia.
Walhasil, seseorang tidak boleh memngeluarkan fatwa kecuali jika ia memang kompeten dalam memberi fatwa. Jika Allah subahana wata'ala menghendaki ia menjadi imam bagi masyarakat, memberi mereka fatwa dan memebrikan petunjuk kepada mereka kepada jalan yang lurus maka ia akan menjadi mufti sesungguhnya. Jika Allah subahana wata'ala tidak menghendaki demikian maka keberaniannya mengeluarkan fatwa tidaklah bermanfaat apa-apa baginya.
Kemudian Ibnu Mas'ud berdalil dengan firman Allah subahana wata'ala, "Aku tidak minta upah kepadamu atas da'wahku dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang memaksakan diri." Wallahu al-muwaffiq.  

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال