Friday, July 11, 2025

SIKAP ISLAM SECARA UMUM TERKAIT RELASI ANTARA AKAL DAN WAHYU

SIKAP ISLAM SECARA UMUM TERKAIT RELASI ANTARA AKAL DAN WAHYU.

 

Judul Asli: Jadaliyatu al-Aql wa al-Din,

Link: https://shamela.ws/book/1541/5879

Penulis: Dr. Abdullah al-Da’jani,

Alih Bahasa: Idrus Abidin. 

 

Pandangan Islam terhadap alam semesta didasarkan pada dualitas yang saling terkait dan senatiasa harmonis, yaitu dualitas antara Pencipta dan makhluk, Tuhan dan yang dipertuhankan, hamba dan yang disembah. Dari dualitas umum ini, muncul berbagai bentuk dualitas lain yang semuanya konsisten satu sama lain, seperti dualitas antara ruh dan materi, ilmu dan agama, akal dan wahyu (naql), alam gaib dan alam nyata, dunia dan akhirat.

Pandangan Islam tidak semata-mata bersifat analitis yang hanya memecah bagian-bagian alam menjadi unsur-unsur yang tercerai-berai tanpa keterkaitan, seperti yang dilakukan oleh pemikiran Barat. Akan tetapi, Islam menggabungkan pendekatan analitis dengan pendekatan sintesis yang mengaitkan bagian-bagian alam dalam satu kesatuan pandangan yang menyeluruh, yang mencerminkan keindahan struktur dan bentuk yang memukau serta membingungkan akal.

Dalam konteks ini, hubungan antara akal dan agama yang benar adalah hubungan yang saling melengkapi dan terikat satu sama lain. Tidak mungkin hubungan itu bersifat bertentangan atau saling menolak, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah . Akal dan apa yang dihasilkannya adalah ciptaan Allah, begitu pula agama yang benar dan syariatnya berasal dari Allah. Akal dalam hal ini mewakili kehendak Allah dalam aspek kauniyah (alam semesta), sedangkan agama yang benar mewakili kehendak Allah dalam aspek syar’iyah (syariat). Tidak mungkin kedua kehendak ini saling bertentangan, karena berasal dari satu sumber. Allah berfirman: "Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan perintah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-A’raaf: 54)

Berdasarkan hal ini, mustahil ada kontradiksi antara hal-hal yang bersifat qath’i (pasti) dalam agama dengan hal-hal qath’i dari akal. Namun, jika terjadi pertentangan atau kontradiksi antara hal yang bersifat zhanni (dugaan) dari agama dengan yang qath’i dari akal, atau sebaliknya, maka yang qath’i harus diutamakan—baik itu dari sisi akal maupun agama.

Adapun menjadikan akal secara mutlak lebih tinggi daripada agama adalah metode yang batil, karena hal itu justru merusak kredibilitas akal itu sendiri. Sebab, akal menjadi saksi atas kebenaran agama. Maka menolak agama yang disaksikan kebenarannya oleh akal berarti meragukan kejujuran kesaksian akal, dan itu berarti meragukan akal itu sendiri.

Intinya, Islam tidak pernah menganggap hubungan antara akal dan agama sebagai masalah, karena menurut pandangan Islam, keduanya saling melengkapi, selaras, dan harmonis. Hal ini ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Islam mewajibkan manusia untuk beriman terhadap pokok-pokok agama berdasarkan penggunaan akal. Orang yang tidak memiliki akal tidak dibebani kewajiban agama. Bahkan, tegaknya hujjah agama tidak cukup hanya dengan sampainya informasi (tabligh) kepada manusia, tetapi juga harus dipahami—dan pemahaman ini memerlukan penggunaan akal. Terutama bagi orang yang memiliki syubhat (keraguan) yang patut dipertimbangkan dan menghalanginya untuk meyakini apa yang ditunjukkan oleh hujjah tersebut, maka ia bisa dimaafkan jika menafsirkan hujjah tersebut secara berbeda. Oleh karena itu, Allah menjadikan penentangan terhadap Rasul dan jalan kaum mukminin setelah hujjah dijelaskan sebagai hal yang tidak dibenarkan. Allah berfirman: "Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia dalam kesesatannya dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. an-Nisaa: 115)

Ini menunjukkan bahwa agama tidak dibangun atas dasar kepasrahan semata tanpa bukti dan pemahaman akal. Dalil-dalil agama bergantung pada penyampaiannya, pemahaman terhadapnya, dan penggunaan akal untuk memahaminya. Maka, jika akal menjadi syarat kewajiban agama dan sampainya hujjah, maka mustahil akal bertentangan dengan agama, karena sesuatu yang menjadi syarat bagi keberadaan sesuatu yang lain tidak mungkin bertentangan dengannya.

Kedua: Agama atau wahyu selalu disertai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti rasional, bahkan mengandung bukti-bukti argumentatif rasional. Oleh karena itu, dalil dan bukti rasional merupakan bagian dari sistem dalil syar’i yang bersumber dari wahyu, bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah darinya. Ibnu Taimiyah berkata: “Dalil-dalil akal dan dalil-dalil syar’i saling mendukung; masing-masing membuktikan kebenaran yang lain. Dalil akal membuktikan kebenaran para rasul dalam semua hal yang mereka informasikan, dan dalil syar’i menjelaskan  perangkat-perangkat rasio yang dengannya seseorang mengenal Allah, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, serta kebenaran para nabi-Nya...”

Oleh karena itu, wahyu agama mengandung banyak sekali jenis dalil dan bukti rasional yang menjelaskan kebenaran dan meneguhkan keyakinan dalam hati. Bukti-bukti rasional ini adalah penjelasan dan penerangan yang terdapat dalam wahyu. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat menegakkan keadilan." (QS. Al-Hadid: 25)

Maka, jika dalil rasional senantiasa menyertai agama dan terkandung di dalamnya, tidak mungkin keduanya saling bertentangan atau bertolak belakang.

Maksud dari penjelasan ini adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai hubungan harmonis antara akal dan agama. Meskipun ruang ini tidak cukup untuk menguraikan secara rinci hubungan tersebut, saya menegaskan dua poin penting sebagai hasil pemahaman atas hubungan ini:

Pertama: Pertentangan antara akal dan wahyu adalah kontradiksi yang dibuat-buat (rekaan imajiner) dan tidak nyata. Setiap pandangan yang dibangun atas dasar adanya pertentangan ini hanyalah ilusi. Sayangnya, pemikiran Barat modern bukan satu-satunya pihak yang membangun pandangan filosofisnya berdasarkan konflik ini—meskipun mereka melakukannya secara berlebihan—karena metode ini juga diikuti oleh sebagian aliran pemikiran lama dalam Islam, seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Meskipun mereka tidak sampai pada tingkat ateisme seperti pemikiran Barat modern yang menolak wahyu dan kebenarannya, posisi mereka justru lebih kontradiktif. Mereka mengakui kebenaran wahyu secara akal, namun tetap menolak sebagian isinya karena dianggap bertentangan dengan akal.

Kedua: Kebenaran agama tidak dibangun atas dasar paksaan atau kepasrahan tanpa bukti rasional, melainkan didasarkan pada kesadaran batin dan bukti-bukti rasional yang menghasilkan ilmu dan keyakinan. Maka siapa yang menolak wahyu agama, sesungguhnya ia telah menentang akal sehat. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang penghuni neraka: "Dan mereka berkata: 'Sekiranya dahulu kami mendengarkan atau memikirkan (menggunakan akal), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.'" (QS. Al-Mulk: 10)

 

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form