الخميس، 22 مارس 2012

Prinsip-Prinsip Akidah Ahlu Sunnah (Bag.1)



Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal

بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

            Syaikh Imam Abu Al-Muzhaffar Abdul Malik bin Ali bin Muhammad Al-Hamdani[1]  berkata, “Telah menceritakan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Yahya bin Abu Al-Hasan bin Al-Banna,[2] ia berkata, ‘Bapakku Abu Ali Al-Hasan bin Ahmad (bin Abdillah) bin Al-Banna[3] mengkhabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Al-Husain Ali bin Muhammad bin Abdillah bin Bisyran Al-Mua`addal,[4] ia berkata, ‘Utsman binAhmad bin As-Sammak[5] berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdul Wahhab (bin)[6] Abu Al-`Anbar[7] dengan membacakan kepadanya dari kitabnya pada bulan Rabiul Awwal tahun 293 H. ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja`far Muhammad bin Sulaiman Al-Mingkari Al-Bashri[8] di Tinnis[9] ia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Abduus bin Malik Al-AThthar[10] ia berkata, ‘Saya mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal -Radhiyallahu Anhu- ia berkata, ‘Ushul As-Sunnah pada kami ialah:
  1. Berpegang teguh kepada manhaj yang diamalkan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
  2. Mengikuti dan meneladani mereka.[11]
  3. Meninggalkan bid`ah.[12]
4. Setiap perbuatan bid`ah adalah kesesatan.[13]
5. Meninggalkan perselisihan dan permusuhan (dan tidak duduk bersama orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu).[14]

Bersambung ke Bag. 2 pada link berikut :
http://idrusabidin.blogspot.com/2012/03/prinsip-prinsip-akidah-ahlu-sunnah-bag2.html

[1] Tambahan dari Syaikh Al-Albani yang didapat dari mendengar secara akurat dari bagian akhir risalah, dan biografinya akan disebutkan pada akhir risalah, Insya Allah Ta`ala.
[2] Yahya bin Hasan bin Ahmad bin Al-Banna, orang Baghdad pengikut Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Dia adalah seorang yang shalih lagi memiliki ilmu yang luas. Dia meriwayatkan dari jamaah orang-orang yang berilmu, di antaranya dari bapaknya sendiri, dan jamaah para Huffazh meriwayatkan darinya. Di antara mereka adalah Al-Hafizh Ibnu Asakir dan Ibnu As-Sam`ani dengan melalui Ijazah (mendapat izin dan pengakuan darinya). Ibnu As-Sam`ani berkomentar tentang Yahya bin Al-Hasan, “Dia adalah Syaikh yang shalih, berbudi pekerti luhur, riwayatnya banyak, akhlaknya mulia, penuh kasih sayang, tawadhu, penyantun terhadap murid-muridnya dan sangat mencintai mereka.’” (M 353 : T 531) [Syadzaraat Adz-Dzahab : 4/98].
[3] Abu Ali Al-Hasan bin Ahmad bin Abdullah, pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, orang Baghdad. Dia adalah ulama hadits, ahli qiraah, dan ahli fiqh. Orangnya sangat zuhud, suka memberi nasehat, dan banyak menulis kitab. Dia mendengar (mendapatkan) hadits dari jamaah di antaranya, Al-Qadhi Abu Ya`la Al-Hanbali yang merupakan salah satu shahabat lamanya, dan banyak orang yang mengambil (mendapatkan) hadits darinya. Adz-Dzahabi berkomentar tentang Abu Ali Al-Hasan, “Dia adalah seorang yang alim, mufti, dan ahli hadits.” Ibnu Syafi`I berkata, “Akhlaknya sangat mulia, wajahnya bersih, mencintai dan menghormati ahlul ilmi, dan ia adalah seorang satrawan yang sangat keras terhadap kelompok yang hanya mengikuti hawa nafsu saja.” [M 396 :T 481]. (Syadzaraat Adz-Dzahab 3/338) (Thabaqaat Al-Hanabilah 2/243) Siyar A~lam An-Nubala (18/380), dan lihat biografinya dalam mukaddimah kitabnya, Al-Mukhtar Fi Ushul As-Sunnah” Tahqiq Syaikh Abdur Razazaq bin Al-Muhsin Al-`Abbad –semoga Allah membelasnya dengan kebaikan yang berlimpah-.
[4] Abu Al-Husain Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Bisyran bin Muhammad Al-Umawi Al-Baghdadi Al-Muaddal. Al-Khatib berkomentar tentang dirinya, “Dia adalah orang jujur dan terpercaya, memiliki jiwa kesatriaan, dan memegang kokoh agama.” [M 328 : T 415] (Tarikh Baghdad 12/98) (Syadzaraat Adz-Dzahai, Ibnu Al-Imad 3/203).
[5] Abu Amru Utsman bin Ahmad bin Abdullah bin Yazid Ad-Daqqaq yang dikenal dengan nama Ibnu As-Sammak Al-Baghdadi. Ia mendengar dari jamaah, di antaranya Ismail bin Ishaq Al-Qadhi, dan Ad-Daraquthni, Ibnu Syahin, Ibnu Al-Mundzir, dan Thabaqaat (jalur periwayatan) mereka meriwayatkan darinya. Al-Khatib berkomentar tentang dirinya, “Dia orang yang tsiqah, shalih, dan jujur.” [T 344]. Jenazahnya diantar ke pekuburan oleh 50 ribu orang pada hari Jumat (Tarikh Baghdad 11/302) (Syadzaraat Adz-Dzahab : 2/366).
[6] Tambahan dari naskah Syaikh Al-Albani.
[7] Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdil Wahhab bin Abi Al-Anbar Al-Baghdadi. Ia meriwayatkan dari jamaah, di antaranya adalah Muhammad bin Sulaiman Al-Minqari Al-Bashri, dan Abu Umar bin As-Sammak meriwayatkan darinya. Al-Kahatib berkomentar tentang dirinya, “Ia adalah orang yang tsiqah agamanya dan terkenal dengan kebaikan dan penguasaan haditsnya.” [T 296] (Tarikh Baghdad : 7/339).
[8] Muhammad bin Sulaiman bin Dawud Abu Ja`far Al-Minqari, Ibnu Asakir menulis biografinya dengan riwayat jamaah yang tsiqah darinya. (Tarikh Dimasyq : 15/385).
[9] Tinnis adalah Jazirah pada laut Mesir dekat dari daratan antara Al-Farama dan Dimyath, dan Al-Farama berada di sebelah Timurnya. (Mu`jam Al-Buldan 2/60 – cetakan Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah).
[10] Abu Muhammad Abduus bin Malik Al-Aththar. Abu Bakar Al-Khallal berkata, “Ia mempunyai kedudukan di sisi Abu Abdullah –yakni Imam Ahmad-. Ia memiliki kedekatan yang sangat akrab dengannya dan ia lebih mengutamakannya. Ia mempunyai khabar yang disyarahnya dengan panjang lebar.” Abu Ya`la berkata, “Ia meriwayatkan dari Abu Abdillah beberapa masalah yang tidak ada yang meriwayatkannya selain dirinya. Masalah-masalah yang tidak kami dapati semuanya kecuali sebahagian kecil pada keseluruhan bab-bab Sunnah, yang sekiranya seseorang bepergian ke Cina untuk mencarinya maka sungguh upayanya tesebut belum ada apa-apanya, Abu Abdullah mengeluarkannya dan memberikannya kepadanya.” Disadur secara ringkas.  (Thabaqaat Al-Hanabilah : 1/241).
[11] Dalilnya adalah firman Allah Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 115), dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيِرِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya jika ada salah seorang di antara kalian yang panjang usianya, sungguh ia akan melihat munculnya perbedaan-perbedaan yang sangat banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang  teguh kepada Sunnahku dan manhaj Khulafaurrasyidin, peganglah dengan sekuat-kuatnya”, dari hadits Al-Irbadh bin Sariah yang terkenal tersebut. (Shahih Abu Dawud : 3851).
Begitu pula dengan sabda Rasulullah ketika mensifati Firqah Najiah (kelompok yang selamat),
هِيَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
Mereka adalah yang mengikuti Sunnahku saat ini dan para shahabatku.” Hadits hasan atau Shahih  lighairihi  (karena selainnya). (Lihat: Takhrijku pada kitab Asy-Syariah, hal. 16 cetakan terbaru). Al-Iraqi –Rahimahullah- berkata dari riwayat-riwayatnya dalam Takhrij Al-Ihya : 4/1819, “Isnad-isnadnya baik.” Dan dikuatkan oleh Syaikh kita Al-Albani –Hafizhahullah-. Rujuk : As-Silsilah Ash-Shahihah : 1/361, dan lihat risalah “Menghilangkan keraguan terhadap hadits : “Sunnahku saat ini dan para shahabatku”, karya saudara kita yang mulia Salim Al-Hilali –Hafizhahullah-.
Ibnu Mas`ud -Radhiyalklahu Anhu- berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang mencari panutan, maka hendaklah ia menjadikan shahabat-shahabat Rasulullah sebagai panutan, karena merekalah yang paling baik hatinya dari umat ini, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuk yang didapatinya, dan paling baik kondisinya. Mereka adalah kaum yang dipilih khusus oleh Allah untuk menyertai dan menemani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka karena sesungguhnya mereka berada dalam naungan hidayah yang lurus”, La Ba’sa bihi (tidak ada masalah padanya). Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami` Bayan Al-Ilmi :1810).
Ibnu `Aun berkata, “Allah merahmati seseorang yang konsisten mengikuti atsar (jejak para Salaf) dan ridha dengannya, walaupun hal tersebut memberatkan dan membuat mereka susah.” (HR. Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah : 291, dan shahih sesuai syarat dua Syaikh, Al-Bukhari dan Muslim).
Ibrahim An-Nakha`I berkata, “Sekiranya para shahabat Rasulullah membasuh di atas kuku, saya tidak akan mencucinya, demi mengharap dan mendapatkan keutamaan dalam mengikuti mereka.” (HR. Ibnu Baththah 254, Ad-Darimy dan selainnya, dan ia hadits shahih).
Umar bin Abdul Aziz mewasiatkan kepada sebagian pegawainya seraya berkata, “Saya berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, tidak berlebih-lebihan dalam ibadah, mengikuti Sunnah Rasul-Nya, meninggalkan apa yang diada-adakan oleh ahli bid`ah sepeninggalan beliau yang bertentangan dengan Sunnahnya, menghindarlah dari kesusahan bid`ah, dan ketahuilah bahwa tidaklah seseorang melakukan perbuatan bid`ah kecuali bahwa Rasulullah telah memberikan penjelasan akan hukum dan kedudukannya, serta memberikan komentar tentang bahayanya. Oleh karena itu, kamu harus mengikuti Sunnah karena sesungguhnya ia bagimu adalah pelindung dengan izin Allah, dan ketahuilah bahwa orang yang menetapkan Sunnah, sungguh sebelumnya telah mengetahui kebalikan dari Sunnah tersebut berupa kesalahan, kebodohan, kepandiran, dan ketergelinciran. Sesungguhnya orang-orang terdahulu (Salaf) senantiasa bersandar pada ilmu (dalil) dan mereka menahan diri dari mengambil pendapat sendiri, padahal mereka sangat kuat dan antusias dalam mencari dan meneliti kebenaran. (Shahih Sunan Abu Dawud : 4612) dan lihat : Takhrij “Asy-Syariah” (Atsar : 292).
Imam Al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, semoga Allah memberkahimu, bahwa sesungguhnya keislaman seorang hamba tidak sempurna sampai ia menjadi orang yang mengikuti (sunnah nabi), mempercayainya, dan menerimanya. Barangsiapa yang mengklaim bahwa ada yang tertinggal dari urusan agama yang belum dijamah oleh para shahabat Rasulullah, sungguh ia telah mendustakan mereka. Cukuplah ia dianggap telah menjelek-jelekkan mereka. Ia adalah seorang ahli bid`ah lagi sesat, ia adalah orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama Islam yang sebenarnya tidak ada dalam Islam.” (Syarah As-Sunnah, hal. 70). Beliau juga berkata (pada halaman 20), “Hendaklah kamu berpegang teguh pada atsar-atsar, ahlu atsar, kepada merekalah kamu harus bertanya dan merujuk, duduklah di dalam majelis-majelis mereka, dan tuntutlah ilmu dari mereka.” Barangsiapa yang ingin mendapatkan penjelasan lebih rinci dan panjang, silahkan merujuk ke kitab “Al-I`tisham” karya Asy-Syathibi –Rahimahullah-. Kitab ini sangat bagus, banyak memberi manfaat dan faedah, dan belum pernah ada kitab yang dibuat sebagus kitab tersebut. Begitu pula kitab Ta`liq Ala Ath-Thahawiah karya Syaikh Al-Albani, hal. 48.    
[12] Sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. Al-A`raf : 3). Juga sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru (dalam agama) karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid`ah.” Hadits ini sebelumnya telah ditakhrij pada hadits Al-`Irbadh bin Sariyah –Radhiyallahu Anhu-.
Sabda Rasulullah yang lain,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang bukan berasal darinya, sungguh ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari : 2697, dan Muslim 1718) dari hadits Aisyah –Radhiyallahu Anha. Ibnu Mas`ud -Radhiyallahu Anhu- berkata, “Hendaklah kalian menghindar dari perbuatan bid`ah, menyeleweng, dan berlebih-lebihan,. Tetapi hendaklah kalian berpegang teguh kepada agama.” (HR. Ad-Darimy : 1/54 dan Ibnu Baththah dengan sanad yang shahih).
Diriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyib bahwa ia melihat seorang laki-laki melakukan shalat lebih dari dua rakaat setelah terbitnya fajar dengan ruku` yang banyak pada keduanya, lalu ia pun melarangnya. Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena shalat?” Ia menjawab,  “Tidak, akan tetapi Allah akan mengadzabmu karena penyimpanganmu dari sunnah Rasulullah.” (HR. Al-Baihaqi, dan ustadz kita Al-Albani menshahihkan sanadnya di dalam kitab Al-Irwa’ : 2/236).
Imam Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari (T : 236) berkata, “Berhati-hatilah terhadap sesuatu yang baru yang kelihatannya sepele, karena sesungguhnya perbuatan bid`ah-bid`ah yang sifatnya kecil dan sepele yang selalu diulang-ulang dan dibiasakan akan menjadi besar. Begitulah yang terjadi pada umat ini, bid`ah yang banyak tersebar di tengah-tengah umat pada awalnya adalah merupakan hal-hal sepele yang nampak seperti suatu kebenaran, dan orang-orang yang melakukannya akan tertipu dengannya karena menganggapnya suatu kebenaran, kemudian ia tidak dapat terlepas darinya hingga hal tersebut menjadi agama yang diyakini adanya. Orang tersebutpun akhirnya menyimpang dari jalan yang benar hingga membuatnya keluar dari Islam.
Perhatikanlah wahai saudaraku, –semoga engkau dirahmati oleh Allah-, siapa saja yang kamu dengar perkataannya khususnya orang-orang yang hidup di zamanmu, jangnlah kamu tergesa-gesa membenarkannya, janganlah kamu mengikutinya sedikitpun sampai engkau bertanya kepada orang yang memiliki ilmu (ulama) dan kamu merujuk  kepada kitab-kitab yang shahih. Adakah salah seorang dari shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atau salah seorang ulama yang berkata dan berkomentar berkenaan dengan perkataan orang tersebut. Apabila kamu mendapati ada atsar (penjelasan) tentang hal tersebut dari mereka, maka hendaklah kamu berpegang teguh kepadanya dan janganlah melampaui batas padanya serta menyimpang darinya karena pasti engkau akan terprosok ke dalam jurang neraka.” (Syarah As-Sunnah, Al-Barbahari, hal. 68)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidak ada alasan apapun yang dapat dibenarkan bagi siapapun untuk melakukan kesesatan setelah datangnya sunnah Rasulullah, dimana ia meyakininya sebagai petunjuk.” (As-Sunnah, Al-Marazi, hal 95)
Ibnu Wadhahah  meriwayatkan dengan sanad rijal-rijal yang tsiqah dari Abu Usman An-Nahdy, ia berkata, ”Seorang pegawai menulis surat kepada Umar bin Khattab yang isinya menjelaskan bahwa disana ada sebuah kaum yang berkumpul melakukan bid`ah bersama amir mereka”, Umar pun membalas suratnya dan berkata kepadanya, ”Hadapkanlah mereka kepadaku bersamamu”, kemudian beliau menyuruh penjaga pintu untuk menyiapkan cambuk. Ketika mereka datang menghadap Umar, beliau pun menghukum amir mereka dengan cambuk.” (Al-Bid’u wa An-Nahyu, hal. 26).
Inilah Imam Daar Al-Hijrah, Imam Malik, beliau berkata, ”Barangsiapa dari umat ini mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pada masa Salaf, maka sungguh orang tersebut telah menuduh Rasulullah bahwa beliau telah mengkhianati Risalah Ilahi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al Maidah: 6), sehingga perbuatan apapun yang bukan termasuk (ajaran) agama pada saat itu maka perbuatan tersebut juga tidak bisa dijadikan agama pada saat ini, dan umat terakhir ini tidak akan baik kecuali berpegang teguh dengan apa yang dahulu dipegang teguh oleh para generasi awal, generasi Salaf.”
Imam Ahmad –Rahimahullah- pernah ditanya oleh seseorang, sembari berkata, ”Wahai Abu Abdullah, dari manakah seharusnya aku ihram?” Beliau menjawab, ”Dari Dzul Hulaifah, dari tempat dimana Rasulullah memulai ihram.” Orang itu kembali berkata, ”Saya ingin berihram mulai dari Masjidil Haram dekat dengan kuburan.” Beliau berkata, ”Jangan kamu lakukan hal tersebut karena saya khawatir kamu akan terkena fitnah.” Ia berkata, ”Fitnah apakah yang ada pada masalah seperti ini? Sebab ini hanyalah beberapa mil saja yang saya tambahkan.” Beliau menjawab, ”Fitnah apakah yang lebih dahsyat dari perbuatanmu yang mencoba melebihkan sesuatu yang Rasulullah sendiri tidak melakukannya?! Sungguh saya telah mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. An-Nur 63). (Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Jami’ Bayan Al-Ilmi, dan Ibnu Baththah didalam kitab Al-Ibanah Al-Kubra : 1/261 dengan sanad yang La ba’sa bih (Tidak ada apa-apa dengannya).
Al-Hafizh Al-Ismaily –Rahimahullah- (T381) berkata, ”Para imam hadits berpendapat untuk menghindari bid’ah dan dosa-dosa, mencegah terjadinya gangguan dan meninggalkan ghibah, kecuali memperbincangkan orang yang melakukan bid`ah dan orang yang mengajak kepada perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu, maka perbincangan tersebut bukan termasuk ghibah menurut mereka.” (I`tiqad Aimmah Al-Hadits, hal. 78).
[13] Hadits shahih dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduannya. Lihat : Al-Irwaa, 2455.
[14] Berdasrkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala, (QS. An-Nisaa : 140). Syaikh Rasyid Ridha –Rahimahullah- berkata di dalam kitab Al-Manar : 5/463, “Termasuk pula yang dimaksud dalam ayat di atas adalah setiap orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama dan setiap ahli bid`ah.” (Lihat : Tanbih Uli Al-Abshar, hal. 76).
Di dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنَاْ عَنْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ  مُؤْمِنٌ فَمَا يَزَالُ بِهِ حَتَّى يَتَّبِعُهُ لِمَا يَرَى مَعَهُ مِنَ الشُبْهَاتِ
Barangsiapa yang mendengar tentang Dajjal maka hendaklah  ia menghindar sejauh mungkin, karena seseorang yang mendatanginya akan menyangka bahwa ia adalah seorang mukmin, dan ia masih bersamanya sampai ia mengikutinya karena melihat apa yang ia lakukan dari perkara-perkara syubhat.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya. Lihat : Shahih Al-Jami` : 6301).
Syaikh Ibnu Baththah –Rahimahullah- mengomentari hadits di atas seraya berkata, “Ini adalah sabda Rasulullah, demi Allah, wahai kaum Muslimin, janganlah seseorang di antara kalian yang terdorong karena prasangka baiknya dan keyakinannya akan kebenaran madzhab/kelompoknya, untuk menjerumuskan agamanya ke dalam bahaya dengan duduk bergabung bersama orang-orang Ahlul hawa dengan beralasan bahwa, “saya bergabung dengan mereka untuk berdiskusi dengan mereka” atau “saya akan berusaha mengeluarkan mereka dari kelompoknya.” Ketahuilah, sungguh mereka jauh lebih berbahaya membawa fitnah dibandingkan Dajjal! Perkataan mereka lebih kuat menghunjam dari pada kudis yang menempel di kulit dan lebih dahsyat daya bakarnya terhadap hati dibanding api. Sungguh saya pernah melihat sebuah jamaah melaknat dan menghina mereka di dalam sebuah forum bersama mereka dalam rangka mengingkari dan menolak madzhab mereka, namun mereka masih saja berlemah lembut kepada mereka, toleransi, dan tidak mengkafirkan secara tegas, hingga mereka condong kepada mereka” (Al Ibanah :  3/470)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa ia didatangi oleh seseorang dan berkata kepadanya, ”Wahai Abu Hamzah, saya bertemu suatu kaum yang mendustakan dan tidak mempercayai adanya syafaat dan adzab kubur.” Anas pun berkata, ”Mereka adalah para pendusta, janganlah kamu duduk bersama mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah : 2/448 dan sanadnya tidak ada apa-apa dengannya).
Dari Ibnu Abbas -Radhiyallahu Anhuma- ia berkata, ”Janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang megikuti hawa nafsu, karena duduk bersama mereka  akan membuat hati sakit dan rusak.” (Isnadnya Shahih, (Asy-Syariah, hadits 55) dan dikeluarkan oleh Ibnu Baththah : 619 dari jalur Al Ajiriy).
Abu Al-Jauza’ –salah seorang tokoh senior Tabi`in- berkata, ”Sungguh saya lebih suka ditemani oleh monyet-monyet dan babi-babi dari pada aku ditemani oleh salah seorang di antara mereka –yaitu orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu-“ (Al-Laalikay :231, dengan sanad yang tidak apa-apa dengannya).
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, ”Janganlah kamu duduk bersama ahli bid’ah, karena saya khawatir kamu akan tertimpa laknat.”
Ada dua orang dari golongan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu datang kepada Muhammad bin Sirin. Lalu berkata, ”Wahai Abu Bakar, apakah kamu mau kami bacakan suatu hadits?” Ia menjawab, ”Tidak.” keduanya kembali menawarkan, ”Atau kami bacakan untukmu satu ayat dari kitab Allah.” Ia menjawab, ”Tidak, sekarang kalian yang pergi dariku atau aku yang pergi dari kalian.” Mereka pun keluar dan meninggalkannya. Ada beberapa orang yang bertanya kepada Ibnu Sirin, ”Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak mau dibacakan ayat dari kitabullah Ta’ala?” Ia menjawab, ”Saya khawatir mereka membacakan kepadaku satu ayat yang keduanya telah merubahnya dan itu yang tertanam dalam hatiku.” (Dikeluarkan oleh Ad Darimi : 397, dan Al-Laalikai dengan sanad shahih).
Dari Abdur Razzaq ia berkata, “Ibrahim Ibnu Abi Yahya berkata kepadaku, ‘Saya melihat kelompok Mu`tazilah sangat banyak pada kalian.’ Saya menjawab, ‘Betul, dan mereka mengklaim bahwa kamu termasuk dalam kelompok mereka.’ Ia berkata, ‘Tidakkah kamu mau masuk ke dalam kedai ini bersamaku agar aku dapat berbicara denganmu?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Ia berkata, ‘Mengapa kamu tidak mau?’ Saya menjawab, ‘Sesungguhnya hati itu sangat lemah dan agama bukanlah bagi orang menang (berdebat).’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah : 401, dan Al-Laalikai : 249 dengan sanad yang shahih).
Dari Mubasysyir bin Ismail Al-Halaby ia berkata, “Dikatakan kepada Al-Auzai, ‘Ada seorang lak-laki berkata, ‘Saya duduk bersama ahlu sunnah dan juga ahli bid`ah.’ Al-Auzai berkata, ‘Laki-laki ini ingin menyamakan antara Al-Haq (kebenaran) dengan kebatilan.’” (Al-Ibanah : 2/456).
Ahli bid`ah dan ahlu hawa mempunyai ciri-ciri yang dapat dikenal, di antaranya :
1. Suka memfitnah ahlu atsar (ahlu hadits).
Abu Hatim Ar-Razi –Rahimahullah- berkata, “Tanda atau cirri khas ahli bid`ah adalah selalu memfitnah dan menentang ahli hadits.” (Aqidah Abi Hatim Ar-Razi, hal. 69).
2. Sangat keras permusuhannya terhadap ahlu hadits dan membiarkan ahlu batil dengan segala penyimpangannya.
Rasulullah menjelaskan sifat mereka di dalam sabdanya,
يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ الإِسْلاَمَ, وَيَدْعُوْنَ أَهْلَ الأَوْثَان.

“Mereka memerangi orang-orang Islam dan membela penyembah berhala.” (HR. Al-Bukhari : 13/416 dalam Al-Fath, dan Muslim : hadits no. 1064).
Abu Utsman Ash-Shabuni (T. 449) berkata, “Ciri-ciri ahli bid`ah sangat jelas dan nampak, dan di antara ciri mereka yang paling khas adalah permusuhan mereka terhadap pengusung/penolong hadits-hadits Rasulullah, penghinaan mereka, penamaan mereka kepada mereka dengan istilah orang bodoh, ngawur, pragmatis, dan orang yang suka tasybih. Mereka lakukan hal tersebut karena keyakinan mereka bahwa hadits-hadits Rasulullah sangat jauh dari ilmu pengetahuan. Sementara ilmu yang mereka dapatkan dari setan adalah hasil dari akal mereka yang rusak, bisikan-bisikan jiwa mereka yang gelap, panggilan hati mereka yang kosong dari kebenaran, dan hujjah-hujjah mereka yang tidak berdasar. Mereka inilah yang akan dilaknat oleh Allah.” (Ringkasan dari Aqidah Ashab Al-Hadits, hal. 102).
Al-Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ahmad bin Sinan Al-Qaththan, ia berkata, ”Tidak ada seorang pun ahlu bid’ah di dunia ini kecuali ia pasti membenci ahlu hadits. Apabila seseorang melakukan bid’ah, sungguh ia tidak akan pernah merasakan lagi manisnya hadits di dalam hatinya.” (ibid, hal. 103)
Abu Nahir Al-Faqih berkata, “Tidak ada yang lebih berat dan paling dibenci oleh ahlu ilhad (para atheis/ahlu kufur) selain mendengarkan hadits dan riwayatnya disertai dengan sanadnya.” (Ibid, hal. 104).
Abu Utsman Ash-Shabuni juga berkata, “Saya melihat ahli bid`ah dalam memberikan gelar kepada ahlu sunnah, mereka mengikuti cara-cara orang musyrik dalam memberikan nama dan gelar kepada Rasulullah. Ada yang memberi gelar kepada Rasulullah sebagai tukang sihir, tukang ramal, penyair, orang gila, orang stress, pendusta, dan ada pula yang mengatakan bahwa beliau adalah orang yang mengada-ada. Padahal, beliau sangat jauh dan suci dari semua aib dan tuduhan yang mereka alamatkan kepada beliau. Beliau tidak lain adalah seorang utusan yang terpilih sebagai nabi, Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-Israa : 48).
Demikian pula para ahli bid`ah –semoga Allah menghinakan mereka- membuat dan menyematkan gelar-gelar kepada pendukung dan pembela Sunnah Rasulullah, para perawi hadits, para penukil hadits yang mengikuti beliau dan menjadikan Sunnahnya sebagai petunjuk, dengan nama-nama buruk, seperti, ada yang memberikan gelar orang pandir, orang yang tasybih, dan lain-lain sebagainya. Padahal, ahlu hadits sangat suci dari semua aib tersebut, mereka bersih tanpa noda. Mereka tidak lain kecuali ahlu Sunnah yang bersinar, ahli sejarah yang diridhai, jalan yang lurus, hujjah-hujjah yang kuat dan mendasar. Sungguh Allah telah menganugerahkan Taufiq-Nya kepada mereka untuk dapat mengikuti Kitab, wahyu, dan Khitab-Nya, serta dapat meneladani Rasulullah dalam Sunnah-sunnahnya, dan menolong mereka untuk dapat berpegang teguh pada sirahnya dan mendapat petunjuk dengan senantiasa mengikuti Sunnahnya. Di samping itu, Allah melapangkan dada mereka untuk mencintai Rasulullah dan mencintai Imam-imam penolong syariat-Nya, dan ulama-ulama umatnya. Siapa yang mencintai suatu kaum ia akan bersama mereka pada hari kiamat nanti. (Disadur secara ringkas dari Aqidah Ashab Al-Hadits, hal. 105).

3. Meminta bantuan kepada penguasa dan pemerintah.
Karena lemahnya hujjah dan madzhab ahli bid`ah, serta sedikitnya tipu daya mereka hingga membuat mereka meminta bantuan dalam memenangkan ajaran mereka kepada penguasa dan pemerintah, karena di sana ada unsur pemaksaan dan ketakutan kepada penguasa, sebab siapa yang menentang ia akan dipenjara, dipukul, atau dibunuh. Sebagaimana yang terjadi pada Bisyr Al-Marisy pada masa Al-Makmun dan Ahmad bin Abu Dawud pada masa Khilafah Al-Watsiq. Mereka membuat madzhab-madzhab untuk masyarakat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan syariat dan mereka menggiring mereka secara suka rela atau memaksa, hingga efek negative/bahayanya menyebar ke seluruh lapisan masyarakat dan melekat dalam kurun waktu yang lama.
Jika ahli bid`ah tidak berhasil dengan ajakan dan seruannya, mereka akan berusaha bangkit dengan bantuan pemerintah, agar peluang untuk diterima ajarannya oleh masyarakat terbuka lebar. Itulah sebabnya banyak yang akhirnya masuk ke dalam jalan dakwah sesat ini karena lemahnya iman sebagian besar masyarakat muslim. (Lihat : Al-I`tisham, Asy-Syatibi : 1/220).
Bukanlah sesuatu yang aneh bagi kita apa yang diabadikan oleh sejarah tentang malapetaka dan cobaan yang menimpa Imam Ahlu Sunnah Ahmad bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan ahlul Haq seluruhnya pada setiap zaman dan tempat.
Imam Asy-Syatibi –Rahimahullah- berkata, “Tidakkah kamu melihat kondisi ahli bid`ah pada masa Tabi`in dan setelah masa tersebut? Sungguh mereka berkolaborasi dengan para penguasa dan berlindung dibalik penjilat-penjilat dunia. Adapun yang tidak mampu melakukan hal seperti itu, ia akan bersembunyi dengan bid`ahnya dan kabur dengannya dari bermuamalah dengan khalayak ramai, dan melakukan peruatan-perbuatan bid`ah dengan sembunyi-sembunyi. (Al-I`tisham : 1/167).

4. Bersungguh-sungguh dan berlebih-lebihan dalam masalah ibadah.
Ahli bid`ah menambah semangatnya dalam bidang ibadah untuk mendapatkan penghormatan, wibawa, harta, pengaruh, dan tujuan-tujuan lainnya yang bersifat kenikmatan duniawi dan syahwat, bahkan untuk mendapatkan penghormatan terhadap syahwat dunia.
Tidakkah kalian memperhatikan bagaimana para rahib di tempat-tempat ibadah mereka mengaingkan diri dari segala macam kenikmatan-kenikamatan duniawi dan kesabaran mereka dalam beribadah, serta kerelaan mereka menahan syahwatnya, namun walaupun demikian mereka akan tetap kkal di neraka Jahannam. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS. Al-Ghasyiah : -3). Pada ayat lain Allah berfirman, (QS. Al-Kahfi : 103-104). Semua itu tidak lain hanyalah kamuflase yang mereka dapatkan dari kesungguhan dan kedisiplinan yang mereka terapkan. Mereka menganggap mudah semua yang sulit karena disebabkan oleh hawa nafsu yang mencampuri hati mereka. Apabila telah nampak bagi ahli bid`ah apa yang diinginkannya, ia melihatnya sebagai sesuatu yang disukainya, lalu apakah yang menghalanginya untuk berpegang teguh dan menambah padanya?!, sedang ia melihat dan menganggap amal-amalnya lebih baik dari amal-amal orang lain dan keyakinannya lebih tinggi dan lebih sempurna. (QS. Al-Muddatstsir : 31). Disadur seara ringkas dari Al-I`tisham : 1/165.
Peringatan !! Sungguh sebagian orang tergila-gila/terkagum-kagum dengan para ahli bid`ah karena melihat pada mereka kezuhudan, kekhusyu`an, atau tangisan akibat banyaknya beribadah. Sungguh hal itu bukanlah tolok ukur yang benar untuk mengetahui yang haq. Rasulullah menjelaskan kepada shahabat-shahabatnya tentang sifat ahli bid`ah, beliau bersabda,
يَحْقِرُ أَحَدَكُمْ صَلاَتَهُ فِيْ صَلاَتِهِ, وَصِيَامَهُ فِيْ صِيَامِهِ
“Ia akan mengejek shalat salah seorang di antara kalian dengan shalatnya, dan puasanya dengan puasanya…” Haditsnya telah ditakhrij sebelumnya.
Diriwayatkan dari Al-Auzai ia berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa barangsiapa yang melakukan bid`ah kesesatan, setan akan membuatnya terbiasa (suka beribadah), atau membuatnya menangis atau terlehat khusyu` agar ia terperangkap di dalam melakukan bid`ah terus.”

* Ciri-ciri yang paling jelas pada diri ahlu sunnah :
Yaitu apa yang dikatakan Abu Utsman Ash-Shabuni, “Salah satu ciri dan tanda ahlussunnah adalah kecintaan mereka kepada Imam-imam ahlussunnah, para ulama, dan penolong-penolongnya, serta kebencian mereka kepada imam-imam ahli bid`ah, yaitu mereka yang mengajak kepada neraka Jahannam. Sungguh Allah telah menghiasi hati orang-orang ahlussunnah dan menyinarinya dengan kecintaan kepada para ulama sunnah sebagai suatu keutamaan dari Allah Jalla Jalaluh.” (Ibid, hal. 107).
Dikatakan kepada Abu Bakar bin `Iyasy, “Wahai Abu Bakar, siapakah yang dimaksud dengan sunni (pengikut sunnah)?” Ia menjawab, “Orang yang apabila disebut hawa nafsu, ia sama sekali tidak marah dengannya.” (Al-I`tisham : 1/114).   

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال