الخميس، 10 يناير 2019

Mandiri ; Semangat Utama Islam.

Islam adalah agama kemandirian. Tidak dikenal adanya perwakilan dalam hal ibadah dan isti'anah, tanpa upaya pribadi dan mandiri secara berkelanjutan untuk masuk surga dan terhindar dari neraka. Rasulullah berfungsi mengajarkan ummat tata cara masuk surga dan menghindari neraka dengan petunjuk praktis dan praktek secara langsung. 

Pada dasarnya, Islam memang agama keahlian, bukan sekedar ikut-ikutan. Karena, ikhlas itu terkait ketulusan manusia kepada Allah; sesuai tingkat pengetahuan dan kesadaran akan kekuasaan, kehebatan dan pengetahuanNya yang meliputi segala hal. Juga sebab mengikuti Rasulullah itu butuh pemahaman tentang siapa beliau, apa yang diajarkan, apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Termasuk apa yang dilakukan beliau sebagai hamba dalam lingkup pribadi, suami, ayah, tokoh masyarakat, panglima perang, ekonom, pemimpin negara dll.

Bukankah Islam itu hanyalah perpaduan antara keikhlasan kepada Allah dan sikap mengikuti nabi dengan penuh kemandirian?! Inilah prinsip dasar Islam; la Ilaha Illallah (ikhlas), Muhammadun Rasulullah (ikut jalan dan petunjuk Nabi). Maka, diterima tidaknya ibadah manusia di sisi Allah; tergantung dari ikhlasnya yang menyatu dengan sikapnya yang sesuai dengan suri tauladan Rasulullah Saw. Itulah kemandirian tingkat tinggi manusia. 

Semuanya butuh ilmu agar muslim terampil dan profesional (ihsan). Sehingga tidak jadi beban dunia akhirat bagi kemanusiaan, tapi tampil terdepan sebagai solusi hidup penuh ketangguhan dengan bekal sejuta kemandirian. Itulah alasan kenapa Islam melarang kita ikut-ikutan tanpa  dasar ilmu dan pengetahuan. Itu pula alasan kenapa telinga, mata, nalar dan hati di akhirat kelak dipertanyakan fungsi dan pemberdayaannya selama di dunia ini. 

Perantara; Awal Mula Sejarah Kesyirikan. 

Ketika awal keberadaan Adam dan Hawwa dalam lingkup kehidupan ini, beliau berdua hanya menyesal atas penyimpangan dan pelanggaran. Rabbana zalamna anfusana Wain lam tagfirlana watarhamna lanakunna minal khasirin adalah pernyataan taubat mereka secara resmi. Setelah itu, mereka menatap masa depan dengan penuh kayakinan dan beribu optimisme. 

Fungsi khilafah dijalankan dengan penuh kecerdasan (fathanah), sarat dengan amanah, disertai tablig yang membahana dengan penuh kejujuran (siddiq). Sembilan generasi kenabian setelah beliau masih steril dari perantara dan kesyirikan. Walaupun tidak berarti maksiat tidak terjadi. Karena Qabil menjadi sponsor awal kemaksiatan akibat dengki terhadap adik sendiri; Habil. 

Puncak kemaksiatan ini berjaya ketika ummat nabi Nuh yang shaleh seperti Wad, Suwaa, Yaguts, Yauk dan Nasr dipatungkan sebagai kenangan kesalehan pada awalnya. Namun, seiring dengan siklus waktu dan pergantian generasi, patung-patung itu disembah  dan dianggap perantara manusia kepada Allah. Lahirlah kesyirikan secara resmi setelah otoritas tauhid berkuasa selama berabad-abad. Itulah saat awal ketika kebodohan merajalela secara sempurna. Mitos pun secara resmi membudaya di tengah masyarakat manusia.

Kebodohan, Sebab Ketakmandirian.

Ketika manusia minus pengetahuan agama, di situlah peluang utama iblis beserta rekanan dan bawahannya memframming manusia menuju maksiat, mengoleksi beragam dosa dan beribu penyimpangan (syirik dengan semua anak cucunya). Mereka doyan dengan pelanggaran tanpa sadar. Bahkan, seolah penyimpangan itulah standar kebenaran. Sedang kebaikan menjadi terasing dan termarjinalkan. Tidak ada kebaikan tanpa dihambat lajunya oleh iblis dan bala tentaranya. Jika tidak dibikin riya' dan sum'ah, pasti dikelabui dengan amalan palsu hasil rekayasa (syubhat) demi menghalangi tersingkapnya amalan sunnah; jalan tol (lurus) menuju cinta dan ridha Allah (surga)

Belajar, Proses Awal Menuju Puncak Kemandirian dan Keahlian. 

Karena dosa kebodohan begitu besar, bahkan segala kesalahan ditimpakan kepada kebodohan, maka, Abu Ad-Darda’, sesuai laporan imam Hasan Basri, berkata,
كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ ؟ قال : المبْتَدِعُ
“Jadilah seorang alim atau seorang pembelajar, atau seorang pendengar setia, atau seorang pecinta alim dan pembelajar. Dan,  janganlah jadi orang kelima.” Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (yang beramal asal-asalan tanpa panduan ilmu) (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

Jadi bid'ah itu menghasilkan kesyirikan dengan perantara sebagai umpan. Itulah bid'ah yang mengantarkan ke neraka. Karena tauhid itu ilmu dan keadilan. Bahkan jalan menuju kemandirian dan profesionalitas.

Dengan Tauhid, manusia adil di hadapan Allah sehingga tampil sebagai hamba yang tau diri dan sadar akan kekerdilan di hadapan yang maha mulia. Kebutuhan yang tinggi di hadapan yang maha kaya. Tauhidlah awalnya yang memandu manusia mencari bukti-bukti kehebatan Allah di alam semesta. Akhirnya, terpicu untuk menguasai sains dan tekhnologi. Mandirilah mereka secara duniawi, setelah mereka mandiri secara ukhrawi dengan iman dan takwa. Melalui peran serta takwa, mitos tak memiliki ruang dalam benak manusia. Jadilah tauhid itu landasan ilmiah untuk menuju kemandirian dan kepemimpinan dunia akhirat sekaligus.

Dari Pemula Menuju Tingkat Menengah.

Upaya memupuk keikhlasan dan merajut kesesuaian diri dengan petunjuk sang nabi teladan itu terus berlanjut sehingga muslim mulai menginjak kelas menengah keimanan. Mereka di sini sudah kokoh secara iman dan mulai mandiri secara amal. Mereka tidak lagi harus dipandu terus menerus dengan zikir jama'i ; setelah shalat 5 waktu ataupun shalawatan. Cukup sesekali sekedar mengingatkan, bukan jadi rutinitas menyalahi praktek dan standar amalan nabi. Karena dia sendiri sudah bisa berzikir mandiri tanpa bantuan dan catatan panduan. 

Ketika shalat tarawih, setelah salam, tidak perlu lagi dipandu dengan suara keras. Semuanya karena kelas menengah muslim sudah punya bekal iman dan amal mandiri; hasil dari taklim berkala dan kajian Islam terpadu. Efeknya, mereka melek ajaran normatif Islam dan mulai steril dari unsur budaya lokal yang dikonversi seolah bagian dari tradisi resmi Islam. Amalan-amalan wajib diprioritaskan sedemikian rupa dan amalan sunnah mulai dipraktekkan secara periodik. Walaupun belum menjadi menu wajib untuk pribadi. Jika dilanggar mesti diganti sebagai bentuk sanksi atas kelalaian sekaligus pelatihan demi mendisiplinkan diri. Hal ini mengantar kelas menengah mandiri ini ke tingkat profesional. 

Dari Menengah Hingga Profesional.

Segala keahlian berawal dari ilmu. Bahkan pada profesi sebagai algojo resmi negara sekalipun pakemnya tetap harus  profesional. Termasuk jagal hewan ketika idul Adha atau sembelihan biasa. 

عَنْ شَدّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ: ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: "إنّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ. فَإذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ. وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ. وَلْيُحِدّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ. فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ". رواه مسلم

Dari Syaddâd bin Aws, dia berkata, "Dua hal yang telah aku ingat-ingat berasal dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, 'Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mewajibkan agar berbuat ihsan (profesional) terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka bunuhlah secara baik dan bila kamu menyembelih, maka sembelihlah secara baik dan hendaklah salah seorang diantara kamu menajamkan mata pisaunya, lantas menenangkan binatang sembelihannya.'" (HR.Muslim) 

Itulah prosedur baku Islam. Bahkan, Allah sendiri dalam karya ciptaNya selalu level Ihsan. Nabi-nabi pun mengikuti prosedur yang sama. Maka, jangan heran, jika di setiap ujung kisah nabi di al-Qur'an, selalu saja ditutup dengan pernyataan ini :
إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  
Sungguh demikianlah Kami memberi balasan kepada orang- orang yang berbuat baik penuh profesionalitas”.

Memang, semua nabi itu mendapat karunia ilmu yang mengantarkan mereka ke level profesional penuh kemandirian. Mereka telah menunjukkan kualitas kerja keras, perlunya kerja cerdas, bagusnya kerja ikhlas dan manisnya kerja tuntas. Makanya, para nabi tidak mewariskan kekayaan (dinar-dirham), tetapi mereka menitipkan ilmu pengetahuan (hidayah dan keahlian profesi). Jalan menuju puncak kemandirian; dunia akhirat sekaligus. Semoga kita termasuk golongan mereka yang berilmu Amalia, beramal ilmiah. Allahumma Amiiiin. 

By. Idrus Abidin.
Jakarta, 8 Januari 2018. 

Ikuti update status nasehat dari kami via :
1. FB : Idrus Abidin
2. Blog :http://idrusabidin.blogspot.com/?m=1
3. YouTube Channel : Gema Fikroh.

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال