الخميس، 26 أبريل 2012

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH (MENELISIK MUKADDIMAH AL-QUR’AN)


1.      PENDAHULUAN.
Dalam ranah interpretasi al-Qur’an, surah al-Fatihah sering dianggap sebagai mukaddimah al-Qur’an yang bisa memberikan benang merah ajaran al-Qur’an. Dengan memahami kandungan surah al-Fatihah, diharapkan seorang pengkaji al-Qur’an memiliki basis pengetahuan yang kokoh untuk selanjutnya digunakan untuk lebih jauh mengakses makna-makna yang hendak dibangun dan dikembangkan dalam ajaran al-Qur’an.   Alasan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa al-Fatihah telah ditetapkan sebagai surah wajib yang harus dibaca setiap kali shalat hendak ditegakkan. Artinya, dalam sehari semalam saja seorang muslim diharapkan membaca al-fatihah sebanyak 17 kali, sesuai jumlah raka’at shalat wajib. Selain itu, Rasulullah sendiri telah menyampaikan sebuah hadits qudsi yang ia riwayatkan dari Allah Swt. tentang keutamaan al-fatihah.
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى   : قَسَمْتُ الصَّلاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ  )) : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (( قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : حَمِدَنِي عَبْدِي .وَإِذَا قَالَ :  ))الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (( قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي .وَإِذَا قَالَ  )) :مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (( قَالَ : مَجَّدَنِي عَبْدِي - وَقَالَ مَرَّةً : فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي .فَإِذَا قَالَ)) : إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(( قَالَ : هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ .فَإِذَا قَالَ : ))اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(( قَالَ : هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ . رواه مسلم

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt berfirman : Saya membagi shalat (surah al-fatihah) menjadi dua bagian. Keduanya dibagi antara Aku dan hamba-Ku. HambaKu berhak mendapatkan apa yang mereka minta. Jika seorang hamba membaca al-Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, Allah berkata “Hamba-Ku memuji Aku. Jika hamba membaca ar-Rahman ar-Rahim, Allah berkata, “Hamba-Ku mengagungkan diri-Ku. Jika hamba membaca Malik Yaumiddin, maka Allah berkata : sungguh hamba-Ku memuliakan nama-Ku. Manakala seorang hamba membaca : Iyyaka Na’budu Waiyyaka Nas’tain, Allah berkata : ibadah ini adalah hubungan Aku dengan hamba-Ku. Sedang hambak-Ku akan memperoleh apa yang ia minta. Jika hamba membaca : Ihdina Shirathal Mustqqim, Shirathallazina An’amta Alaihim Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim Walladdhallin, maka Allah mengatakan : ini bagian hamba-Ku dan mereka akan memperoleh apa yang mereka minta.[1]
Makna hadits di atas memetakan al-Fatihah menjadi tiga kategori utama :
A.  Tauhid yang merupakan hak Allah Swt. Yang terangkum dari basmalah hingga ayat ke-4.
B.  Pembagian hak dan kewajiban antara Allah dan hamba-Nya pada ayat ke-5. Ibadah sebagai hak Allah swt dan merupakan kewajiban hamba. Sedang isti’anah merupakan hak seorang hamba setelah ia menunaikan kewajibannya berupa ibadah. Isti’anah ini telah Allah tetapkan sebagai kewajiban-Nya sendiri.
C.  Isti’anah yang tertera pada ayat ke-5 tersebut mengindikasikan bahwa ayat-ayat setelahnya semuanya masuk dalam kategori hak hamba. Isti’anah yang dimaksud adalah ajaran berupa do’a permintaan yang hendaknya diprioritaskan. Yaitu permintaan hidayah dalam segala keadaan sebelum meminta fasilitas lain yang pada prinsipnya untuk mendukung pelaksanaan ibadah tersebut. Seperti, rumah, kendaraan, status sosial, dll. Karakter hidayah yang diminta adalah hidayah yang telah diterima dengan baik, berupa iman dan amal yang telah dipraktekkan secara paripurna oleh para nabi, shiddiqiin, syuhada dan shalihin. Kesatuan iman dan amal ini disebut hidayah taufiq dalam terminologi syari’ah. Atau pun berdasarkan istilah al-Fatihah sendiri, mereka itu adalah para penempuh jalan yang lurus (shiratal mustaqim), yaitu jalan iman dan amal dengan tingkat konsistensi yang mapan, hingga ajal menjemput mereka. Hidayah yang hanya bisa dinikmati secara sempurna oleh orang-orang tersebut di atas. Adapun selain mereka, hidayah irsyad yang wujudnya berupa petunjuk tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah yang belum teraflikasi dalam kehidupan nyata seseorang. Hidayah yang tidak merasuk ke dalam pikiran dan hati seseorang sehingga berpengaruh pada pola tingkah laku dan pola pikir yang integral dalam kerangka tauhid kepada Allah Swt. Hidayah seperti ini hanya akan menjadi bumerang bagi seluruh manusia, sebagaiman disinyalir oleh Rasulullah Saw dalam sebuah sabdanya, “Al-Qur’an merupakan hujjah yang akan membelamu (apabila engkau wujudkan dalam kehidupan nyata) atau menjadi bumerang manakala Engkau lalai dari petunjuknya”. Tipikal komunitas yang menyimpang dari jalan yang lurus adalah komunitas kaum Yahudi yang berbekal ilmu yang banyak. Hal ini terbukti dengan banyaknya nabi yang diutus kepada mereka. Namun mereka tidak mewujudkannya dalam amal nyata. Bahkan yang mereka lakukan adalah menentang, menyelisihi dan bahkan membunuh nabi-nabi yang diutus. Sedang di fihak lain, komunitas Nasrani sangat rajin beramal dan semangat beribadah, tetapi nihil ilmu sehingga berujung pada kesesatan.

2.      KEUTAMAAN SURAH AL-FATIHAH.
Surah al-Fatihah memiliki  beberapa keutamaan, di antaranya :
A.    Pintu langit dibuka ketika diturunkan dan juga sebagai cahaya.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قالبينما جبريل قاعد عند النبي صلى الله عليه وسلم سمع نقيضا من فوقه فرفع رأسه فقال : هذا باب من السماء فتح اليوم ، لم يفتح قط إلا اليوم ، فنزل منه ملك فقال : هذا ملك نزل إلى الأرض ، لم ينزل قط إلا اليوم ، فسلم وقال : أبشر بنورين أوتيتهما ، لم يؤتهما نبي قبلك ؛ فاتحة الكتاب ، وخواتيم سورة البقرة ، لن تقرأ بحرف منهما إلا أعطيته  ..   ]رواه مسلم وصححه الألباني في صحيح الترغيب و الترهيب / 1456 [ ..
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, “Ketika Jibril sedang duduk bersama nabi Saw, ia mendengar suarah gemuruh dari atas, lalu ia melihat ke atas sambil berkata, “itu adalah pintu langit yang terbuka hari ini. Sebalumnya tidak pernah dibuka sama sekali. Lalu turunlah mailkat darinya. Jibril berkata, “inilah salah satumalaikat turun dari langit. Ia sama sekali belum pernah turun ke bumi sebelumnya. Lalu sang malaikat mengucapkan salam kemudian berkata : Bergembiralah dengan dengan dua cahaya yang akan diberikan kepadamu. Keduanya belum pernah sama sekali diberikan kepada seorang nabi pun sebelum Engkau. Yaitu surah al-Fatihah dan penutup surah al-Baqarah….[2]

B.     Sebagai do’a penyembuh penyakit (rukyah).

عن ‏ ‏أبي سعيد الخدري ‏ ‏قال :‏ (( كنا ‏ في مسير لنا فنزلنا فجاءت جارية فقالت إن سيد الحي سليم وإن ‏ ‏نفرنا غيب ‏ ‏فهل منكم ‏ ‏راق ‏ ‏فقام معها ‏ ‏رجل ‏ ‏‏ما كنا ‏نأبنه برقية فرقاه فبرأ فأمر له بثلاثين شاة وسقانا لبنا فلما رجع قلنا له أكنت ‏ تحسن رقية أو كنت ‏ ترقي قال لا ‏ ‏ ما ‏ رقيت إلا ‏ ‏بأم الكتاب ‏ ‏قلنا لا تحدثوا شيئا حتى نأتي أو نسأل النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فلما قدمنا ‏ ‏المدينة ‏ ‏ذكرناه للنبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقال ‏ وما كان يدريه أنها ‏ ‏رقية ‏ ‏اقسموا واضربوا لي بسهم)) (( .. رواه البخاري ( ..

Dari Abu Said al-Khudri r.a. ia berkata, “Ketika kami melakukan perjalanan jauh, lalu kami singgah di sebuah perkampungan. Lalu tiba-tiba datang seorang budak perempuan sambil berkata,  tetua kampung kami sedang sakit, apakah di antara kalian ada yang bisa ? Lalu salah seorang di antara kami bangkit dan sebelumnya ia tidak memiliki pengalaman mengobati. Ia lalu membacakan baca’an ruqyah padanya hingga tetua kampung tersebut sembuh. (sebagai hadiah) ia diberikan 30 kambing dan kami juga dijamu dengan susu segar. Ketika ia kembali, kami bilang kepadanya, kamu memang bisa meruqyah atau pernah meruqyah ? Dia bilang : saya tidak mengobatinya kecuali dengan bacaan ruqyah surah al-Fatihah.  Kami sarankan padanya agar tidak menceritakan hal ini atau nanti kita tanyakan saja masalah ini kepada Rasulullah Saw. Tatkala kami tiba di Madinah, kami menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu beliau berkata, “Siapa yang mengajarinya bahwa al-Fatihah adalah bagian dari bacaan ruqyah. Kalau begitu, bagi-bagi saja hadiahnya. Jangan lupa untuk saya….[3]

3.      KANDUNGAN SURAH.

Surah al-Fatihah diawali dengan basmalah. Basmalah ini merupakan bentuk penegasan tentang orietasi sebuah amal yang hanya berdasarkan atas nama Allah. Sebuah pekerjaan yang tidak bertentangan denga prinsip Islam lalu diawali dengan basmalah maka otomatis akan menjadi ibadah yang akan mendulang pahala. Karenannya, basmalah merupakan bentuk lahir dari niat yang merupakan pekerjaan hati. Sebuah hadits menegaskan tentang ini.
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَرُ - أَوْ قَالَ : أَقْطَعُ )
Rasulullah bersabda, “Setiap hal yang memiliki nilai, tetapi tidak diawali dengan basmalah maka akan terputus berkahnya”.[4]
Berkah yang dimaksud adalah pahala yang senantiasa menjadi impian muslim sejati.
Jika kita melihat ajaran Allah Swt  (al-Qur’an) yang menyebut basmalah, maka dapat kita paparkan beberapa ayat sebagai berikut :
a)      Ketika nabi Nuh naik ke kapal laut : (Huud : 41)
وَقَالَ ارْكَبُوا فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ ) هود 41
11:41. Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
b)      Ketika surat nabi Ibrahim dikirim kepada ratu Balqis : (an-Naml : 30)
إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 27:30. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi) nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
c)      Ketika hendak membaca dan belajar (al-Alaq : 1-5).
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2(
Dalam hadits-hadits Rasulullah saw pun ditemukan beberapa anjuran beliau yang mengarahkan kita untuk membaca basmalah ketika melakukan aktifitas. Hadits-hadits tersebut seperti :
a)    Menutup pintu rumah, gelas, dll
إِذَا اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ – أَوْ كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ – فَكُفُّوا صِبْيَا نَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ تَنْتَشِرُ حِيْنَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ الْعِشَاءِ فَخَلُّوهُمْ، وَأَغْلِقْ بَابَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ الله ، وأطفئ مصباحك واذكر اسم الله ، وأوكِ سقاءك واذكر اسم الله ، وخـمِّـر إناءك واذكر اسم الله ، ولو تعرض عليه شيئا . رواه البخاري ومسلم .
Apabila malam telah datang (setelah matahari tenggelam), tahanlah anak-anak kalian, karena setan bertebaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu ‘Isya lepaskanlah (biarkanlah) mereka, tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah (mengucapkan bismillah pen.)padamkanlah pelita dan bacalah nama Allah.  Tutuplah rapat-rapat tempat air minum dengan membaca basmalah. Tutuplah bejanamu dan bacalah nama Allah…..”[5]
b)   Ketika hendak berhubungan suami istri.
عن ابن عباس رضي اللّه عنهما، عن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم قال‏:‏ ‏"‏لَوْ أنَّ أحَدَكُمْ إذَا أتى أهْلَهُ قالَ‏:‏ بِسْمِ اللّه اللَّهُمَّ جَنِّبْنا الشَّيْطانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطانَ ما رَزَقْتَنا فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ‏"‏ وفي رواية للبخاري ‏"‏لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطانٌ أبَداً‏"‏
Dari Ibnu Abbas ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika seseorang di antara kalian hendak mendatangi keluarganya lalu membaca : Bismillah, Allahumma Jannibnassyaithan Wajannibissyaitahan ‘Amma Razaktana, lalu anaknya lahir (dengan selamat) maka ia tidak akan terancam oleh ganguan setan”.[6]
c)    Ketika hendak tidur dan bangun.
عَنِ الْبَرَاءِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dari Bara’ bin Azib, "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika akan tidur membaca: Bismikallaahumma Amuutu wa Ahyaa (dengan nama-Mu, Ya Allah, aku mati dan hidup), dan apabila bangun tidur membaca: Alhamdulillaahil Ladzii Ahyaanaa Ba’da Maa Amaatanaa Wailaihin Nusyuur (Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami dan kepada-Nya (kami) akan dibangkitkan)." (HR. Bukhari)
d)   Ketika hendak makan.
جابر -رضي الله عنه-  (إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ, وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ, وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ)
Dari Jabir ra, “Apabila seseorang masuk ke rumahnya dalam keadaan berzikir kepada Allah ketika masuknya dan ketika memakan makannya, berkatalah setan: Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam. Kalau orang itu masuk rumah, dia tidak berzikir ketika masuknya, berkatalah setan: Kalian mendapatkan tempat bermalam. Dan bila dia tidak berzikir ketika makan, berkatalah setan: Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.”[7]
e)    Do’a pagi dan sore.
عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال: قالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ في صَبَاحِ كُلّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلّ لَيْلَةٍ:بِسْمِ الله الّذِي لا يَضُرّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ في الأرْضِ وَلا في السّمَاءِ وَهُوَ السّمِيعُ العَلِيمُ،ثَلاَثَ مَرّاتٍ إلَّا لم يضُرّهُ شَيْءٌ".
Dari Utsman bin Affan ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba membaca pada setiap pagi dan setiap sore menjelang : Bismillahi al-Ladzi la yadhurru ma’asmihi syaiun fil ‘Ardhi wala fissama’I wahuwassami’ul alim, 3x  maka tidak ada apa pun yang dapat membahayakan dirinya. (HR Tirmidzi. No.3516, Bukhari dalam kitab adab al-Mufrad, no.660, Abu Daud, no.5088, Ibnu Majah, no.3869, an-Nasa’I pada kitab amal al-Yaum wallailah, no.15. hadits ini ntelah dishahihkan oleh al-Bani)

Adapun ar-rahman ar-rahim, maka penjelasannya menyusul insya Allah.

الحمد لله رب العالمين

Setelah ajaran tentang niat yang dilafazkan ke dalam dunia nyata, al-Fatihah dilanjutkan dengan hamdalah. Hamdalah merupakan ucapan yang merefleksikan kecintaan kepada Allah swt. Kecintaan ini merupakan puncak ibadah. Karena ibadah pada prinsipnya hanyalah dalam rangka memuji Dzat Yang Maha Agung. Sebagai Dzat Yang Terpuji, Allah swt senantiasa di puji kapan pun dan di mana pun.[8]
1)      Terpuji di bumi dan di langit
وَلَهُ الحمد فِي السماوات والأرض [ الروم : 18 ]
30:18. dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi (QS ar-Ruum : 18)
2)      Terpuji di dunia dan di akhirat
وَهُوَ الله لا إله إِلاَّ هُوَ لَهُ الحمد فِي الأولى والآخرة }[ القصص : 70 ]
28:70. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat (QS al-Qasas : 70)
وَلَهُ الحمد فِي الآخرة وَهُوَ الحكيم الخبير } [ سبأ : 1 ]
Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS Saba’ : 1)
Jika Allah terpuji dari aspek waktu dan tempat, tentu bukan tanpa alasan. Alasan yang paling utama adalah bahwa Allah swt sebagai rab segala alam. Kata rab mengadung makna yang begitu luas. Makna yang pertama dan utama adalah penciptaan. Karenannya, surah al-Alaq sebagai sebagai surah pertama yang diturunkan Allah, Ia memperkenalkan dirinya dengan “Bacalah dengan nama Allah yang mencipta. Yang menciptkan manusia dari segumpal darah”. (QS al-‘Alaq 1- 5). Fakta ini menjelaskan bahwa alasan utama Allah perlu dicintai dan disembah adalah karena pertimbangan penciptaan tadi. Tentang ini Allah menegaskan,

2:21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Qs. Al-Baqarah: 21-22).

Karenanya, jika manusia menyembah selain Allah (syirik) maka Allah menentang manusia yang menyembah selain-Nya agar menunjukkan satu fakta pun tentang ciptaan mereka yang disembah tersebut atau pun keterlibatannya dengan Allah dalam mencipta. Firman Allah

قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الأَرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ ائْتُونِي بِكِتَابٍ مِّن قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِّنْ عِلْمٍ إِن كُنتُمْ صَادِقِي
46:4. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum (Al Qur'an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar". (QS al-‘Ahqaf [46] : 4)

Juga firman-Nya yang berbunyi :
35:40. Katakanlah: "Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang kamu seru selain Allah.  Perlihatkanlah kepada-Ku (bahagian) manakah dari bumi ini yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit atau adakah Kami memberi kepada mereka sebuah Kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? Sebenarnya orang-orang yang lalim itu sebahagian dari mereka tidak menjanjikan kepada sebahagian yang lain, melainkan tipuan belaka". (QS Fathir [35] : 40)

Selain makna mencipta, kata rab juga mengandung makna mendidik. Yaitu bahwa setelah Allah menciptakan segala mahluk, Allah tidak membiarkan ciptaan-Nya begitu saja tanpa perhatian (ri’ayah). Perhatian itu wujudnya adalah mengarahkan semua ciptaan agar sampai ke tarap kesempurnaan. Dalam bahasa syari’ah hal ini disebut sebagai tarbiyah. Dalam kerangka tarbiyah inilah Allah Swt. mengutus Rasul kepada masing-masing komunitas manusia dan jin yang ditutup dengan seorang rasul yang paripurna. Yaitu Rasulullah saw yang membawa risalah berupa rahmat ke seluruh alam. Risalah ini bukan saja diperuntukkan bagi alam manusia, jin dan hewan, tetapi juga melingkupi semua mahluk yang lain. Melalui para rasul itulah perhatian Allah senatiasa aktual karena membawa missi tauhid dan ibadah. Bekal mereka adalah kitab suci yang merupakan panduan untuk mengelola alam ini (khilafah) sesuai dengan ketentuan pencipta-Nya.  Manusia dan jin menjadi utama dalam proses tarbiyah tersebut karena diharapkan dengan pola pendidikan yang baik, mereka akan mencapai tingkat kesempurnaan. Kesempurnaan yang mereka peroleh melalui pendidikan sejak masa kecil, dari lahir tanpa ilmu hingga masa dewasa yang terinternalisasi dengan pengetahuan iman yang senantiasa memperbaharui tingkat keimanan dan peribadatannya kepada Allah Swt. Pendidikan ini dianggap berhasil manakala mereka mampu mewujudkan dua tujuan utama kehidupan. Yaitu (a) Senantiasa berkembang dan eksis dalam kehidupan dunia dengan tetap komitmen dalam syari’ah hingga berakhirnya masa hidup secara biologis di dunia ini. (b). Berkembang hingga level kekalan di akhirat kelak.[9]
Selain kedua makna rab di atas, ada juga makna lain seperti Pemberi Rizki, Penjaga dll. Namun makna-makna tersebut sebaiknya didalami dari persfektif akidah, khususnya dalam ranah tauhid rububiyah.
Adapun kata alam, sebagian ulama memandang bahwa ia merupakan pecahan kata alamah yang berarti tanda. Artinya bahwa semua jenis alam, baik alam jin, manusia, hewan dll, pada prinsipnya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Makna seperti ini misalnya ditunjukkan oleh firman Allah Swt yang berbunyi :

{ إِنَّ فِي خَلْقِ السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيَاتٍ لأُوْلِي الألباب }
[ آل عمران : 190 ]
3:190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran : 190).

Jadi, selain kata alamah yang bermakna tanda, juga kata ayat menunjuk makna serupa.[10] Kata alamah ini digunakan oleh bangsa Indonesia untuk merujuk tempat yang sering disebut sebagai alamat. Sedang orang Arab jahiliah misalanya menggunakan kata alam yang berarti tanda untuk merujuk bendera yang digunakan dalam peperangan. Bendera seperti ini, pada zaman modern digunakan untuk masing-masing komunitas sebagai lambang, seperti bendera masing-masing kontingen dalam even olahraga dll

. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kedua kata tersebut merupakan nama dan sifat Allah swt yang terderivasi dari kata rahmah. Rahmat ini artinya adalah kasih sayang. Hanya saja sifat rahman lebih mutlak cakupannya di banding sifat rahim. Karena sifat rahman mencakup muslim dan kafir serta seluruh mahluk yang ada di alam raya ini. Sedang sifat rahim hanya berlaku bagi orang beriman di dunia maupun di akhirat.[11]
Artinya bahwa, dalam lingkup kehidupan ini, Allah senantiasa menjaga dan menjamin semua mahluk-Nya. Sekali pun mahluk ada yang kafir, tetapi kasih sayang Allah tetap tercurah kepada mereka. Wujudnya berupa Rasul yang diutus dan kitab suci yang memandu agar mereka mau beriman kepada Allah sebelum ajal menjemput. Selain itu, rezki berupa kesehatan, aset dll masih berhak mereka dapatkan. Sekali pun nikmat-nikmat fisik tersebut bisa jadi tetap mengokohkan mereka dalam kekafiran. Bagi mereka yang mendapatkan kasih sayang demikian lalu tidak membalasnya dengan rasa syukur dengan ibadah maka akan terbuktilah keingkaran mereka. Ini berarti bahwa mereka tidak berhasil mewujudkan 2 tujuan utama kehidupan tersebut di atas. Bisa jadi mereka eksis dalam hidup duniawi ini tetapi tidak dalam koridor ibadah dan khalifah Allah Swt. Dengan demikian, pada kehidupan selanjutnya (akhirat) mereka hanya akan mendapatkan penyiksaan massal dalam neraka jahannam. Naudzu billah.
Tentang sifat Allah Yang Maha Rahman dengan cakupan yang begitu luas tersebut dapat kita temukan makna-makna dalam al-Qur’an seperti ayat-ayat berikut[12] :
{ ثُمَّ استوى عَلَى العرش الرحمن } [ الفرقان : 59 ]
25:59. Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia. (QS al-Furqan : 59)
{ الرحمن عَلَى العرش استوى } [ طه : 5 ]
20:5. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy.
Maksudnya bahwa Allah yang maha rahman menyebar rahmat-Nya dari wilayah mulia, yaitu Arasy. Dengan demikian, rahmat tersebut menyeluruh dan mencakup semua mahluk. Salah satu contoh rahmat Allah tersebut Allah tunjukkan pada pergerakan burung yang mengepakkan sayapnya saat terbang. Bukti kasih sayang dan kekuasaan Allah ini dijadikan sebagai argument bagi orang-orang kafir agar mereka mau beriman dan beribadah hanya kepada-Nya semata :
{ أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطير فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلاَّ الرحمن} [ الملك : 19 [
67:19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.
Artinya bahwa, untuk sekedar bergerak saja, mahluk membutuhkan kasih sayang Allah swt. Gerak dan diam yang biasanya menjadi ciri kehidupan, ternyata membutuhkan rahmat Allah swt untuk memfungsikannya dalam kehidupan ini.
Untuk mengakses bentuk-bentuk ramat Allah yang begitu luas, Allah menunjukkan  beberapa di antaranya dalam surah ar-Rahman :
الرَّحْمَنُ (١)عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢)خَلَقَ الإنْسَانَ (٣)عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (٤)الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (٥)وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ (٦)وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (٧)أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (٨)وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (٩)وَالأرْضَ وَضَعَهَا لِلأنَامِ (١٠)فِيهَا فَاكِهَةٌ وَالنَّخْلُ ذَاتُ الأكْمَامِ (١١)وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُ (١٢)فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (١٣)       ( الرحمن : 1-13 )
(1). (Tuhan) Yang Maha Pemurah, (2). Yang telah mengajarkan Al Qur'an.(3). Dia menciptakan manusia,(4). Mengajarnya pandai berbicara.( 5). Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (6). Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.(7). Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).(8). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.(9). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.(10). Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk (Nya).(11). di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.(12). Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.(13). Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman : 1-12)

Untuk lebih menegaskan tentang rahmat Allah swt tersebut di atas, pada hadits-hadits Nabi pun banyak ditemukan penjelasan tentang rahmat Allah yang bersifat mutlak ini. Di antaranya seperti berikut :
وعن أَبي هريرة رضي الله عنه ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم : (( لَمَّا خَلَقَ الله الخَلْقَ كَتَبَ في كِتَابٍ ، فَهُوَ عِنْدَهُ فَوقَ العَرْشِ : إنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبي )) . مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata : Rasulullah Saw besabda, “Tatkala Allah menciptakan mahluk, Ia menulis pada salah satu kitab yang Ia simpan di sisi-Nya di ‘Arasy (yang berbunyi), “Sungguh rahmat-Ku melampai kemurkaan-Ku.[13]
وعن أَبي هريرة رضي الله عنه ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول : (( إنّ للهِ تَعَالَى مئَةَ رَحمَةٍ ، أنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الجنِّ وَالإنس وَالبهائِمِ وَالهَوامّ ، فبها يَتَعاطَفُونَ ، وبِهَا يَتَرَاحَمُونَ ، وبِهَا تَعْطِفُ الوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا ، وَأخَّرَ اللهُ تَعَالَى تِسْعاً وَتِسْعينَ رَحْمَةً يرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ القِيَامَة))  مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata : saya mendengar Rasulullah Saw berkata, “Allah swt memiliki 100 rahmat. Ia menurunkan satu rahmat semata untuk jin, manusia, hewan dan serangga. Dengan satu rahmat itulah mereka semuanya dapat berkasih saying. Dengan itu pula binatang buas bisa jinak terhadap anak-anaknya. Allah menunda 99 rahmat yang Ia simpan di sisinya, yang nantinya digunakan untuk memberikan kasih saying terhadap hambanya pada hari kiamat kelak.[14]

Sedang terkait dengan sifat rahim Allah terhadap orang beriman, dengan memberikan taufiq kepada mereka sehingga mereka merasakan nilai keimanan dan amal shaleh, hal yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir, maka dapat kita tunjukkan beberapa berikut[15] :
{ وَكَانَ بالمؤمنين رَحِيماً } [ الأحزاب : 43 ]
Dan sungguh Allah Swt sangat menyayangi orang-orang beriman (QS al-‘Ahzab : 43)

Salah satu wujud sifat rahim Allah terhadap kaum beriman adalah bahwa Allah memberikan rahmat dan dan para malaikat-Nya memohonkan ampunan bagi mereka  supaya Allah mengeluarkannya dari gelapnya kekafiran menuju cahaya iman dan taqwa. Allah berfiraman :
{ هُوَ الذي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلاَئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِّنَ الظلمات إِلَى النور وَكَانَ بالمؤمنين رَحِيماً } [الأحزاب : 43 ]
33:43. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Bentuk lain dari sifat rahim Allah terhadap kau beriman adalah ampunan yang senantiasa tercurah kepada mereka. Allah berfiraman :
{ لَقَدْ تَابَ الله على النبي والمهاجرين والأنصار الذين اتبعوه فِي سَاعَةِ العسرة مِن بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ } [ التوبة : 117]
9:117. Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu.  Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,

Sifat rahim yang kemudian berwujud pada datangnya ampunan Allah demikian dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu hadits qudsi berikut :
وعن أَبي هريرة رضي الله عنه ، عن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم فيما يحكِي عن ربهِ تبارك وتعالى ، قَالَ : (( أذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْباً ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي ، فَقَالَ الله تَبَاركَ وَتَعَالَى : أذنَبَ عبدي ذَنباً ، فَعَلِمَ أنَّ لَهُ رَبّاً يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بالذَّنْبِ ، ثُمَّ عَادَ فَأذْنَبَ ، فَقَالَ : أيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبي ، فَقَالَ تبارك وتعالى : أذنَبَ عبدِي ذَنباً ، فَعَلِمَ أنَّ لَهُ رَبّاً ، يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بالذَّنْبِ ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي فَلْيَفْعَلْ مَا شَاءَ))
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, dari Rasulullah saw bersabda sesuai dengan apa yang belia sampaikan dari Allah Swt., “Jika seseorang berdosa, lalu ia berdo’a Ya Allah ampunilah dosaku maka Allah akan berkata : hambaKu berdosa dan ia sadar bahwa ada Allah yang akan mengampuni dosanya. Lalu ia melakukan hal yang sama hingga ia berdosa lagi, kemudian ia berdo’a, Ya Allah, ampunilah dosaku maka Allah akan berkata : hambaKu berdosa dan ia sadar bahwa ada Allah yang akan mengampuni dosanya. Sungguh Aku telah mengampuni dosa-dosa hamba-Ku. Maka silahkan ia melakukannya (selama ia tetap minta ampunan.).[16] [17]

مَالِكِ يَوْمِ الدِّين ( Penguasa hari kiamat)

Selain Allah terpuji karena Ia sebagai Pencipta seluruh alam dan juga karena Ia memiliki stok kasih sayang yang luar biasa, maka Allah juga terpuji karena Ia penguasa hari kiamat. Kasih sayang Allah yang begitu luar biasa di dunia ini sehingga memberikan hak memilih kepada manusia dan jin. Hak memilih ini disebut amanah dalam syari’ah. Dalam bahasa kontemporer, amanah berupa hak memilih tersebut dikenal dengan istilah kebebasan. Yaitu kebebasan untuk memilih petunjuk Allah dalam Islam atau pun memilih kekafiran. Dengan kebebasan inilah Allah menguji hamba-Nya dengan ibadah. Tanpa adanya kebebasan demikian, ibadah tidak pernah terjadi. Karena hakikat ibadah adalah ketundukan dengan penuh ketulusan yang dilandasi oleh cinta yang mendalam. Ketundukan secara tulus tanpa adanya kebebasan, seperti layaknya system tata surya kita yang bergerak sesuai dengan ketentuan Allah tanpa adanya hak memilih sama sekali, maka itu disebut sebagai gerak sistemik dan tidak bisa sama sekali disebut sebagai ibadah. Jadi, jika dipandang dari persfektif duniawi, kita diciptakan, bergerak, hidup, beraktifitas, mendapatkan peringatan melalui para rasul dan media berupa kitab suci, itu semua adalah bentuk kasih sayang Allah Swt. Belum lagi ditambah dengan kebebasan selama hidup ini. Apalagi jika kebebasan yang dimaksud nantinya baru mulai diperhitungakan dari aspek dosa maupun pahala setelah akil balig kelak. Ditambah lagi pembatasan-pembatasan lain seperti yang disebutkan oleh Rasululah dalam salah satu sabdanya :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ، وَعَنِ المَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ»قال الشيخ الألباني : صحيح
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pena pencatat amal dan dosa diangkat dari tiga hal ; dari orang yang sedang tertidur hingga ia bangun, dari orang gila hingga sadar dan dari anak-anak hingga ia akil balig.[18]

Kasih sayang Allah yang begitu luas di dunia ini, terutama kebebasan, terkadang membuat manusia dan jin lupa dan terlena. Mereka lupa dan terlena betapa kebebasan tersebut seharusnya tetap dibarengi dengan tanggung jawab yang tinggi. Tanggung jawab berupa amanah kekhalifaan yang  meniscayakan dirinya sebagai penerus ajaran ketuhanan. Lalai dari ketentuan Allah tersebut bisa jadi berakibat fatal, karena untuk maksud itulah ia berada dalam wujud ini. Karenanya Allah swt mengingatkan, bahwa betul Allah penuh dengan kasih sayang, tetapi jangan lupa bahwa Allah penguasa hari kiamat pula. Hari di mana makna kasih sayang berubah menjadi tangung jawab. Yakni, apakah kebebasan selama di dunia benar-benar digunakan untuk memperaktekkan nilaai-nilai agama yang telah direkomendasikan oleh Allah.

Sebagai penguasa hari kiamat, Allah berkuasa secara mutlak pada hari itu. Kebebasan semua mahluk dicabut. Bergerak dan berbicara saja harus dengan izin Allah. Mereka-mereka yang menggunakan kebebasnnya dalam rangka patuh pada aturan agama Allah akan mendapatkan kebebasan yang lebih besar. Sementara pada pengikut hawa nafsu kebebasan akan terbelenggu oleh sikapnya sendiri. Tentang kemutlakan kekuasaan Allah pada hari kiamat, dan keterpasungan mahluk, Allah tegaskan dalam al-Qur’an :
{ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدين ثُمَّ مَآ أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدين يَوْمَ لاَ تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئاً} ]الانفطار: 17-19 ]
Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (QS al-Infithar :17-19).

Sebuah hadits menggambarkan kekuasaan Allah pada hari itu :

عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رضي الله عنه ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ ثُمَّ يَطْوِي اْلأَرَضِينَ بِيَدِهِ اْلأُخْرَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ. )متفق عليه(

Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allah Azza wa Jalla menggulung langit pada hari kiamat dan menggenggam-nya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana orang-orang yang sombong?” Kemudian menggulung bumi-bumi dan menggenggamnya dengan tangannya yang lain seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia, mana orang-orang yang sombong?”[19]

Pada hari itulah Allah menegaskan kekuasaan-Nya, dengan memberikan kenikmatan kepada mereka-mereka yang telah meneyelisihi hawa nafsunya demi patuh kepada Allah dan memberi balasan siksaan terhadap siapa pun yang karena nafsunya menyeleweng dari tanggung jawab ibadah kepada-Nya. Hari itulah keputusan tentang kebenaran dan kesalahan betul-betul ditegakkan. Allah berfirman :
{ يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ الله دِينَهُمُ الحق } [ النور : 25 ]
24:25. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).


NUANSA KEINDAHAN SUSUNAN AYAT.

Seperti ditegaskan sebelumnya bahwa al-Fatihah pada potongan pertama ayat-ayatnya mengandung ajaran tauhid yang utama. Sehingga  al-Fatihah tampak fokus pada keesaan Allah dan hak-Nya untuk disembah dengan penuh ketulusan oleh seluruh mahluk. Ibadah yang dimaksud adalah ketundukan dan menghinakan diri, makna seperti ini jika ditinjau dari aspek kebahasaan. Sedang jika dilihat dari penggunaa syari’at tentang kata ini ditemukan makna berupa, ibadah adalah sebuah nama yang merangkum semua yang dicintai oleh Allah dan diridha’i oleh-Nya, baik berupa perkataan dan perbuatan, lahir maupun batin.[20] Spektrum makna ibadah yang begitu luas demikianlah yang menunjukkan bahwa semua sektor kehidupan dalam pandangan Islam merupakan lahan ibadah. Yang terpenting adalah mengetahui persfektif Islam pada masing-masing sektor untuk diaplikasikan. Dengan demikian, kecintaan dan keridha’an Allah bisa diperoleh.

Jika kita memandang kategori sebuah amalan yang bisa diterima oleh Allah, sebagaimana yang telah diformulasikan oleh ulama, ditemukan ada 2 syarat utama :
A.    Ihlas sebagai syarat internal
B.     Mengikuti tata cara yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah sebagai syarat eksternal.
Jika kita elaborasi secara mendalam tentang faktor lahirnya keikhlasan, maka ditemukan bahwa pengenalan kepada Allah-lah yang begitu berperan. Karena keihlasan juga semakna dengan ibadah secara global maka ulama menetapkan bahwa pilar-pilar ibadah juga ada 3, yaitu :
1)      Kecintaan yang begitu tulus kepada Allah Swt.(mahabbatullah)
{ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ } (البقرة : 165)
“Orang-orang yang beriman sangat tinggi rasa cintanya kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah : 165)
2)      Harapan yang sangat besar kepada Allah Swt.(raja)
{ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ } (الإسراء : 57)
“Mereka Mengharapkan Rahmat Allah” (al-Isra’ 57)
3)      Rasa takut yang sangat mendalam terhadap-Nya.(khauf)
{ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ } (الإسراء : 57)
“Mereka sangat takut terrhadap azab-Nya” (al-Isra’ 57)

Manakala ketiga pilar ibadah ini ditinjau dari sistematika al-Fatihah, maka ditemukan perpaduan yang sangat teratur. Yaitu bahwa kecintaan yang begitu tulus ada pada ayat yang berbunyi “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam”. Pujian ini adalah pernyataan cinta yang mendalam dari seorang hamba terhadap Allah Swt. Pujian ini tentu bukan karena doktrin keimanan semata yang lepas dari alasan rasional. Karena alasan pujian dan kecintaan demikian, seorang hamba mengharapkan rahmat Allah yang begitu luas nan melimpah. Makna demikian ditemukan pada ayat “ar-Rahman ar-Rahim”. Karena cinta dan harapan itulah sehingga seorang hamba merasa senantiasa khawatir manakala Dzat yang ia cinta dan ia harapkan marah dan murka kepadanya. Makna tersebut terdapat pada ayat yang berbunyi “Allah Penguasa Hari Kiamat”. Pada ketiga nuansa internal demikianlah seorang hamba senantiasa berada dan karenanya dipandang seorang yang yang senantiasa dalam nuansa ibadah. Itulah nuansa keindahan sistematika ibadah adalam al-Fatihah.[21]

Jika nuansa demikian terasa, saat hamba sedang menghadap kepada-Nya (shalat) dengan melafalkan ayat-ayat di atas, maka tentu tidak asing lagi jika lanjutan ayat akan bernuansa pernyataan, deklarasi dan penegasan untuk senantiasa tunduk dan patuh dalam segala sektor kehidupan. Itulah lanjuan ayat berikutnya :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ

Ungkapan, hanya Engkaulah yang kami sembah merupakan pembatasn. Yakni bahwa tiada yang kami sembah kecuali Engkau. Dalam Islam, jika kita mengatakan, kami menyembahmu, tanpa pembatasan obyek yang disembah, maka hal itu belum dianggap masuk dalam kategori tauhid. Karena masih mengisyaratkan adanya pihak lain yang disembah selain Allah. Karenannya, dalam Islam, simbol tauhid (La Ilaha Illallah) diawalai dengan peniadaan segala yang disembah, lalu menegaskan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Itulah makna tauhid sesungguhnya.
Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan perwujudan makna لا إله إلا الله . Karena ia mengadug 2 rukun utama, yaitu ( 1 ) peniadaan (nafy) beragam tuhan dan ( 2 ) penegasan (itsbat) Allah sebagai satu-satunya Dzat Yang Pantas Disembah.   Di sini Allah swt mendahulukan kata إياك yang bermakna hanya kepadamulah satu-satunya. Ia merupakan bentuk peniadaan (nafy) yang merupakan rukun pertama لا إله إلا الله . Sedang kata نعبد yang maknanya yang kami sembah adalah bentuk penegasan (itsbat) terhadap Allah sebagai yang harus disembah.

Di dalam al-Qur’an, kita banyak menemukan ayat-ayat yang senantiasa memadukan kedua makna tersebut (mengandung 2 rukun La Ilaha Illallah) . Beberapa di antaranya seperti berikut[22] :
A.    Al-Baqarah : 21-22.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (٢١)الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٢) ( البقرة : 21-22 )
2:21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

B.     Al-Baqarah  : 256.
{ فَمَنْ يَكْفُرْ بالطاغوت وَيْؤْمِن بالله فَقَدِ استمسك بالعروة الوثقى }[ البقرة : 256  ]
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

C.     An-Nahl : 36.
{ وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت }[ النحل : 36]
16:36. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu",

D.    Al-Zukhruf : 26-27.
{ وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَآءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلاَّ الذي فَطَرَنِي }
43:26. Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah,tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku".

Catatan  :

Bagi  an tentang Allah berakhir pada ayat ini. Sedang ayat-ayat setelahnya akan fokus pada bagian hamba. Sebagai penghubung yang menegaskan tentang bagian Allah dan bagian hamba ini, di sini kami paparkan sebuah hadits berikut :
وعن معاذ بن جبل - رضي الله عنه - ، قَالَ : كُنْتُ رِدْفَ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - عَلَى حِمَارٍ ، فَقَالَ : (( يَا مُعَاذُ ، هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الله عَلَى عِبَادِهِ ؟ وَمَا حَقُّ العِبَادِ عَلَى الله ؟ )) قُلْتُ : اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ . قَالَ : (( فإنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى العِبَادِ أنْ يَعْبُدُوهُ ، وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيئاً ، وَحَقَّ العِبَادِ عَلَى اللهِ أنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيئاً )) فقلتُ : يَا رَسُول الله ، أفَلا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ : (( لاَ تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Dari Muadz bin Jabal r.a ia berkata, saya pernah dibonceng oleh Rasululah Saw  di atas sekor himar. Belia mengatakan, “wahai Muadz ! apa kamu tau hak Allah terhadap hambanya dan hak hamba terhadap Allah ?! saya menjawab : Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengeteahui. Beliau mengatakan, “Hak Allah terhadap hambanya adalah mereka menyembahnya (denga tulus) dan sama sekali tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Sedang hak hamba terhadap tuhannya yaitu Allah tidak akan mengazab siapa pun yang tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Saya berkata : bisakah saya menyampaikannya kepada yang lain ? beliau menjawab, “Jangan. Nanti mereka hanya mengandalkan amalan wajib saja, (lalu lupa memperbanyak amalan sunnah)”.[23]

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (Hanya Kepada-Mu kami minta pertolongan).

Penyebutan ayat ini setelah إِيَّاكَ نَعْبُدُ mengandung isyarat bahwa tidaklah pantas bertawakkal kepada pihak yang tidak pantas untuk disembah. Karena Allah-lah satu-satuNya Zat Yang Harus Disembah maka hanya kepada-Nya pula satu-satu-Nya zat yang pantas ditempati minta pertolongan dan tempat menyerahkan diri.[24] Relasi kedua makna ini menujukkan sebuah perpaduan yang sempurna. Karenanya, keduanya menunjukkan tauhid yang paripurna pada sisi penyembahan dan pada aspek permintaan. Terkadang hamba menyembah Allah, tetapi senantiasa jatuh dalam kesyirikan dalam masalah isti’anah ini, dengan memohon bantuan kepada dukun misalnya, atau pun mempercayai kesaktian dan kehebatan mahluk selain Allah. Sebaliknya, orang kafir terkadang tidak peduli dengan hak Allah untuk disembah, tetapi pada saat segala yang mereka harapkan tidak bisa memberikan apa-apa, mereka kembali kepada fitrahnya, yaitu meminta hanya kepada Allah semata. Padahal tauhid sesungguhnya adalah ada pada ibadah secara total kepada Allah dan meminta secara total pula kepada-Nya. Tentunya pada hal-hal yang hanya Allah saja yang mampu.

Makna yang menegaskan bahwa pihak yang berhak disembah hanyalah pihak yang pantas pula dimintai pertolongan atau pun sebalikya banyak kita temukan dalam al-Qur’an. Relasi ini disebut relasi ibadah dan tawakkal. Ayat-Ayat Yang Menunjukkan Rangkaian Ibadah dan Tawakkal seperti berikut[25] :
A.      At-Ttaubah 129.
{ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ الله لا إله إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ } [ التوبة : 129 ]
9:129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung".

B.  Huud : 123.
{ فاعبده وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ } [ هود : 123 ]
11:123. Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.

C.  Al-Muzzammil.
{ رَّبُّ المشرق والمغرب لاَ إله إِلاَّ هُوَ فاتخذه وَكِيلاً } [ المزمل : 9 ]
73:9. (Dia-lah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.

D.  Al-Mulk.
{ قُلْ هُوَ الرحمن آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا } [ الملك : 29 ]
67:29. Katakanlah: "Dia-lah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakal.

Makna Isti’anah

Dalam pandangan Ibnu Qayyim, istiaanah adalah Meminta bantuan Allah swt untuk memperolah kebaikan dan menghindari keburukan disertai dengan sikap berlepas diri dari berbagai kekuatan dan kekuasaan mahluk.
Isti’anah mengandung 2 pilar penting :
1.    Keyakinan penuh kepada Allah swt.
2.    Penyerahan diri kepadanya (tawakkal).
Manusia membutuhkan isti’anah dalam 3 aspek :
A.  Melaksanakan perintah.
B.  Menjauhi larangan.
C.  Bersabar dalam takdir.
Makna istianah demikian disemai oleh Rasulullah saw kepada para sahabat pada setiap kondisi yang memungkinkan. Di antaranya, ketika beliau sedang mengendarai onta, keledai atau pun kendaraan lain bersama dengan sahabat pada salah satu kasus berikut :
عن أبي العباس عبدالله بن عباس رضي الله عنه قال كنت خلف النبي صلى الله عليه وسلم يوماً فقال " يا غلام , إني أعلمك كلمات : احفظ الله يحفظك , احفظ الله تجده تجاهك , إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله , واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك , وإن اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك , رفعت الأقلام وجفت الصحف " رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح ً
Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata : Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat : Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. Tirmidzi, ia berkata : Hadits ini hasan, pada lafazh lain hasan shahih.[26]  

Hikmah didahulukannya ibadah sebelum isti’anah dalam pandangan Ibnul Qayyim adalah sebagai berikut :
1)        Ibadah merupakan tujuan penciptaan sedang isti’anah adalah sarana untuk ibadah.
2)        Ibadah berkaitan dengan uluhiyyah sedang isti’anah berhubungan dengan rubuiyah.
3)        Ibadah adalah hak Allah sedang isti’anah adalah hak hamba.
4)        Ibadah mencakup isti’anah sedang istia’anah tidak berarti ibadah.
5)        Ibadah hanya untuk orang ikhlas sedang isti’anah bisa diakses oleh orang kafir.
6)        Ibadah adalah hak Allah sedang isti’anah adalah kewajiban-Nya. Hak harus didahulukan dibanding kewajiban-Nya. [27]

 (Tunjukilah kami jalan yang lurus)اهدنا الصراط المستقيم

Isti’anah yang merupakan hak hamba tersebut di atas, secara detail diterangkan oleh Allah Swt pada ayat berikutnya berupa permintaan hidayah untuk dapat komitmen pada jalan yang lurus. Seolah Allah menegaskan bahwa, jika setelah beribadah dan memberikan hak-hak-Ku berupa ibadah maka mintalah segala kebutuhannmu. Lalu Allah menunjukkan hak manusia pertama yang harus diprioritaskan dalam do’a, yaitu permintaan untuk senantiasa konsisten dari sejak awal masa hidup hingga akhir masa dalam jalur shiratal mustaqim. Shiratul Mustaqim adalah sejumlah ajaran yang mengarahkan manusia untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat, berupa akidah, adab, dan aturan (hukum) yang diperoleh melalui jalur ilmu yang bersumber dari al-Qur’an, dijelaskan oleh Rasulullah saw. dan diformulasikan dalam bentuk ajaran Islam.[28]

Shirathal Muttaqim oleh kalangan sahabat ditafsirkan dengan beragam makna tetapi tetapi bermuara pada satu maksud. Yaitu bahwa shitatal mustaqim adalah Islam. Ada pula yang mangatakan bahwa yang dimaksud adalah al-Qur’an dan adapula yang mengatakan iman. Perbedaan ini hanyalah bersifat variatif  dan bukanlah perbedaan kontradiktif. (Lihat : Tafsir Fath al-Qadir, Karya : al-Syaukani, Tafsir Ayat Ihdina Shirathal Mustaqim, tentang perbedaan sahabat dalam menafsirkannya).

Beberapa Bentuk Hidayah.
  1. Hidayah berupa instink (fitrah) yang mengarahkan ciptaan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya dan melindungi diri berupa akal dan pengetahuan yang sangat mendasar.
{ الذي أعطى كُلَّ شَيءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هدى } [ طه : 50 ]
(Allah yang telah) Memberikan tanda-tanda yang membedakan antara yang hak dan yang batil (QS Thaha : 50)
وَهَدَيْنَاهُ النجدين } [ البلد : 10 ]
90:10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS. al-Balad : 10)
{ وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فاستحبوا العمى عَلَى الهدى} [ فصلت : 17 ]
41:17. Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, (QS Fusshilat : 17)
  1. Penurunan kitab suci dan diutusnya seorang Rasul.
{ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا } [ الآنبياء : 73 ]
21:73. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami (QS.al-‘Anbiya : 73)
وقوله : { إِنَّ هذا القرآن يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ }]الإسراء: 9، [10.
17:9. Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus (QS al-Israa : 9)
  1. Membuka tabir segala sesuatu sebagaimana adanya melalui wahyu, mimpi dan ilham
{ أولئك الذين هَدَى الله فَبِهُدَاهُمُ اقتده } [ الأنعام : 90 ]
6:90. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.  (QS. al’An’am : 90)


 صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat)

Jalan yang lurus yang telah kita jelaskan sebelumnya, baik yang sifatnya tafsiran kata maupun secara formalitas dalam bentuk peristilahan, pada perinsipnya berbicara tentang kesatuan antara ilmu dan amal. Sehingga makna jalan lurus sesungguhnya adalah benarnya ilmu berdasarkan pada formulasi al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salaf terhadap kedua sumber tersebut. Terutama dalam lingkup akidah, karena dengan berkembangnya trend pemikiran yang berusaha untuk mendekatkan antar masing-masing pemikiran, baik antara ajaran Islam dengan ajaran lain, maupun dalam lingkup ajaran Islam yang memiliki metodologi berbeda dalam memahami akidah, maka konsep shirathal mustaqim menjadi kabur. Bahkan, jika dibiarkan maka corak pemikiran demikian ada yang bercorak rasional layaknya ajaran Yahudi dan ada pula yang bercorak spiritual sekali sehingga condong ke ajaran Nasrani. Konsep shirathal mustaqim yang dikembangkan oleh Islam, khusunya dalam lingkup al-Fatihah minimal telah berusaha menghindari ke-2 kecenderungan tersebut. Tentunya dengan senantiasa memohon hidayah dari Allah swt sambil belajar dan beramal.

Jika akidah sudah dipahami berdasarkan pada persfektif al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salaf, maka amal yang merupakan lingkup fikih dan ahlak mulia kita jajaki dengan baik. Jika pada ranah akidah tidak mengenal adanya istilah naskh dan tidak mengenal pembatasan waktu pemberlakuan, maka dalam ranah fikih dibutuhkan semacam ijtihad dan pembaharuan (tajdid) dalam rangka mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Jika kaum muslimin dalam ranah akidah kurang tepat dalam memformulasikan pengetahuan Islam dan jauh dari persfektif kaum salaf, maka istilah jalan lurus akan melemah di tengah ummat. Salah satu contohnya adalah, manakala Islam cenderung didekati dengan pendekatan rasional, sebagaimana yang dilakukan oleh filosof Muslim, maka nuansa Islam akan mengarah ke gaya Yahudi yang telah terkubur ajarannya karena rasionalitas yang berlebihan. Rasionalitas sebuah ajaran biasanya sangat lekat dengan cita rasa duniawi. Sedangkan di pihak lain, ketika Islam didekati dengan spiritual murni maka akan lahir cara beragama yang cenderang dengan trend agama Nasrani, yang kelihatannya terlalu condong ke akhirat. Cara beragama seperti ini, dalam lingkup keislaman, identik dengan metode Tasawwuf dan metode Thariqat.

Dengan pertimbangan demikian, dengan gaya Yahudi yang rasional dan dengan banyak nabi yang dikirim kepada mereka, sehingga secara kuantitas keilmuan, mereka tidaklah kurang. Permaslahan mereka terletak pada pembangkangan dan kesombongan, sehingga mereka sulit untuk beramal. Cukuplah sebagai bukti, perintah Allah kepada mereka untuk menyembelih sapi, tapi dengan beragam pertanyaan yang sifatnya hanyalah pembangkangan sehingga mereka hampir tidak dapat melaksanakan perintah Allah dalam hal tersebut. Sementara di pihak lain, orang Nasrani dianggap rajin beramal dengan penuh antusias, tetapi terkadang kekurangan bekal ilmu sehingga mereka cenderung tersesat.
Ummat Islam diarahkan oleh Allah Swt agar meminta jalan yang lurus. Karakter jalan yang lurus tersebut mencakup ilmu yang mapan dan amal yang benar. Jika kita elaborasi sedikit dengan lebih tematis maka lahirlah istilah tauhid pada aspek keimanan dan istilah fikih dalam ranah aflikasi. Lalu lebih direalkan lagi menjadi ikhlas dan mengikuti tata cara nabi Saw. yang merupakan syarat diterimanya sebuah amalan dalam Islam. Ujungnya adalah prinsip Islam berupa La Ilaha Illallah, Muhammadun Rasulullah. Itulah jalan yang lurus sesungguhnya.

Orang-orang yang telah diterima iman dan amalnya tersebut dan terbukti konsisten pada iman dan amal itu hingga meninggal dunia adalah para nabi, syuhada dan shalihin. Sehingga merekalah yang disebut-sebut sebagai orang yang telah mendapatkan nikmat jalan lurus dan mereka pula dijadikan sebagai percotohan dalam masalah jalan lurus tersebut. Sekali pun di surah al-Fatihah, mereka belum tersebutkan secara formal. Nantilah di surah  an-Nisaa’ mereka dijelaskan dengan sangat nyata oleh Allah Swt.
{ فأولئك مَعَ الذين أَنْعَمَ الله عَلَيْهِم مِّنَ النبيين والصديقين والشهدآء والصالحين وَحَسُنَ أولئك رَفِيقاً} [ النساء : 69 ] .
4:69. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS.an-Nisaa : 69)

غَيْرِ المغضوب عَلَيْهِم (Bukan orang-orang yang dimurkai)

Orang yang dimurkai oleh Allah adalah orang-orang yahudi yang mengenal kebenaran tapi tidak mau mengamalkannya. Akhirnya mereka dibenci oleh Allah Swt. Yakni bahwa secara pengetahuan mereka tidak bermasalah. Permasalahan mereka ada pada hilangnya semangat beramal. Ketika seseorang mengenal kebenaran tetapi tidak mau menjadikannya sebagai amalan maka ujungnya adalah kemurkaan. Makna dibenci dan dimurkai ini diperkuat dengan makna ayat yang lain yang tertuju kepada sikap orang-orang Yahudi. Sebagai contoh, perlakuan syirik mereka selepas kepergian nabi Musa ke gunung Tursina untuk menerima kitab Taurat, dimanfaatkan oleh mereka untuk menyembah anak sapi sebagai tuhan. Sehingga dengan sikap itu mereka disebut sebagai komunitas yang mendapatkan kemurkaan Allah.[29] Firman Allah :

{ إِنَّ الذين اتخذوا العجل سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ } [ الأعراف : 152 ]
7:152. Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka (QS al-‘A’raf : 152)

Hal lain adalah penginkaran mereka terhadap al-Qur’an dan kedengkian mereka terhadap Rasulullah sebagai peneriwa wahyu terakhir sehingga berefek pada laknat dan kemurkaan Allah Swt. Allah berfirman :

{ فَبَآءُو بِغَضَبٍ على غَضَبٍ } [ البقرة : 90 ]
2:89. Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.

Juga karena pembangkangan, banyak diantara mereka dijadikan kera dan babi oleh Allah. dan semua itu menjurus kepada kaum yahudi. Allah berfirman :

{ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِّن ذلك مَثُوبَةً عِندَ الله مَن لَّعَنَهُ الله وَغَضِبَ عَلَيْهِ } [ المائدة : 60 ]
5:60. Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. al-Maidah : 60)

وَلاَ الضآلين (Bukan orang-orang yang tesesat)

Orang-orang yang tersesat adalah mereka yang minim ilmu sekalipun sibuk beramal. Amal tanpa ilmu bagaikan berjalan tanpa mengetahui alamat atau pun peta perjalanan. Ujungnya hanyalah kesesatan dan kebingungan. Orang Nasrani memiliki karakteristik ini. Hal ini dipahami berdasarkan pada al-Qur’an yang membahas tetantang hakikat kenabian Isa bin Maryam dan bahwa beliau bukanlah tuhan anak. Setelah itu Allah menegaskan firman-Nya :

{ وَلاَ تتبعوا أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيراً وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ السبيل } [المائدة : 77 ]
5:77. Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS al-Maidah : 77)

Makna bahwa orang Yahudi sebagai yang dibenci dan dimurkai dan orang-orang Nasrani yang tersesat makin kokoh mana kala kita menemukan penafsiran Nabi sendiri terhadap makna kedua kata tersebut seperti yang kita jeleskan di sini. Hadits berikut menjelaskannya :
عن مُرِّيّ بن قَطَريّ، عن عدي بن حاتم، قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قول الله: { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ } قال: "هم اليهود" { ولا الضالين } قال: "النصارى هم الضالون".
Dari Murri bin Qathari, dari Adi bin Hatim, ia berkata : Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang firman Allah yang berbuyi { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ } belia menjawab, “Mereka adalah orang-orang Yahudi”. Sedang { ولا الضالين }kata beliau, “Orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang tersesat”.

4.        KESIMPULAN.
Berdasarkan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa :
A.  Al-Fatihah merupakan mukaddimah al-Qur’an yang menjelaskan hak dan kewajiban antara Allah dan hamba-Nya.
B.  Sebagai mukaddimah al-Qur’an, al-Fatihah memberikan garis besar ajaran al-Qur’an. Yaitu hak Allah untuk diesahkan dalam segala gerak dan diam serta hak (pahala) hamba jika hak Allah tersebut terpenuhi. Hak-hak hamba tersebut berupa isti’anah (permohonan untuk memperoleh konsistensi (istiqomah) dalam ibadah, baik dalam aspek iman maupun amal, serta fasilitas penunjang berupa materi).
C.  Hak hamba untuk senantiasa meminta hidayah taufiq dalam setiap gerak dan diam serta pada setiap detik kehidupan itulah yang menjadi alasan kenapa al-Fatihah menjadi surah yang wajib dibaca dalam setiap raka’at shalat, wajib maupun sunnah, tentunya bagi siapa pun yang sudah menghapalnya dengan baik.
D.  Karena penutup al-Fatihah terkait dengan permintaan hidayah, Allah menjawab permintaan tersebut dengan menurunkan surah al-Baqarah yang berbunyi, “Alif Lam Mim, Inilah al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Al-Qur’an sejak al-Fatihah hingga surah al-Ikhlas merupakan hidayah bagi orang-orang bertauhid. Tauhid yang menjadi misi kehidupan manusia diringkas kembali dalam surah al-Ikhlas tersebut. Lalu surah al-Falaq dan surah an-Naas menajdi penutup al-Qur’an, karena keduanya menjadi surah permohonan perlindungan dari bahaya agar seorang hamba tidak melenceng dari tauhid. Terdapat dua bahaya yang mengancam otoritas tauhid yang telah dibangun oleh seorang hamba. Keduanya adalah bahaya internal berupa was-was setan dan bahaya eksternal berupa ancaman mahluk, baik mahluk itu mukallaf, seperti manusia dan jin, tukang sihir dan orang-orang dengki yang biasanya memanfaatkan kegelapan malam sebagai waktu beraksi, maupun non mukallaf seperti bahaya ular, setan, dan mahluk lainnya. Untuk menghindari Kedua bahaya tersebut, Allah mengajari kita dengan bacaan-bacaan perlindungan (muawwidzat) yang terdapat pada surah al-Falaq (bahaya eksternal) dan surah an-Naas (bahaya internal). Demikianlah ulasan singkat ini. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada penulis dan kepada seluruh kaum muslimin. Amin.

  REFERENSI :

2.     Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir, (Riyadh : Dar al-Salam Linnasyr wa al-Tauzi), cet.1, th. 2000 M – 1421 H[1] Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi, Via : Maktabah Syamilah.
3.      Kitab al-Ubudiyah, Karya Ibnu Taimiyah.
4.      al-Ibadah Fii al-Islam, karya : Yusuf Qardhawi, (Penerbit : Maktabah Wahbah, Bairut ).
5.      Tafsir al-Qhatthan, Via : Maktabah Syamilah.
6.   Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), Ibnu Qayyim al-Jauziah, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar), Cet.4, th.2002.
7.      Fi Zhilal al-Qur’an, Karya Sayyid Quthb, (Jakarta : Gema Insani Pres), Cet.1, Th.2001.
8.   Tafsir Fath al-Qadir, Karya : al-Syaukani.





[1] HR Muslim. al-Albani telah men-shahih-kannya dalam kitab shahih al-Targib wa al-Tarhib no (1455).
[2] HR Muslim. al-Albani telah men-shahih-kannya dalam kitab shahih al-Targib wa al-Tarhib no (1456).
[3] HR Bukhari.
[4] HR Ahmad, kitab al-Musnad, 14/329. Hadits ini umumnya dikategorikan hasan oleh ulama hadits. Sebagian lagi mendhaifkannya.
[5] (HR. Al-Bukhari No. 3280 dan Muslim No. 2012)
[6] HR Bukhari (138) dan Muslim (2591).
[7] HR Muslim (3762)
[8] Lihat : Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, Syekh al-Syinqithi, tafsir surah al-Fatihah.
[9] Lihat tulisan penulis, Filsafat Pendidikan Islam, di alamat URL berikut : http://idrusabidin.blogspot.com/2011/12/filsafat-pendidikan-islam.html
[10]  Untuk lebih jelasnya, silahkan cek makna lain kata alam dalam  Tafsir Ibnu Katsir.
[11] Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir, (Riyadh : Dar al-Salam Linnasyr wa al-Tauzi), cet.1, th. 2000 M – 1421 H. hal.19. bandingkan pula dengan Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi.
[12] Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi, Via : Maktabah Syamilah.
[13] HR Bukhari dan Muslim.
[14] HR Bukhari dan Muslim.
[15] Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi, Via : Maktabah Syamilah.
[16] HR Bukhaari dan Muslim.
[17] Untuk mengakses lebih jauh hadits-hadtis tentang  kasih sayang Allah, rahmat dan ampunan-Nya, silahkan cek kitab Riyasdu Shalihin, karya Imam Nawawi, Bab al-Raja’ (Bab Masalah Harapan Terhadap Kasih Sayang Allah Swt.), Bab Fadhl al-Raja’ (Bab Keutamaan Mengharapkan  Kasih Sayang Allah Swt.,).
[18] (HR Tirmidzi, No.4398. hadits ini telah dishahihkan oleh al-Bani)
[19]  (HR. Bukhari Muslim)
[20] Lihat : kitab al-Ubudiyah, karya Ibnu Taimiyah. Lihat pula kitab : al-Ibadah Fii al-Islam, karya : Yusuf Qardhawi, (Penerbit : Maktabah Wahbah, Bairut ).
[21] Lihat : Tafsir al-Qhatthan untuk Tafsir Surah al-Fatihah, Via : Maktabah Syamilah.
[22] Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi, Via : Maktabah Syamilah.
[23] HR Bukhari dan Muslim.
[24] Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi, Via : Maktabah Syamilah.
[25] Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya al-Syinqithi, Via : Maktabah Syamilah.
[26] [Tirmidzi no. 2516]
[27] Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah, Ibnu Qayyim al-Jauziah, ( Jakarta : Pustaka al-Kautsar), Cet.4, th.2002, hal.25.
[28] Lihat : Tafsir al-Qhatthan untuk Tafsir Surah al-Fatihah, Via : Maktabah Syamilah.
[29] Lihat : Fi Zhilal al-Qur’an, Karya Sayyid Quthb, (Jakarta : Gema Insani Pres), Cet.1, Th.2001.


Idrus Abidin, Lc., MA.

1 komentar:

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال