Oleh : Idrus Abidin, LC., MA
Al-Qur’an bagi ummat Islam merupakan sumber
utama dalam melihat berbagai fenomena kehidupan. Berdasarkan sejarah
turunnya, al-Qur’an membutuhkan waktu
selama kurang lebih 23 tahun. Turunnya alqur’an dengan rentan waktu demikian
telah menimbulkan protes orang-orang kafir. Karena dalam tradisi kenabian yang
mereka kenal selama ini, wahyu selalu diturunkan kepada nabi pilihan dengan
sekali waktu. Sedangkan dalam internal ummat Islam, hal itu dipandang sebagai
alasan bahwa upaya untuk menelusuri kesatuan tema merupaka upaya pemaksaan teks dan karenanya, upaya
demikian hanyalah sia-sia. Sebagai anti tesis terhadap pandangan mayoritas
sarjana , Izzat Darwaza berusaha mendekati pemaknaan dengan pendekatan tafsir berdasarkan pada ururtan turunnya ayat. Upaya ini
sesungguhya dibangun berdasarkan asumsi bahwa mendekati makna berdasarkan urutan turunnya akan memberikan
kesatuan antara runtutan pembahasan dan latar belakang sebuah kejadian. Dari
sisi ini, tentu upaya demikian akan memberikan gambaran utuh tentang tahapan
proses pendidikan yang diarahkan langsung oleh Allah swt. Namun demikian, tidak
bisa dipungkiri bahwa Allah sendiri dengan hikmah-Nya menghendaki susunan berdasarkan pada sumbernya di lauh
al-Mahfudz.
Setidaknya, ada dua kelompok besar para sarjana terkait dengan kesatuan tema al-Qur'an. Kelompok
pertama adalah mereka-mereka yang memandang tidak adanya kesatuan tema dalam al-Qur'an.
Sedang kelompok kedua adalah mereka yang memandang bahwa kesatuan tema
dalam al-Qur'an sangatlah nyata keberadaannya.
Berdasarkan sejarah, Fakhruddin al-Razi adalah ahli tafsir pertama yang
memiliki perhatian besar dalam hal ini.[1]
Al-Razi berusaha membuktikan kepada halayak pembaca bahwa memiliki keterkaitan antara ayat-ayatnya
dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Hal demikian, dalam anggapanya,
memberikan singnifikansi kuat tentang aspek kemukjizatan itu sendiri.[2]
Setelah itu, al-Syatibi juga termasuk seorang ahli yang memiliki perhatian
besar dalam hal ini. Ia beranggapan, waluapun ayat-ayat al-Qur’an memuat beragam permasalahan dalam satu
surat tetapi tetap saja memiliki satu tema utama yang menyatukan berbagai
permasalahan yang ada. Selain itu ia juga menyinggung ragam surat terkait
dengan kesatuan tema ini. Menurutnya, terdapat ayat yang hanya memiliki satu topik pembahasan dan
ada pula yang mencakup beragam permasalahan. Namun demikian, tetap ia darangkum
dalam satu tema besar yang melingkupi semua cabang-cabangnya. Bagi al-Syatibi,
turunnya sebuah surat secara lengkap atau pun runtun dalam interval waktu yang
lama tidaklah merupakan sebuah permasalahan.[3]
Al-Biqa’I juga termasuk ahli yang dikenal memiliki perhatian besar
terhadap aspek munasabah dalam al-Qur’an. Leawat karyanya, Nazm al-Durar Fi
Tanasub al-Aiy wa al-Suar ia berusaha menampilkan pola hubungan antara ayat
dalam satu surah dan antara surah dengan surah lainnya. Menurutnya, aspek
terpenting dalam mengemukakan korelasi antara ayat adalah kajian yang berusaha mengungkap
sebab-sebab, faktor-faktor yang menentukan tata letak suatu kata dalam sebuah
ayat dan posisi ayat dalam suatu surah. Kajian seperti ini, dalam pandangan
al-Biqa’I, akan memberikan gambaran utama tentang posisi sebuah ayat dengan
ayat-ayat lainnya, baik setelah maupun sesudahnya.[4]
Dalam elaborasi tafsirnya, al-Biqai mengawali langkahnya dengan mengutarakan
tema utama sebuah surah. Setelah itu, ia berusaha membagi ayat-ayat yang ada
dalam lingkup surah menajadi beberapa bagian dengan berusaha merumuskan
hubungan antara masing-masing bagian dalam sebuah kesatuan yang utuh.[5]
Pada zaman modern, kajian tentang relevansi ayat dan surah dengan ayat
dan surah lainnya juga mendapatkan porsi besar dalam kajian kequr’anan. Dalam
hal ini, Muhammad Abduh dianggap sebagai pionir yang berusaha meyoroti berbagai
hubungan antara tema utama sebuah surat dan hubungannya dengan kandungan berbagai
ayat. Keterlibatan Abduh dalam hal ini dibangun berdasarkan asumsi pokok bahwa
ayat-ayat tentu saling menafsirkan.
Selain itu, Abduh juga memliki keyakinan bahwa
indikasi utama yang menunjukkan makna suatu kata adalah ; pertama,
adanya keterkaitan/kesesuaian dengan
ayat sebelumnya. Kedua, adanya kesesuaian dengan kumpulan makana yang ada.
Sedang ketiga adalah kesamaan dengan tema sentral yang diusung oleh suatu surah secara umum. [6]
Sebagai anti tesis terhadap pandangan para pendukung kesatuan tema al-Qur’an,
sejumlah ahli mengemukakan beberapa alasan dibalik ketidaksetujuan mereka
terhadap upaya menyatukan tema-tema al-Qur’an. Dalam hal ini, mereka beralasan
bahwa ayat-ayat meruapakan sesuatu yang
berdiri sendiri. Di samping itu, ayat-ayat
yang tergabung dalam sebuah surat banyak yang turun dalam interval waktu
yang relatif berjauhan. Demikian pula halnya masing-masing surat yang terdapat
dalam al-Qur’an. Tidaklah ada kemestian wujudnya kesesuaian dan korelasi antar
masing-masing surah. Bahkan usaha untuk menemukan sejumlah indikasi yang menguatkan
hubungan antara masing-masing bagian yang disebutkan di atas hanyalah merupakan
tindakan pemaksaaan terhadap ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an.[7]
Di antara ahli yang ditengarai memiliki kecendrungan seperti ini adalah
Syamsuddin al-Sakhawi. Hal ini adalah akibat dari penentangan al-Sakhawi
terhadap upaya yang dilakukan oleh al-Biqa’I dalam menemukan aspek munasabah
dalam berbagai surah dan ayat al-Qur’an. Bahkan dalam penilaiannya, langkah
demikian merupakan upaya konyol, nekat dan hanya mengandalkan nalar dalam
menginterpretasi al-Qur’an.[8]
Selain al-Sakhawi, Izzuddin Abdissalam juga dipandang tidak memiliki
ketertarikan terhadap upaya menemukan kesatuan tema al-Qur’an. Hal ini
berdasarkabn pada asumsinya bahwa mencari kesatuan tema secara menyeluruh hanyalah upaya sia-sia dan
membebani diri dengan sesuatu yang berada di luar kemampuan. Meski demikian,
Izzuddin tidaklah mengingkari adanya kesesuaian antara ayat dengan ayat
lainnya. Ia hanya memandang bahwa kesatuan tema yang berusaha dilacak pada
semua surah-surah al-Qur’an merupakan
pemaksaan. Dalam asumsi Izzuddin, turunnya ayat dengan jarak waktu yang berbeda
jauh, ditambah lagi dengan aspek hukum yang berbeda dan dengan latar belakang
yang berbeda pula merupakan bukti kuat bahwa tidaklah mesti ada hubungan antara
masing-masing ayat dan surah yang terdapat dalam al-Qur’an.[9]
Selain tokoh di atas yang kontra terhadap unitisasi tema-tema al-Qur’an,
al-Syaukai juga tampaknya spendapat dengan mereka. Dalam penafsirannya terhadap
ayat 40 dari surah al-Baqarah terdapat beberapa indikasi yang membuktikan sikap
al-Syaukani ini :
1.
Syaukani memandang bahwa kesatuan tema dalam tidalah memliki signifikansi apa-apa.
2.
Fihak-fihak yang telah berusaha keras untuk menunjukkan
eksistensi kesatuan tema telah terjebak
dalam pemaksaan teks agar sesui dengan
tema-tema tertentu yang dimaksud. Sikap demikian merupakan kezhaliman teradap
teks dan merupakan uapaya kontraproduktif. Atas dasar inilah, ia tidak setuju
terhadap langkah al-Biqa’I dalam hal ini.
3.
Turunnya al-Qur’an
dengan rentang waktu yang relative berjauhan dan pada kondisi yang berbeda
pula. Hal ini menunjukka bahwa pembahsan masing-masing kelompok ayat tentu
berbeda pula.
4.
Keberadaan ayat-ayat
dalam sebuah surah tidaklah menunjukkan adanya rangakaian tema tertentu,
tetapi relaitas memnunjukkkan bahwa dalam setiap surah terdapat pembahasan yang
variatif, seperti masalah ibadah, muamalah, akhlak dan bahwa sekedar
pengarahan.
5.
Uapay harmonisasi antara ayat dan surah dengan surah
lainya bisa menimbulkan ekses negatif bagi kalangan yang lemah keimanannya.[10]
Tidak jauh berbeda dengan
pendapat ini, sarjana non muslim umumnya juga memandang sebagai tidak runtut dan cenderung
melelehkan. Sebut saja misalanya pandangan Thomas Carlyle, sebagaimana kutipan
H.A.R Gibb, yang melihat bahwa melelahkan,
menjemukan dan cendrung campur aduk dan tidak memliki fleksibilitas dengan
berbagai ruang dan waktu.[11]
Ignaz goldziher juga
memiliki pandangan yang sama. Baginya, selama periode Abu Bakar dan Utsman, periode
di mana mulai dibukukan, para penulis yang ditugasi untuk mengumpulkan berbagai
ayat yang berserakan mulai langkahnya dengan uapaya yang sangat ganjil. Hanya
ayat-ayat makkiyah yang tertualah, yang menjadi landasan peribadatan Rasulullah
sebulum hijarahnya ke kota madinah, yang
lepas dari keganjilan ini. Sebabnya adalah surah-surahnya yang pendek dan
merupakan bagian yang berdiri sendiri. Hal yang menyebabkan minimnya kesalahan
dan keganjilan tersebut. Adapun sura-surah madaniah, maka tampaknya pada
beberapa ayat-ayat tertentu sring ditemukan ketidakselarasan dan tidak adanya
harmonisasi antar masing-masing ayat. Kondisi demikian banyak menyisahkan
kesulitan bagi ahli tafsir yag datng kemudian, terutama mereka yang meyakini
adanya kesatuan tema dalam . Bagian-abgian kitab suci ini, terutama kelompok
surah-surah madaniyah sering tidak memperliharkan adanya koherensi dan
keterkaitan.[12]
Salah saeorang guru besar
Universitas Sarbon Prancis bernama Regis Blacer mengangap al-Qur’an sebagai kitab yang paling banyak menimbulkan
kekacauan pikiran bagi para pembacanya.[13]
Blacer juga mengklaim bahwa al-Qur’an adalah
kitab yang mengadung beragam tema. Dan ditemukan kesulitan untuk menemukan
relasi antara berbagai tema yang variatif terebut. Contoh yang diangkat Blacer
untuk mendukung pendapatnya tersebut adalah surah an-Nur. Yaitu surah yang
memiliki beberapa tema utama, pertama tema perzinahan, kedua hubungan antara
kaum laki-laki dengan kaum perempuan, ketiga tema tentang pancaran cahaya yang
berssumber dari Allah, dan keempat adalah pembahasan tentang kekuasaan Allah
swt. menurut asumsi Blacer antara ayat 34 hingga ayat 56 tidak bisa ditemukan
hubungan sama sekali.[14]
Wallahu a'lam.
[1]
Rif’at fauzi abd al-Muththalib, al-wahdah al-maudhuiyyah li as-Suwar al-Qur’aniyah,
hal.12.
[2]
Fakhruddin al-razi, Mafatih al-Ghaib, (Bairut : Dar al-Fikr), Th.1991, juz 27,
h.139.
[3]
Abu Bakar Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Tahqiq :
Abdullah Dirraz, ( Haiah al-Misriah al-A’mmah), th.2006, vol.3,hal. 350-352.
[4]
Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’I, Nazm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa
al-Suar, (Kairo : Dar al-Kitab al-Islami), tth. Vol.1, hal.5-6.
[5]
Ziyad Khalil al-Damagani, al-Tafsir al-Maudhu’I wa manhajiyyat al-Bahtsi Fihi,
(Oman : Dar al-Ammar), th.2007, hal.217.
[6]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-manar, (Kairo : Dar al-manar), th.1954, cet.1,
vol.1, hal.22
[7]
Muhammad Ahmad Said al-Athras, al-Wahdah al-Maudhuiyyah fi al-karim wa al-Surah al-Qur’an iyyah,
(Iskandaria : Dar al-Qimmah), th.2008, hal.293.
[8]
Mahmud Taufiq Muhammad Sa’ad, al-imam al-Biqa’I wa Minhajuhu Fi ta’wil
balaghati , (kairo : Maktabah Wahbah), th.1424, hal.66-67.
[9]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum , vol.1, hal.63.
[10]
Muhammad bin ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir : al-Jami’ Baina
Fannae al-Riwayah wa al-Dirayah Min Ilm al-Tafsir, (Kairo : Maktabah Musthafa
al-Babae al-Halabi), th.1964, vol.1, hal.72-73.
[11]
H.R Gibb, Mohammadenism, (Osford University Press : Inggris), th.1971, hal.25.
[12]
Ignas Goldziher, Teologi dan Hukum Islam, (diterjemakan oleh Hersri Setiawan
dari kitab aslinya berjudul Vorselungen Uber Den Islam), (Jakarta : INIS),
th.1991, hal.26-27.
[13]
Regis Blacer, al-qu’an : Nuzuluhu,
tadwinuh, wa ta’tsiruhu (Terj. Ridha Sa’adah), (Bairut : Dar al-Kitab
al-Lubnani), th.1974, hal.26.
[14]
Regis Blacer, al-Qur’an : Nuzuluhu, tadwinuh, ta ta’tsiruhu (Terj. Ridha
Sa’adah), hal.69.
terimaksih atas infomya,,
ReplyDeletemoga banyak manfaat dari tulisan ini,,
amienzzz
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteya Alloh..berilah hambaMU yang dloif ini petunjuk dan maafkanlah aku atas ketidakmampuanku...amiin
ReplyDeleteya Alloh..berilah hambaMU yang dloif ini petunjuk dan maafkanlah aku atas ketidakmampuanku...amiin
ReplyDeleteya Alloh..berilah dloif ini petunjuk dan maafkanlah aku atas ketidakmampuanku...amiin
ReplyDelete