الجمعة، 11 يوليو 2025

DIALEKTIKA AKAL DAN WAHYU DALAM PEMIKIRAN ISLAM

DIALEKTIKA AKAL DAN WAHYU DALAM PEMIKIRAN ISLAM 

 

Judul Asli: Jadaliyatu al-Aqli wa al-Naql fi al-Fikr al-Islami

Link: https://alfikhir.blogspot.com/2018/02/blog-post.html

Penulis: Dr. Utsman Ali Hasan

Alih Bahasa: Idrus Abidin.

 

PENDAHULUAN

Akal adalah salah satu hal yang paling merata distribusinya di antara manusia, sebagaimana dikatakan oleh filsuf dan ahli matematika Descartes. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud Descartes dengan "akal" di sini? Apakah yang dimaksud adalah akal yang membuat semua manusia setara, sehingga tidak memungkinkan adanya kelebihan salah seorang atas yang lain? Jika benar demikian, mengapa sejak awal penciptaan hingga kini terjadi perbedaan, perdebatan, dan perselisihan antara manusia dalam banyak hal? Mengapa terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan sengit di berbagai kalangan tentang banyak persoalan?

Di sini kita perlu memahami apa itu akal. Apakah ia memiliki jenis dan tingkatan, ataukah sesuatu yang tunggal dan sama persis bagi semua manusia? Jika persoalan ini bisa dijelaskan, maka kita dapat memangkas jalan panjang yang penuh liku...

Apa yang dikatakan tentang akal juga bisa dikatakan tentang wahyu (al-Qur’an dan Sunnah). Wahyu berupa lafaz dan makna yang ditujukan kepada akal manusia, sehingga keberhasilan dalam memahaminya bergantung pada kejelasan penutur (yakni Allah dan Rasul-Nya), niat baiknya, serta kefasihannya dalam menyampaikan petunjuk. Juga bergantung pada kecakapan penerima (manusia) dalam memahami bahasa penutur, makna kata, dan kesungguhan hati yang bebas dari sikap keras kepala.

Apakah makna-makna dalam wahyu bersifat tunggal dan tidak memiliki variasi atau tingkatan? Ataukah ia terdiri dari berbagai jenis dan memerlukan alat bantu untuk memahami bahasa penutur serta tujuannya?

Akal adalah ciptaan Allah, dan wahyu adalah firman-Nya. Maka apakah mungkin terjadi pertentangan antara ciptaan Allah dengan firman-Nya? Ini adalah salah satu aspek mendasar dalam isu dialektika akal dan wahyu. Tidak ada seorang Muslim atau orang yang berpikir sehat yang akan menjawab "ya" untuk pertanyaan ini. Sebab orang bijak tidak akan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, atau bertindak bertentangan dengan pikirannya. Maka bagaimana mungkin ini dinisbatkan kepada Sang Pencipta yang Maha Sempurna, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana? Seperti dalam firman-Nya: "Itulah ciptaan Allah yang telah menyempurnakan segala sesuatu. Sungguh, Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml: 88)

Isu dialektika antara akal dan wahyu adalah permasalahan klasik yang terus berulang dan diperbincangkan. Namun sayangnya, sering kali ia dibahas tidak pada tempatnya. Kadang sesuatu yang bukan akal disamakan dengan akal, seperti prasangka, khayalan, hawa nafsu, dan kepentingan pribadi. Kadang pula semua teks agama dianggap bersifat dugaan (zhanni), padahal dalam syariat terdapat teks-teks yang bersifat pasti (qath’i), meskipun banyak pula yang bersifat dugaan (zhanni). Namun penggeneralisasian ini membawa pada persoalan serius. Kadang juga akal dijadikan sebagai dasar dan pondasi bagi wahyu. Ini mungkin benar dalam satu sisi, tapi sebagian kalangan yang tergila-gila dengan filsafat justru menggunakannya untuk menolak makna tekstual dari nash syar’i, bahkan yang bersifat pasti pun mereka tafsirkan ulang.

Akhirnya, saya berharap tulisan ini dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurai kerumitan tersebut, dan saya memohon kepada Allah agar memberikan taufik dan bimbingan bagi saya dan kita semua. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

PENGERTIAN AKAL SECARA BAHASA DAN ISTILAH

Secara Bahasa:

Kata "akal" berasal dari kata dasar ‘aqala–ya‘qilu–‘aqlan yang berarti menahan atau mencegah. Misalnya mengikat unta agar tidak kabur. Akal juga diartikan sebagai perlindungan atau benteng. Dalam pengertian lain, ia merujuk pada hati, seperti perkataan Umar bin Khattab tentang Ibnu Abbas: "Dia adalah pemuda dari kalangan orang tua, memiliki lidah yang gemar bertanya dan hati yang bijak."

Secara Istilah:

Sebagian ulama, seperti Abu al-Walid al-Baji, mendefinisikan akal sebagai "ilmu yang bersifat darurat (instingtif) yang terjadi secara langsung dan bersifat umum bagi semua orang berakal." Berdasarkan definisi ini, tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal akal. Tapi kenyataannya, hal ini tidak sesuai dengan realitas. Maka yang lebih tepat adalah bahwa akal mencakup ilmu darurat dan ilmu yang diperoleh lewat belajar dan berpikir.

Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah menyebut bahwa "akal" digunakan dalam empat makna:

1.     1, Naluri (insting): seperti penglihatan bagi mata dan perasa bagi lidah. Ini merupakan dasar bagi semua pengetahuan, dan dengannya manusia berbeda dari hewan. Inilah yang menjadi dasar beban syariat (taklif). 

2.     2. Ilmu darurat: pengetahuan dasar seperti bahwa satu lebih sedikit dari dua, sesuatu tidak bisa ada dan tiada secara bersamaan, dll.

3.  3. Ilmu nazari (teoritis): diperoleh melalui penalaran. Di sinilah manusia berbeda-beda dalam kapasitasnya.

4.   4. Pengamalan ilmu: seperti dalam ayat QS. Al-Mulk: 10 “Kalau saja kami mendengarkan atau menggunakan akal kami, niscaya kami tidak akan menjadi penghuni neraka.” Artinya, mereka memiliki alat untuk memahami, tetapi tidak menggunakannya.

Makna keempat ini perlu ditekankan, karena banyak yang melupakannya. Sebab buah akal adalah pengamalan. Maka siapa yang menyelisihi syariat, berarti ia juga menyelisihi akal sehat.

Jadi, jika yang dimaksud adalah ilmu darurat, maka semua manusia dipastikan setara secara rasio. Inilah yang dimaksud oleh para teolog Muslim dan bahkan Descartes sendiri. Akal dalam pengertian ini menjadi standar umum untuk menyelesaikan perbedaan. Tapi membatasi akal hanya pada aspek ini saja tidaklah tepat. Akal mencakup keempat aspek di atas. Rasulullah bersabda: "Aku tidak melihat ada makhluk yang lebih mampu meruntuhkan akal seorang laki-laki bijak daripada salah seorang dari kalian (kaum wanita)." Ini menunjukkan adanya perbedaan bawaan (fitrawi) dalam kapasitas akal. Karena Rasulullah Saw telah menetapkan bahwa wanita itu memiliki kekurangan akal, dan hal ini hanya terjadi pada sisi naluri yang dibawanya sejak ia diciptakan. Karena perbedaan dalam ilmu yang diperoleh (ulum muktasabah) merupakan konsekwensi dari perbedaan dalam hal akal.

 

AKAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENGETAHUAN.

 

Akal pada diri manusia, sebagaimana sifat-sifat kesempurnaan lainnya, meskipun merupakan suatu keutamaan bagi manusia, tetap memiliki batasan yang tidak bisa dilampaui dan kadar yang tidak bisa dilanggar. Sebab manusia sendiri adalah makhluk, begitu pula sifat-sifatnya, yang mengalami perubahan sebagaimana halnya makhluk lain: bisa kuat dan bisa lemah, bisa ada dan bisa tiada. Allah Ta'ala telah menetapkan batas bagi akal dalam hal memahami sesuatu. Akal tidak bisa melampaui batas itu. Allah tidak memberinya jalan untuk memahami segala sesuatu secara mutlak. Andai saja akal mampu memahami segala sesuatu, niscaya ia akan setara dengan Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana dalam mengetahui segala yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang belum terjadi—serta bagaimana jika itu terjadi. Dan jika akal bisa menjangkau segala kebutuhan ilmu, maka manusia tak akan lagi membutuhkan wahyu dan kenabian, dan keberadaan keduanya pun menjadi sia-sia.

Yang dimaksud dengan “pemahaman” di sini adalah mengetahui sesuatu secara menyeluruh dan rinci—baik zatnya, sifat-sifatnya, keadaannya, tindakannya, maupun hukumnya. Allah Ta'ala mengetahui semua itu secara sempurna dan menyeluruh, tidak ada sebutir debu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Adapun manusia, sebaliknya—meskipun ia bisa memahami, pemahamannya hanya sebatas sebagian hal, dan itu pun dengan banyak kekurangan, seperti kelalaian, lupa, ketidaktahuan, atau keterbatasan pemahaman—semua ini merupakan bentuk kelemahan dan kekurangan manusia.

Akal hanya bisa memberikan keputusan berdasarkan data-data yang diterimanya dari indera; seperti pendengaran, pengelihatan, dan indera lainnya. Indera-indera ini menyampaikan hasil pengamatan terhadap hal-hal yang nyata dan bisa disaksikan—baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Setelah itu, akal melakukan proses penyusunan dan analisis, penggabungan dan pemisahan, membandingkan antara hal yang serupa dan hal yang berbeda, lalu menyimpulkan kaidah, menghasilkan kesimpulan, dan menetapkan hukum. Seluruh proses ini sepenuhnya bergantung pada data-data yang bersifat inderawi dan nyata. Jika akal melampaui batas ini, ia akan berbicara tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa petunjuk.

 

JENIS-JENIS ILMU

 

Ilmu-ilmu dibagi berdasarkan bagaimana akal bisa memahaminya menjadi tiga bagian:

Pertama: Ilmu Wajib (Ilmu yang pasti dan tidak bisa diragukan). Ilmu ini tidak bisa diragukan oleh siapa pun yang berakal sehat, karena ilmu ini melekat pada semua akal dan tidak bisa dilepaskan. Contohnya adalah pengetahuan manusia tentang keberadaannya sendiri, bahwa dua lebih banyak daripada satu, dan ketidakmungkinan menggabungkan dua hal yang berlawanan secara mutlak, serta hal-hal lain yang disebut sebagai hukum akal yang pasti.

Kedua: Ilmu Teoritis (Ilmu yang diperoleh dengan berpikir dan penalaran)
Ilmu ini diperoleh melalui pengamatan dan penalaran. Namun, dalam memperoleh ilmu seperti ini, seseorang harus memiliki ilmu wajib sebagai dasar untuk mengetahui kebenaran. Banyak cabang ilmu termasuk dalam jenis ini, seperti ilmu alam (fisika), matematika, kedokteran, dan teknik. Jenis ilmu ini terbagi menjadi dua: Pertama, Jenis yang hanya mengandalkan akal murni, biasanya termasuk ilmu yang kurang mulia (disebut sebelumnya).

·       Kedua, Jenis yang didasarkan pada pengamatan terhadap dalil syariat dan usaha untuk beribadah kepada Allah. Misalnya, Imam Syafi’i menjelaskan tentang ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Dan tanda-tanda (kebesaran Allah) dan bintang-bintang, mereka (manusia) menjadi petunjuk.” (QS An-Nahl: 16) Imam Syafi’i berkata: Allah menciptakan tanda-tanda untuk manusia, menetapkan Ka'bah sebagai tempat ibadah, dan memerintahkan manusia untuk menghadap ke sana. Manusia mampu mengetahui tanda-tanda tersebut berkat akal yang Allah berikan sehingga mereka bisa mengerti dan mengikuti petunjuk itu. Ini adalah nikmat dan penjelasan dari Allah.

Ketiga: Ilmu Ghaib (Ilmu yang tidak diketahui akal kecuali diajarkan). Ilmu ghaib tidak dapat diketahui hanya dengan akal, kecuali jika seseorang diberi cara untuk mengetahuinya. Ilmu ghaib terbagi menjadi dua jenis: Yang pertama adalah ilmu yang biasa diketahui manusia, seperti mengetahui apa yang ada di bawah kakinya atau tentang tempat yang jauh yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Yang kedua adalah ilmu yang di luar kebiasaan, seperti ilmu tentang kehidupan setelah mati (barzakh, kebangkitan, hisab, pahala dan siksa), yang hanya bisa diketahui lewat berita atau wahyu. Jenis pertama disebut “ghaib relatif”, sedangkan yang kedua disebut “ghaib mutlak” yang hanya Allah yang mengetahui secara penuh.

Karena itu, banyak masalah dalam akidah (keyakinan) yang tidak dapat dipahami oleh akal sejak awal, terutama secara rinci, dan satu-satunya cara mengetahuinya adalah melalui wahyu. Akal tidak akan mengetahui hal itu kecuali setelah datang wahyu dan menerangkan buktinya secara rasional. Sedangkan masalah besar seperti mengakui adanya Allah, keesaan-Nya, dan kebenaran nubuwat adalah sesuatu yang sudah terpatri di dalam jiwa manusia, yang perlu dipahami secara mendalam. Akal hanya bisa memahami rinciannya melalui berita dari para nabi.

Adapun kemungkinan adanya ilmu ghaib, akal mengakuinya dan tidak menolaknya. Karena kemungkinan itu bisa didasarkan pada pengetahuan manusia tentang sesuatu yang nyata, hal yang serupa, sesuatu yang menyertainya, atau sesuatu yang lebih besar keberadaannya. Oleh sebab itu, Allah dalam Al-Qur’an memberikan contoh-contoh untuk memperkuat kemungkinan adanya ilmu ghaib, seperti menggunakan awal penciptaan sebagai bukti adanya kebangkitan nanti, penciptaan langit dan bumi yang lebih agung sebagai bukti penciptaan manusia, dan menghidupkan bumi yang mati sebagai bukti adanya kebangkitan setelah kematian.

Jadi, ada perbedaan antara mengetahui kemungkinan adanya sesuatu dan mengetahui adanya sesuatu secara pasti. Yang pertama diakui oleh akal karena tidak bertentangan dengan hukum akal yang pasti. Sedangkan yang kedua tidak mungkin diketahui akal karena hanya Allah yang mengetahuinya secara mutlak. Akal tidak bisa mengetahuinya kecuali jika diberi tahu via wahyu.

Akal sangat dibutuhkan, baik dalam masalah keimanan maupun dalam aspek hukum. Tetapi yang dimaksud adalah akal yang benar, yaitu akal yang disepakati oleh para orang berakal, karena akal seperti itu menjadi dasar adanya taklif (tanggung jawab). Dengan akal, manusia dapat merenungkan tanda-tanda Allah di alam semesta dan syariat-Nya. Merenungkan tanda-tanda alam bertujuan untuk mengambil pelajaran, sedangkan merenungkan tanda-tanda syariat digunakan untuk menyimpulkan hukum berdasarkan metode ijtihad dan qiyas (analogi).

 

RELASI AKAL DENGAN WAHYU

 

Sesungguhnya akal adalah ciptaan Allah Ta’ala dan Dia menjadikan salah satu fungsinya adalah untuk memahami agama-Nya dan syariat-Nya. Oleh karena itu, tidak pantas bagi akal untuk menolak sesuatu yang bersumber dari wahyu (nash) dengan alasan bertentangan dengan rasio. Justru seluruh syariat dengan kandungan berita (informasi) dan hukum-hukum yang ada di dalamnya tidak mengandung sesuatu yang bisa dibuktikan batil oleh akal, bahkan akal memberikan kesaksian atas kebenarannya secara umum maupun secara rinci.

Adapun secara umum, akal menyaksikan kebenaran kenabian dan kejujuran Rasulullah , oleh karena itu akal mutlak harus mengikuti dan mempercayai Nabi dalam segala sesuatu yang beliau sampaikan; baik berupa al-Qur’an maupun sunnah.

Adapun secara rinci, tidak ada satu masalah pun dalam syariat yang mungkin ditolak oleh akal. Bahkan segala sesuatu yang dapat dipahami akal yang berasal dari syariat itu justru akal sendiri menyaksikan kebenarannya disertai dengan bukti-bukti penguat dan penegasan rasional. Dan hal-hal tertentu yang tidak dapat dipahami oleh akal disebabkan karena keagungan dan keunggulan syariat dalam hal tersebut. Namun demikian, tidak ada sesuatu pun dalam akal yang memustahilkan terjadinya perkara-perkara tersebut. sekalipun, akal tidak mampu memahaminya; karena syariat bisa saja mengajarkan sesuatu yang melampaui kemampuan akal, walaupun syariat sendiri tidak pernah mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan mustahil baginya.

Allah Ta’ala menurunkan Kitab dan Mizan — dan salah satu Mizan yang dimaksud adalah standar rasional — keduanya berkolaborasi dalam hal turunnya, dan berkolaborasi dalam mengetahui dan memahami hukum-hukum, sehingga tidak ada pertentangan dan kontradiksi di antara keduanya sama sekali.

Dan semua asumsi yang mengindikasikan adanya pertentangan antara akal dan nash, atau antara akal dan transmisi (naql), apabila direnungkan secara mendalam ternyata nash itu hanya bertentangan dengan khayalan dan dugaan semata, atau hawa nafsu dan tujuan-tujuan pribadi lainnya. Bagian inilah yang terkait dengan para pendukung dan pengasong bid’ah dan penguasa yang korup. Islam datang untuk membongkar dan mengungkap kerancuan mereka sehingga seluruh pemahaman agama berada di bawah otoritas Allah. Renungkan hal ini dalam setiap klaim yang digembar-gemborkan oleh para pemalsu nash (ahli takwil) yang berkaitan dengan masalah tauhid dan akidah, hukum seputar alam barzakh, masalah akhirat seperti timbangan amal, sirath dan lainnya. Apabila direnungkan, tidak ditemukan kotradiksi apapun selain ketidakmampuan akal dalam memahami, bukan penolakan akal terhadap kemungkinan terjadinya. Ada perbedaan antara keduanya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Perhatikan pula beberapa teks hukum yang mereka tentang, misalnya yang mereka asumsikan seputar hukum hudud, masalah perempuan, kebebasan, dan jihad, maka tidak ditemukan selain dominasi hawa nafsu, kekuasaan syahwat, dan kepentingan pribadi. Jika tidak demikian, maka semua yang disebutkan oleh syariat di bidang tersebut dan hal lainnya sangat sesuai dengan fitrah yang sehat dan dapat diterima dengan baik oleh akal yang benar.

Bahkan banyak orang yang memilih Islam sebagai agama dan menerima Islam sebagai metode dan sistem sejak dahulu hingga kini, mereka melakukannya setelah cahaya ayat-ayatnya menyinari mereka, dan keadilan hukum-hukumnya menarik mereka, lalu mereka menemukan dalam fitrah dan akal mereka sesuatu yang membuat mereka menjadi saksi kebenaran dan merespon petunjuk langit. Dan banyak bukti terkait hal ini dalam realitas Islam kontemporer, di era perkembangan ilmu pengetahuan dan ledakan informasi!

Saya sangat merasa kaget dan heran bahwa syariat yang mereka tentang tidak bisa disebut rasional, melainkan tidak lebih dari hawa nafsu, kungkungan syahwat, dan dugaan semata. Oleh karena itu, orang-orang yang menentang syariat tidak seharusnya disebut rasionalis atau tercerahkan, karena itu merupakan pujian dan sanjungan yang tidak pantas diberikan kepada mereka. Dalam Al-Qur’an, sunnah, maupun ucapan para salaf tidak ada penyebutan penentangan wahyu sebagai akal atau rasionalisme, dan tidak pula menyebut para penentangnya sebagai orang-orang berakal. Pernah seseorang mengatakan tentang seorang Nasrani: “Diam, sesungguhnya yang berakal adalah orang yang menemukan Allah dan beramal dengan ketaatan kepada-Nya.”

Al-Shahrastani berkata dalam kitabnya Al-Milal wa An-Nihal: “Awal fitnah yang terjadi di kalangan makhluk adalah fitnah Iblis (laknatullah) yang bersumber dari sikap keras kepala dalam berpendapat yang menentang dan menyelisihi nash wahyu, memilih hawa nafsu dalam menolak perintah, dan kesombongan karena bahan penciptaannya berasal dari api, dibandingkan bahan penciptaan Adam alaihis salam yaitu tanah. ”Allah berfirman: "Sesungguhnya itu hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu menamakannya, bukan Allah yang menurunkan hujjah (kekuatan) dengannya. Mereka tidak mengikuti kecuali dugaan dan apa yang diinginkan oleh nafsu. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka." (QS. An-Najm: 23)

 

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA ANGGAPAN ADANYA PERTENTANGAN ANTARA AKAL DAN WAHYU

 

Anggapan adanya kontradiksi antara akal dan wahyu, atau antara akal dan nash (teks syariat), atau antara akal dan syariat, biasanya timbul karena salah satu dari tiga hal berikut:

1.   1. Masalah yang diperdebatkan bukan termasuk perkara yang jelas dan diketahui secara gamblang oleh akal sehat, seperti persoalan matematika dan geometri, dan semacamnya.

2.   2. Dalil naqli (teks wahyu) yang dijadikan sandaran ternyata palsu atau maudhu’, yang diketahui kepalsuannya oleh para ahli dan pakar hadis.

3.   3. Dalil naqli (wahyu) tersebut memang sahih, tetapi orang yang menggunakannya keliru dalam cara menyimpulkan atau menggunakannya sebagai hujjah.

Ibnul Qayyim berkata dalam "Nuniyah"-nya: Jika ada pertentangan antara nash (teks syariat) dan akal, hingga keduanya tampak tak bisa disatukan,
Maka: akalnya pasti rusak—namun ia menyangka itu benar padahal batil,
Atau teks itu tidak sahih—bukan sabda Nabi yang terjaga dengan bukti dan dalil.

Contoh dari kategori pertama: yakni ketika akal digunakan dengan cara yang tidak benar atau tidak murni (tidak jernih). Ini terjadi karena mayoritas masalah yang diperdebatkan adalah perkara-perkara yang samar dan rumit, yang membuat banyak orang bingung, seperti permasalahan seputar nama dan sifat Allah, atau hal-hal yang terjadi setelah kematian dan sejenisnya—yang termasuk perkara gaib. Maka orang-orang yang membahas masalah-masalah seperti ini hanya mengandalkan akal murni saja—tanpa wahyu—biasanya terombang-ambing dan saling bersilangan pendapat, atau malah menjadi bingung tak menentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Aku telah merenungkan hampir seluruh persoalan yang diperselisihkan manusia, lalu aku dapati bahwa segala hal yang bertentangan dengan nash-nash syariat yang jelas adalah syubhat-syubhat yang rusak. Akal sendiri bisa membuktikan kebatilannya. Bahkan akal pun bisa membuktikan kebenaran lawannya, yang sesuai dengan syariat. Ini aku lihat dalam persoalan-persoalan pokok besar, seperti tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, kenabian, hari kebangkitan, dan lainnya. Dan aku dapati bahwa segala sesuatu yang dibuktikan akal secara murni tidak pernah bertentangan dengan wahyu.”

Bahkan, semua argumen yang sering disebut sebagai “argumentasi rasional” dalam menolak wahyu, ternyata memiliki lawan argumen dari akal yang sama kuatnya, sehingga membuktikan bahwa argumentasi tersebut bukanlah sesuatu yang pasti atau bersifat darurat sebagaimana diklaim oleh para penganutnya.

Contohnya: mereka yang menolak sifat-sifat Allah atau menakwilkannya karena takut terjadinya “ta’addud al-qudama” (adanya pluralitas pada dzat Allah), telah menggunakan logika yang tidak sah. Sebab akal sehat tidak dapat menerima adanya sesuatu yang wujud tapi tidak memiliki sifat—ini justru termasuk sesuatu yang paling mustahil secara logika. Bahkan mengingkari sifat sama saja dengan meniadakan “wujud” dan “ketiadaan” sekaligus dalam waktu bersamaan, padahal secara akal hal itu mustahil karena dua hal yang saling bertentangan tidak mungkin berkumpul dan menyatu dan tidak bisa pula dihilangkan secara bersamaan.

Contoh kedua: Akal yang digunakan sudah benar dan jernih, tapi dalil naqli (teks syariat) yang dipakai ternyata palsu atau buatan. Hal ini terjadi karena kelalaian peneliti yang tidak mengecek validitas nash dengan benar setelah mereka merasa yakin terhadap akalnya. Maka tampak seolah-olah terjadi pertentangan, padahal yang terjadi adalah pertentangan antara akal yang benar dengan teks yang batil. Dan dalil yang batil tidak boleh dijadikan hujjah, apalagi digunakan untuk menandingi dalil yang sahih. Justru kewajiban kita adalah mendahulukan dalil yang sahih, baik itu berasal dari wahyu maupun bersumber dari akal.

Contoh ketiga: Dalil naqli-nya sahih, tetapi orang yang memakainya salah dalam cara memahami atau menyimpulkannya. Maka, tampak seolah ada pertentangan karena kesalahan dalam pemahaman. Kesalahan dalam memahami teks syariat bisa terjadi dalam dua hal: pertama, dalam mengetahui jalur periwayatannya, dan membedakan antara hadis sahih dan yang lemah; kedua, dalam memahami makna dan petunjuk dari teks tersebut. Ketidaktahuan terhadap makna yang benar dari nash merupakan salah satu sebab munculnya klaim adanya kontradiksi antara akal dan wahyu.

 

MAZHAB PARA MUTAKALLIMIN (AHLI KALAM) TERKAIT PERTENTANGAN ANTARA NASH DAN AKAL:

 

Mazhab ini berpandangan bahwa dimungkinkan terjadi pertentangan antara nash (wahyu) dan akal. Jika terjadi pertentangan tersebut, maka akal harus didahulukan. Pendapat ini disandarkan kepada Abu al-Ma'ali al-Juwaini رحمه الله dalam kitabnya al-Irsyad, dan kepada Abu Hamid al-Ghazali رحمه الله dalam dua kitabnya al-Mustashfa dan Qanun at-Ta’wil, serta kepada Fakhruddin ar-Razi رحمه الله dalam mayoritas kitab-kitab kalamnya.

Gambaran mazhab ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Apabila terdapat pertentangan antara dalil-dalil sam’iyyah (wahyu: Al-Qur’an dan hadis) dan dalil-dalil aqliyyah (akal), atau antara wahyu dan akal, atau naql (teks) dan akal, atau istilah-istilah serupa lainnya, maka:

·      1. Peluang mengompromikan keduanya adalah sangat mustahil, karena hal itu berarti menyatukan dua hal yang saling bertentangan (yakni: kontradiksi).

·    2. Kemungkinan menolak keduanya juga mustahil, karena itu berarti meniadakan dua hal yang bertentangan sekaligus, yang secara logika tidak mungkin.

·     3. Kemungkinan mendahulukan wahyu (nash) pun dianggap mustahil, karena akal adalah dasar (fondasi) diterimanya wahyu. Maka jika kita mendahulukan wahyu terhadap akal, berarti kita mencela akal yang menjadi dasar diterimanya wahyu. Mencela fondasi suatu hal sama dengan mencela hal itu sendiri. Oleh karena itu, mendahulukan wahyu terhadap akal berarti mencela keduanya sekaligus: baik akal maupun wahyu.

→ Maka, kesimpulannya menurut mereka: akal harus didahulukan.
→ Sedangkan wahyu (nash), jika bertentangan dengan akal, maka harus ditakwil (ditafsirkan secara metaforis) atau ditafwidkan (diserahkan maknanya kepada Allah).

 

SANGGAHAN DAN KRITIK TERHADAP MAZHAB PARA MUTAKALLIMIN (AHLI KALAM)

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Telah menghadapi mazhab kalam ini secara khusus dalam berbagai tempat dalam karya-karyanya, dan beliau khususkan satu kitab penuh untuk membahasnya yaitu "Dar’u Ta‘āruḍ al-‘Aql wa an-Naql" (Menolak Pertentangan antara Akal dan Wahyu). Di dalamnya, beliau membahas "hukum" ini dalam empat puluh empat aspek yang mencakup keseluruhan buku tersebut. Di sini, saya akan memilih beberapa poin yang sesuai dengan ringkasan pembahasan ini:

 

Pertama: Asumsi Para Mutakallimin Dibangun berdasarkan Tiga Premis:

 

1.      Terjadinya pertentangan antara dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal).

2.  1. Pembatasan solusi hanya pada empat opsi sebagaimana telah disebutkan (menyatukan keduanya, menolak keduanya, mendahulukan nash, mendahulukan akal).

3.     2.  Ketiga opsi pertama dianggap salah, sehingga harus memilih opsi keempat, yaitu mendahulukan akal.

Namun, ketiga premis ini batil. Penjelasannya:

·         Jika dua dalil bertentangan, baik dua-duanya naqli, dua-duanya aqli, atau satu naqli dan satu aqli, maka keduanya tidak lepas dari:

o    Sama-sama qath’i (pasti)

o    Sama-sama zhanni (dugaan)

o    Salah satunya qath’i dan yang lainnya zhanni

Jika keduanya qath’i, maka tidak mungkin terjadi pertentangan. Ini adalah kesepakatan bersama kalangan para ulama, karena dalil qath’i pasti benar maknanya dan tidak mungkin kontradiktif.

Jika yang terjadi dan dianggap ada pertentangan antara dua dalil qath’i, maka pasti:

·         Salah satunya tidak benar-benar qath’i, atau

·         Tidak ada kontradiksi hakiki antara keduanya.

Jika salah satu dalil qath’i dan yang lain zhanni, maka yang qath’i harus didahulukan, baik itu berasal dari dalil akal maupun petunjuk wahyu.

Jika keduanya zhanni, maka dilakukan tarjih (pencarian dalil yang lebih kuat) — yang lebih kuat itulah yang didahulukan, tanpa memandang apakah itu berasal dari akal atau bersumber dari wahyu.

Kesimpulannya: Jika kalian berkata bahwa wahyu tidak pernah qath’i, maka ini tidak benar. Andaikata pun benar, tetap tidak berguna bagi argumen kalian, karena yang didahulukan itu bukan karena dia akal, tapi karena dia qath’i.

 

Kedua: Bantahan atas Klaim Mereka Bahwa Wahyu Bergantung pada Akal.

Mereka berkata: "Mendahulukan nash atas akal berarti mencela akal yang menjadi dasar diterimanya wahyu." Bantahannya:

·         Jika maksudnya akal adalah sumber keberadaan wahyu itu sendiri, maka ini keliru, karena wahyu tetap ada dan benar, baik kita ketahui dengan akal ataupun tidak.

·         Jika maksudnya adalah akal sebagai alat untuk mengetahui kebenaran wahyu, maka:

o    Akal bisa berarti fitrah (naluri), dan fitrah itu tidak bisa bertentangan dengan wahyu.

o    Atau akal berarti ilmu-ilmu rasional. Maka tidak semua ilmu akal adalah dasar dari validitas wahyu.

Jadi, tidak semua akal adalah tolok ukur sahnya wahyu. Menolak sebagian hasil akal tidak berarti menolak semuanya, sebagaimana menolak sebagian dalil naqli tidak berarti menolak semua nash.

 

Ketiga: Jika Terjadi Pertentangan antara Akal dan Wahyu, Maka yang Didahulukan Adalah Wahyu:

Karena:

·         Akal membenarkan wahyu secara keseluruhan, sedangkan wahyu tidak membenarkan semua isi akal, terutama yang berupa teori dan spekulasi.

·         Dikatakan: “Akal itu adalah pemandu yang menunjukkan jalan kepada Rasul, lalu setelah itu ia menyerahkan urusan kepada sang Rasul.”

Contoh analogi:

·         Seorang awam bertanya kepada seorang pemandu, lalu pemandu menunjukkan orang alim. Ketika sang alim menjawab pertanyaan dengan jawaban yang berbeda dari pemandu, maka yang harus diikuti adalah jawaban alim, bukan pemandu — meskipun pemandu adalah sebab dikenalnya alim tadi. Maka, jika kita wajib mendahulukan jawaban Rasul yang maksum atas isi akal yang bersifat teori, lebih utama lagi kita mendahulukan wahyu atas akal.

 

Keempat: Membalik Argumentasi Mereka:

 

Jika mereka berkata:

“Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka harus mendahulukan akal karena tidak mungkin menyatukan keduanya.”

Maka kita balas dengan analogi yang sama:

“Jika terjadi pertentangan, maka harus mendahulukan wahyu, karena akal telah membenarkan kebenaran wahyu dan kenabian. Kalau kamu tolak wahyu, maka kamu telah menolak hasil akalmu sendiri. Maka akalmu tidak lagi layak digunakan sebagai tolok ukur, karena ia telah mencabut kesaksiannya sendiri.”

Ini adalah kontradiksi.

Karena itu:

“Tidak mungkin ada akal yang sehat dan jujur bertentangan dengan nash yang sahih dan jelas.”

Jika muncul dugaan adanya pertentangan, maka:

·         Entah nash-nya tidak benar atau dipahami salah, atau

·         Akalnya tidak murni atau tidak pasti.

Pertentangan itu hanya ilusi sementara, dan akan sirna dengan pendalaman dan telaah.

Islam memiliki keunggulan dibanding semua agama dan mazhab yang menyimpang karena selaras dengan akal sehat dan fitrah yang lurus.
Inilah salah satu sebab utama penyebaran Islam, terutama di kalangan orang-orang berakal, cendekiawan, dan pemilik pikiran yang bersih — jika mereka terbebas dari hawa nafsu dan tekanan syahwat.

 

KESIMPULAN:

 

Pada penutup kajian ini, saya simpulkan beberapa poin penting berikut:

1.      Pertama, Penetapan bahwa syariat adalah ma‘shum (terjaga dari kesalahan), yakni setelah terbukti dengan dalil dan argumen yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun dalam syariat hal yang bertentangan dengan akal sehat yang benar, sebagaimana tidak ada pula dalam akal sehat yang benar sesuatu yang bertentangan dengan nash (teks) yang sahih dan tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2.      Kedua, Barang siapa yang mendahulukan syariat yang sahih atas akal ketika tampak pertentangan, maka ia telah berpegang pada syariat—walaupun andaikata ternyata dalil akalnya batal—paling tidak ia telah membenarkan syariat meski tanpa sandaran rasional. Dan itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Berbeda halnya dengan orang yang mendahulukan akal—dengan mengira bahwa prinsip itu selalu benar secara mutlak—maka dia kehilangan syariat sekaligus akal, dan itulah kerugian yang sebenarnya.

3.      Ketiga, Barang siapa yang mengetahui dengan akalnya bahwa Muhammad adalah Rasulullah, dan mengetahui bahwa beliau menyampaikan sesuatu, kemudian dalam pikirannya muncul hal yang bertentangan dengan berita tersebut, maka akalnya justru mewajibkan untuk menyerahkan hal yang diperselisihkan kepada yang lebih mengetahui, serta tidak mendahulukan pendapatnya atas apa yang dibawa Nabi, dan harus disadari bahwa akalnya terbatas dibanding ilmu Nabi. Rasulullah lebih mengetahui tentang Allah, nama-nama dan sifat-Nya, perbuatan-Nya, serta hal-hal tentang hari akhir. Perbedaan antara akalnya dengan ilmu Nabi bahkan lebih besar daripada perbedaan antara orang awam dan para ahli ilmu dalam bidang kedokteran atau ilmu lainnya, padahal orang awam bersedia menerima keterangan ahli dalam urusan duniawi tersebut. Maka menerima berita dan perintah Nabi jauh lebih layak, sebab para ahli bisa salah, sementara Rasulullah tidak mungkin salah.

4.      Keempat, Tidak sah keimanan yang dikaitkan dengan syarat-syarat seperti: "Aku tidak akan beriman kepada berita Rasulullah sampai aku yakin tidak ada yang bertentangan dengan akal," atau: "Aku tidak akan beriman sampai mimpiku membenarkannya," atau: "sampai aku mendapatkannya lewat pengalaman spiritual, dzauq (perasaan batin), eksperimen laboratorium," dan semisalnya. Maka iman seperti ini tidak sah, dan pemiliknya menyerupai orang-orang yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an: “Dan apabila datang kepada mereka suatu tanda, mereka berkata: ‘Kami tidak akan beriman hingga kami diberi seperti apa yang telah diberikan kepada para rasul Allah’.” (QS. Al-An‘am: 124)

5.      Kelima, Barang siapa yang bersaksi bahwa Rasulullah adalah jujur secara umum, namun tidak mengikuti beliau dalam rincian ucapan dan beritanya, bahkan menolaknya dengan sesuatu yang disebutnya sebagai “akal” atau “penyingkapan spiritual”, maka dia belum dianggap beriman kepada Rasulullah. Ibarat seorang hakim yang mengatakan: "Para saksi ini jujur secara umum", tetapi tidak menerima satu pun kesaksian mereka dalam persidangan, maka pujian umum terhadap kejujuran mereka menjadi sia-sia. Dan inilah krisis peradaban yang tengah dihadapi oleh umat kita.

6.      Keenam, Keyakinan akan tidak adanya pertentangan antara akal dan wahyu adalah faktor yang menghidupkan kehidupan dan membangun peradaban. Dengan ini, umat manusia akan hidup dalam petunjuk dan syariat Allah, yang dengannya umat Islam dapat memimpin dan unggul dalam berbagai pengetahuan rasional dan ilmu terapan. Hal ini karena mereka tidak memiliki hambatan psikologis dalam agama mereka terkait akal, serta tidak takut terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan— berbeda dengan yang terjadi di peradaban Nasrani di Eropa pada masa kegelapan (Dark Ages), ketika mereka menyangka bahwa teks-teks kitab suci bertentangan dengan akal dan ilmu. Akibatnya, para ilmuwan disiksa oleh gereja, dan kemerdekaan dari dominasi gereja menjadi awal kebangkitan modern—sayangnya juga menjadi awal munculnya sekularisme!

Akhirnya, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga beliau, serta salam dan penghormatan yang sebanyak-banyaknya.

SIKAP ISLAM SECARA UMUM TERKAIT RELASI ANTARA AKAL DAN WAHYU

SIKAP ISLAM SECARA UMUM TERKAIT RELASI ANTARA AKAL DAN WAHYU.

 

Judul Asli: Jadaliyatu al-Aql wa al-Din,

Link: https://shamela.ws/book/1541/5879

Penulis: Dr. Abdullah al-Da’jani,

Alih Bahasa: Idrus Abidin. 

 

Pandangan Islam terhadap alam semesta didasarkan pada dualitas yang saling terkait dan senatiasa harmonis, yaitu dualitas antara Pencipta dan makhluk, Tuhan dan yang dipertuhankan, hamba dan yang disembah. Dari dualitas umum ini, muncul berbagai bentuk dualitas lain yang semuanya konsisten satu sama lain, seperti dualitas antara ruh dan materi, ilmu dan agama, akal dan wahyu (naql), alam gaib dan alam nyata, dunia dan akhirat.

Pandangan Islam tidak semata-mata bersifat analitis yang hanya memecah bagian-bagian alam menjadi unsur-unsur yang tercerai-berai tanpa keterkaitan, seperti yang dilakukan oleh pemikiran Barat. Akan tetapi, Islam menggabungkan pendekatan analitis dengan pendekatan sintesis yang mengaitkan bagian-bagian alam dalam satu kesatuan pandangan yang menyeluruh, yang mencerminkan keindahan struktur dan bentuk yang memukau serta membingungkan akal.

Dalam konteks ini, hubungan antara akal dan agama yang benar adalah hubungan yang saling melengkapi dan terikat satu sama lain. Tidak mungkin hubungan itu bersifat bertentangan atau saling menolak, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah . Akal dan apa yang dihasilkannya adalah ciptaan Allah, begitu pula agama yang benar dan syariatnya berasal dari Allah. Akal dalam hal ini mewakili kehendak Allah dalam aspek kauniyah (alam semesta), sedangkan agama yang benar mewakili kehendak Allah dalam aspek syar’iyah (syariat). Tidak mungkin kedua kehendak ini saling bertentangan, karena berasal dari satu sumber. Allah berfirman: "Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan perintah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-A’raaf: 54)

Berdasarkan hal ini, mustahil ada kontradiksi antara hal-hal yang bersifat qath’i (pasti) dalam agama dengan hal-hal qath’i dari akal. Namun, jika terjadi pertentangan atau kontradiksi antara hal yang bersifat zhanni (dugaan) dari agama dengan yang qath’i dari akal, atau sebaliknya, maka yang qath’i harus diutamakan—baik itu dari sisi akal maupun agama.

Adapun menjadikan akal secara mutlak lebih tinggi daripada agama adalah metode yang batil, karena hal itu justru merusak kredibilitas akal itu sendiri. Sebab, akal menjadi saksi atas kebenaran agama. Maka menolak agama yang disaksikan kebenarannya oleh akal berarti meragukan kejujuran kesaksian akal, dan itu berarti meragukan akal itu sendiri.

Intinya, Islam tidak pernah menganggap hubungan antara akal dan agama sebagai masalah, karena menurut pandangan Islam, keduanya saling melengkapi, selaras, dan harmonis. Hal ini ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Islam mewajibkan manusia untuk beriman terhadap pokok-pokok agama berdasarkan penggunaan akal. Orang yang tidak memiliki akal tidak dibebani kewajiban agama. Bahkan, tegaknya hujjah agama tidak cukup hanya dengan sampainya informasi (tabligh) kepada manusia, tetapi juga harus dipahami—dan pemahaman ini memerlukan penggunaan akal. Terutama bagi orang yang memiliki syubhat (keraguan) yang patut dipertimbangkan dan menghalanginya untuk meyakini apa yang ditunjukkan oleh hujjah tersebut, maka ia bisa dimaafkan jika menafsirkan hujjah tersebut secara berbeda. Oleh karena itu, Allah menjadikan penentangan terhadap Rasul dan jalan kaum mukminin setelah hujjah dijelaskan sebagai hal yang tidak dibenarkan. Allah berfirman: "Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia dalam kesesatannya dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. an-Nisaa: 115)

Ini menunjukkan bahwa agama tidak dibangun atas dasar kepasrahan semata tanpa bukti dan pemahaman akal. Dalil-dalil agama bergantung pada penyampaiannya, pemahaman terhadapnya, dan penggunaan akal untuk memahaminya. Maka, jika akal menjadi syarat kewajiban agama dan sampainya hujjah, maka mustahil akal bertentangan dengan agama, karena sesuatu yang menjadi syarat bagi keberadaan sesuatu yang lain tidak mungkin bertentangan dengannya.

Kedua: Agama atau wahyu selalu disertai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti rasional, bahkan mengandung bukti-bukti argumentatif rasional. Oleh karena itu, dalil dan bukti rasional merupakan bagian dari sistem dalil syar’i yang bersumber dari wahyu, bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah darinya. Ibnu Taimiyah berkata: “Dalil-dalil akal dan dalil-dalil syar’i saling mendukung; masing-masing membuktikan kebenaran yang lain. Dalil akal membuktikan kebenaran para rasul dalam semua hal yang mereka informasikan, dan dalil syar’i menjelaskan  perangkat-perangkat rasio yang dengannya seseorang mengenal Allah, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, serta kebenaran para nabi-Nya...”

Oleh karena itu, wahyu agama mengandung banyak sekali jenis dalil dan bukti rasional yang menjelaskan kebenaran dan meneguhkan keyakinan dalam hati. Bukti-bukti rasional ini adalah penjelasan dan penerangan yang terdapat dalam wahyu. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat menegakkan keadilan." (QS. Al-Hadid: 25)

Maka, jika dalil rasional senantiasa menyertai agama dan terkandung di dalamnya, tidak mungkin keduanya saling bertentangan atau bertolak belakang.

Maksud dari penjelasan ini adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai hubungan harmonis antara akal dan agama. Meskipun ruang ini tidak cukup untuk menguraikan secara rinci hubungan tersebut, saya menegaskan dua poin penting sebagai hasil pemahaman atas hubungan ini:

Pertama: Pertentangan antara akal dan wahyu adalah kontradiksi yang dibuat-buat (rekaan imajiner) dan tidak nyata. Setiap pandangan yang dibangun atas dasar adanya pertentangan ini hanyalah ilusi. Sayangnya, pemikiran Barat modern bukan satu-satunya pihak yang membangun pandangan filosofisnya berdasarkan konflik ini—meskipun mereka melakukannya secara berlebihan—karena metode ini juga diikuti oleh sebagian aliran pemikiran lama dalam Islam, seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Meskipun mereka tidak sampai pada tingkat ateisme seperti pemikiran Barat modern yang menolak wahyu dan kebenarannya, posisi mereka justru lebih kontradiktif. Mereka mengakui kebenaran wahyu secara akal, namun tetap menolak sebagian isinya karena dianggap bertentangan dengan akal.

Kedua: Kebenaran agama tidak dibangun atas dasar paksaan atau kepasrahan tanpa bukti rasional, melainkan didasarkan pada kesadaran batin dan bukti-bukti rasional yang menghasilkan ilmu dan keyakinan. Maka siapa yang menolak wahyu agama, sesungguhnya ia telah menentang akal sehat. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang penghuni neraka: "Dan mereka berkata: 'Sekiranya dahulu kami mendengarkan atau memikirkan (menggunakan akal), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.'" (QS. Al-Mulk: 10)

 

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال