الثلاثاء، 26 يونيو 2012

Jendela Al-Qur'an: Catatan Diskusi Gender di Gedung Parlemen RI (1)

Catatan Diskusi Gender di Gedung Parlemen RI (1)

ISLAM DAN KESESATAN PAHAM GENDER
Oleh: Fahmi Salim, M.A. (Komisi Penelitian MUI & Wakil Sekjen MIUMI)
Saya berkesempatan dua kali menyimak dan menghadiri langsung perdebatan seputar draf RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) di komplek DPR RI Senayan.
Yang pertama, RDPU Komisi VIII DPR RI tentang Masukan draf RUU KKG dengan INSISTS, Kaukus Perempuan Politik Indonesia dan Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) pada tanggal 28 Mei 2012. Saat itu satu-satunya kubu yang menolak dari INSISTS hadir Adnin Armas, Direktur Eksekutif. Selebihnya, mereka adalah yang mendukung mentah-mentah draf RUU KKG tanpa sikap kritis sedikitpun. Bahkan, salah satu delegasi CWGI, seorang dosen UIN Bandung dengan gagah presentasi konsep kesetaraan gender di dalam Al-Qur’an dan pemikiran Islam. Tentu saja pemikiran Islam yang dibawa oleh dosen itu adalah bercorak liberal. Terbukti dengan tampilan slide ibu dosen itu yang menayangkan sketsa pemikiran gender dari tokoh-tokoh liberal dunia seperti Nasr Hamid Abu Zayd, dan tokoh local seperti Nasaruddin Umar dan Husein Muhammad.
Saya sangat gusar, sebab wacana controversial tokoh-tokoh tersebut yang terbatas di ruang-ruang kuliah UIN dan diskusi-diskusi kelompok liberal, kini telah bergeser dan ditampilkan vulgar di ruang sidang Komisi VIII DPR tempat wakil rakyat menggodok rancangan undang-undang.

Kesempatan kedua, terjadi saat saya dan majelis pimpinan MIUMI lainnya mendatangi undangan RDPU Komisi VIII dengan ormas-ormas: KOWANI, Badan PP dan PA Propinsi Nnggroe Aceh Darussalam, MIUMI, Fatayat NU, dan Women Research Indonesia (WRI) pada tanggal 18 Juni 2012.
MIUMI diberi kesempatan presentasi terakhir setelah ormas-ormas wanita lainnya memaparkan hasil studinya terhadap draf RUU KKG. Selain MIUMI yang tegas menolak rincian draf RUU itu (lihat link-link berita www.hidayatullah.com, www.detik.com, dan www.arrahmah.com), tampaknya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Propinsi NAD juga menolaknya secara halus, dengan alasan banyak menerima masukan keberatan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Kanwil Kementrian Agama di Aceh dan kampus-kampus Islam Aceh.
Selebihnya, mendukung draf itu tanpa sikap kritis. Dan lagi-lagi, sama seperti RDPU pertama yang saya hadiri, wakil Fatayat NU ibu Dr. Nur Rofiah (Dosen Pasca-sarjana PTIQ) membacakan sekian banyak ayat dan hadis Nabi untuk mendukung draf tersebut seraya mengutip keputusan beberapa Mukatamar NU tentang fikih gender.
Pertanyaannya, mengapa ormas-ormas wanita Islam itu malah bersemangat mendukung draf RUU tanpa sikap kritis yang objektif dan proporsional? Benarkah sudah sedemikian kuat cengkeraman paham kesetaraan gender di kalangan aktifis-aktifis muslimah di ormas-ormas besar Islam di Indonesia? Kenapa bisa terjadi dan bagaimana langkah kita untuk meluruskan pemahaman mereka tentang relasi gender dalam kacamata syariah Islam?
Berikut ini adalah rekaman diskusi gender di gedung Parlemen RI.
Dr. Ir. Euis Sunarti, adalah Dosen IPB di Departemen Ekologi Manusia, yang konsen dengan kajian ketahanan keluarga. Beliau adalah salah satu pakar gender terbaik di Indonesia yang sanggup memetakan analisis gender ini dalam konteks dampak negatifnya terhadap ketahanan institusi keluarga. Oleh sebab itulah, MIUMI mengontak beliau untuk menjadi narasumber dalam kajian-kajian gender di internal MIUMI.
Bu Euis, di awal paparan yang berdurasi kurang dari 4 menit di gedung Parlemen RI menyatakan, “Kami cukup galau akhir–akhir ini, melihat kualitas akademik mahasiswa laki–laki dibanding perempuan.  Ternyata Mahasiswi jauh lebih beprestasi dibanding dengan Mahasiswa.  Bapak dan Ibu dewan tahu bahwa 8 (delapan) dari lulusan terbaik perguruan tinggi terbaik di Indonesia adalah perempuan. Dan ini cukup meng-khawatirkan dan membuat kami berpikir bagaimana caranya meningkatkan kualitas laki–laki.” Kata pembuka beliau cukup menyengat para aktifis perempuan yang seolah-olah digambarkan secara factual bahwa kondisi perempuan di Indonesia sangat parah dan mengenaskan sehingga perlu adanya suatu payung hukum khusus seperti RUU KKG ini.
Kemudian ada satu lagi yang menarik, katanya DEPAG juga sangat risau dengan peningkatan laju perceraian saat ini, dimana 60% kasus perceraian adalah inisiatif perempuan. Jadi dengan powerfull perempuan cukup punya nyali untuk lebih banyak menggugat cerai, padahal kita tahu dampak perceraian terhadap kualitas individu dan anak. Dan juga hasil puluhan penelitian secara establish menunjukkan bahwa perceraian ternyata menyebabkan perempuan jadi lebih miskin dibandingkan laki–laki. 
Bu Euis melanjutkan bahwa “Ada beberapa pergeseran nilai–nilai yang sebetulnya kondisi bahwa perempuan terpuruk dan sebagainya itu tidak diikuti oleh data yang terkini, itu menjadi suatu catatan”. Yang penting bagi kami bagaimana untuk strengthening family (memperkuat institusi keluarga) sekarang ini apalagi dalam kondisi era global, dimana keluarga sangat terpuruk oleh perubahan lingkungan yang lebih disebakan oleh eksternal keluarga. 
Jika kita membaca draft RUU KKG tanggal 24 Agustus dari Tim Panja, demikian juga naskah akademisnya, ada beberapa “semangat” yang kami tangkap dari RUU KKG ini.  Pertama, bahwa perlu diperhatikan dan dipertimbangkan bahwa RUU KKG ini berpotensi meng-Undermain, menafikan dan bertentangan dengan UU no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. UU tersebut menjamin bagaimana terbentuknya keluarga yang punya ketahanan, ketangguhan, keluarga harmonis, keluarga sejahtera, dan keluarga berkualitas. Untuk mencapai tujuan itu tidak mungkin kalau tidak ada pembagian tugas antara laki–laki dan perempuan, dan berkomitmen sebaik–baiknya untuk mencapai tujuan itu. 
Bu Euis menggaris bawahi, “Kehidupan bukan hanya ekonomi, walaupun ekonomi penting tapi dia bukan segala–galanya. Semangat RUU KKG adalah bagaimana mengajak perempuan semua masuk ke sektor publik, politik, dan sebagainya. Dengan asumsi bahwa perempuan dianggap berkualitas jika dan hanya jika masuk ke sektor publik, ke tempat bekerja dengan minimal kuota 30% saat ini yang nantinya untuk mencapai kesetaraan (equality) yang perfect  yaitu 50%-50%. Artinya ini menganggap fungsi–fungsi kehidupan lain itu tidak bernilai dan tidak berharga. Apakah demikian?”, gugat beliau.
Secara tajam dan kritis beliau mempertanyakan konsep KKG yang akan menghancurkan ketahanan keluarga dan dampak pendidikan terhadap generasi penerus bangsa. “Bagaimana dengan hak perempuan untuk memilih, sama–sama dalam memberikan peran pembangungan untuk mendidik anak sebagai insan pembangunan yang berkualitas itu sama sekali tidak diindahkan dalam RUU KKG ini.  Oleh karena itu saya berpendapat bahwa RUU KKG ini tidak ramah untuk pembangunan keluarga dan tidak ramah pada pembangunan kualitas anak sebagai SDM.”, sambung beliau.
Lacurnya, bahkan di naskah akademik draf RUU KKG itu disebutkan bahwa salah satu faktor penghambat perempuan untuk maju adalah karena mobilitas yang rendah karena perempuan harus dekat dengan anaknya. Sungguh suatu cara berpikir yang sesat.
Sebagai seorang pakar gender, Bu Euis juga telah menelaah berbagai penelitian yang jumlahnya ratusan dari ilmu psikologi, yang menunjukkan pentingnya bounding attachment antara anak dengan orang terdekat yaitu ibu, orang yang paling menyayanginya itu untuk membentuk secure attachment. Artinya dia memiliki suatu bounding yang baik sehingga bisa mengembangkan trust terhadap lingkungannya, dan terbentuknya fungsi–fungsi kepribadian anak yang baik.
Dalam kajian psikologi, anak–anak yang dis-trust terhadap lingkungan adalah anak–anak yang tidak dibesarkan dengan penuh kasih sayang, karena tidak ada orang yang selalu siap untuk membantunya sehingga muncullah anak yang nakal, yang tawuran, yang terlibat narkoba dsb. Apa itu yang diharapkan?
Jadi mengabaikan perempuan untuk memilih apakah tetap dirumah ataupun bekerja dengan cara lain, itulah semangat yang ada di dalam RUU KKG. 
Dr. Euis juga menyoroti pendekatan indikator kuantitatif dalam RUU KKG, bahwa kesetaraan itu hanya kalau perempuan bisa mengisi semua posisi dan dengan jumlah prosentase yang sama dengan laki–laki. Artinya mengajak semua perempuan keluar rumah tapi tidak memperhatikan fungsi–fungsi lain yang penting dalam kehidupan. Perempuan baru akan mulia dan berkontribusi dalam pembangunan jika sudah meninggalkan rumah dan fungsi pendidikan anak.
Menurut Dr. Euis, “Pendekatan yang digunakan UNDP, Gender Development Index kita harus hati–hati menggunakannya. Karena sebenarnya negara–negara maju tidak secara penuh menggunakan indikator tersebut.” Dalam catatan saya, Amerika Serikat dan Jepang, prosentasi anggota parlemen dari kalangan perempuan hanya berkisar antara 11-16 persen saja. Bandingkan dengan Indonesia yang 18,2 persen pada periode 2009-2014. Atau dengan Laos, Negara terbelakang di ASEAN yang menempatkan 25 persen perempuan di Parlemen. Miris lagi jika dibandingkan dengan porsi perempuan di Parlemen Negara-negara konflik, miskin dan terbelakang seperti Rwanda (56,3%) dan Angola (38,6%). Jadi indicator besaran keterlibatan perempuan tidak menjamin maju mundurnya suatu Negara.
Negara–negara maju telah belajar dari pengalaman bahwa penggunaan “Gender Mainstreaming” (pengarus utamaan gender) ternyata tidak membahagiakan, tidak membuat perempuan berkualitas tapi malah menjadikannya terpuruk.  Dr. Euis memaparkan bahwa, “Amerika pada tahun 80-an telah menunjukkan dengan Gender Mainstreaming yang digagas oleh mereka peningkatan partisipasi tenaga kerja (TPAK) dari 33% (tahun 1950) menjadi 60%-70% (1980) ternyata perceraian meningkat hingga 100% dan membuat perempuan semakin miskin.  Demikian juga pengalaman Kibbutz di Israel, kemudian negara–negara sosialis seperti USSR, Cina, Kuba bahkan Skandinavia sekarang mereka menyesal dengan menggunakan Gender Mainstreaming karena ternyata menimbulkan dampak negatif yang luar biasa yaitu munculnya kualitas kriminalitas yang masuk ke negara Eropa Barat.” 
Pengalaman Negara-negara itu harus menajadi pelajaran bagi kita. Dengan fakta itu, mereka seakan ingin mengingatkan agar jangan sampai menggunakan ideologi ini, coba pelajari kami dulu. Karena itu harusnya Indonesia belajar dari kegagalan negara–negara lain.  Jangan sampai mengadopsi suatu idiologi yang akan kita sesali kemudian. Kita bisa bayangkan kalau RUU KKG ini disahkan seperti apa, akan ada transformasi sosial sampai ke daerah, bahwa setiap PEMDA akan dinilai keberhasilannya kalau semua lini diisi oleh perempuan. Tidak tahu bagaimana caranya harus seperti itu. Seperti apa dampaknya. Bahkan nanti akan didirikan day care-day care karena anak tidak dididik oleh ibunya, bagaiamana kualitas anak, bagaimana kualitas penerus kita. Jadi tolong diperhatikan betul–betul. Kami sudah banyak melakukan penelitia, jika diperlukan nanti akan kami share.  Dan itu adalah hasil yang cukup penting untuk menjadi pertimbangan.
http://fahmi-salim.blogspot.com/2012/06/catatan-diskusi-gender-di-gedung.html#more

0 komentar:

إرسال تعليق

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

نموذج الاتصال