Sumber : Kitab Ushul Sunnah
Penulis : Ahmad bin Hanbal
27. Kemudian manusia yang terbaik setelah para shahabat
Rasulullah adalah manusia yang hidup pada abad di mana Rasulullah diutus
sebagai nabi kepada mereka,[1] setiap
yang menemani beliau selama setahun, sebulan, sehari, sejam, atau ia hanya
melihat beliau, maka ia termasuk dalam kategori shahabat beliau. Ia mempunyai
derajat shahabat sesuai kadar waktu yang ia lalui dalam menemani beliau (1/13/4), di mana ia mendengar darinya hadits-hadits
beliau dan melihatnya. Orang yang paling sedikit waktunya menemani Rasulullah
masih jauh lebih mulia dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sempat
berjumpa dan melihat langsung beliau, dan sekiranya kelak nanti di akhirat
mereka bertemu dengan Allah dengan seluruh jenis amal kebaikan, maka
orang-orang yang telah menemani Rasulullah, melihatnya, dan mendengar dari
beliau sabda-sabdanya (yaitu orang yang melihatnya dengan mata kepalanya dan
beriman kepadanya walaupun hanya satu jam) lebih utama –karena pertemanan
tersebut- dari para Tabi`in walaupun mereka telah melakukan seluruh amal
kebaikan.[2].([3])
28. Mendengar
dan taat kepada imam-imam dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang buruk.
Orang yang disebut dengan Amirul Mukminin yang harus ditaati adalah orang yang
memimpin Khilafah, dan manusia mendukungnya serta ridha kepadanya, atau orang
yang mengalahkan dan menguasai mereka lewat peperangan hingga ia berhasil
menjadi Khalifah.[4]
29. Berperang
bersama para pemimpin berlangsung sampai hari kiamat –yang baik maupun yang
buruk- tidak boleh ditinggalkan.[5]
30. Membagi
harta Fai (harta rampasan yang di dapatkan tanpa peperangan),
pemberlakuan hukum hudud terhadap para imam (pemimpin), tidak boleh
salah seorang menyakiti dan menentang mereka.[6]
31. Membayar
shadaqah kepada mereka hukumnya boleh dan telah terlaksana sebelumnya.
Barangsiapa yang membayarnya kepada mereka, ia akan mendapat pahala, baik
mereka adalah pemimpin yang baik maupun jahat.[7]
32. Shalat
Jum`at sejumlah dua rakaat penuh dibelakangnya dan dibelakang orang yang
mengangkatnya menjadi pemimpin dibolehkan. Barangsiapa yang mengulangi
shalatnya, sungguh ia termasuk orang yang melakukan perbuatan bid`ah,
mengabaikan atsar,[8] dan menyalahi sunnah. Ia sama sekali tidak
mendapatkan keutamaan shalat Jum`at, apabila ia menganggap tidak sah shalat
dibelakang penguasa yang baik maupun yang menyimpang, sementara Sunnah
membolehkan shalat bersama mereka
sebanyak dua rakaat dan meyakini bahwa shalat tersebut telah sempurna dan
jangan ada keraguan di dalam hatinya.
33. Barangsiapa
yang keluar memisahkan diri dari salah satu imam (pemimpin) umat Islam, sedang
manusia telah menyepakati dan mengakui keabsahan kepemimpinannya dengan segala
bentuknya, baik karena ridha maupun karena sebagai pihak yang dikalahkan, maka
sungguh orang yang membelot tersebut telah merusak kekuatan dan keutuhan umat
Islam, dan ia telah menyalahi atsar-atsar dari Rasulullah. Apabila ia
mati, ia mati dalam keadaan Jahiliyah.[9]
34. Tidaklah
dibenarkan bagi siapapun dari kalangan masyarakat[10] untuk memerangi penguasa dan tidak boleh
pula menentang mereka. Barangsiapa yang melakukan itu maka ia termasuk
pelaku bid'ah. Ia berada di luar koridor Sunnah dan jalan yang benar.
35. Membunuh
pencuri dan penyamun dibolehkan bagi seseorang yang jiwa dan hartanya terancam
oleh perbuatan mereka. Ia berhak untuk membela jiwa dan hartanya, serta mempertahankan semuanya dengan segenap
kemampuan yang ia miliki. Ia tidaklah diharuskan untuk mencari mereka, jika
mereka telah meninggalkannya. Hendaknya Ia tidak mengikuti jejak mereka.
Tidaklah ada yang berhak untuk mencari mereka kecuali berdasarkan perintah imam
atau para pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu. Ketika itu, ia hanya
harus berusaha membela diri dan mengamankan jiwanya sambil berupaya keras untuk
menghindari keinginan untuk membunuh siapapun. Jika ada yang meninggal karena
perbuatannya itu, ketika sedang berusaha membela diri dalam pertengkaran, maka
Allah Subhanahu wa Ta`ala akan menjauhkan orang yang terbunuh tersebut.
Jika orang tersebut meninggal ketika terjadi perampokan itu, sedang ia dalam
kondisi membela diri dan hartanya, maka saya berharap ia mendapatkan mati
syahid, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits. Beberapa atsar dalam
hal ini 14/1/1 hanyalah memerintahkan untuk memeranginya[11] dan tidak diperintahkan
untuk membunuhnya, serta tidak pula diminta untuk mencari jejaknya. Ia tidak
dibenarkan jika ia dikerasi atau jika ia luka. Jika ia mengambilnya sebagai
tawanan, maka ia tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh pula memberlakukan
hukuman Had kepadanya. Tetapi seharusnya ia melaporkan permasalahannya
kepada orang yang diperkenankan berkuasa oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala sehingga merekalah yang menentukan hukuman
kepadanya.
36. Kita tidak bisa
menetapkan seorang pun dari kalangan ahli kiblat (kaum Muslimin) masuk neraka
atau masuk surga, karena suatu perbuatan yang dilakukannya. Kita hanya berharap
agar orang yang shalih mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta`ala dan
tetap merasa khawatir kepadanya karena adanya kemungkinan masuk neraka. Di lain
pihak, kita merasa khawatir terhadap pelaku dosa karena ancaman neraka yang
membayanginya tetapi tetap berharap agar ia mendapatkan rahmat dari Allah Subhanahu
wa Ta`ala.[12]
[1] Shahih dari hadits Imran bin Hushain
secara marfu` :
خَيْرُ أُمَّتِيْ
قَرْنِيْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
umatku adalah yang hidup sezaman denganku kemudian zaman setelah mereka,
kemudian zaman setelah itu.” (HR. Al-Bukhari : 3650, dan Muslim : 2535) (Ash-Shahihah
: 700).
[2]
Dalilnya, firman Allah Ta`ala, (QS. At-Taubah : 100) dan sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لَِوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ اُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ
نَصِيْفَهُ
“Sekiranya
kalian menginfakkan emas sebanyak gunung Uhud, sungguh tidak akan menyamai
infak mereka satu mud dan tidak pula walau setengahnya.” (HR. Al-Bukhari :
3673, dan Muslim : 2541), keduanya dari hadits Abu Sa`id Al-Khudri secara
marfu`. Saya berkata, “Menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan sabda beliau
“shahabat-shahabatku” adalah orang-orang yang komitmen dengan beliau,
orang-orang yang sudah terkenal akan kebaikannya saat menemani Rasullah, bukan
setiap orang yang bertemu dengan beliau dan hanya sekedar bertemu belaka, atau
hanya dalam waktu yang singkat dan tidak dikenal (tidak masyhur). Hal tersebut
dibuktikan dengan sabda beliau:
لاَ تَسُبُّوْا
أَصْحَابِيْ
“Janganlah
kalian mencela shahabat-shahabatku”, tertuju kepada seluruh
shahabat-shahabat beliau yang masuk dalam defenisi “shahabat” menurut istilah,
baik yang hidup pada zaman beliau maupun yang datang setelahnya. Beliau
mewasiatkan kepada mereka untuk mengetahui hak kekhususan-kekhususan para
shahabat beliau dari orang yang komitmen kepadanya dan mempunyai hubungan yang
kuat dengannya, shallallahu Alaihi wa Sallam. Wallahu A`lam.
(Al-Abbasy).
[3] Saya
katakan, “Dalam masalah ini masih ada perbedaan pandangan, sebagaimana pula
masih ada perincian lebih lanjut. Adapun yang sudah pasti bahwa persahabatan
(dengan Rasulullah) memiliki keutamaan khusus berdasarkan waktu seberapa lama
menemani beliau dan sebaik apa keteguhan hatinya bersama beliau. Kemudian
keutamaan tersebut bergantung pada tingkat keimanan dan kwalitas amal shalih,
sehingga bisa jadi ada sebagian Tabi`in atau Tabi` Tabi`in, atau bahkan
orang-orang yang datang setelah mereka lebih utama dan lebih mulia dibandingkan
sebagian shahabat. Seperti orang yang mendapati zaman fitnah-fitnah yang
dahsyat lalu ia tetap istiqamah dengan keimanannya dan bersabar, ia akan
mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan pahala sebagian para syuhada
dari kalangan para shahabat, sebagaimana hal tersebut disinyalir dalam sabda
beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam:
إِنَّ وَرَاءَكُمْ أَيَّامُ
الصَّبْرِ, لِلصَّابِرِ فِيْهَا أَجْرٌ مِئَةٍ أَوْ خَمْسِيْنَ شَهِيْدًا, قَالُوْا
: مِنَّا أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ : بَلْ مِنْكُمْ.
“Sesungguhnya
dibelakang kalian adalah masa-masa yang membutuhkan kesabaran, barangsiapa yang
sabar pada masa itu baginya pahala 100 atau 50 orang syahid.” Mereka bertanya, “(Orang syahid) dari kami
atau dari mereka?” Beliau menjawab, “Dari kalian.” Pada
riwayat lain beliau tambahkan,
لأَنَّكُمْ
تَجِدُوْنَ عَلَى الحَقِّ أَنْصَارًا, وَلاَ يَجِدُوْنَ عَلَى الحَقِّ أَنْصَارًا
“…. karena kalian mempunyai
pembela-pembela dalam menegakkan kebenaran, sedangkan mereka tidak mempunyai
pembela-pembela dalam mempertahankan kebenaran.” [HR. Ath-Thabrani, dan
ustadz kami Al-Albani menyebutkannya di dalam Ash-Shahihah (994) dan Shahih
Al-Jami` (2234)]. Saya katakan bahwa hadits “..sebaik-baik manusia
adalah zamanku..” serta yang semisalnya menunjukkan faedah keutamaan yang
bersifat umum, bukan keutamaan yang bersifat individu, wallahu a`lam.”
Lihat : risalah “Al-Mufadhalah Baina Ash-Shahabah”, Imam Ibnu Hazm,
dengan Tahqiq oleh Prof. Said Al-Afghani. Risalah tersebut adalah bagian dari
kitabnya yang sangat bagus yang berjudul “Al-Fashl Fii Al-Milal wa Al-Ahwaa
wa An-Nihal”. (Al-Abbasy).
[4] Sesuai
dengan firman Allah Ta`ala, (QS. An-Nisaa: 59), serta sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
يَكُوْنُ
عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ تَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ, فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ, وَمَنْ
كَرِهَ سَلِمَ, وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
“Kalian
akan mempunyai pemimpin-pemimpin yang kamu kenal dan kamu membencinya.
Barangsiapa yang mengenalnya ia berlepas diri, dan barangsiapa yang membencinya
ia selamat, jika ia ridha dengannya dan mentaatinya.” Para shahabat
bertanya, “Tidakkah sebaiknya kami perangi mereka?” Beliau menjawab,
لاَ, مَا صَلُّوْا
“Jangan, selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim, hadits 1480 dari hadits Ummu
Salamah).
Dalam sebuah atsar dari Al-Hasan disebutkan bahwsanya ia didatangi
oleh suatu kelompok –pada masa pemerintahan Yazid bin Al-Muhallab-, ia menyuruh
mereka untuk tetap berada di dalam rumah-rumah mereka dan mengunci pintu-pintu
mereka, kemudian ia berkata, “Demi Allah, sekiranya manusia mendapat cobaan
yang ditimbulkan oleh pemimpin-pemimpin mereka, lalu mereka bersabar, maka
Allah Azza wa Jalla akan mengangkat cobaan tersebut dari mereka.
Hal itu karena mereka berlindung pada perang dan mereka bersandar kepadanya,
dan demi Allah tidaklah mereka datang pada hari yang lebih baik selamanya.
Kemudian ia membaca firman Allah Ta`ala, (QS. Al-A`raf : 137) [Asy-Syariah
(19), Tafsir Ibnu Abi Hatim- hadits 3/ ق 178/ب].
Al-Hasan berkata, “Sungguh amat mengherankan orang yang takut kepada seorang
penguasa atau khawatir terhadap kezhaliman setelah mengimani ayat ini! Demi
Allah, sekiranya manusia bersabar karena perintah Rabb mereka ketika ditimpa
cobaan, niscaya Allah akan mengeluarkan mereka dari kesusahan mereka, akan
tetapi mereka tidak sabar untuk mengadakan perlawanan hingga mereka dihinggapi
ketakutan. Naudzu billah dari cobaan yang buruk.” [Tafsir Al-Hasan
: 1/386].
Syaikh Al-Albani
berkomentar tentang ayat: (QS. An-Nisaa: 59), ia
berkata, “Sudah sangat jelas bahwa hal itu dikhususkan untuk orang-orang Muslim
dari kalangan mereka. Adapun orang-orang kafir yang menjajah orang-orang
muslim, maka tidak ada ketaatan terhadap mereka, bahkan wajib untuk
mempersiapkan diri secara fisik maupun mental untuk mengusir mereka dan
membersihkan negeri dari najis kotoran penjajahan mereka..”[At-Ta`liq `Ala
Ath-Thahawiah, hal. 48]. Saya katakan bahwa hal tersebut tidak hanya
berlaku bagi orang yang asli kafir akan tetapi termasuk pula orang-orang murtad
bahkan lebih utama untuk diperangi, yaitu orang-orang yang tidak memelihara
(hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian, mereka telah menghalalkan segala cara dan keluar dari syariah Ilahi
dengan dalih kemajuan dan demokrasi. Semoga Allah mensucikan negeri umat Islam
dari mereka dan tangan-tangan mereka. [Lihat: Apa yang berkaitan dengan masalah
ini di dalam At-Ta`liq `Ala Ath-Thahawiah, hal. 47 dan Syarah
Ath-Thahawiah, hal. 379].
[5] Syaikh Al-Allamah Al-Albani –Hafzhahullah-
berkata, “Ketahuilah bahwa jihad terbagi menjadi dua bagian: pertama:
Fardhu `Ain, yaitu melawan musuh yang menyerang sebagian negeri umat Islam,
seperti orang-orang Yahudi sekarang yang menduduki negeri Palestina,
orang-orang muslim seluruhnya berdosa sampai mereka keluar membantu umat Islam
di sana. Kedua: Fardhu Kifayah, yaitu apabila sudah ada yang
melakukannya, maka yang lain sudah gugur kewajibannya, seperti berjihad di
jalan Allah dalam menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia sampai
Islam diterapkan sebagai hukum dalam kehidupan. Barangsiapa yang menerima
menjadi pengikutnya, itu adalah suatu karunia, dan barangsiapa yang berhenti
dari jalan dakwah, ia akan binasa, sampai Kalimah Allah tegak di muka bumi dan
jihad ini berlangsung hingga hari kiamat, lebih utama dari yang pertama.
Sesuatu yang amat disayangkan bahwa sebagian penulis saat ini mengingkarinya,
bukan itu saja akan tetapi mereka menjadikan sebagai bagian dari keistimewaan
Islam !! Kondisi ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari kelemahan
dan ketidak-berdayaan mereka untuk melakukan jihad secara fardhu aini. Sungguh
benarlah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam ketika bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِالعِيْنَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ البَقَرِ, وَرَضِيْتُمْ بِالزَرْعِ,
وَتَرَكْتُمْ الجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ الله, سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ
يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila
kalian saling berjual-beli dengan contoh, lalu kalian mengambil ekor-ekor sapi,
dan kalian ridha dengan tanaman, dan meninggalkan jihad di jalan Allah, Allah
akan menguasakan kepada mereka kehinaan yang tidak akan terabit dari kalian
keuali kalian kembali kepada agama kalian.” Hadits shahih diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abu Dawud [Ash-Shahihah: 11]. Lihat : Syarh Ath-Thahawiah,
hal. 387, karena isinya sangat penting.
[6] Ini
adalah sunnah Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam dan para
Khulafaurrasyidin Radhiyallahu `Anhum. Di dalam sebuah hadits
diterangkan:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله
عَلَى السَمْعِ وَالطَاعَةِ فِيْ العُسْرِ وَاليُسْرِ, وَالمَنْشَطِ وَالمَكْرَهِ,
وَأَلاَّ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ, وَإِنْ بَغَوْا عَلَيْنَا, وَأَنْ نَقُوْلَ
بِالحَقِّ حَيْثُمَا كَانَ, لاَنَخَافُ فِي الله لَوْمَةَ لاَئِمِ
“Kami
berbaiat kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat dalam kondisi susah maupun
senang, yang disenangi maupun yang
dibenci, dan kami tidak menentang para pembuat keputusan walaupun mereka
berbuat zhalim terhadap kami, bahwa kami mengatakan kebenaran dalam kondisi
apapun, kami sama sekali tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.” Muttafaq
alaih, dari hadits Ubadah bin Ash-Shamit, : خ(7199) : م (1709).
(Faedah) : Dalam hadits ini terdapat
penjelasan tentang nasehat dengan cara yang baik, dan janganlah seseorang yang
membela agama Allah takut celaan orang
yang mencela, yang meliputi dua hal; yaitu tidak diam atau menyembunyikan kebenaran yang
seharusnya dijelaskan, dan tidak berlaku sewenang-wenang dalam memberi nasehat.
Kami sangat yakin bahwa para ulama yang mulia telah melakukan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, penuh
keikhlasan, dan dengan cara yang paling benar. Merekalah yang paling berhak dan
paling berkompoten dalam hal ini, mereka menjelaskan kebenaran dan tidak
menyembunyikannya, dengan penuh kasih sayang, santun, dan mengharapkan kebaikan
terhadap bangsa dan rakyat. Wahai para pemuda yang sering tergesa-gesa,
hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah, mereka terlalu bersemangat dalam agama
mereka hingga mereka menzhalimi para ulama umat dan para pewaris nabi tersebut.
Mereka tidak sadar akan kadar kemampuan mereka, padahal mereka telah diperintahkan
untuk mengenal para ulama tersebut. dalam sebuah hadits disebutkan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ
يُجِلّ كَبِيْرَنَا, وَيَرحَمُ صَغِيْرَنَا, وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukanlah
termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan
menyayangi orang yang lebih muda, dan mengetahui hak ulama kami.” [Hadits
hasan, dikeluarkan oleh Ahmad dan selainnya, dan dihasankan oleh Al-Mundziri
dan Al-Albani “Shahih At-Targhib” (95)]. Ya Allah, tunjukilah kami jalan
orang telah Engkau tunjuki.
[7] Ibnu Abi
Al-Izz Al-Hanafi –Rahimahullah- berkata di dalam Syarhnya
terhadap kitab Ath-Thahawiah [376], “Nash-nash di dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan Ijma` Salafil Ummah telah menunjukkan bahwa penguasa, imam
shalat, hakim, panglima perang, dan amil shadaqah harus ditaati dalam
masalah-masalah ijtihad, dan sebaliknya pemimpin tidak wajib mentaati bawahannya
dalam hal pengambilan ijtihad, akan tetapi justeru merekalah yang harus
mentaatinya. Mereka harus lebih mendahulukan pendapat pemimpin dibandingkan
pendapat mereka sendiri, karena maslahat dan persatuan orang banyak, serta
bahaya perpecahan dan perselisihan lebih besar perkaranya dibandingkan
masalah-masalah furu`. Dan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah
bersabda:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ
أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ, وَغِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka
shalat untuk kalian, apabila mereka benar, maka mereka dan kalian mendapat
pahala, dan jika mereka salah, kalian mendapat pahala dan mereka mendapatkan
kesalahan tersebut.” [HR. Al-Bukhari : 69]. Hadits ini merupakan nash sharih
yang menjelaskan bahwa apabila imam melakukan kesalahan, maka kesalahan
tersebut untuk dirinya sendiri, para makmum tidak ikut menanggung kesalahan
tersebut. seorang mujtahid dianggap bersalah apabila meninggalkan yang wajib
dan meyakini bahwa hal tersebut bukan kewajiban, atau ia melakukan kesalahan
sedang ia meyakini bahwa hal tersebut bukanlah kesalahan. Tidak dibolehkan
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyalahi hadits sharih
dan jelas setelah ia mengetahuinya.”
Saya berkata, “Apabila
hadits itu berkenaan dengan masalah shalat, maka masalah yang lebih
ringan/kecil dari itu jauh lebih utama lagi. Ali bin Abi Thalib berkata tentang
kepemimpinan Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma, ‘Rasulullah telah ridha
terhadapnya pada urusan agama kita, lalu apakah kita tidak meridhainya dalam
urusan dunia kita?!’”
[8] Ia
berkata di dalam Syarah Ath-Thahawiah, hal. 374, “Ketahuilah bahwa
seseorang boleh shalat di belakang orang yang tidak diketahui apakah ia ahli
bid`ah atau fasiq, menurut kesepakatan para imam. Bukanlah syarat bermakmum
bahwa agar makmum mengetahui keyakinan imamnya dan tidak pula ia harus
mengujinya dengan bertanya, “Apa keyakinanmu?” akan tetapi hendaklah ia shalat
dibelakangnya tanpa harus mengetahui identitas dirinya. Apabila seseorang
shalat di belakang ahli bid`ah yang mengajak kepada bid`ahnya atau orang fasiq
yang menampakkan kefasikannya, sedangkan ia adalah imam tetap shalat rawatib
yang tidak mungkin shalat kecuali harus shalat di belakangnya, seperti imam
shalat Jum`at atau dua shalat `Ied, dan imam pada shalat haji di Arafah –dan
semisalnya-, maka bagi makmum harus shalat di belakangnya, menurut pendapat
mayoritas kaum Salaf dan Khalaf. Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum`at di
belakang imam yang buruk, maka ia dianggap telah melakukan bid`ah menurut
kebanyakan ulama, sebab para shahabat pun –Radhiyallahu Anhum- dulu
shalat berjamaah di belakang imam-imam yang menyimpang dan mereka tidak
mengulangi shalat mereka, sebagaimana Ibnu Umar shalat di belakang Al-Hajjaj
bin Yusuf, demikian pula Anas –Radhiyallahu Anhum-.
Dari Ubaidillah bin Ady
bahwa tatkala ia masuk menemui Utsman –Radhiyallahu Anhu- sedang ia lagi
ditawan, ia berkata, “Sesungguhnya kamu adalah Imam `Am bagi seluruh
manusia dan telah terjadi padamu apa yang kami saksikan, serta shalat bersama
kami imam yang membawa fitnah dan kami menjadi susah dibuatnya.” Utsman
berkata, “Shalat adalah perbuatan yang paling baik yang dilakukan manusia.
Apabila manusia berbuat baik, maka berbuat baiklah bersama mereka, dan apabila
mereka berbuat salah maka jauhilah kesalahan mereka.” (Al-Bukhari : 695 –Al-Fath)
Al-Hasan Al-Bashri ketika
ditanya tentang shalat di belakang ahlu bid`ah, ia menjawab, “Shalatlah
walaupun ia bersama dengan bid`ahnya.” (Al-Bukhari
menta`liqnya dan menjazamkannya, dan Said bin Maskur menyambungkannya
sebagaimana terdapat di dalam Al-Fath : 2/221 dan lihat At-Ta`liq
`Ala Ath-Thahawiah, hal. 46).
[9]
Diarahkan untuk membaca hadits :
مَنْ رَاَى
أَمِيْرَهُ شَيْئًا يُكْرِهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ, فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ
الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ, فَمَيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang pemimpinnya melakukan
kesalahan yang ia benci, mak hendaklah ia bersabar atas perbuatannya tersebut,
sebab barangsiapa yang meninggalkan jamaah walaupun hanya sejengkal lalu ia
mati, maka matinya dalam keadaan Jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari : 7054, dan
Muslim : 1849), keduanya dari hadits Ibnu Abbas –Radhiyallahu Anhuma-.
Dari Hanbal bin Ishak ia
berkata, “Pada kepemimpinan Al-Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul mendatangi
Abu Abdullah –yakni Imam Ahmad-, mereka berkata, ‘Wahai Abu Abdullah, sungguh
masalah ini telah menjadi gawat dan merajalela –yaitu penyebaran pemahaman
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan masalah lainnya-“, maka Abu Abdullah berkata
kepada mereka, ‘Lalu apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami ingin
mengajak Anda bermusyawarah untuk menyatakan bahwa kita ini tidak ridha dengan
kepemimpinannnya.’ Abu Abdullah pun berdebat dengan mereka selama sejam hingga
akhirnya ia berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian protes di dalam hati
kalian, janganlah kalian melepaskan ketaatan kalian, janganlah kalian merusak
persatuan kaum Muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah-darah kalian dan
darah kaum Muslimin, dan cobalah pertimbangkan akibat dari perbuatan kalian
kelak. Hendaklah kalian bersabar sampai orang (pemimpin yang) baik beristirahat
(wafat) atau orang (pemimpin yang) jahat diistirahatkan (diwafatkan).’ Mereka
pun akhirnya pulang, lalu saya dan bapakku masuk menemui Abu Abdullah setelah
mereka sudah pergi, dan bapakku berkata kepada Abu Abdullah, ‘Kita memohon
kepada Allah keselamatan kita dan umat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam,
sungguh saya tidak menyukai ada orang yang akan melakukan hal tersebut
(memberontak)’, kemudian bapakku bertanya kepada Abu Abdullah, ‘Wahai Abu
Abdullah, apakah menurutmu perbuatan tersebut benar?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Perbuatan itu bertentangan
dengan atsar-atsar yang mana memerintahkan kita untuk bersabar.’” [Al-Masail
wa Ar-Rasail Al-Marwiyah `An Ahmad Fi Al-Aqidah (2/4), dan lihat
pada alenia ke 22] yang telah lalu.
65. Tidaklah dibenarkan memusuhi pengusa dan tidak boleh pula menentang
mereka. Kecuali jika mereka benar-benar menampilkan kekufuran secara nyata,
maka ketika itulah pejabat berwenang berhak untuk memecatnya, lalu mengangkat
serta melantik orang yang lebih kompeten. Hanya saja disyaratkan adanya
kompetensi dan yang bersangkutan diyakini tidak menimbulkan bahaya yang lebih
besar atau fitnah yang lebih luas dibanding dengan pejabat sebelumnya.
Imam Ibnu Abi Al-Izz al-Hanafi –Rahimahullah-
mengatakan, “Adapun keharusan untuk mentaati pemerintah, sekalipun mereka
berbuat zhalim, alasannya adalah karena dengan menunjukkan sikap ketidaktaatan
terhadap mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dan lebih besar
dibanding dengan kezhaliman mereka. Bahkan dengan menampakkan sikap sabar
terhadap kezhaliman mereka akan menjadi alat untuk menebus dosa-dosa dan
melipatgandakan pahala. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidaklah memberi
peluang kepada mereka untuk memimpin kita kecuali karena rusaknya amalan kita.
sementara kita menyadari bahwa balasan sesuatu perbuatan akan setimpal dengan
amalan tersebut. Olehnya itu, kita seharusnya berusaha dengan sepenuh hati
untuk memohon ampunan, bertaubat dengan peuh kesungguhan dan berusaha
memperbaiki amalan kita. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman, (QS.
Asy-Syuraa : 30). Juga firman Allah Subhanahu
wa Ta`ala, (QS. Ali Imran : 165). Juga firman-Nya, (QS. Al-An'am
: 129).
Syaikh Al-Allamah Al-Albani mengatakan, “Saya
katakan, “Dalam hal ini terdapat jalan untuk menjauhkan diri dari kezhaliman
penguasa yang berasal dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita.
Yaitu, hendaknya kaum Muslimin bertaubat kepada Tuhan mereka, memperbaiki
kualitas akidah mereka, dan mendidik jiwa dan keluarga dengan pendidikan Islam
yang benar, sebagai perwujudan dari firman Allah Subhanahu wa Ta`ala
yang berbunyi, (QS. Ar-Ra'du : 11).
Abu Al-Harits Al-Shaigh mengatakan, “Saya pernah
menanyakan kepada Abu Abdullah tentang suatu peristiwa yang terjadi di Baghdad
yang membuat beberapa kelompok hendak menentang penguasa. Saya berkata,, ‘Wahai
Abu Abdullah ! Bagaimana pendapatmu jika ada yang ikut bersama mereka?’ Ia
mengingkari perbuatan mereka. Ia berkata,, ‘Subhanallah! Itu akan menyebabkan
terjadinya pertumpahan darah. Saya tidak sependapat dengan mereka dan tidak
menyuruh orang lain melakukan hal yang sama. Bersabar dengan kondisi yang ada
lebih baik dibanding terjadinya fitnah yang membuat darah tertumpah, harta
sesama menjadi hancur, dan kehormatan sesama dicemarkan. Tidakkah kamu ingat
kejadian yang menimpa masyarakat dulu –maksudnya hari-hari terjadinya huru
hara-.’ Saya berkata, ‘Bukankah sekarang masyarakat sedang terkena berbagai
tindak kezhaliman, wahai Abu Abdullah?’ Ia menjawab, ‘Walaupun demikian
(terjadi fitnah)!! Itu hanyalah fitnah yang disebabkan oleh kalangan tertentu
(penguasa). Jika pedang telah berkelebat, maka huru hara akan terjadi di
mana-mana dan tidak ada lagi jalan perbaikan. Bersabar dengan kondisi yang ada
dengan jaminan keselamatan agamamu tentu labih baik bagimu.’ Saya melihat ia menentang orang-orang yang
menentang penguasa dengan mengatakan, ’Pertumpahan darah akan terjadi. Saya
tidak setuju dengan langkah itu dan tidak pula merekomendasikannya.’” (Al-Masa'il
Al-Marwaiyah An Ahmad fii Al-Aqidah 2/4) (At-Ta'liq Ala At-Thahawiyah,
hal. 47).
[11] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Ada
seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya
berkata, ‘Bagaimana pendapatmu jika ada orang yang mendatangiku dengan maksud
untuk merampas harataku?’ Beliau menjawab, ‘Jangan serahkan hartamu
kepadanya.’ Orang itu melanjutkan, ‘Bagaimana jika ia bertindak keras
kepadaku?’ Rasulullah menjawab, ‘Lawanlah dengan kekerasan pula.’
Ia melanjutkan, ‘Bagaimana jika ia membunuhku?’ Beliau menjawab, ‘Engkau
mati syahid.’ Ia melanjutkan, ‘Bagaimana jika aku membunuhnya?’ Beliau
menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’” [Dikeluarkan oleh Muslim :
140, dan dikeluarkan pula oleh penulis dalam Musnadnya : 2/339].
Pada hadits lain dijelaskan:
( مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ
فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ) (وَمَنْ قُتِلَ
دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ )
"Barangsiapa yang
terbunuh karena membela hartanya, ia syahid. Barangsiapa yang terbunuh karena
mempertahankan nyawanya, ia mati syahid. Dan barangsiapa yang meninggal karena
membela agamanya, ia syahid.“ [Shahih -Al-Irwaa' : 708]
Pada hadits lain dijelaskan:
إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا
فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُوْلُ فِيْ النَّار
”Jika ada dua orang muslim bertemu dan
saling membunuh, maka pembunuh maupun yang terbunuh akan masuk ke neraka.“ Ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah,
hal itu bisa kami pahami bagi orang yang membunuh, tetapi bagaimana dengan
orang yang terbunuh?“ Rasulullah menjawab, ”Karena ia juga sangat
berkeinginan untuk membunuh lawannya.“ [Shahih Al-Bukhari : 31. dan Shahih
Muslim : 2888] keduanya berasal dari hadits Abu Bakrah.
[12] Kecuali orang yang ditetapkan oleh Al-Qur'an
dan Sunnah sebagai penghuni neraka atau penghuni surga, seperti sepuluh shahabat
yang dijanjikan masuk surga dll. [Lihat : Ta`liq terhadap kitab Ath-Thahawiyah,
hal.41].
Good content. You write beautiful things.
ReplyDeletemrbahis
vbet
hacklink
vbet
korsan taksi
sportsbet
mrbahis
sportsbet
hacklink
Good text Write good content success. Thank you
ReplyDeletekibris bahis siteleri
mobil ödeme bahis
betpark
tipobet
kralbet
bonus veren siteler
betmatik
poker siteleri
şişli
ReplyDeleteşirinevler
bursa
aydın
avcılar
2SİEZW
https://saglamproxy.com
ReplyDeletemetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
L4FA