Wednesday, December 27, 2017

MUSLIM UTUH TANPA TAHUN BARU



MUSLIM UTUH TANPA TAHUN BARU

Oleh : Ust. Idrus Abidin, Lc.. M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah al-Manar (STIS) Jakarta

Pendahuluan.
Kehidupan manusia di bumi ini bermula dari otoritas tauhid dan hidayah yang dikembangkan oleh Nabiyullah Adam a.s. beserta istrinya, Hawwa. Seiring dengan gerak zaman, mulai terjadi penyimpangan sehingga datanglah era mitos dan zaman kegelapan. Lalu Allah mengutus kembali seorang nabi atau pun rasul untuk mengembalikan manusia kepada agama. Demikianlah Islam memandang sejarah kehidupan. Awalnya adalah fase agama lalu disusul oleh masa-masa mitos, di mana masyarakat menjauh dari agama. Mereka terkungkung dalam segala bentuk tradisi, keyakinan, dan budaya yang menyimpang.
Termasuk produk budaya sekuler yang hari ini menjadi bagian dari komsumsi masyarakat dunia tanpa terbatasi lagi oleh sekat-sekat agama, budaya dan keyakinan adalah perayaan momen-memen tahun baru. Masyarakat keluar ke pantai-pantai, tempat pelesiran, hingga ke kampung-kampung dengan perasaan bahagia dan ceria, disertai dengan kemeriahan bunyi terompet dan kilauan kembang api. Bahkan disertai pula dengan hingar bingar  konser dan alunan musik. Lalu bagaimana Islam memandang perayaan tersebut ?
Islam, Puncak Hidayah.
Islam adalah agama yang menjadi standar kebenaran normatif. Direkomendasikan oleh Pemiliki Alam semesta ini sebagai agama resmi di dunia dan di akhirat. Dari sejak Adam hingga era masing-masing- nabi dan Rasul, Islamlah yang menjadi tugas kenabian dan kerasulan mereka. Bahkan, ketika berhadapan dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), yang juga merupakan ajaran Allah di zamannya, tetap saja Islam yang didukung secara total dalam beragam ayat-ayat al-Qur’an. Lihatlah surat al-Baqarah ayat 41 tentang perintah agar bani Israel mengimani al-Qur’an dengan ikut serta melaksanakan shalat dan membayar zakat. Juga perhatikan betapa Allah mengeritisi klaim sepihak Yahudi yang merasa tidak akan masuk neraka kecuali beberapa hari (al-Baqarah ayat 80). Intinya, baru sebatas surat al-Baqarah saja, Allah sudah menjelaskan sejarah penyimpangan, sikap keras kepala dan kebobrokan ahlak Yahudi dan kaum Nasrani; baik pada  zaman nabi Musa hingga yang sezaman dengan Rasulullah Saw.
Bahkan, Rasulullah sendiri sebagai pemimpin agama terakhir ini, dilarang keras mengikuti hawa nafsu jelek Yahudi dan Nasrani, apalagi agama yang bukan dari kalangan ahli kitab. Jika langkah-langkah Yahudi dan Nasrani ini dikuti oleh Rasulullah, padahal sudah jelas pengarahan Allah kepadanya, Allah mengancam tidak akan lagi menjadi pengarah, penunjuk, penasihat (wali) dan penolong (nashir) bagi Rasulullah. Sebuah bahasa keras yang bernada ancaman. Pantaslah Allah senantiasa menegaskan, “Masuklah ke dalam Islam secara total dan jangan sekali-kali mengikuti langkah-langkah syetan. Karena setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah: 208)
Artinya, sebagai muslim yang benar kita harus merasa puas dan merasa cukup dengan aturan dan pengarahan Islam. Kita tidak boleh merasa rendah diri dengan tradisi dan budaya yang telah diajarkan secara langsung oleh Allah dan rasul-Nya. Bahkan, seharusnya kita merasa bangga dengan status keislaman dan semua ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Larangan Menyerupai Agama dan Budaya Lain
Karena Islam merupakan standar mutlak kebenaran, muslim dilarang menyerupai tradisi yang ada di luar Islam. Karena sikap meniru budaya dan tradisi agama lain akan mengakibatkan lahirnya rasa kasihsayang dan kecintaan kepada sang pemilik kebudayaan tersebut. Padahal, Islam melarang kita berkasihsayang dengan pihak-pihak yang memusuhi Islam. (Lihat QS al-Mujadilah ayat 22). Terkait tahun baru, minimal ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar penolakan, misalnya :
·      Perayaan tahun baru menjadi sarana mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil.
·      Mengandung propaganda yang mengarahkan kepada kekufuran, kesesatan dan fermisivisme.
·      Merayakan tahun baru berarti meniru tradisi dan budaya non muslim. Padahal, Rasulullah telah melarang kita meniru tradisi non Muslim. “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil no. 1269)
·      Bahkan dari sejak awal Rasulullah menegaskan keharusan berislam dan mewanti-wanti akan adanya generasi yang merasa rendah diri sehingga mudah mengikuti tradisi agama lain tanpa sikap kritis. Beliau pernah menginformasikan, “Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah, “Apakah mereka itu mengikuti tardisi Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Kalau bukan mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
·      Melakukan amalan tanpa ada tuntunan dan petunjuk dari Islam. Padahal Rasulullah menegaskan, “Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
·      Terjerumus dalam perzinahan. Betapa malam tahun baru seringkali dimanfaatkan oleh muda mudi, bahkan orang-orang yang sudah berkeluarga sebagai peluang untuk berhubungan seks dengan pasangan yang tidak halal. Padahal, peluang perzinahan ini senantiasa terbuka sekali pun manusia tidak terlibat dalam percampuradukan antara lelaki dan perempuan (ikhtilat). Rasulullan bersabda, Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
·      Mengganggu ketertiban umum. Dalam Islam, wilayah publik adalah ruang yang tidak boleh begitu saja digunakan tanpa izin dari masyarakat umum. Makanya, Rasulullah melarang ummatnya sering nongkrong di pinggir jalan. Apalagi, pada malam tahun baru, suara-suara keras terompet hingga suara bising petasan begitu menggema. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Rasulullah, “Seorang muslim adalah mereka yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41)
·      Melakukan pemborosan. Padahal Allah Swt. telah berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. al-Israa’: 26-27)
·      Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangat dibutuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi telah memberi nasehat mengenai mutu dan kualitas keislaman seseorang, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah kemampuannya meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if  Sunan Tirmidzi). Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakikat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela  dalam firman-Nya,“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir : 37).
Reformasi Budaya
Pada saat Rasulullah memimpin peradaban Islam di Madinah, beliau melakukan langkah-langkah reformasi di segala bidang. Termasuk di antaranya penegasan status amalan islami tanpa ada unsur keserupaan dengan budaya dan kebiasaan non muslim. Hal ini bisa dilihat pada bebarapa kasus berikut :
·      Disyari’atkannya makan sahur. Kalangan ahli kitab juga diwajibkan pada zamannya untuk puasa. Namun puasa mereka tidak disertai dengan anjuran makan sahur. Makan sahur sebelum puasa murni sebagai ciri khas ajaran Islam sebagai upaya membedakannya dengan tradisi Yahudi dan Nasrani. Rasulullah bersabda, “Pembeda antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah dalam hal makan sahur.” (HR. Muslim no. 1096)
·      Dianjurkannya mencukur kumis dan memelihara jenggot agar bisa menyelisihi tradisi kaum musyrikin. Sabda Rasulullah, Selisihilah orang-orang musyrikin: cukurlah kumis dan peliharalah jenggot”. (HR. al-Bukhari, no. 5553 dan Muslim, no. 259)
·      Larangan menjadikan kuburan para pembesar sebagai tempat ibadah (masjid). Sabda Rasulullah, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang Saleh mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya saya melarang kalian dari hal tersebut”. (HR. Muslim no. 532)
·      Peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.
·      Penetapan idul fitri dan idul Adha sebagai hari raya resmi kaum muslimin dan pelarangan terhadap perayaan lain seperti perayaan tahun baru. Anas bin Malik bercerita, “Ketika Rasulullah Saw. tiba di kota Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka rayakan tiap tahun dengan beragam perlombaan, maka Rasulullah Saw. bertanya “Dua hari apakah ini?”, mereka menjawab: “Kami dahulu sering mengadakan perlombaan pada  kedua hari itu  di masa jahiliah. Beliau bersabda, “Sungguh Allah Swt. telah menggantikan hari raya kalian itu dengan dua hari raya yang jauh lebih baik, yaitu hari raya idul fitri dan hari raya idul adha.” (HR. Ahmad)
Dengan beberapa contoh tersebut, makin jelas bagi kita urgensi mengenal dan komitmen dengan produk budaya kita sendiri. Selain beberapa bentuk reformasi sistem ibadah tersebut di atas, juga perlu adanya pemahaman seputar penanggalan dan penetapan waktu dalam tradisi Islam. Jika non muslim menetapkan standar penanggalan berdasarkan perputaran matahari maka Islam menjadikan siklus bulan sebagai standar penanggalan. Bedanya, bulan memiliki perbedaan besar kecil setiap malam sehingga mudah ditebak tanpa harus melihat kalender. Bedanya lagi, jika pada sistem matahari, jam 00.00 ditetapkan pada pukul 24.00, maka peralihan tanggal dan istilah pagi mulai dari tengah malam. Pantas kalau jam 1 malam disebut sebagai awal jam pertama. Semantara dalam Islam, awal pergantian tanggal dimulai dari waktu magrib. Sehingga jam 00.00 Islam adalah pas pukul 18.00. Seharusnya, berdasarkan aturan Islam, pukul 19.00 baru jam 1 dalam perhitungan waktu keislaman. Belum lagi ditambah dengan kalender hijriah dan pemahaman makna hari dalam Islam. Dalam Islam, hari ahad adalah hari pertama. Bukan akhir pekan seperti yang dipahami masyarakat hari ini. Semua itu perlu reformasi pemahaman dan sikap dari kita kaum muslimin. Sehingga keislaman kita menjadi utuh tanpa tercampur budaya lain yang jelas-jelas menyelisihi budaya asli Islam. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Post a Comment

Categories

About Us

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form.

Contact Form